Semuanya bernafas lega, setelah Bujang menekan dadanya beberapa kali, Liyan terbatuk mengeluarkan air yang tadi telah masuk ke paru-parunya. Semua orang yang dilanda penasaran berkerumun, melihat secara jelas siapa korban tenggelam yang baru saja diselamatkan itu. Kondisi di tepi sungai Siak cukup ramai, tak hanya yang berasa dari posko mereka saja yang bermain ke sana, tapi mahasiswa lain yang juga tinggal di posko yang dekat dengan sungai."Kau tak apa-apa, Liyan?" Diki mendekati Liyan, membantu gadis itu untuk duduk. Liyan melirik Bujang sejenak, nafasnya masih agak sesak. Diki dilanda kekhawatiran, sebagian orang masih berbisik-bisik sambil melihat Liyan. Sementara sebagian telah bubar dari kerumunan.Liyan menggeleng. "Aku tidak apa-apa." Dia tahu, laki-laki di depannya ini menaruh hati padanya, pria itu sering kedapatan menatapnya. Dia biasa dipuja, laki-laki seperti Diki baginya sudah biasa.Akan tetapi kenapa saat dia hampir mati, pria di depannya masih dalam kondisi berpakai
Bujang dan Keke menata nafasnya yang tersengal, seiring dengan bunyi benda jatuh dari belakang rumah, tepatnya di balik kamar mereka. "Apa itu?" bisik Keke. Dia menutup tubuhnya, sementara Bujang langsung mencari bajunya.Mereka baru saja menyelesaikan ritual suami istri, tapi bunyi benda seperti orang yang melompat itu sangat mencurigakan."Apakah maling?" tanya Keke berbisik."Tak mungkin maling lewat di belakang dinding kamar, pasti lewat jendela. Aku akan pastikan dulu." Bujang bangkit, terlebih dulu berwudhuk. Dia membawa lampu senter ke belakang rumah, karena tak ada lampu di sana.Dia curiga, seseorang pasti tengah mengintip. Bujang kesal, marah dan dadanya terasa panas. Saat menemukan sebelas sendal jepit yang tertingga tepat di tanah, tepat di bawah dinding kamar mereka. Bujang kaget luar biasa, bagaimana bisa ada lubang tiba-tiba ada di dinding itu, ukurannya sebesar kelereng, bentuknya rapi seakan dikerjakan dengan hati-hati.Sedangkan dinding itu, kemaren masih baik-baik
"Sumpah yang Abang katakan tak masuk akal," seru Amir, mukanya memerah."Apa mengintip orang tidur itu masuk akal?""Bukan saya pelakunya, sudah saya bilang bukan saya pelakunya.""Aku yakin itu kau, kau sendiri yang terjaga saat peristiwa itu terjadi, mengakulah! Jika aku mengetahui kebenaran, maka kau tak kumaafkan."Amir menantang Bujang. Kemudian suara pengakuannya membuat semua orang tercengang."Iya, itu saya, Abang mau apa? Mau membunuh saya?""Anak bangsat," ketus Bujang, tanpa bisa dikendalikan sebuah pukulan melayang di wajah Amir. Amir terjengkang, para gadis yang berada di sana terpekik. Sedangkan Keke yang mengintip di balik pintu kamarnya menutup mulutnya. Alangkah memalukan, alangkah jahatnya Amir. Keke bahkan tak mampu menahan tangisnya, dia menutup pintu kamar dan menumpahkan air matanya sendiri.Saat Bujang kembali ingin melayangkan tinjunya, Luqman segera menahan bahunya sekuat tenaga."Sudah, Jang! Sudah, anak itu bisa mati.""Dasar tak tau terima kasih, tak tau di
Bujang tak main-main dengan ancamannya. Dalam sehari itu juga, dia berhasil memulangkan Amir ke pihak kampus. Sempat terjadi perdebatan kecil antara pihak kecamatan dan kampus, namun akhirnya keputusan diambil, Amir ditendang dari peserta KKN tahun ini.Ketegangan itu masih terasa. Teman-temannya yang bersisa, saat ini duduk di depan Bujang. Liyan membuka pembicaraan lebih dulu mewakili teman-temannya."Kami sangat menyesali apa yang telah terjadi, atas nama teman-teman semua, kami mohon maaf, Bang. Atas apa yang telah terjadi menimpa Abang dan Kak Keke." Liyan melirik Keke yang masih menampilkan wajah marah. "Aku memaafkan, dengan catatan tak ada lagi di antara kalian yang membuat ulah. Kalian datang sebagai tamu, kami sambut dengan tangan terbuka, tapi apa yang kalian lakukan?""Sekali lagi maafkan kami, yang telah merepotkan Bang Bujang dan Kak Keke." Liyan menambahkan lagi.Bujang menatap tegas ke arah Liyan, membuat gadis itu merasa salah tingkah."Apa lagi kalian yang perempuan
