Lelaki seram itu dengan telaten mengobati sikut ku, sebenarnya tidak seberapa hanya sebuah luka kecil karena pecahan kaca dari lemari yang dia lempar vas bunga.
Aku masih belum berani menatapnya. Lelaki ini sungguh tak bisa kutebak."Benarkah kamu sangat takut melihatku?" Aku mengangguk tanpa melihatnya. Rasanya sudah tidak tahan sekali beberapa hari saja bersamanya.Lelaki itu meletakkan kembali peralatan p3k ke meja lalu kembali mendekatiku, tanpa aba-aba apapun dia memelukku."Aku hanya takut kamu pergi. Cukup disini saja dan aku janji tidak akan menyakitimu lagi." Entahlah aku sendiri tidak bisa mempercayai ucapannya. Lebih baik sekarang untuk tidak mengucapkan apapun karena hanya akan memancing emosinya saja. "Mengerti?" Aku mengangguk, lalu tuan Marcell membetulkan posisi selimutku.Vika datang untuk mengantarkan makan siang. Tuan Marcell gegas mengambil alih nampannya dan segera mungkin memberi isyarat pada Vika untuk keluar.Kali ini lelaki yang seram itu mulai menyuapkan makanan pada mulutku dan pastilah aku menurutinya karena takut untuk menolaknya tetap dengan mata yang masih tertutup."Buka matamu, cepat!" Perintahnya membentak, dengan sangat berat kuturuti saja untuk membuka mata.Dia mencengkeram daguku kuat memaksaku untuk menatapnya. Aku yang mendapati perlakuan kasarnya lagi hanya bisa menangis tanpa suara."Tuan kenapa sangat suka menyiksa saya seperti ini? Kenapa tidak melempar vas tadi pada saya?" Aku masih menangis. Lelaki itu malah semakin kuat mencengkeramku."Haaaargh!" Semua perlengkapan makan diatas nampan dia lempar kesembarang arah. Sebagian pecah mengenai tanganku. Melihat darah dari pecahan piring itu, dia langsung melepas cengkramannya lalu meraih tanganku. Aku masih menangis."Bukankah baru saja anda berucap tak akan lagi menyakitiku?" Kuhempas tangannya kasar lalu menyibak selimut yang dia kenakan untukku tadi. Berjalan melewati pecahan piring itu tanpa peduli perih pada telapak kaki yang mungkin terluka."Selena!" Baru kali ini dia menyebut namaku, tapi aku tak mempedulikannya dan tetap berjalan menuju kamar mandi.Mengunci pintu kamar mandi dari dalam lalu menyalakan shower untuk mengisi bathroom dan langsung masuk kedalamnya. Lagi, tak kupedulikan gedoran pintu dan teriakan lelaki itu.Air ini sudah bercampur darah yang disebabkan pecahan piring yang menancap kakiku. Lukanya tak terasa lagi dibanding keyakinanku untuk mengakhiri ketakutanku ini.***"Selena." Ucap suara yang ternyata berasal dari Vika. Mata ini rasanya berat sekali untuk dibuka, ruangan yang sangat berbeda dibanding kamar mewah yang kutempati sebelumnya. "Syukurlah kamu sadar " dia memelukku yang posisinya masih terbari diranjang.Ruangan bernuansa putih dan sebuah kantong infus yang teegantung diatasku. Bisakah kukatakan bahwa ini seperti ruangan rumah sakit?"Kamu tau bagaimana paniknya tuan Marcell saat mendapatimu tenggelam dibath up." Wanita itu menangis sambil menceritakan peristiwa yang kulewati. Aku hanya mengela nafas panjang, seharusnya dia tak perlu menolongku. "Selena, kamu baik-baik saja?""Menyadari diriku masih hidup artinya tidak akan baik-baik saja." Ucapku lemas. Setelah ini pasti akan banyak kesakitan yang akan aku rasakan dari lelaki yang katanya sudah menolongku itu."Tuan Marcell tidak akan menyakitimu Sel. Percayalah padaku." Sebenarnya setiap kali Vika berucap seperti itu membuatku muak saja. Bagaimana bisa mewajarkan sikapnya selama