"Talia juga tau soal Nathan. Mungkin dia juga sudah tau kalau dia bukan anak kandung kalian." Talia menatap kosong Nathan dan kemudian berlalu keluar dari kamarnya. Namun, sebelum ada yang mengejarnya, Talia berhenti sejenak dan menoleh, "Jangan ada yang mengikuti aku." Diana semakin menangisi dirinya sendiri sedang Michel menatap sedih punggung Talia yang mulai menjauh lalu netra Michel terperangkap dengan Nathan yang tampak kecewa.Tidak ingin terlihat menyedihkan, Nathan juga akhirnya memutuskan untuk pergi ke kamarnya dan menguncinya."Ini salahku, tapi lebih banyak salahmu, Michel." Rasanya Diana tidak dapat menerima kejadian kacau ini dan memilih untuk menyalahkan Michel.Sama seperti Talia dan Nathan, Diana akhirnya bangkit dan kemudian pergi dengan sengaja menabrak tubuh Michel.Hanya tersisa Michel dengan segala kepusingannya. "Sial!" umpatnya menendang angin.Michel harus mendatangi Diana lebih dulu untuk mencari jalan keluar bersama. Namun Diana terlihat tidak dapat diaja
Brakk!Michel membuka kasar pintu kamar Talia hingga Talia yang sedang duduk meringkuk di atas ranjangnya pun tersentak kaget namun juga takut pasalnya ini adalah kali pertama Michel marah kepadanya sampai seperti ini."Kenapa kamu harus sampai memukul saudaramu sendiri? Apa yang terjadi?" Michel melangkah masuk dengan langkah jenjang ke arah Talia yang kini terlihat ketakutan."Apa Papa dan Mama pernah mengajarkan kamu untuk memukul atau menyakiti orang lain? Hah?! Jawab Papa!" Bentak Michel berapi-api.Tubuh Talia bergetar hebat dan bibirnya seakan terkunci. Air matanya menetes deras membuat tanda di sekitar pipinya. Talia tidak sanggup untuk menjawab lagi kali ini."Kamu gak mau jawab Papa? Tatap mata Papa, Talia!" Bentaknya lagi dan kali ini suara itu berhasil membuat Talia menciut ketakutan sampai Diana datang dengan setengah berlari."Sudah, keluar. Biar aku yang bicara dengannya." Diana dengan sigap memeluk Talia dan mengusir Michel begitu melihat putrinya ketakutan hingga geme
Tidak ada ucapan apapun, tiba-tiba saja Talia bangkit dari kursinya dan mendekati kursi Nathan. Talia tanpa diminta mengambilkan Nathan makanan dan juga menuang jus untuk Nathan.Nathan sudah hafal dengan sikap Talia yang merasa bersalah ini, jadi Nathan hanya perlu diam memperhatikan apa yang akan Talia lakukan untuk meminta maaf."Terimakasih," ujar Nathan lembut dengan bumbu senyum sebagai pelengkap.Talia mengangguk lemah seraya memaksa senyum canggungnya. Bukan hanya untuk Nathan, Talia ternyata juga melakukan hal yang sama pada Michel. Bedanya Michel tidak merespon sedikitpun."Nath, soal tadi, aku minta maaf ya. Tadi, aku tuh lagi emosi banget, jadi aku mukul kamu. Kamu mau kan maafin aku?" Talia to the point."Aku akan maafin kamu kalau kamu mau janji sama aku." Balas Nathan cerdik seraya menikmati makanannya."Apa?" Talia menyipit mencari jawaban."Janji ya jangan kasar lagi sama Mama dan Papa. Jangan buat mereka sedih, ya?" Diana dan Michel sejenak saling pandang dan tersen
Waktu menunjukkan pukul 5 sore, Diana dan rombongannya bersiap untuk pulang dengan tumpukan belanjaan mereka yang memenuhi ruang mobil.Semua orang terlihat lelah dan tak banyak bicara lagi. Oesama tidur di pengakuan Diana yang duduk di kursi penumpang bersama dengan Talia sedang Nathan duduk di samping Michel."Ada yang mau dibeli lagi gak? Besok kalian kan kembali ke asrama lagi," ujar Diana pada anak-anaknya."Gak ada, Ma. Kita sudah punya semua barang yang kita butuhkan dan gak kita butuhkan." Jawab Talia jujur dan datar sedang Nathan menahan tawa."Oke kalau gitu," sahut Diana santai karena Diana sudah mengantuk.Sesampainya di rumah, Diana sibuk membongkar belanjaannya dan membagikannya. Setelahnya barulah Diana masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.Di kamar Talia.Talia tampaknya sedang mandi saat Diana masuk ke kamarnya karena Diana bisa mendengar suara gemericik air dari arah dalam kamar mandi.Saat Diana akan keluar, ponsel Talia menyala menandakan pesan masuk. Awalnya Di
