"Kenapa aku harus memikirkan hal itu? Aku ini seorang perempuan, tidak berkewajiban untuk itu. Yang wajib itu kamu. Lagi pula, orang tua kita kan cukup kaya. Kenapa aku harus bekerja keras?" Benar ungkapan bahwa karena cinta, orang akan buta, tuli dan gila.Nathan menggeleng ragu mendengar jawaban Talia yang seharusnya tidak Talia katakan. Lagi pula, hidup mereka tidak selamanya mudah seperti itu.Jika tidak dari sekarang mereka berusaha mengejar cita-cita mereka, lalu kapan lagi? Akan sulit meraih cita-cita jika hidup mereka tidak terjamin seperti ini.Walau kesal, Nathan tetap menemani dan mengawasi Talia yang sedang berkencan (?) dengan gurunya itu di halaman belakang sekolah."Ckk, kalau Mama dan Papa tau ini, mereka pasti kecewa dan mengamuk." Gumam Nathan terus memantau dan mendengarkan obrolan ringan saudara perempuannya dengan gurunya itu yang Nathan rasa tidak pantas.Guru yang Nathan maksud bernama Andrian, guru olahraga mereka yang memang tampan dan muda. Namun tidak ada s
Drtttt... Drttt...Ponsel Diana berdering ketika Diana hendak menelpon Nyonya Kelly meminta untuk diantarkan makan siang. Segera Diana menjawab telepon tersebut dengan muka masam."Halo, Sayang. Ada apa? Kamu mau jemput Oesama?" Sebisa mungkin Diana bersikap berpura-pura baik dan lembut pada Michel untuk menghindari perkelahian."Kamu Uda makan?" Tanya Michel tanpa basa-basi."Belum, ini baru mau telepon Mama buat anterin makan siang. Kamu Uda?" "Belum. Aku jemput kamu sekarang. Kita makan bareng. Sekalian aku juga ada yang mau dibahas sama kamu. Kamu tolong tunggu di depan ya, aku dari depan aja." Suara Michel terdengar dingin, tidak seperti biasanya namun Diana mengerti akan hal itu."Oke,"Di halaman depan kantor, Diana berdiri dengan sikap sempurna menunggu Michel datang menjemputnya. Udara sedang sangat panas dan juga berpolusi untuk ukuran kota Jakarta yang padat penduduk.Untung saja tak lama kemudian Michel datang dan segera memberi Diana mode dengan klaksonnya. Biasanya Mich
Mendengar ucapan Michel, Diana rasanya menyesal telah mengalah. Tampaknya Diana berniat berubah pikiran. Tapi kemudian Diana teringat pada anak-anaknya. Diana tidak ingin anaknya merasakan penderitaannya yang sama seperti dirinya dulu."Oke, aku akan mencobanya. Bagaimana jika kamu tidak puas dengan aku?" "Coba saja dulu." Michel tersenyum puas melihat ekspresi wajah Diana yang seperti akan terbakar. Dengan menahan emosi, Diana mendorong jatuh tubuh Michel ke atas ranjang lalu menindihnya seperti yang biasa Michel lakukan padanya ketika mereka sedang bercinta.Diana berharap Michel tertidur, tapi sialnya semakin Michel bergairah, maka ia akan semakin segar dan bersemangat."Aku tidak akan mengampuni kamu kali ini. Lihat saja, Aku akan membuat kamu tidak bisa bergerak." Pikir Michel kotor tanpa diketahui oleh Diana.Diana memulai pemanasan dengan membelai leher Michel dengan bibirnya sesuai dengan permintaan Michel sedang Michel menikmati itu. Fantasi gila Michel menjadi semakin nyata
"Hah? Apa? 3 hari? Bu Dokter serius?" tanya Diana tak percaya. "Iya, Bu. Sepertinya ibu kelelahan, karena dari data pemeriksaan, ditemukan bahwa ibu kekurangan banyak sel darah merah.""Kapan saya bisa bergerak, Dok?" "Setelah Ibu sudah melakukan beberapa kali latihan berjalan, saya percaya ibu akan bisa kembali berjalan dan menggerakkan anggota tubuh ibu dengan normal. Ibu jangan khawatir, saya akan segera jadwalkan latihan berjalannya." "Butuh berapa kali latihan berjalan, Dok?" tanya Diana."Sekitar 4-6 kali pun saya rasa sudah cukup. Kita hanya perlu merangsang kembali sel-sel syaraf Ibu, agar semuanya bisa normal. Kebetulan sebentar lagi jam makan siang, nanti akan ada yang mengantar makanan serta vitamin Ibu, ya." ucap Dokter itu, kemudian pamit pergi. "Aku kenapa ya?" monolog Diana dalam hatinya. Diana pun mengingat-ingat kembali mengenai apa yang terjadi padanya. Serpihan-serpihan ingatan itu kembali muncul di kepalanya. Air mata Diana meluruh, sebab kekasaran suaminya mas