ini."Tapi Vika, kamu tidak akan meninggalkanku disini sendirian bukan?""Setelah tuan Marcell selesai dengan pekerjaannya dan datang kemari artinya aku harus pulang juga." Aku gegas menggeleng dan meraih tangannya."Aku tidak mau bertemu dengannya lagi." Rasanya aku sudah sangat takut kala Vika mengatakan tentang kedatangan lelaki itu."Dia tak mungkin menyakitimu." Bagaimana meyakinkan wanita didepanku ini bahwa tuannya sangatlah kejam.Dalam ketakutan, sosok yang tengah kita bicarakan sudah muncul dari balik pintu. Kali ini dia masih mengenakan setelan jas lengkap. Aku segera beringsut untuk emnutupi tubuhku dengan selimut.Vika membelai punggungku lalu beranjak pergi. Ingin sekali berlari untuk ikut pergi bersamanya tapi lelaki itu masih berdiri diambang pintu."Bagaimana keadaanmu?" Aku tak berani menatapnya. Dia segera mendekat, duduk dihadapanku. "Kenapa kamu tak pernah menjawab pertanyaanku?" Kali ini nadanya mulai meninggi.Aku hanya dia menundukkan kepalaku. Bagaimana kalau dia menyakitiku lagi, "Kenapa senekat itu untuk menjauh dariku?." Kini dia mulai menurunkan suaranya, mengusap kepalaku pelan. Lalu beranjak lagi, aku mengintip dari celah selimut ternyata mengambil makanan untuk kemudian dia bawa lagi kehadapanku."Kamu harus banyak makan, lihatlah tubuhmu hanya berbalut kulit menutupi tulang. Apakah bibimu tak pernah memberimu makan?" Setidaknya aku tak pernah ketakutan saat tinggal bersama bibi dibanding setiap hari bertemu dengannya. "Cepat makan, sebelum aku berubah kasar padamu!" Mulai kubuka selimutku, menerima nampan yang dia berikan lalu menyuapkan makanan kemulutku sambil menahan tangisku."Jangan pernah berbuat bodoh seperti itu lagi, atau aku sendiri yang akan menghabisimu." Aku mendongak kearahnya, matanya menatapku."Kalau saya melakukannya lagi apakah artinya tuan akan membunuhku?" Kuberanikah diri bertanya namun tak dijawab olehnya. "Baiklah akan saya ulangi lagi agar tuan segera membunuhku." Aku kembali fokus makan, tapi tangannya sudah menarik rambutku."Sudah kukatakan jangan menantangku.""Tuan tau jendela itu? Saya bisa saja melompat kebawah dan semuanya berakhir." Melupakan takut untuk menantangnya. "Baru beberapa hari saja hidup bersama tuan sudah sangat menyakitkan." Tangannya kini melepaskan jambakan dan berganti membelai kepalaku. Tanpa berkata lagi dia beranjak pergi keluar kamar.***Sejak terakhir bertemu tuan Marcell, dia belum lagi menampakkan diri lagi. Setiap hari Vika yang menungguku dirumah sakit hingga saat ini diperbolehkan pulang."Aku ingin pulang kerumahku sendiri." Vika menggeleng."Tuan sudah memintaku untuk mengajakmu pulang kerumah." Baru saja berfikir untuk membebaskan diri, beberapa pria tegap bersetelan hitam-hitam sudah masuk kedalam. Mereka menjelaskan sebagai utusan tuan Marcell untuk menjemputku.Sesanpainya dirumah mewah ini, Vika menemaniku masik kedalam kamar yang ternyata sudah banyak berubah. Semua furniture telah berganti menjadi berbahan kayu. Tak bisa menemukan kaca kecuali cermin elastis yang sepertinya bukan terbuat dari kaca. Kejutan apalagi yang dibuat oleh tuan Marcell."Istirahatlah!" Perintahnya kemudian beranjak keluar. Aku berjalan pelan menuju ranjang karena kedua kakiku masih berbalut perban. Benar kata Vika aku harus beristirahat untuk mempersiapkan diri menyambut siksaan tuannya itu.Aku memilih duduk diranjang saja hingga suara pintu terbuka yang bisa kupastikan adalah sosok