Tiba-tiba tiba mata bu Ayu tertuju pada Irwan dan mobil mewah yang terparkir di halaman rumahnya. "Mmm ... Kamu, kamu sudah menikah?" tanya bu Ayu dengan pandangan kurang senang. Anjani bingung dengan perkataan ibunya. Ia mengernyitkan dahinya. "Menikah? Menikah dengan siapa?" Anjani baru sadar ketika melihat bu Ayu memandang Irwan. Anjani tersenyum dengan cepat ia memanggil Irwan. Dan memperkenalkan Irwan dengan ibunya. "Ini pak Irwan bu, sopir Anjani." Bu Ayu menyalami Irwan, namun ada sebersit pandangan bu Ayu tak percaya kalau itu sopir Anjani. Bu Ayu curiga, dan tidak percaya dengan pengakuan Anjani. Ia tau persis Anjani bekerja sebagai pembantu, secepat itu ia punya mobil dan bisa menggaji sopir, apalagi baru tiga tahun Anjani bekerja. "Masuklah, saya buatkan minuman dulu," ucap bu Ayu dengan menarik tangan Anjani untuk dibawanya masuk ke dalam. "Anjani, kamu harus terus terang sama ibu, itu suamimu kan?" suara ketus bu Ayu. Anjani bukannya kaget, tapi mal
Anjani bingung hendak menjawab apa, sebetulnya ia tak ingin berbohong, tapi bagaimana lagi, sudah kepalang basah. Anjani ingat kata-kata Irwan, kalau Anjani harus mengatakan pada keluarga kalau mobil yang ia bawa adalah mobilnya sendiri. "Ya bulik, ya ingin membahagiakan ibuk sama adik- adik saja."Bulik Narti seperti tak percaya, Anjani bekerja hanya sebagai babu saja. Tapi secepat itu bisa membeli mobil semewah itu, sedangkan anak-anak bulik Narti dari tahun ke tahun kerja sebagai buruh pabrik tetap begitu-begitu saja kehidupannya. Padahal anak bulik Narti lulusan D3, yang satunya mengajar di sekolahan SD negri, namun belum diangkat menjadi PNS. Dan juga belum punya pacar. Rasa iri, dengki hinggap di pikiran bulik Narti. Ia ingin menyatakan apakah benar mobil itu milik Anjani. Bulik Narti berpikir keras, bagaimana ia dapat informasi kalau mobil itu milik Anjani. Bulik Narti baru ingat kalau dirinya datang ke rumah bu Ayu tadi, tidak diantar anak maupun suaminya, ia naik ojeg. Seb
Bude Sumi terlihat bangga, dengan tersenyum ia mengatakan kalau Lily kelak akan di sekolahkan dokter."Oo ya Anjani, kamu tinggal di Jakarta mana? kapan-kapan aku tak mampir ke sana, jika ke rumah Elno adik Dany, sekarang kan ada di Tanggerang. "Mmm ...!" gumam Anjani sambil berpikir, Alamat mana yang harus ia katakan. "Mbak ... Mbak, sini!" suara Arini dari balik selambu pintu. Arini berdiri, "sebentar bude." Anjani segera meninggalkan bude Sumi dan bu Ayu. Dan melangkah masuk ke dalam menemui Arini. Dalam hati Anjani beruntung Arini adiknya memanggil, kalau tidak ia harus menjawab apa."Mbak kok lama banget sih, nanti Mall keburu tutup," ucap Arini kesal yang di timpali Irfan. "Mbak, ngapain ladenin bude Sumi, kalau mbak sengsara aja dia nggak mau ke sini. Toh nggak berguna." "Ya, tapi aku nggak enak mau meninggalkannya."Arini berdiri dengan cepat ia melangkah hendak menemui bude Sumi. "Biar aku saja yang bicara."Arini segera keluar menemui bude Sumi, ia tak menghiraukan
Anjani menoleh ke arah suara itu. Anjani mengernyitkan keningnya, dengan sedikit mata berputar sambil mengingat-ingat. "Sebentar pak Irwan, aku hendak menemui temanku dulu." Anjani kembali menutup pintu mobil, dengan melangkah cepat, ia menghampiri wanita yang tersenyum mengarah pada dirinya. Mata Anjani membulat sempurna, spontanitas ia memanggil wanita itu. "Ratih ...?! Kamu Ratih kan?" Ratih mengangguk. Anjani langsung memeluknya. "Ya Allah Ratih? kamu ... Kamu.""Ya Mbak, aku sekarang subur." potong Ratih sembari tertawa ngakak. "Habis, di rumah makan tidur terus, nggak ada kegiatan." "Kamu kan masih di rumah orang tuamu kan? Nanti aku tak mampir ke rumahmu. Ini aku mau ke rumah teman dulu."Ratih tersenyum tipis, ia mengangguk. "Saya tunggu Mbak, silahkan lanjut aktifitas Mbak Anjani, ini aku juga mau belanja ke warung bude Sur."Anjani mengangguk pelan, matanya memandang langkah Ratih meninggalkan dirinya.Anjani meraba tubuhnya sendiri, ketakutan akan gemuk menghantui piki