"Aahhw!" Seorang wanita meringis kesakitan seraya memegangi lengannya yang terkilir akibat ulah Doni yang tadi menarik dan memaksanya untuk ikut bermalam.Sedang Doni, pria gila itu sekarang terlihat sedang pingsan dengan wajah babak belur. Entah setan apa yang kini mengacaukan pikiran Doni sehingga Doni malah memaksa seorang wanita yang bekerja di sana untuk 'melayaninya'.Jelas wanita itu menolak karena ternyata wanita itu bukanlah sembarang wanita malam, namun seorang simpanan 'orang penting' yang sengaja menyamar untuk membuntuti pacarnya yang merupakan suami wanita lain.Sialnya, saat wanita muda itu hendak memergoki kekasihnya yang bermain dengan wanita lain, Doni malah mengajaknya untuk bersenang-senang bersama.Jadilah acara tarik menarik terjadi hingga akhirnya orang-orang memukuli Doni karena mendengar suara teriakan wanita itu.Tak lama, Diana dan Michel akhirnya sampai. "Maaf, saya Diana, saya kakaknya...." Diana menunjuk marah, kesal dan malu ke arah Doni yang masih belu
Doni tersadar dari pingsannya dan sudah dikagetkan oleh kemunculan Diana di hadapannya."Kak?" Doni berusaha bangkit dari posisinya yang terbaring lemah seraya menahan sakit di sekujur tubuhnya. Doni mencoba mengingat apa yang terjadi pada dirinya dan mencari tahu kenapa Diana terlihat marah."Sudah ingat?" Diana tanpa basa-basi langsung mengintrogasi adik bodohnya itu.Diana terlihat sangat menakutkan. Aura kemarahannya terasa jelas membuat Doni merinding dingin. Dengan tangan yang terlipat di dada, Diana berjalan mendekati Doni."Hari ini, kamu tidak perlu ke kantor. Segera sadarkan dirimu dan renungkan kesalahanmu. Setelah itu, kamu baru boleh bicara sama kakak. Dan.... Ya, mulai hari ini, kakak akan kembali mengambil alih Perusahaan." Doni melotot tak terima dengan keputusan Diana, tapi Doni juga tidak bisa melakukan apapun karena dirinya sadar bahwa dirinya kurang kompeten dan telah membuat kekacauan.Setelah obrolan singkat itu, Diana segera pergi dari apartemen Doni untuk meng
Doni sudah selesai mandi dan berganti pakaian. Doni juga sudah mengobati luka yang ia dapat dari kelakuan jeleknya sendiri. "Mati aku, kali ini pasti kakak benar-benar marah. Dasar sialan kamu, Don! Gak berguna! Kamu hanya menyusahkan kakakmu saja dari dulu. Harusnya kamu mati saja! Ahhhh!" Doni memukul dirinya sendiri dan menjambak rambutnya gemas."Apa yang sekarang harus aku lakukan?" Doni kacau tak tertolong."Haruskah aku menelepon kakak?" Pikirnya lagi yang kemudian segera mencari ponselnya.Tuttt.... Tutttt....Dalam deringan ketika, Diana menjawab teleponnya."Kenapa? Kamu sudah sadar?" Suara Diana terdengar dingin, jelas sekali Diana masih marah.Hanya Doni tidak tau kalau kalau Diana bukan hanya marah padanya saja, tapi juga Michel. Namun karena itu, Diana semakin galau."Kak...." Suara Doni bergetar membuat Diana dengan cepat menyadari jika adik kesayangan itu sedang menangis."Apa? Gak perlu nangis. Kakak masih di jalan, tunggu saja di sana. Kami akan segera sampai. Aku b
"Alhamdulillah sekarang Ayu Uda ngajar di sekolahnya Davin, Nyonya." Aldo terlihat bangga.Diana tersenyum mengangguk tipis. Sudah agak lama Diana tidak mengunjungi Ayu dan pergi dengan Ayu. Rasanya mendadak Diana merindukan masa-masa mereka bersama."Sampaikan salam saya sama Ayu ya. Bilang sama Ayu, saya kangen. Kalau boleh, saya juga ingin ajak Ayu dan Davin pergi, boleh?" "Tentu, saya akan tanyakan dulu sama istri saya, Nyonya." Aldo paham dengan perasaan Diana karena memang Ayu pernah tinggal bersama dengan Diana."Oke. Terimakasih ya, Al." Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Banyak hal yang Diana lewatkan termasuk makan dan menjemput Oesama pulang les."Astaga!" Pekik Diana memukul dahinya. "Anakku belum kujemput. Aduhhhh, kok bisa lupa sih." Segera Diana memeriksa ponselnya yang ternyata sengaja Diana mute karena sedang sibuk tadi dan benar saja, ada sekitar belasan panggilan tak terjawab dari guru les Oesama.Dengan cepat Diana menghubungi kembali guru les ana