menyeramkan itu. Hanya bisa menghela nafas panjang untuk mengatur ritme ketakutanku.Tuan Marcell berjalan mendekat dan duduk disebuah kursi yang memang diletakkan disebelah ranjang.Melihatnya hanya diam saja dan melihatku, membuatku merubah posisi untuk tidur dengan selimut yang kutarik sampai menutupi kepalaku."Aku akan menuruti semua kemauanmu, tapi berjanjilah tidak akan pergi""Aku tidak percaya kalau tuan akan mau menuruti kemauanku." Aku masih membelakanginya karena memang ketakutan yang masih saja kurasakan ketika melihatnya. "Ya, asalkan kau tetap disini aku akan melakukan apapun. Walaupun harus memaksamu dahulu." Aku hanya menghela nafas panjang mendengar ucapannya barusan. Sebaiknya aku memang harus menerima takdir hidup sebagai tawanan manusia keji ini. Lelaki itu beranjak menaiki ranjang, aku bisa merasakan bahwa dia juga ikut tidur disebelahku dan kemudian melingkarkan lengannya ke perutku. Buliran air mata kemudian jatuh, entah apa yang akan terjadi selanjutnya. "Kamu ingat seorang anak yang kamu tolong lima tahun yang lalu?" Mendengar pertanyaannya membuatku kembali mengingat kejadian yang dia maksudkan. "Seorang gadis kecil yang menyembunyikan anak laki-laki dalam sebuah tong sampah yang berada diujung perbatasan kota." *Hari ini memang sangat sial sekali, buku tugas yang harusnya aku bawa kesekolah malah tertinggal dirumah. Biasanya aku se
*Aku langsung bangkit dari posisi rebahannku. Memandang kearah lelaki kaku tersebut, senyumnya terpoles seolah memahami apa yang sedang kupertanyakan.Bagaimana bisa aku menyelamatkan seorang lelaki yang malah membuat hidupku seburuk ini. "Tuhan memang mentakdirkan kita untuk bersama. Jadi jangan berfikir bahwa aku akan meelepaskanmu begitu saja." Dia berucap seolah tak pernah menyakitiku, bila memang Tuhan mentakdirkanku untuk menghabiskan waktu bersamanya seumur hidup, sungguh nasibku pastilah sial sekali. Lelaki didepanku kini masih mengulas senyum, debaran jantung seakan tidak beraturan. Seandainya dia sehangat ini sepanjang waktu pastilah aku tidak perlu lagi merasakan ketakutan. Aku masih memandamg kearahnya, menikmati senyum selagi masih nampak disana sebelum semuanya berganti dengan wajah kejam seperti yang selalu dia tampakkan."Kenapa memandangku seperti itu?" Tanyanya, benar saja rautnya seketika berubah masam. Aku langsung menundukkan kepalaku membayangkan siksaan apa
Aku menurut saja ketika tuan Marcell menyuruhku masuk kedalam bathup bersamanya dari pada harus berakhir dengan siksaan yang mungkin lebih sakit lagi. Dengan lembut menggosok punggungku dan beralih hampir kesemua bagian atas badanku seperti tengah memandikan anak kecil."Hari ini aku yang akan mengantarmu kerumah sakit untuk mengecek jahitan kakimu." Ucapnya. Aku melihat kakiku yang dia posisikan dipinggiran buthup dengan perban yang sudah basah. Menghela nafas berat seraya menikmati setiap sentuhan dari tangan lelaki yang ada dibelakangku ini. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya tepat dibelakang telingaku hingga mencoba untuk menepis semua desiran yang kurasakan dengan memejamkan mata sekuat mungkin. "Tuan Marcell terlihat fokus pada kemudinya. Aku yang duduk disebelahnya memilih untuk menoleh kearah jendela saja. Sengaja aku tak berucap apapun sedari tadi begitupun sebaliknya. Hingga aku merasakan sentuhan kulit tangannya yang sudah menggenggam tanganku. Mendekatkan tanganku p
