Baru saja aku membuka mata kala menyadari bahwa tempatku kini bukan lagi kamar usang dirumah bibi. Melainkan sebuah kamar mewah dengan ornament bertabur warna gold.
Kulitku yang hanya memakai sehelai gaun tipis diterpa oleh pendingin ruangan yang sebelumnya juga tak pernah kurasakan dirumah bibi. Dimanakah ini?Disebelah kiriku, nampak tirai besar yang bisa kutebak ada jendela dibaliknya. Gegas aku melangkah kesana membuka tirainya yang memanglah ada sebuah kaca besar hingga memperlihatkan sesuatu yang sangat mencengangkan, ternyata bangunan ini berada dipesisir pantai dengan pemandangan yang begitu indahnya, namun tetap saja aku belum bisa menebak dimanakah aku berada sekarang ini.Ya aku hanya memakai gaun ini saja tanpa adanya pakaian dalam apapun bahkan pertanyaan siapa yang membawaku kemari saja belum kutemukan ditambah siapa pula yang sudah menggantikan pakaianku.Masih kuamati seisi ruangan ini, menemukan menu yang biasa kulihat di tayangan komersil televisi diatas meja sebelah ranjang yang kutempati tadi. Tak ada pilihan lain kecuali memakannya, walaupun aku harus mati karena keracunan setelahnya dan berusaha tak menghiraukannya lagi.Disaat tengah menikmati hidangan yang sangat lezat ini, samar kudengar suara derap langkah pelan mendekat hingga semakin jelas dengan adanya suara pintu yang terbuka. Menampakkan sosok tegap dan begitu mempesona."Kucing kecilku sudah bangun." Suaranya yang serak itu semakin mendekat namun bukan kearahku melainkan duduk disebuah kursi dihadapan ranjang yang tengah kududuki. Siapa dia? Dibalik ketampananannya, wajahnya yang begitu tegas seakan membuat nyaliku beringsut. Aku meletakkan piring bekas makanku pada tempat asalnya tadi lalu segera mengambil selimut untuk menutupi tubuhku yang pasti terlihat transparan olehnya."Bagaimana tidurmu semalam sayang?" Ucapnya dengan senyum yang menyeringai. Masih kutahan ketakutanku tanpa suara apapun. Aku hanya diam saja memandanginya walau sesekali menunduk ketika mata tajamnya menatapku.Sosok itu membuka luaran jasnya dan melempar asal kelantai, melepas pula sepatu pantopel yang dia kenakan itu lalu berjalan mendekat kearahku."Anda siapa?" Aku memberanikan diri bertanya kala dia sudah ada didepanku."Panggil aku tuan!" Nadanya meninggi hingga membuatku semakin takut. Namun tangannya malah membelai wajahku hingga rambut yang sebagian terurai dia sibakkan. "Kucing kecilku, apakah kamu takut?" Dia terkekeh melihatku seolah mengejek. Badanku sedikit bergetar, pastilah fikiran buruk muncul tentang banyaknya dugaanku padanya. "Sungguh sebuah bayaran yang pantas." Aku menoleh karena tak mengerti dengan ucapannya."Tuan siapa?" Aku masih berusaha mencari jawaban. Kali ini dia malah mencengkeram kuat daguku dan didekatkan kewajahnya."Marina sudah memberikanmu kepadaku sebagai bayaran atas hutangnya." Aku terpaku akan jawabannya. Bagaimana mungkin bibi yang sudah kuanggap pengganti ibuku itu tega menjualku pada lelaki yang begitu kaku ini."Anda berbohong bukan?" Orang yang menyuruhku memanggilnya tuan itu tertawa lalu setelahnya menarik paksa selimut yang kugunakan untuk menutup tubuhku, matanya nyalang menatapku."Dua milyar sebagai bayaran yang harus kuberikan untuk wanita yang kamu panggil bibi itu." Aku semakin tak percaya, bibi tega menukarku dengan hutang dua milyar?Saat aku fokus pada pertanyaanku sendiri laki-laki itu sudah semakin mendekat untuk mendekapku. Sekuat tenaga berusaha