Antony menatap tajam Anjani. Ia seperti tak percaya jika yang ada di depannya Anjani, di mata Antony, Anjani sangatlah beda. Ia semakin cantik dan bersinar. "Kau sudah pulang Anjani, kenapa kamu tidak memberi kabar dulu?"Anjani diam sejenak, melangkah mendekati meja Antony. "Maf Tuan, bukankah pak Irwan sudah menghubungi Tuan?" Anjani meletakkan kardus berisi rempeyek di atas meja kerja Antony. "Maaf, ini oleh-oleh dari kampung, semoga Tuan menyukai," lanjut Anjani. Antony terdiam hanya memandang kardus yang diletakkan Anjani di atas meja tanpa menyentuh. Antony hanya berpikir kalau jajan kampung ya seperti itu, yang ia tau menjijikan dan neg ingin muntah jika Antony memakannya. Antony menggeleng, tanda Irwan sengaja tak memberi tau Antony, tapi bagi Antony tak masalah yang penting Anjani sudah balik ke Jakarta."Ooo ... Ya sudah cepat kembali dan lihat jadwal kamu. Terima kasih sudah bawa oleh-oleh." Anjani mengangguk, serta membalikkan tubuhnya hendak keluar, namun tiba-ti
Mobil yang ditumpangi Anjani berhenti tepat di halaman rumah mewah milik tante Bety. Jantung Anjani berdetak kencang, keringat dingin mulai dirasakan Anjani. "Ngapain bengong, ayok turun!" anak Antony. Perlahan Anjani membuka pintu mobil, ia mengikuti langkah Antoni masuk rumah tante Bety. Tanpa permisi, Antony yang terbiasa ke rumah tante Bety langsung berjalan menaiki anak tangga, menuju kamar tante Bety, seolah seperti rumah sendiri. Anjani bingung, harus menunggu di mana, padahal dulu ia pernah tinggal di rumah ini, tapi kenapa sekarang Anjani canggung. Ia hendak berbuat apa disini. Hampir satu tahun Anjani tak diperbolehkan menemui tante Bety. Kenapa kamu bengong Anjani, bukankah kau kesini ingin menemui anakmu Ain, tolol, bodoh, cepat temui bibi Nur, sebelum tante Bety menemui kamu. Anjani tersentak dengan suara hatinya sendiri. Secepat kilat Anjani melangkah ke dapur menemui bibi Nur, dan ia berdoa semoga bibi Nur masih bekerja di sini. Dari arah pintu tampa
Anjani melihat tante Bety berdiri di ambang pintu, dengan tersenyum mengarah pada Anjani. Tapi Anjani tak melihat sosok Antony. Anjani paham kemungkinan, Antony masih berada di kamar tante Bety. Terlihat dengan jelas raut wajahnya tante Bety yang sudah awut-awutan tak rapih seperti biasanya setiap Anjani melihat. Apalagi tante Bety masih menggunakan daster tanpa lengan dengan leher rendah, hingga tampak belahan gunung kembar yang masih terlihat montok. Entah seusia tante Bety yang sudah berkepala empat, tapi bentuk tubuhnya masih terlihat sinyal di mata Anjani, namun anak buah Anjani pernah bilang, kalau tante Bety pernah merubah bentuk tubuhnya ke Singapura. Tiba-tiba tante Bety melangkah cepat mendekati Anjani serta memeluknya."Anjani, maafkan Tante ya? Kau memang anak buahku yang sangat profesional." Tante Bety menepuk- nepuk punggung Anjani. Anjani heran, kenapa tante Bety mengatakan permintaan maaf pada dirinya. Padahal tadi Anjani sudah berfikir negatif pada tante Bety, kala
Wajah Anjani seketika memucat, dan nafasnya seakan tersumbat di kerongkongan. Anjani tak bisa berkata apa-apa, lidahnya terasa kelu saat melihat Barata ada di depannya. "Ya, kau masih mengenalku? Kau kira aku tak tau tempat keberadaanmu. Didalam leng semut pun tetap aku tau," ungkap Barata melangkah mendekati Anjani. Anjani diam sesaat dan pandangannya mengarah pada Barata yang menatap Anjani tanpa berkedip. Dalam hati Anjani berpikir, darimana Barata tau keberadaan dirinya, mungkinkah tante Bety, tapi Anjani tak yakin jika tante Bety yang mengatakan semua itu, sebab tante Bety tak tau jika dirinya kenal sama Barata. Mungkin Antony, Anjani juga tak yakin jika Antony yang mengatakan keberadaan dirinya pada Barata, sebab tante Bety maupun Antony tak kenal Barata. Anjani menghela nafas panjang, seperti beban berat ada pada dirinya namun ada sesuatu yang mengatakan dari hati Anjani kalau Anjani tak usah takut menghadapi Barata, Barata sudah bukan boss kamu lagi Anjani, dia bukan y