Melihat tuan Marcell yang sangat hangat hari ini membuatku sedikit melupakan ketakutan yang biasa kurasakan setiap bersamanya. Ternyata dia sudah menyiapkan beberapa kotak berisi makanan yang diletakkan dalam satu tas. Begitu juga sekantong kresek makanan ringan dan softdrink. "Anggap saja kita sedang piknik." Ucapnya setelah menata semua makanan tadi diatas kursi semen yang juga kududuki. Memandang langit diujung sore bersamaan angin yang lumayan kencang berhembus. Senyumnya masih mengulas diwajahnya. "Apakah aku sangat menyeramkan sekali sehingga membuatmu takut?" Tanyanya saat aku tengah menyuapkan sesendok makanan kedalam mulutku. Aku menggeleng pelan, takut sekali rasanya menjawab iya. "Tapi kenapa kamu selalu berusaha pergi dariku?" Tanyanya lagi, aku hanya bisa menundukkan kepala seraya mengunyah makanan dengan pelan. "Aku menyakitimu?" Sekali lagi aku hanya menggeleng. Baru saja aku menikmati kehangatan akan sikapnya, kini dia sudah mencengkeram kedua lenganku. "Lalu kenap
Giliran tuan Marcell yang terpaku menatapku. "Sel, pulanglah bersamaku." Suaranya melemah, aku mencoba untuk melepaskan genggamannya tapi tetap saja tenagaku masih kalah dengannya. "Rumah itu khusus kubangun untuk kita tinggali."***Aku terbangun dengan sosok lelaki yang masih memelukku diranjang. Semalam dia tak melepaskanku dan tanpa banyak bicara langsung menggendongku untuk masuk kedalam mobilnya. Apa lagi yang bisa kulakukan kecuali hanya menurutinya saja dari pada harus mendapatinya dengan amarah yang meledak. "Selena." Suara seraknya memang sangat khas, bahkan ketika tenang seperti ini aku sangat menyukainya. Setelah bangun tadi aku langsung beranjak dari ranjang dan sekarang tengah berdiri di depan jendela memandang hamparan laut yang luas. Tangan tuan Marcell meraih tanganku dan seperti biasanya aku hanya diam saja tanpa menanggapi apapun. "Aku sudah jatuh cinta pada seorang gadis kecil yang sudah mamasukkan ku pada tong sampah la
"Vika, apakah kamu asli orang sini?" Aku bertanya kala Vika mengajakku duduk disebuah pinggiran pantai, lelaki botak yang kutahu bernama Nico itu juga ikut bergabung bersama kami. "Tidak, ibuku dulu juga pelayan keluarga besar Alexandro dikediamannya yang berada dikota X." Aku hanya mengangguk saja dan menebak mungkin yang dimaksudnya adalah keluarga tuan Marcell. "Rumah ini baru dibangun sekitar tiga tahun yang lalu hingga tuan Marcell membawa kita yang tinggal disini semuanya." Berarti benar yang diucapkannya semalam bahwa rumah ini sengaja dibangunnya untukku. Langsung saja menepis fikiran itu, tidak mungkin ucapannya benar. Nico membukakan tutup botol air mineral saat menyadari bahwa aku kesulitan saat akan meminumnya. Aku tersenyum kearahnya. "Kamu juga bukan orang sini?" Dia mengangguk lalu mengunyah sepotong kue yang dibawa oleh Vika dari rumah. "Berapa hari tuan Marcell akan pergi?" "Mungkin dua minggu." Kini mataku seolah membulat mendengar ucapan Nico. Wah kabar bagus sek