melepasnya namun kekuatanku sudah sangat dipastikan tak akan bisa mengalahkannya."Tuan, saya mohon jangan." Aku menangis sejadi-jadinya saat dia mulai mengikat tanganku kesisi ranjang dengan tali yang terletak di atas meja sebelah piring tadi. Rupanya dia sudah mempersiapkannya dan aku tak menyadari ini sebelumnya.Senyumnya semakin menyeringai, dia melepas ikat pinggang berlogo sebuah brand ternama lalu mengayunkannya pada tubuhku, sangat jelas teriakan ketakutan dan kesakitan yang kukeluarkan tak mampu menghentikannya.Aku hanya berharap dalam gelapnya cahaya yang kurasakan saat ini, semoga Tuhan mengehentikan umurku saja agar tak merasakan sakit yang luar biasa darinya.***Perih, satu kata yang bisa menggambarkan rasa yang tengah kutahan kini. Wanita paruh baya yang kuketahui bernama Vika ini mulai membersihkan luka memar bekas cambukan tuan semalam."Aku takut nyonya." Menangis terisak, wanita itu dengan lembutnya membelai kepalaku."Tuan Marcell sedang tidak baik-baik saja dan sedang melampiaskannya padamu." Ucapnya dengan tenang. Aku tak mengenal siapapun dirumah ini, bahkan lelaki yang sudah menyakitiku dan lebih parahnya memaksaku melayani nafsunya semalam itu semakin membuatku ketakutan."Sakit semua." Aku mengeraskan suara tangisku. Pantas memang kalau aku menyebut lelaki itu jahat. Dia sudah menghancurkan paksa mahkota yang kumiliki dan tidak hanya itu dia juga dengan membabi buta menghajarku habis-habisan. Tak bisa terbayangkan sakitnya seperti apa yang tengah kurasakan saat ini. "Aku ingin pulang saja.""Semua yang sudah masuk kesini tak akan bisa keluar tanpa seizinnya." Wanita ini masih merawat luka memarku. Aku hanya pasrah saja seraya meratapi takdir yang rasanya begitu buruk dituliskan Tuhan untukku. Bila bisa memilih, ingin sekali mengakhiri semua ini secepatnya namun bagaimana caranya?Belum reda tangisanku, suara derit pintu terbuka menampakkan sosok yang tengah ku obrolkan bersama Vika. Vika gegas berdiri membereskan sisa-sisa kapas yang berserakan diatas ranjang.Kutarik kain baju Vika memberi isyarat agar tak meninggalkanku, namun dia hanya menggeleng dan melepaskan tanganku dari bajunya.Lelaki itu mendekat lagi, aku berusaha menarik selimut yang tak jauh dariku namun kalah cekatan darinya. Lagi, senyum menyeringai yang menakutkan itu terpoles jelas. Entah apakah itu oertanda bahwa akan ada kesakitan lagi hari ini."Tuan, ampun. Maafkan saya." Tangisku masih terus menggema diruangan ini. Sesekali terbesit tanya, apakah tak ada seorangpun yang mendengar teriakanku. Tetap saja tak ada yang peduli denganku dan justru mengabaikanku.Tangan lelaki itu menunjuk luka yang nampak disekitar bawah leherku. Memar yang sebagian terlihat kemerahan dan akan terasa sakit bila disentuh."Apakah ini sakit?" Aku tak menjawab dan kini hanya bisa menahan tangis karena takut yang semakin mendera. "Tuanmu bertanya, apakah ini sakit?" Aku mengangguk, namun bukannya bersimpati lelaki ini malah tertawa."Itu belum seberapa." Lanjutnya.Lelaki yang kata Vika bernama Marcell ini maaih fokus menatapi lukaku hingga suara dering ponsel membuyarkannya. Dia berjalan menuju jendela yang menghadap pantai itu.Sadar bahwa dia sedang tak memperhatikanku aku segera berlari menuju pintu kamar. Sial, terkunci.Seraya mengakhiri obrolan telfonnya, dia mengayunkan sebuah kunci mengejek kearahku lalu mendekat. Aku yang paham situasi buruk akan datang lagi, dengan asal mengambil