Bujang tak main-main dengan ancamannya. Dalam sehari itu juga, dia berhasil memulangkan Amir ke pihak kampus. Sempat terjadi perdebatan kecil antara pihak kecamatan dan kampus, namun akhirnya keputusan diambil, Amir ditendang dari peserta KKN tahun ini.Ketegangan itu masih terasa. Teman-temannya yang bersisa, saat ini duduk di depan Bujang. Liyan membuka pembicaraan lebih dulu mewakili teman-temannya."Kami sangat menyesali apa yang telah terjadi, atas nama teman-teman semua, kami mohon maaf, Bang. Atas apa yang telah terjadi menimpa Abang dan Kak Keke." Liyan melirik Keke yang masih menampilkan wajah marah. "Aku memaafkan, dengan catatan tak ada lagi di antara kalian yang membuat ulah. Kalian datang sebagai tamu, kami sambut dengan tangan terbuka, tapi apa yang kalian lakukan?""Sekali lagi maafkan kami, yang telah merepotkan Bang Bujang dan Kak Keke." Liyan menambahkan lagi.Bujang menatap tegas ke arah Liyan, membuat gadis itu merasa salah tingkah."Apa lagi kalian yang perempuan
"Kau baik-baik saja?" Bujang mengusap wajah Keke. Istrinya itu masih pucat, sempat mengalami pendarahan, akhirnya dia bisa melewati masa sulit melahirkan putra nya dengan sehat."Keke baik, walau masih agak pusing. Bayi kita ....""Dia berada di ruang bayi, dia sangat kecil," ucap Bujang. Teringat olehnya, bagaimana bayi merah itu menangis di ruang bayi, sayangnya dia hanya bisa melihat dari luar setelah perawat menunjukkan nomor box bayinya pada Bujang."Kelahiran terlalu mendadak." Keke berucap pelan. Dia memperkirakan kelahiran akhir bulan depan, tapi Tuhan berkehendak lain, bayi mereka lahir lebih awal."Kau sempat pendarahan, Ke.""Ya, Keke tau, Keke masih bisa mendengar percakapan dokter saat melakukan bedah."Dan ... Liyan, yang mendonorkan darahnya padamu."Keke tertegun, Liyan. Selama ini dia tak menyukainya, merasa cemburu dan merasa tersaingi. Ternyata gadis itu tak seburuk yang dia pikirkan."Sampaikan ucapan terimakasih Keke padanya.""Nanti dia akan ke sini. Setelah dipe
Mata cantik itu mengamati sosok yang tengah menimang anak mereka. Nabil, bayi berusia beberapa hari itu mengganti siang menjadi malam, dan malam menjadi siang. Saat siang hari, dia menghabiskan malam untuk tidur, sedangkan di malam hari, dia bangun dan menangis bahkan sampai subuh.Keke tersenyum, melihat mata Bujang terpejam karena menahan kantuk, dengan bayi merah yang mulai lelap di tangan kokohnya."Bang, Bang!" bisik Keke, takut membangunkan bayi mereka yang mulai tidur di jam empat subuh."Hmm?" sahut Bujang membuka matanya yang sudah sangat berat."Tidurlah! Biar Keke yang jaga Nabil. Abang sudah sangat mengantuk.""Tidak apa, kamu tidur saja, Ke. Abang masih kuat."Begitulah Bujang, pria yang sangat penyayang dengan istri. Dia takkan membuat Keke bergadang karena mengasuh anak."Keke sudah cukup tidur, giliran abang yang istirahat," jawab Keke sambil merubah posisi berbaring menjadi duduk. Bujang menatap Keke ragu."Yakin sudah cukup tidur, Ke?" tanya Bujang sekali lagi."Yaki
"Jadi orang kampung itu tetap tak tergiur dengan uang yang kita tawarkan?" Suara seorang wanita cantik dengan stelan kantor yang amat elegan bersuara. Suara itu menggema memenuhi ruangan rapat yang hanya tinggal satu orang saja di sana."Tidak, saya sudah berusaha memberikan harga tertinggi, tapi pria itu tetap saja tak mau.""Sialan!" umpat wanita itu. "Rumah tua, gudang perabotan, hutan jati yang menjorok ke jalan, hanya akan membuat hotel yang akan kita bangun menjadi jelek. Aku ingin tau, berapa harga yang dia inginkan!"Pria berjas abu-abu dan berkulit putih itu menghela napas. "Bahkan, walau dibeli dengan segunung harga emas, dia takkan menjualnya.""Sialan!" umpatnya lagi. "Aku sendiri yang akan menemuinya." "Bu Anne!" seru pria muda itu."Biarkan saja! Kepalanya terlalu keras untuk mendengarkan saran dari asisten seperti kamu!" Sebuah suara asing menyahut. Pria yang dikatakan sebagai asisten menunduk, lalu berjalan mundur, meninggalkan ruangan rapat itu.Tinggallah wanita ca
Anne mematut pria yang memandang enggan padanya. Selama ini tak ada yang berani mengabaikan kecantikannya, semua pria seakan merasakan dunia berhenti tatkala melihat wajahnya."Jadi, benar Anda pemilik tanah dan hutan jati ini?" ulang Anne. Dia seakan tak yakin, dengan penampilan Bujang, tak mungkin dia memiliki hutan yang amat besar dan tanah yang begitu luas."Apa anak buah Anda tak memberi informasi yang lengkap?" tanya Bujang, dia agak jengkel dengan wanita kota yang minim sopan santun seperti Anne. Bujang memakai kaos singletnya cepat, karena risih dengan mata Anne yang menilainya."Seharusnya Anda tak seperti ini menyambut tamu." Anne berjalan masih dengan memangku tangan, melengokkan kepala pada isi gudang Bujang yang dipenuhi perabotan."Anda tak seharusnya begitu saat datang ke rumah orang," sahut Bujang tak peduli, dia malah menyalakan mesin amplas kembali tanpa menghiraukan Anne. Anne kesal luar biasa. Dengan sigap, dia menemukan colokan listrik sehingga mesin itu berhenti.
