Doni tersadar dari pingsannya dan sudah dikagetkan oleh kemunculan Diana di hadapannya."Kak?" Doni berusaha bangkit dari posisinya yang terbaring lemah seraya menahan sakit di sekujur tubuhnya. Doni mencoba mengingat apa yang terjadi pada dirinya dan mencari tahu kenapa Diana terlihat marah."Sudah ingat?" Diana tanpa basa-basi langsung mengintrogasi adik bodohnya itu.Diana terlihat sangat menakutkan. Aura kemarahannya terasa jelas membuat Doni merinding dingin. Dengan tangan yang terlipat di dada, Diana berjalan mendekati Doni."Hari ini, kamu tidak perlu ke kantor. Segera sadarkan dirimu dan renungkan kesalahanmu. Setelah itu, kamu baru boleh bicara sama kakak. Dan.... Ya, mulai hari ini, kakak akan kembali mengambil alih Perusahaan." Doni melotot tak terima dengan keputusan Diana, tapi Doni juga tidak bisa melakukan apapun karena dirinya sadar bahwa dirinya kurang kompeten dan telah membuat kekacauan.Setelah obrolan singkat itu, Diana segera pergi dari apartemen Doni untuk meng
Doni sudah selesai mandi dan berganti pakaian. Doni juga sudah mengobati luka yang ia dapat dari kelakuan jeleknya sendiri. "Mati aku, kali ini pasti kakak benar-benar marah. Dasar sialan kamu, Don! Gak berguna! Kamu hanya menyusahkan kakakmu saja dari dulu. Harusnya kamu mati saja! Ahhhh!" Doni memukul dirinya sendiri dan menjambak rambutnya gemas."Apa yang sekarang harus aku lakukan?" Doni kacau tak tertolong."Haruskah aku menelepon kakak?" Pikirnya lagi yang kemudian segera mencari ponselnya.Tuttt.... Tutttt....Dalam deringan ketika, Diana menjawab teleponnya."Kenapa? Kamu sudah sadar?" Suara Diana terdengar dingin, jelas sekali Diana masih marah.Hanya Doni tidak tau kalau kalau Diana bukan hanya marah padanya saja, tapi juga Michel. Namun karena itu, Diana semakin galau."Kak...." Suara Doni bergetar membuat Diana dengan cepat menyadari jika adik kesayangan itu sedang menangis."Apa? Gak perlu nangis. Kakak masih di jalan, tunggu saja di sana. Kami akan segera sampai. Aku b
"Alhamdulillah sekarang Ayu Uda ngajar di sekolahnya Davin, Nyonya." Aldo terlihat bangga.Diana tersenyum mengangguk tipis. Sudah agak lama Diana tidak mengunjungi Ayu dan pergi dengan Ayu. Rasanya mendadak Diana merindukan masa-masa mereka bersama."Sampaikan salam saya sama Ayu ya. Bilang sama Ayu, saya kangen. Kalau boleh, saya juga ingin ajak Ayu dan Davin pergi, boleh?" "Tentu, saya akan tanyakan dulu sama istri saya, Nyonya." Aldo paham dengan perasaan Diana karena memang Ayu pernah tinggal bersama dengan Diana."Oke. Terimakasih ya, Al." Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Banyak hal yang Diana lewatkan termasuk makan dan menjemput Oesama pulang les."Astaga!" Pekik Diana memukul dahinya. "Anakku belum kujemput. Aduhhhh, kok bisa lupa sih." Segera Diana memeriksa ponselnya yang ternyata sengaja Diana mute karena sedang sibuk tadi dan benar saja, ada sekitar belasan panggilan tak terjawab dari guru les Oesama.Dengan cepat Diana menghubungi kembali guru les ana
"Kenapa aku harus memikirkan hal itu? Aku ini seorang perempuan, tidak berkewajiban untuk itu. Yang wajib itu kamu. Lagi pula, orang tua kita kan cukup kaya. Kenapa aku harus bekerja keras?" Benar ungkapan bahwa karena cinta, orang akan buta, tuli dan gila.Nathan menggeleng ragu mendengar jawaban Talia yang seharusnya tidak Talia katakan. Lagi pula, hidup mereka tidak selamanya mudah seperti itu.Jika tidak dari sekarang mereka berusaha mengejar cita-cita mereka, lalu kapan lagi? Akan sulit meraih cita-cita jika hidup mereka tidak terjamin seperti ini.Walau kesal, Nathan tetap menemani dan mengawasi Talia yang sedang berkencan (?) dengan gurunya itu di halaman belakang sekolah."Ckk, kalau Mama dan Papa tau ini, mereka pasti kecewa dan mengamuk." Gumam Nathan terus memantau dan mendengarkan obrolan ringan saudara perempuannya dengan gurunya itu yang Nathan rasa tidak pantas.Guru yang Nathan maksud bernama Andrian, guru olahraga mereka yang memang tampan dan muda. Namun tidak ada s