"Kau baik-baik saja?" Bujang mengusap wajah Keke. Istrinya itu masih pucat, sempat mengalami pendarahan, akhirnya dia bisa melewati masa sulit melahirkan putra nya dengan sehat."Keke baik, walau masih agak pusing. Bayi kita ....""Dia berada di ruang bayi, dia sangat kecil," ucap Bujang. Teringat olehnya, bagaimana bayi merah itu menangis di ruang bayi, sayangnya dia hanya bisa melihat dari luar setelah perawat menunjukkan nomor box bayinya pada Bujang."Kelahiran terlalu mendadak." Keke berucap pelan. Dia memperkirakan kelahiran akhir bulan depan, tapi Tuhan berkehendak lain, bayi mereka lahir lebih awal."Kau sempat pendarahan, Ke.""Ya, Keke tau, Keke masih bisa mendengar percakapan dokter saat melakukan bedah."Dan ... Liyan, yang mendonorkan darahnya padamu."Keke tertegun, Liyan. Selama ini dia tak menyukainya, merasa cemburu dan merasa tersaingi. Ternyata gadis itu tak seburuk yang dia pikirkan."Sampaikan ucapan terimakasih Keke padanya.""Nanti dia akan ke sini. Setelah dipe
Mata cantik itu mengamati sosok yang tengah menimang anak mereka. Nabil, bayi berusia beberapa hari itu mengganti siang menjadi malam, dan malam menjadi siang. Saat siang hari, dia menghabiskan malam untuk tidur, sedangkan di malam hari, dia bangun dan menangis bahkan sampai subuh.Keke tersenyum, melihat mata Bujang terpejam karena menahan kantuk, dengan bayi merah yang mulai lelap di tangan kokohnya."Bang, Bang!" bisik Keke, takut membangunkan bayi mereka yang mulai tidur di jam empat subuh."Hmm?" sahut Bujang membuka matanya yang sudah sangat berat."Tidurlah! Biar Keke yang jaga Nabil. Abang sudah sangat mengantuk.""Tidak apa, kamu tidur saja, Ke. Abang masih kuat."Begitulah Bujang, pria yang sangat penyayang dengan istri. Dia takkan membuat Keke bergadang karena mengasuh anak."Keke sudah cukup tidur, giliran abang yang istirahat," jawab Keke sambil merubah posisi berbaring menjadi duduk. Bujang menatap Keke ragu."Yakin sudah cukup tidur, Ke?" tanya Bujang sekali lagi."Yaki
"Jadi orang kampung itu tetap tak tergiur dengan uang yang kita tawarkan?" Suara seorang wanita cantik dengan stelan kantor yang amat elegan bersuara. Suara itu menggema memenuhi ruangan rapat yang hanya tinggal satu orang saja di sana."Tidak, saya sudah berusaha memberikan harga tertinggi, tapi pria itu tetap saja tak mau.""Sialan!" umpat wanita itu. "Rumah tua, gudang perabotan, hutan jati yang menjorok ke jalan, hanya akan membuat hotel yang akan kita bangun menjadi jelek. Aku ingin tau, berapa harga yang dia inginkan!"Pria berjas abu-abu dan berkulit putih itu menghela napas. "Bahkan, walau dibeli dengan segunung harga emas, dia takkan menjualnya.""Sialan!" umpatnya lagi. "Aku sendiri yang akan menemuinya." "Bu Anne!" seru pria muda itu."Biarkan saja! Kepalanya terlalu keras untuk mendengarkan saran dari asisten seperti kamu!" Sebuah suara asing menyahut. Pria yang dikatakan sebagai asisten menunduk, lalu berjalan mundur, meninggalkan ruangan rapat itu.Tinggallah wanita ca
Anne mematut pria yang memandang enggan padanya. Selama ini tak ada yang berani mengabaikan kecantikannya, semua pria seakan merasakan dunia berhenti tatkala melihat wajahnya."Jadi, benar Anda pemilik tanah dan hutan jati ini?" ulang Anne. Dia seakan tak yakin, dengan penampilan Bujang, tak mungkin dia memiliki hutan yang amat besar dan tanah yang begitu luas."Apa anak buah Anda tak memberi informasi yang lengkap?" tanya Bujang, dia agak jengkel dengan wanita kota yang minim sopan santun seperti Anne. Bujang memakai kaos singletnya cepat, karena risih dengan mata Anne yang menilainya."Seharusnya Anda tak seperti ini menyambut tamu." Anne berjalan masih dengan memangku tangan, melengokkan kepala pada isi gudang Bujang yang dipenuhi perabotan."Anda tak seharusnya begitu saat datang ke rumah orang," sahut Bujang tak peduli, dia malah menyalakan mesin amplas kembali tanpa menghiraukan Anne. Anne kesal luar biasa. Dengan sigap, dia menemukan colokan listrik sehingga mesin itu berhenti.