Anne melempar sepatunya begitu saja, saat memasuki kamar, dia sudah menemukan sosok pria yang bersandar ke sisi tempat tidur yang mewah itu. Dengan santai, Anne mengganti semua pakaiannya tanpa mengacuhkan suaminya. Pria tampan yang wajahnya terlihat tak berdaya itu hanya menonton tanpa bisa melakukan apa-apa. Anne adalah wanita yang amat cantik, dia cerdas dan sangat handal dalam mengelola bisnis. Tak hanya lahir dari keluarga kaya dan pengusaha, Anne dianugrahkan otak yang cerdas sehingga bisa menyelesaikan kuliahnya di luar negri dengan tepat waktu."Apa kita akan terus seperti ini?" tanya Anne, mendekat pada pria itu dan mengusap rahangnya sekilas. Sebagai wanita yang kesepian dan tak pernah diberikan kebutuhan bathin, Anne merasakan hidupnya gersang. Cinta saja tak mampu membuat jiwanya menghangat. Semakin hari, pernikahan mereka semakin kacau dan dingin.Pembicaraan hanya seputar itu saja. Anak."Kau tampan, tapi aku butuh penerus, sementara kau tak bisa melakukan tugasmu sebaga
"Kenapa Abang menatap Keke seperti itu?" tanya Keke yang merasa malu ditatap penuh makna dari Bujang."Seperti apa?" tantang Bujang meraih pinggang Keke, dalam sekejap Keke sudah pindah ke pelukannya. Keke terkikik kecil, sedangkan Nabil menatap mereka dengan mata lugunya."Malu dilihat anak, Bang." Keke mendorong pelan bahu Bujang saat pria itu mengendus lengannya."Memangnya kita sedang apa?" Bujang pura-pura bodoh."Nggak tau, ah." Keke menarik diri, meninggalkan Bujang yang tersenyum simpul. "Bang, besok Keke seharian di rumah ibu, boleh?"Keke ketar-ketir, sejujurnya dia ke rumah Ibunya untuk menyiapkan kejutan untuk Bujang, karena besok hari ulang tahun pria itu."Kau semakin sering meninggalkanku di rumah.""Jadi, nggak boleh?" sahut Keke menggigit bibirnya. Jika Bujang tak mengizinkan, maka persiapan akan batal begitu saja."Jangan terlalu lama di rumah Ibu, kalau aku rindu, bagaimana?" tanya Bujang sambil memakai kemejanya kembali, ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam
"Permisi!"Bujang mendengkus malas. Lihat siapa yang datang pagi ini, setelah selesai mengangkut barang pesanan pada pemesan, dia kedatangan tamu yang tak diundang pagi ini."Permisi!" kata wanita yang tak lain adalah Anne. Wanita yang bertekad akan melakukan apa saja demi bisa merebut tanah Bujang. Tak bisa dengan jalan kasar, dia akan gunakan cara yang halus. Sebenarnya dia tak suka dengan Bujang, apalagi dengan ekspresi pria yang dingin itu. Tapi ini semua demi ambisinya yang akan mendatangkan keuntungan yang amat besar."Ada apa ke sini? Jika Anda ingin membahas tanah itu lagi, lebih baik Anda kembali pulang, saya tak akan berubah pendirian." Bujang berbicara tanpa melihat Anne. Wanita itu merusak moodnya pagi ini."Oh, bukan, saya tidak akan membahas masalah itu sekarang. Tapi, saya ingin bersilaturrahmi ke sini, sebagai pendatang yang akan berinvestasi di sini, saya tentu harus mengenal masyarakat sekitar. Oh, ya, boleh saya bertemu dengan istri Anda?"Bujang diam saja, kebetula