Anjani bingung hendak menjawab apa, sebetulnya ia tak ingin berbohong, tapi bagaimana lagi, sudah kepalang basah. Anjani ingat kata-kata Irwan, kalau Anjani harus mengatakan pada keluarga kalau mobil yang ia bawa adalah mobilnya sendiri. "Ya bulik, ya ingin membahagiakan ibuk sama adik- adik saja."Bulik Narti seperti tak percaya, Anjani bekerja hanya sebagai babu saja. Tapi secepat itu bisa membeli mobil semewah itu, sedangkan anak-anak bulik Narti dari tahun ke tahun kerja sebagai buruh pabrik tetap begitu-begitu saja kehidupannya. Padahal anak bulik Narti lulusan D3, yang satunya mengajar di sekolahan SD negri, namun belum diangkat menjadi PNS. Dan juga belum punya pacar. Rasa iri, dengki hinggap di pikiran bulik Narti. Ia ingin menyatakan apakah benar mobil itu milik Anjani. Bulik Narti berpikir keras, bagaimana ia dapat informasi kalau mobil itu milik Anjani. Bulik Narti baru ingat kalau dirinya datang ke rumah bu Ayu tadi, tidak diantar anak maupun suaminya, ia naik ojeg. Seb
Bude Sumi terlihat bangga, dengan tersenyum ia mengatakan kalau Lily kelak akan di sekolahkan dokter."Oo ya Anjani, kamu tinggal di Jakarta mana? kapan-kapan aku tak mampir ke sana, jika ke rumah Elno adik Dany, sekarang kan ada di Tanggerang. "Mmm ...!" gumam Anjani sambil berpikir, Alamat mana yang harus ia katakan. "Mbak ... Mbak, sini!" suara Arini dari balik selambu pintu. Arini berdiri, "sebentar bude." Anjani segera meninggalkan bude Sumi dan bu Ayu. Dan melangkah masuk ke dalam menemui Arini. Dalam hati Anjani beruntung Arini adiknya memanggil, kalau tidak ia harus menjawab apa."Mbak kok lama banget sih, nanti Mall keburu tutup," ucap Arini kesal yang di timpali Irfan. "Mbak, ngapain ladenin bude Sumi, kalau mbak sengsara aja dia nggak mau ke sini. Toh nggak berguna." "Ya, tapi aku nggak enak mau meninggalkannya."Arini berdiri dengan cepat ia melangkah hendak menemui bude Sumi. "Biar aku saja yang bicara."Arini segera keluar menemui bude Sumi, ia tak menghiraukan
Anjani menoleh ke arah suara itu. Anjani mengernyitkan keningnya, dengan sedikit mata berputar sambil mengingat-ingat. "Sebentar pak Irwan, aku hendak menemui temanku dulu." Anjani kembali menutup pintu mobil, dengan melangkah cepat, ia menghampiri wanita yang tersenyum mengarah pada dirinya. Mata Anjani membulat sempurna, spontanitas ia memanggil wanita itu. "Ratih ...?! Kamu Ratih kan?" Ratih mengangguk. Anjani langsung memeluknya. "Ya Allah Ratih? kamu ... Kamu.""Ya Mbak, aku sekarang subur." potong Ratih sembari tertawa ngakak. "Habis, di rumah makan tidur terus, nggak ada kegiatan." "Kamu kan masih di rumah orang tuamu kan? Nanti aku tak mampir ke rumahmu. Ini aku mau ke rumah teman dulu."Ratih tersenyum tipis, ia mengangguk. "Saya tunggu Mbak, silahkan lanjut aktifitas Mbak Anjani, ini aku juga mau belanja ke warung bude Sur."Anjani mengangguk pelan, matanya memandang langkah Ratih meninggalkan dirinya.Anjani meraba tubuhnya sendiri, ketakutan akan gemuk menghantui piki
Cekrek ... Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka, yang mengagetkan Anjani. Sontak Anjani mengarahkan pandangannya ke arah pintu kamar mandi. Ia tau Barata baru menyelesaikan mandi besarnya. Terlihat rambutnya yang basah masih bertelanjang dada, sambil mengusap-usap rambutnya dengan handuk. Sesaat ia berpikir dan baru menyadari kalau semalam dirinya menemani tidur tuan Barata. Seorang entrepreneur sukses, yang usianya baru menginjak tiga puluh tahun.Anjani masih berbaring di ranjang, tubuhnya masih terasa lemas, ia enggan untuk segera beranjak dari ranjang, sebab permainan semalam bersama Barata yang menguras tenaga hingga terenggut kesuciannya. Barata menatap dingin ke arah Anjani. Dan berjalan menghampiri Anjani yang masih berbaring dengan selimut masih menutupi tubuhnya yang belum memakai sehelai benang. Secepat kilat tangan Barata menarik selimut yang menutupi tubuh Anjani, "Cepat bangun, dan tinggalkan kamar ini, sebelum putri kecilku mengetahui kamu ada di kamarku!" Ben