Drtttt... Drttt...Ponsel Diana berdering ketika Diana hendak menelpon Nyonya Kelly meminta untuk diantarkan makan siang. Segera Diana menjawab telepon tersebut dengan muka masam."Halo, Sayang. Ada apa? Kamu mau jemput Oesama?" Sebisa mungkin Diana bersikap berpura-pura baik dan lembut pada Michel untuk menghindari perkelahian."Kamu Uda makan?" Tanya Michel tanpa basa-basi."Belum, ini baru mau telepon Mama buat anterin makan siang. Kamu Uda?" "Belum. Aku jemput kamu sekarang. Kita makan bareng. Sekalian aku juga ada yang mau dibahas sama kamu. Kamu tolong tunggu di depan ya, aku dari depan aja." Suara Michel terdengar dingin, tidak seperti biasanya namun Diana mengerti akan hal itu."Oke,"Di halaman depan kantor, Diana berdiri dengan sikap sempurna menunggu Michel datang menjemputnya. Udara sedang sangat panas dan juga berpolusi untuk ukuran kota Jakarta yang padat penduduk.Untung saja tak lama kemudian Michel datang dan segera memberi Diana mode dengan klaksonnya. Biasanya Mich
Mendengar ucapan Michel, Diana rasanya menyesal telah mengalah. Tampaknya Diana berniat berubah pikiran. Tapi kemudian Diana teringat pada anak-anaknya. Diana tidak ingin anaknya merasakan penderitaannya yang sama seperti dirinya dulu."Oke, aku akan mencobanya. Bagaimana jika kamu tidak puas dengan aku?" "Coba saja dulu." Michel tersenyum puas melihat ekspresi wajah Diana yang seperti akan terbakar. Dengan menahan emosi, Diana mendorong jatuh tubuh Michel ke atas ranjang lalu menindihnya seperti yang biasa Michel lakukan padanya ketika mereka sedang bercinta.Diana berharap Michel tertidur, tapi sialnya semakin Michel bergairah, maka ia akan semakin segar dan bersemangat."Aku tidak akan mengampuni kamu kali ini. Lihat saja, Aku akan membuat kamu tidak bisa bergerak." Pikir Michel kotor tanpa diketahui oleh Diana.Diana memulai pemanasan dengan membelai leher Michel dengan bibirnya sesuai dengan permintaan Michel sedang Michel menikmati itu. Fantasi gila Michel menjadi semakin nyata
"Hah? Apa? 3 hari? Bu Dokter serius?" tanya Diana tak percaya. "Iya, Bu. Sepertinya ibu kelelahan, karena dari data pemeriksaan, ditemukan bahwa ibu kekurangan banyak sel darah merah.""Kapan saya bisa bergerak, Dok?" "Setelah Ibu sudah melakukan beberapa kali latihan berjalan, saya percaya ibu akan bisa kembali berjalan dan menggerakkan anggota tubuh ibu dengan normal. Ibu jangan khawatir, saya akan segera jadwalkan latihan berjalannya." "Butuh berapa kali latihan berjalan, Dok?" tanya Diana."Sekitar 4-6 kali pun saya rasa sudah cukup. Kita hanya perlu merangsang kembali sel-sel syaraf Ibu, agar semuanya bisa normal. Kebetulan sebentar lagi jam makan siang, nanti akan ada yang mengantar makanan serta vitamin Ibu, ya." ucap Dokter itu, kemudian pamit pergi. "Aku kenapa ya?" monolog Diana dalam hatinya. Diana pun mengingat-ingat kembali mengenai apa yang terjadi padanya. Serpihan-serpihan ingatan itu kembali muncul di kepalanya. Air mata Diana meluruh, sebab kekasaran suaminya mas
"Kan Oesama udah bilang, lakuin aja kayak yang Mama mau, tapi kalau Oesama bikin masalah, jangan salahin Oesama." "Ya, nanti Nathan bilang ke Mama Diana." ucap Nathan. Nathan pun keluar dari kamar Oesama, ia tak cukup puas dengan jawaban Oesama, tapi itu sudah cukup baginya untuk melapor ke Mama Diana. Beberapa hari sudah berlalu setelah Nathan melaporkan bahwa Oesama sudah setuju untuk pindah ke sekolah asrama. Dan Diana pun menyetujuinya dengan Nathan dan Oesama akan tinggal sekamar dulu. Itu memang tak mungkin, tetapi apa yang tidak selama ia memiliki uang. Terhitung saat ini sudah kali ke-4 Diana melakukan terapi, sampai saat ini pun, Michel masih dingin pada Diana. Michel tak suka keputusan Diana yang mengambil keputusan sepihak. Namun, Michel hanya bisa diam, meskipun begitu, Michel tetap mengawasi Diana diam-diam. Sama dengan Michel, Diana pun diam saja saat Michel juga diam, hubungan mereka sangat dingin. Hal itupun membuat kerenggangan dalam hubungan Diana dengan anak-an