sebuah pisau tersaji bersama buah diatas meja."Apa yang akan kamu lakukan?" Tanyanya saat aku mulai mendekatkan pisau itu pada leherku. "Turunkan benda itu!" Teriaknya, aku semakin berani menantangnya."Sepertinya tuan begitu bahagia melihatku menderita bukan, sekarang waktunya saya pertontonkan bagaimana cara mengakhiri hidupku tanpa perlu anda turun tangan.""Turunkan pisaunya!" Kali ini suaranya sedikit merendah. Aku menggeleng cepat pertanda mengancam."Saya tidak main-main, apa bedanya anda yang melukai atau saya sendiri yang melakukannya." Sejenak melupakan semua perih bekas cambukannya semalam, belum lagi perihnya daerah pangkal pahaku ketika berlari kesini tadi. "Ya baiklah, aku akan keluar dari kamar. Bergeserlah dulu agar aku bisa berjalan melewati pintu itu." Dengan sedikit ragu, menuruti perintahnya tapi tetap memposisikan pisau ditanganku. Walau pelan aku tetap berusaha menggeser langkah agar lelaki itu bisa pergi dari kamar ini. Mata yang awalnya penuh amarah kini hanya nampak sedikit sendu. Dia menatapku tajam dengan mengayunkan langkah menuju pintu. Sepertinya dia tak berbohong , buktinya dia keluar dari sini. Tanpa ucapan apapun akhirnya lelaki itu pergi dan menutup kembali pintu itu. Aku bernafas lega, berjalan menuju ranjang mewah. Pisau kuletakkan dimeja dekat ranjang sebagai persiapan bila lelaki itu tiba-tiba datan
"Sempurna." Begitu ucap si pria maskulin yang sedari tadi meriasku. Mengeluarkan ponselnya lalu memotret wajahku. "Baiklah, sekarang bersiapalah untuk dibantai oleh tuan Marcell." Ucapnya.Kedua temannya sudah pula membereskan semua perkakas make up ketempat asalnya. Ketika dia akan beranjak pergi, aku gegas menarik ujung bajunya. "Aku ingin ikut keluar." Kutatap sosok itu pilu berharap dia bisa memahami keadaanku kali ini. Padahal kemarin aku yang menantang tuan Marcell untuk membunuhku tapi tetap saja aku merasa takut untuk menghadapinya. "No no no." Dia menunjuk kearahku. "Nanti aku yang akan dibunuh oleh Tuan Marcell." Dia lalu melepas tarikanku dan segera berjalan untuk keluar dari sini. Berkali-kali aku memghembus nafas kasar mengatur keteganganku sendiri. Baiklah, malam terakhir harusnya aku bahagia. Bukankah ini kemauanku sendiri?Tirai jendela yang belum ditutup itu pun akhirnya menjadi tujuanku kini, kalau pagi tadi pemandangan hamparan laut begitu indah namun malam ini h
"Jawab!" Lelaki itu membentakku. Aku yang masih mengenakan lilitan handuk dengan rambut yang masih basah inipun hanya terpaku ditempat. "Hanya pereda nyeri tuan." Jawabku ketakutan. Lelaki itu menatapku sangat tajam lalu berjalan mendekat. Menyeretku kearah kamar mandi, aku dipaksanya masuk kedalam bathup yang masih penuh dengan sisa rendamanku tadi. Tanpa seucap katapun dia menarik selang shower yang kemudian diarahkan keatasku. "Tuan, ampun." Dengan gelagapan aku berusaha berucap pada sosok yang seperti kesetanan itu. "Kamu berencana untuk bunuh diri lagi?" Kali ini dia menjambak rambutku hingga air dari shower itu mengenai wajahku. "Kenapa?" Apalagi yang bisa kulakukan, melawannya pun aku tak kuasa. Aku hanya bisa menangis dibalik suara air shower yang dia kencangkan. Memang lebih baik diam saja tanpa menjawab apapun. *Aku masih diam saja setelah lelaki itu menggantikanku handuk dan akhirnya sekarang sudah berada diatas ranjang. Dia dengan telaten mengeringkan rambutku denga