"Kenapa tak menelfonku sama sekali?" Aku baru saja ingat tentang ponsel yang diberi Nico kemarin. Dengan sangat takut aku memandang tuan Marcell. "Tu tuan." Lelaki itu balik memandang tajam kearahku. "Saya lupa menaruh ponselnya." Aku meletekkan alat yang belum selesai kugunakan lalu menutup wajahku dengan kedua tangan. Pasti dia akan menyiksaku lagi karena menghilangkan barang mahal itu. Tanpa kuduga tangan kekarnya malah menarik tanganku. "Tuan akan menyiksaku?" Lelaki itu justru menggeleng dan menampakkan senyumnya. Kemudian memelukku. "Asalkan bukan kamu yang menghilang." Ucapnya seraya mengecupi ujung kepalaku. Merasakan debaran jantung yang sangat terasa berpacu. Melihat kehangatan yang diberikannya kini pastilah membuatku sangat bahagia walaupun hanya sesaat. "Aku sangat merindukanmu." Tuan Marcell melepaskan pelukannya lalu menatapku sangat lekat. Bisa kurasakan hembusan nafasnya yang bercampur aroma mint. Mata birinya begitu indah dengan garis wajah berbalut bulu-bulu rap
Melihat tuan Marcell yang sepertinya akan marah aku langsung menunduk. "Maaf tuan." Terdengar suara jelaan nafas darinya. Kufikir dia akan memarahiku habis-habisan tapi nyatanya malah melajukan kembali mobilnya. *"Selena?" Seorang lelaki seusiaku yang tak sengaja bertemu di pusat perbelanjaan. Aku masih mengingat-ingat wajahnya yang sepertinya sangat tidak asing. "Kamu Selena bukan? Tak mengingatku?" Tanyanya lagi dan menepuk pundakku. "Mattew?" Yah, dia adalah teman sekolahku dulu. Walaupun tidak dekat tapi kita pernah sekelas. Dia tertawa dan menepuk pundakku berkali-kali. Aku melirik kearah tuan Marcell yang ada dibelakangku, wajahnya seakan menegang dan aku sangat paham situasi ini. "Kamu tinggal disini? Sejak kapan?" "Ehemm." Suara khas berserak dari arah belakang, tuan Marcell menngait jemariku sepertinua memberi isyarat bahwa aku akan mati setelah ini. "Temanmu?" "Sel?" Mattew nampak kebingungan, dia menatapku berharap diberi penjelasan tentang sosok yang kini sudah berdi
"Sel apakah kau masih takut denganku?" Aku hanya diam saja mendengar pertanyaan yang keluar darinya. "Sel, masih seramkah aku untukmu?" Aku menggeleng dengan lambat, senyum yang awalnya mengembang berubah raut sedikit kaku. Apakah lelaki ini akan marah lagi?"Tuan..." Tuan Marcell menggeser duduknya untuk menjauh dariku, entah kenapa aku justru merasakan desiran yang begitu menghujam perasaanku. "Maksudku bukan begitu." Nafasnya terdengar berat, wajahnya dipalingkannya tanpa melihatku. Aku yang masih memaku ditempatku ini mulai merasakan ketakutan bila lelaki ini akan memunculkan sifat tempramentalnya. Tanganku saling bertemu diatas pangkuanku, mencoba mempersiapkan diri untuk menyambut keadaan bilamana tuan Marcell benar-benar akan marah padaku. "Sel, aku tak tau bagaimana caranya membuatmu tak takut lagi. Tapi selama kamu masih tinggal disisiku selama itu pula aku akan berusaha untuk menaklukkan amarahku." Tuan Marcell mendekat lagi
*"Hei!" Teriak pemuda yang sepertinya ku temui beberapa hari lalu. Aku hanya menoleh kemudian kembali melanjutkan jalanku dan memilih untuk mengabaikannya saja. Baru saja beberapa langkah saja, tangan itu sudah berhasil menarikku untuk ikut duduk ditempat yang biasa kugunakam untuk melepas penat. "Kenapa?" Aku mencoba melepaskan eratannya, pemuda bermata biru itu hanya memaku didepanku dan belum mengucapkan sepatah katapun. "Kenapaaaa?" Aku menggeram. "Anggap saja ucapan terimakasih." Dia memberikan sebatang coklat seperti yang biasa dibeli teman-temanku. Melihat dia pergi aku membiarkannya saja, karena pandanganku kini hanya berfokus pada coklat yang sepertinya sangat enak sekali. Sudah lama aku ingin memakan voklat ini, tapi selalu alasan uang yang membuatku tak bisa merealisasikan keinginanku sendiri. Setelah memghabiskannya aku segera pulang, berjlana dengan riangnya menuju rumah bibi yang berjarak tak cukup jauh dari lapangan ini.
Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaannya. "Tuan tak akan meninggalkanku ditengah jalan lagi kan?" Mengingat kejadian kapan lalu saat dia meninggalkanku dipinggiran laut yang jauh dari rumah. Tuan Marcell menggeleng lalu membelai ujung kepalaku, sungguh hangat sekali sikapnya yang membuatku mengembangkan senyum untuknya. Nampak tuan Marcell melirik kearah arloji dipergelangan tangannya, aku hanya diam saja seraya mengamati sekitar. "Selena?" Suara dari sosok lelaki yang sempat kutemui diswalayan waktu itu. Menyadari kehadiran Mattew, tuan Marcell gegas mendekatkan posisi duduknya untuk lebih mendekat. "Dengan siapa Matt?" Mencoba berbasa-basi dengan mengamati gerak gerik tuan Marcell yang masih bersikap biasa. "Bersama temanku, oh ya semua teman sekelas kaget ketika aku memberi kabar bahwa kamu sudah menikah dan tinggal sekota denganku." Aku menelan saliva yang terasa berat, seandainya bisa saja kukatakan bahwa lelaki disebelahku ini bukanla
Tuan Marcell hanya memandangku dengan lekat, manik matanya yang kebiruan terlihat jelas bahkan rahangnya yang biasanya mengeras itu nampak begitu tegas. Aku bisa merasakan degup jantungku sendiri yang tak beraturan."Sel?" Aku menelan saliva mendengar suara seraknya. "Bolehkah aku menciummu?" Tanpa bisa menjawab pertanyaannya langsung menutup mataku seolah memberi kesempatan padanya. Sosok itu sudah menempelkan bibirnya pada bibirku. Fikiranku sudah berkelana dan membayangkan lebih tapi nyatanya dia langsung menarik bibirnya lagi. Ketika kubuka mata untuk melihatnya sudah beranjak didepan jendela memandang kearah laut. Aku mendecah kesal. Apalagi yang akan kuperbuat kali ini, menuruti kekecewaan dengan melanjutkan membersihkan ranjang yang masih belum kubereskan. "Sel." Kembali dia mendekat, dengan cepat aku langsung menarik selimut yang akan ku lipat tadinya. Memasang badan untuk berbaring diranjang dan menutup selimut sampai batas wajahku. Takku pedulikan lagi panggilannya. Tuan
Malam ini tidak berbeda dengan malamku sebelumnya yang masih saja berselimut ketakutan. Memakan sisa camilan tadi siang yang diantar Vika, biasanya dia sudah mengantar makan malamku tapi malam ini apakah dia terlupa? Sesekali menengok kearah pintu, takut bila tuan Marcell masuk dan entah apa yang akan dia lakukan padaku. "Sel." Suara serak khasnya yang membuka pintu bersamaan dengan Vika dibelakangnya membawa nampan yang sudah kutunggu sedari tadi. Setelahnya Vika langsung keluar kamar membawa bekas gelas kotor siang tadi. Tuan Marcell menata dua piring hidangan lengkap dimeja makan lalu menarikku agar duduk disebelahnya. Aku hanya menurutinya saja agar tak perlu memancing emosinya. "Habiskan makananmu." Tanpa disuruhpun pasti akan kuhabiskan makanan dihadapanku ini. "Sel." Panggilnya yang membuatku terpaksa menoleh. "Iya tuan?" Aku menatap kearahnya yang menunjukkan lukanya yang sudah berganti perban baru. "Tanganku masih sakit, tolong suapi aku." Aku melotot kearahnya tapi sek