Tubuh Anjani gemetar. Ia tak berani menatap mata Ayudya yang mulai ada rasa curiga. Terdengar lagi suara Ayudya dengan nada menekan agar Anjani menjawab. "Anjani! Kenapa kau diam?" tanya tegas Ayudya dengan langkah mendekati Anjani. "Mm, sa ... Saya ..." gugup Anjani tanpa memandang Ayudya. Belum Anjani meneruskan kata-kata, terdengar suara Barata memotong pembicaraan Anjani. "Say, Anjani aku suruh mengganti seprai. Bukankah bibi Suti sedang pulang kampung?" suara lembut Barata menjelaskan, dan melangkah mendekati Ayudya yang terlihat masih tak percaya dengan ucapan Barata. Apalagi Barata tertangkap basah bertelanjang dada yang tak biasa Barata lakukan di depan orang lain selain Ayudya."Anjani, benarkah itu?" tanya Ayudya terlihat tak mempercayai. Anjani masih menunduk, ia masih tak berani menatap sedikitpun Ayudya. Ia berbohong dengan menganggukkan kepala, menyetujui perkataan Barata. "Ya nyonya, permisi saya hendak ke kamar nona kecil." Anjani melangkah hendak meninggalkan k
Teriakan Anjani membuat Barata yang masih duduk di dekatnya tersentak, ia memandang Anjani lewat kerling matanya, dengan wajah yang kurang suka pada sikap Anjani. "Disgusting." lirih Barata. Anjani tersentak kaget, dan sekilas memandang Barata, ia tak mengerti dengan bahasa yang barusan diucapkan Barata. Anjani mengalihkan pandangannya. Ia menatap sekeliling lewat kaca mobil. Dan bertanya pada dirinya sendiri. Kenapa Barata membawa dirinya ke sini? Dan rumah siapa ini? Anjani yang buta akan perkotaan hanya membisu seribu basa, hendak menanyakan pada Barata, tak ada keberanian untuk bertanya. Yang ia pikirkan hanya bagaimana nanti kalau sampai Barata menganiaya dan membunuhnya. "Kenapa diam? Ayo keluar?" ucap Barata bernada tinggi sambil membuka pintu mobil, dan beranjak dari jog mobil untuk keluar. Anjani tetap diam tak menghiraukan ucapan Barata. Ia tak bergerak dari posisinya yang masih duduk di dalam jog mobil. Dan hanya melirik pada Barata lewat kaca mobil tanpa ingin ke
"Kurang ajar kau!" Laki-laki itu melepas tubuh Anjani, dan mengangkat tubuh Anjani, serta melemparnya ke atas ranjang. Anjani menjerit, ia merasakan kesakitan, Dan mencoba berdiri serta turun dari ranjang hendak lari keluar. Namun belum sampai Anjani turun, laki-laki itu dengan sigap meraih kaki Anjani dan menyeret Anjani ke arah pinggir serta menindih tubuh Anjani. Anjani masih berusaha melepas tubuh laki-laki itu. Tapi sia-sia tangan laki-laki itu lebih kuat mencengkeram tubuh Anjani. Anjani tak kehabisan akal, ia dengan cepat menggigit lagi lengan laki-laki itu hingga laki-laki itu merasakan kesakitan ke dua kalinya gigitan Anjani. Plaaak ... Plaaak ... Dua tamparan mendarat pada kedua pipi Anjani, tubuh Anjani limbung dan Anjani tak sadarkan diri. Laki-laki itu tak menyia-nyiakan kesempatan. ia dengan leluasa menikmati tubuh Anjani. Anjani merasakan antara sadar dan tidak. Anjani juga masih bisa merasakan apa yang di lakukan laki-laki itu pada dirinya. Namun matanya ber
Dalam lingkup sekolahan siapa yang tak kenal Aura, putri seorang konglomerat ternama, dan nama orang tuanya sangat populer, di samping mamanya Aura juga berprofesi sebagai artis ternama. "Saya kurang tau, kalau nggak salah mobilnya berwarna hitam, sebab mobilnya terparkir di sana." Satpam menunjuk seberang jalan yang berjarak lima puluh meter. "Tapi yang jelas bukan bang Andi yang biasa menjemput nona Aura, laki-laki tadi mengatakan kalau dia anak buah tuan Barata," ungkap satpam. "Apa ...?!" teriak Anjani dengan mata membulat sempurna. Anjani semakin panik tubuhnya gemetar. Ia takut, kalau sampai yang menjemput Aura bukan perintah Barata. Apalagi Barata tak mengatakan apa-apa semenjak berada di rumah tadi. Tanpa pikir Panjang dan tanpa pamit satpam, Anjani bergegas menghampiri tukang ojeg yang masih menunggu dirinya. "Bang ke perumahan Permata Indah." Tanpa menjawab kata-kata Anjani, tukang ojeg dengan cepat menjalankan sepeda motornya. Pikiran Anjani semakin t