Lelaki seram itu dengan telaten mengobati sikut ku, sebenarnya tidak seberapa hanya sebuah luka kecil karena pecahan kaca dari lemari yang dia lempar vas bunga. Aku masih belum berani menatapnya. Lelaki ini sungguh tak bisa kutebak. "Benarkah kamu sangat takut melihatku?" Aku mengangguk tanpa melihatnya. Rasanya sudah tidak tahan sekali beberapa hari saja bersamanya. Lelaki itu meletakkan kembali peralatan p3k ke meja lalu kembali mendekatiku, tanpa aba-aba apapun dia memelukku. "Aku hanya takut kamu pergi. Cukup disini saja dan aku janji tidak akan menyakitimu lagi." Entahlah aku sendiri tidak bisa mempercayai ucapannya. Lebih baik sekarang untuk tidak mengucapkan apapun karena hanya akan memancing emosinya saja. "Mengerti?" Aku mengangguk, lalu tuan Marcell membetulkan posisi selimutku. Vika datang untuk mengantarkan makan siang. Tuan Marcell gegas mengambil alih nampannya dan segera mungkin memberi isyarat pada Vika untuk keluar. Kali ini lelaki yang seram itu mulai menyuapka
"Aku tidak percaya kalau tuan akan mau menuruti kemauanku." Aku masih membelakanginya karena memang ketakutan yang masih saja kurasakan ketika melihatnya. "Ya, asalkan kau tetap disini aku akan melakukan apapun. Walaupun harus memaksamu dahulu." Aku hanya menghela nafas panjang mendengar ucapannya barusan. Sebaiknya aku memang harus menerima takdir hidup sebagai tawanan manusia keji ini. Lelaki itu beranjak menaiki ranjang, aku bisa merasakan bahwa dia juga ikut tidur disebelahku dan kemudian melingkarkan lengannya ke perutku. Buliran air mata kemudian jatuh, entah apa yang akan terjadi selanjutnya. "Kamu ingat seorang anak yang kamu tolong lima tahun yang lalu?" Mendengar pertanyaannya membuatku kembali mengingat kejadian yang dia maksudkan. "Seorang gadis kecil yang menyembunyikan anak laki-laki dalam sebuah tong sampah yang berada diujung perbatasan kota." *Hari ini memang sangat sial sekali, buku tugas yang harusnya aku bawa kesekolah malah tertinggal dirumah. Biasanya aku se
*Aku langsung bangkit dari posisi rebahannku. Memandang kearah lelaki kaku tersebut, senyumnya terpoles seolah memahami apa yang sedang kupertanyakan.Bagaimana bisa aku menyelamatkan seorang lelaki yang malah membuat hidupku seburuk ini. "Tuhan memang mentakdirkan kita untuk bersama. Jadi jangan berfikir bahwa aku akan meelepaskanmu begitu saja." Dia berucap seolah tak pernah menyakitiku, bila memang Tuhan mentakdirkanku untuk menghabiskan waktu bersamanya seumur hidup, sungguh nasibku pastilah sial sekali. Lelaki didepanku kini masih mengulas senyum, debaran jantung seakan tidak beraturan. Seandainya dia sehangat ini sepanjang waktu pastilah aku tidak perlu lagi merasakan ketakutan. Aku masih memandamg kearahnya, menikmati senyum selagi masih nampak disana sebelum semuanya berganti dengan wajah kejam seperti yang selalu dia tampakkan."Kenapa memandangku seperti itu?" Tanyanya, benar saja rautnya seketika berubah masam. Aku langsung menundukkan kepalaku membayangkan siksaan apa