"Kan Oesama udah bilang, lakuin aja kayak yang Mama mau, tapi kalau Oesama bikin masalah, jangan salahin Oesama." "Ya, nanti Nathan bilang ke Mama Diana." ucap Nathan. Nathan pun keluar dari kamar Oesama, ia tak cukup puas dengan jawaban Oesama, tapi itu sudah cukup baginya untuk melapor ke Mama Diana. Beberapa hari sudah berlalu setelah Nathan melaporkan bahwa Oesama sudah setuju untuk pindah ke sekolah asrama. Dan Diana pun menyetujuinya dengan Nathan dan Oesama akan tinggal sekamar dulu. Itu memang tak mungkin, tetapi apa yang tidak selama ia memiliki uang. Terhitung saat ini sudah kali ke-4 Diana melakukan terapi, sampai saat ini pun, Michel masih dingin pada Diana. Michel tak suka keputusan Diana yang mengambil keputusan sepihak. Namun, Michel hanya bisa diam, meskipun begitu, Michel tetap mengawasi Diana diam-diam. Sama dengan Michel, Diana pun diam saja saat Michel juga diam, hubungan mereka sangat dingin. Hal itupun membuat kerenggangan dalam hubungan Diana dengan anak-an
"Oesama, kamu nanti kalau ada apa-apa telepon Mama ya." Meskipun Diana melepas Oesama ke sekolah asrama, jujur masih banyak rasa khawatir di hatinya. Terlebih akhir-akhir ini, perhatian yang ia kasih ke Oesama pun tak banyak. Bisa terhitung jari Oesama manja padanya. "Ya, Ma." jawab Oesama seadanya. "Nathan, Mama titip Oesama ya, jagain dia, lapor ke mama kalau ada apa apa, inget ya." ucap Diana. "Iya, Ma." Bohong kalau Nathan tidak cemburu, nyatanya ia merasakan sekali perbedaan, saat Mama Diana menyuruh ia dan Talia bersekolah di sini, dan saat Mama Diana memasukan Oesama ke sekolah asrama ini. Oesama diperhatikan, tapi mereka hanya ala kadarnya. Jujur Nathan cemburu, tapi ia tak bisa protes, mengingat ia bukanlah anak kandung dari orang yang mengasuhnya sekarang. Untung saja Talia tak ada di sini. Jadi, gadis perempuan itu tak perlu ngambek hanya karena Oesama lebih diperhatikan. Beban Nathan rasanya bertambah, kini, selain m
"Saya nggak terima ya! Anak ibu sudah melukai anak saya!" ucap seorang Ibu yang anaknya menjadi korban. Sementara menurut Diana, anaknya lah yang menjadi korban pertengkaran tersebut."Nathan, kamu ngapain anaknya emang? Terus kok kamu mukul sih?" tanya Diana pada Nathan. "Alah, emang anaknya aja kurang pendidikan itu, kurang belajar adab, mungkin orang tuanya juga nggak bener." ucap Ibu itu. "Bu, diem dulu deh, saya kan lagi ngomong sama anak saya. Apa jangan-jangan yang ga punya adab itu ibu, ya? Duh, takut deh, Bu." kekeh Diana. Ibu-ibu di depannya ini menyebalkan sekali. "Tadi dia ngeledek Oesama, kalau Oesama pakai jalur orang dalam, dan Oesama juga nyogok supaya bisa sekamar sama Nathan. Terus Nathan ga terima, dan akhirnya Nathan pukul, maaf Ma, Nathan khilaf." ucap maaf Nathan tak digubris. "Nah, berarti pemicunya anak Ibu, nggak salah dong kalau kena tonjok anak saya." santai Diana. Ibu-ibu di depannya mendengus sebal.
Diana mengabaikan Nathan, begitupun dengan Nathan yang belum berani menemui Diana untuk membahas masalahnya langsung. Ia sudah sadar, tapi Nathan takut. Meskipun Michel terus menyemangati dirinya, tapi maupun Michel dan Nathan tak ada yang mencoba membujuk Diana agar berbaik hati. Nathan menarik napas panjang, ia tak bisa seperti ini terus. Nathan akan mencoba untuk menemui Diana. Setelah ini, setelah sarapan berakhir. Rasa dingin di dalam ruangan menyeruak dan sangat tajam suasananya. Michel beberapa kali berdecak pada sarapan kali ini, membuat Diana di sebelahnya menghela napas berulang kali juga. Ia tak paham. Mereka ini kenapa sih? Kenapa tiba-tiba aneh? Apakah mereka salah makan obat?Sarapan pagi sudah hampir selesai, begitupun Nathan yang sudah berkeringat dingin. Ia takut untuk menemui Diana setelah ini, tapi harus. Nathan menghela napas, Nathan mencoba menguatkan dirinya sendiri. Setelah makanan Diana, Michel, dan Nathan habis. Mi