Aku menurut saja ketika tuan Marcell menyuruhku masuk kedalam bathup bersamanya dari pada harus berakhir dengan siksaan yang mungkin lebih sakit lagi. Dengan lembut menggosok punggungku dan beralih hampir kesemua bagian atas badanku seperti tengah memandikan anak kecil."Hari ini aku yang akan mengantarmu kerumah sakit untuk mengecek jahitan kakimu." Ucapnya. Aku melihat kakiku yang dia posisikan dipinggiran buthup dengan perban yang sudah basah. Menghela nafas berat seraya menikmati setiap sentuhan dari tangan lelaki yang ada dibelakangku ini. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya tepat dibelakang telingaku hingga mencoba untuk menepis semua desiran yang kurasakan dengan memejamkan mata sekuat mungkin. "Tuan Marcell terlihat fokus pada kemudinya. Aku yang duduk disebelahnya memilih untuk menoleh kearah jendela saja. Sengaja aku tak berucap apapun sedari tadi begitupun sebaliknya. Hingga aku merasakan sentuhan kulit tangannya yang sudah menggenggam tanganku. Mendekatkan tanganku p
Melihat tuan Marcell yang sangat hangat hari ini membuatku sedikit melupakan ketakutan yang biasa kurasakan setiap bersamanya. Ternyata dia sudah menyiapkan beberapa kotak berisi makanan yang diletakkan dalam satu tas. Begitu juga sekantong kresek makanan ringan dan softdrink. "Anggap saja kita sedang piknik." Ucapnya setelah menata semua makanan tadi diatas kursi semen yang juga kududuki. Memandang langit diujung sore bersamaan angin yang lumayan kencang berhembus. Senyumnya masih mengulas diwajahnya. "Apakah aku sangat menyeramkan sekali sehingga membuatmu takut?" Tanyanya saat aku tengah menyuapkan sesendok makanan kedalam mulutku. Aku menggeleng pelan, takut sekali rasanya menjawab iya. "Tapi kenapa kamu selalu berusaha pergi dariku?" Tanyanya lagi, aku hanya bisa menundukkan kepala seraya mengunyah makanan dengan pelan. "Aku menyakitimu?" Sekali lagi aku hanya menggeleng. Baru saja aku menikmati kehangatan akan sikapnya, kini dia sudah mencengkeram kedua lenganku. "Lalu kenap
"Sel apakah kau masih takut denganku?" Aku hanya diam saja mendengar pertanyaan yang keluar darinya. "Sel, masih seramkah aku untukmu?" Aku menggeleng dengan lambat, senyum yang awalnya mengembang berubah raut sedikit kaku. Apakah lelaki ini akan marah lagi?"Tuan..." Tuan Marcell menggeser duduknya untuk menjauh dariku, entah kenapa aku justru merasakan desiran yang begitu menghujam perasaanku. "Maksudku bukan begitu." Nafasnya terdengar berat, wajahnya dipalingkannya tanpa melihatku. Aku yang masih memaku ditempatku ini mulai merasakan ketakutan bila lelaki ini akan memunculkan sifat tempramentalnya. Tanganku saling bertemu diatas pangkuanku, mencoba mempersiapkan diri untuk menyambut keadaan bilamana tuan Marcell benar-benar akan marah padaku. "Sel, aku tak tau bagaimana caranya membuatmu tak takut lagi. Tapi selama kamu masih tinggal disisiku selama itu pula aku akan berusaha untuk menaklukkan amarahku." Tuan Marcell mendekat lagi
*"Hei!" Teriak pemuda yang sepertinya ku temui beberapa hari lalu. Aku hanya menoleh kemudian kembali melanjutkan jalanku dan memilih untuk mengabaikannya saja. Baru saja beberapa langkah saja, tangan itu sudah berhasil menarikku untuk ikut duduk ditempat yang biasa kugunakam untuk melepas penat. "Kenapa?" Aku mencoba melepaskan eratannya, pemuda bermata biru itu hanya memaku didepanku dan belum mengucapkan sepatah katapun. "Kenapaaaa?" Aku menggeram. "Anggap saja ucapan terimakasih." Dia memberikan sebatang coklat seperti yang biasa dibeli teman-temanku. Melihat dia pergi aku membiarkannya saja, karena pandanganku kini hanya berfokus pada coklat yang sepertinya sangat enak sekali. Sudah lama aku ingin memakan voklat ini, tapi selalu alasan uang yang membuatku tak bisa merealisasikan keinginanku sendiri. Setelah memghabiskannya aku segera pulang, berjlana dengan riangnya menuju rumah bibi yang berjarak tak cukup jauh dari lapangan ini.
Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaannya. "Tuan tak akan meninggalkanku ditengah jalan lagi kan?" Mengingat kejadian kapan lalu saat dia meninggalkanku dipinggiran laut yang jauh dari rumah. Tuan Marcell menggeleng lalu membelai ujung kepalaku, sungguh hangat sekali sikapnya yang membuatku mengembangkan senyum untuknya. Nampak tuan Marcell melirik kearah arloji dipergelangan tangannya, aku hanya diam saja seraya mengamati sekitar. "Selena?" Suara dari sosok lelaki yang sempat kutemui diswalayan waktu itu. Menyadari kehadiran Mattew, tuan Marcell gegas mendekatkan posisi duduknya untuk lebih mendekat. "Dengan siapa Matt?" Mencoba berbasa-basi dengan mengamati gerak gerik tuan Marcell yang masih bersikap biasa. "Bersama temanku, oh ya semua teman sekelas kaget ketika aku memberi kabar bahwa kamu sudah menikah dan tinggal sekota denganku." Aku menelan saliva yang terasa berat, seandainya bisa saja kukatakan bahwa lelaki disebelahku ini bukanla
Tuan Marcell hanya memandangku dengan lekat, manik matanya yang kebiruan terlihat jelas bahkan rahangnya yang biasanya mengeras itu nampak begitu tegas. Aku bisa merasakan degup jantungku sendiri yang tak beraturan."Sel?" Aku menelan saliva mendengar suara seraknya. "Bolehkah aku menciummu?" Tanpa bisa menjawab pertanyaannya langsung menutup mataku seolah memberi kesempatan padanya. Sosok itu sudah menempelkan bibirnya pada bibirku. Fikiranku sudah berkelana dan membayangkan lebih tapi nyatanya dia langsung menarik bibirnya lagi. Ketika kubuka mata untuk melihatnya sudah beranjak didepan jendela memandang kearah laut. Aku mendecah kesal. Apalagi yang akan kuperbuat kali ini, menuruti kekecewaan dengan melanjutkan membersihkan ranjang yang masih belum kubereskan. "Sel." Kembali dia mendekat, dengan cepat aku langsung menarik selimut yang akan ku lipat tadinya. Memasang badan untuk berbaring diranjang dan menutup selimut sampai batas wajahku. Takku pedulikan lagi panggilannya. Tuan
Malam ini tidak berbeda dengan malamku sebelumnya yang masih saja berselimut ketakutan. Memakan sisa camilan tadi siang yang diantar Vika, biasanya dia sudah mengantar makan malamku tapi malam ini apakah dia terlupa? Sesekali menengok kearah pintu, takut bila tuan Marcell masuk dan entah apa yang akan dia lakukan padaku. "Sel." Suara serak khasnya yang membuka pintu bersamaan dengan Vika dibelakangnya membawa nampan yang sudah kutunggu sedari tadi. Setelahnya Vika langsung keluar kamar membawa bekas gelas kotor siang tadi. Tuan Marcell menata dua piring hidangan lengkap dimeja makan lalu menarikku agar duduk disebelahnya. Aku hanya menurutinya saja agar tak perlu memancing emosinya. "Habiskan makananmu." Tanpa disuruhpun pasti akan kuhabiskan makanan dihadapanku ini. "Sel." Panggilnya yang membuatku terpaksa menoleh. "Iya tuan?" Aku menatap kearahnya yang menunjukkan lukanya yang sudah berganti perban baru. "Tanganku masih sakit, tolong suapi aku." Aku melotot kearahnya tapi sek
"Tuan!" Aku berteriak kala dia menghores luka ketangannya, mengambil tissue yang ada didasboard mobilnya dan menekan lukanya dengan cepat. "Apa yang anda lakukan?" Bukannya sebuah jawaban yang ku dapati malah sebuah senyum yang mengembang. Untuk saat ini hanya bisa membersihkan lukanya menggunakan tissue yang ada. "Kau mencemaskanku?" Dia bersuara, mencekal tanganku yang masih berusaha menekan luka dengan tissue. "Tuan ini kenapa sih?" Aku malah membentaknya tak peduli dengannya yang mungkin akan marah setelah ini. "Apakah hobi anda memang menyakiti orang lain dan diri sendiri?" "Anggap saja ini perjanjian, sekali aku menyakitimu saat itu pula aku akan menyakiti diriku sendiri." Aku menoleh lagi kearahnya. *Sekembalinya kami kerumah ini, aku masih mendiamkannya walau sesekali merasa khawatir dengan luka ditangannya. Sepertinya tuan Marcell memang sudah gila. Kembali ke kamar, melepaskan beberapa aksesoris yang terpasang sebagai pelengkap penampilanku tadi. Toerdengar suara pint
Melihat tuan Marcell yang sepertinya akan marah aku langsung menunduk. "Maaf tuan." Terdengar suara jelaan nafas darinya. Kufikir dia akan memarahiku habis-habisan tapi nyatanya malah melajukan kembali mobilnya. *"Selena?" Seorang lelaki seusiaku yang tak sengaja bertemu di pusat perbelanjaan. Aku masih mengingat-ingat wajahnya yang sepertinya sangat tidak asing. "Kamu Selena bukan? Tak mengingatku?" Tanyanya lagi dan menepuk pundakku. "Mattew?" Yah, dia adalah teman sekolahku dulu. Walaupun tidak dekat tapi kita pernah sekelas. Dia tertawa dan menepuk pundakku berkali-kali. Aku melirik kearah tuan Marcell yang ada dibelakangku, wajahnya seakan menegang dan aku sangat paham situasi ini. "Kamu tinggal disini? Sejak kapan?" "Ehemm." Suara khas berserak dari arah belakang, tuan Marcell menngait jemariku sepertinua memberi isyarat bahwa aku akan mati setelah ini. "Temanmu?" "Sel?" Mattew nampak kebingungan, dia menatapku berharap diberi penjelasan tentang sosok yang kini sudah berdi
"Kenapa tak menelfonku sama sekali?" Aku baru saja ingat tentang ponsel yang diberi Nico kemarin. Dengan sangat takut aku memandang tuan Marcell. "Tu tuan." Lelaki itu balik memandang tajam kearahku. "Saya lupa menaruh ponselnya." Aku meletekkan alat yang belum selesai kugunakan lalu menutup wajahku dengan kedua tangan. Pasti dia akan menyiksaku lagi karena menghilangkan barang mahal itu. Tanpa kuduga tangan kekarnya malah menarik tanganku. "Tuan akan menyiksaku?" Lelaki itu justru menggeleng dan menampakkan senyumnya. Kemudian memelukku. "Asalkan bukan kamu yang menghilang." Ucapnya seraya mengecupi ujung kepalaku. Merasakan debaran jantung yang sangat terasa berpacu. Melihat kehangatan yang diberikannya kini pastilah membuatku sangat bahagia walaupun hanya sesaat. "Aku sangat merindukanmu." Tuan Marcell melepaskan pelukannya lalu menatapku sangat lekat. Bisa kurasakan hembusan nafasnya yang bercampur aroma mint. Mata birinya begitu indah dengan garis wajah berbalut bulu-bulu rap
"Vika, apakah kamu asli orang sini?" Aku bertanya kala Vika mengajakku duduk disebuah pinggiran pantai, lelaki botak yang kutahu bernama Nico itu juga ikut bergabung bersama kami. "Tidak, ibuku dulu juga pelayan keluarga besar Alexandro dikediamannya yang berada dikota X." Aku hanya mengangguk saja dan menebak mungkin yang dimaksudnya adalah keluarga tuan Marcell. "Rumah ini baru dibangun sekitar tiga tahun yang lalu hingga tuan Marcell membawa kita yang tinggal disini semuanya." Berarti benar yang diucapkannya semalam bahwa rumah ini sengaja dibangunnya untukku. Langsung saja menepis fikiran itu, tidak mungkin ucapannya benar. Nico membukakan tutup botol air mineral saat menyadari bahwa aku kesulitan saat akan meminumnya. Aku tersenyum kearahnya. "Kamu juga bukan orang sini?" Dia mengangguk lalu mengunyah sepotong kue yang dibawa oleh Vika dari rumah. "Berapa hari tuan Marcell akan pergi?" "Mungkin dua minggu." Kini mataku seolah membulat mendengar ucapan Nico. Wah kabar bagus sek