"Tuan!" Aku berteriak kala dia menghores luka ketangannya, mengambil tissue yang ada didasboard mobilnya dan menekan lukanya dengan cepat. "Apa yang anda lakukan?" Bukannya sebuah jawaban yang ku dapati malah sebuah senyum yang mengembang. Untuk saat ini hanya bisa membersihkan lukanya menggunakan tissue yang ada. "Kau mencemaskanku?" Dia bersuara, mencekal tanganku yang masih berusaha menekan luka dengan tissue. "Tuan ini kenapa sih?" Aku malah membentaknya tak peduli dengannya yang mungkin akan marah setelah ini. "Apakah hobi anda memang menyakiti orang lain dan diri sendiri?" "Anggap saja ini perjanjian, sekali aku menyakitimu saat itu pula aku akan menyakiti diriku sendiri." Aku menoleh lagi kearahnya. *Sekembalinya kami kerumah ini, aku masih mendiamkannya walau sesekali merasa khawatir dengan luka ditangannya. Sepertinya tuan Marcell memang sudah gila. Kembali ke kamar, melepaskan beberapa aksesoris yang terpasang sebagai pelengkap penampilanku tadi. Toerdengar suara pint
Melihat tuan Marcell yang sepertinya akan marah aku langsung menunduk. "Maaf tuan." Terdengar suara jelaan nafas darinya. Kufikir dia akan memarahiku habis-habisan tapi nyatanya malah melajukan kembali mobilnya. *"Selena?" Seorang lelaki seusiaku yang tak sengaja bertemu di pusat perbelanjaan. Aku masih mengingat-ingat wajahnya yang sepertinya sangat tidak asing. "Kamu Selena bukan? Tak mengingatku?" Tanyanya lagi dan menepuk pundakku. "Mattew?" Yah, dia adalah teman sekolahku dulu. Walaupun tidak dekat tapi kita pernah sekelas. Dia tertawa dan menepuk pundakku berkali-kali. Aku melirik kearah tuan Marcell yang ada dibelakangku, wajahnya seakan menegang dan aku sangat paham situasi ini. "Kamu tinggal disini? Sejak kapan?" "Ehemm." Suara khas berserak dari arah belakang, tuan Marcell menngait jemariku sepertinua memberi isyarat bahwa aku akan mati setelah ini. "Temanmu?" "Sel?" Mattew nampak kebingungan, dia menatapku berharap diberi penjelasan tentang sosok yang kini sudah berdi
"Kenapa tak menelfonku sama sekali?" Aku baru saja ingat tentang ponsel yang diberi Nico kemarin. Dengan sangat takut aku memandang tuan Marcell. "Tu tuan." Lelaki itu balik memandang tajam kearahku. "Saya lupa menaruh ponselnya." Aku meletekkan alat yang belum selesai kugunakan lalu menutup wajahku dengan kedua tangan. Pasti dia akan menyiksaku lagi karena menghilangkan barang mahal itu. Tanpa kuduga tangan kekarnya malah menarik tanganku. "Tuan akan menyiksaku?" Lelaki itu justru menggeleng dan menampakkan senyumnya. Kemudian memelukku. "Asalkan bukan kamu yang menghilang." Ucapnya seraya mengecupi ujung kepalaku. Merasakan debaran jantung yang sangat terasa berpacu. Melihat kehangatan yang diberikannya kini pastilah membuatku sangat bahagia walaupun hanya sesaat. "Aku sangat merindukanmu." Tuan Marcell melepaskan pelukannya lalu menatapku sangat lekat. Bisa kurasakan hembusan nafasnya yang bercampur aroma mint. Mata birinya begitu indah dengan garis wajah berbalut bulu-bulu rap
"Vika, apakah kamu asli orang sini?" Aku bertanya kala Vika mengajakku duduk disebuah pinggiran pantai, lelaki botak yang kutahu bernama Nico itu juga ikut bergabung bersama kami. "Tidak, ibuku dulu juga pelayan keluarga besar Alexandro dikediamannya yang berada dikota X." Aku hanya mengangguk saja dan menebak mungkin yang dimaksudnya adalah keluarga tuan Marcell. "Rumah ini baru dibangun sekitar tiga tahun yang lalu hingga tuan Marcell membawa kita yang tinggal disini semuanya." Berarti benar yang diucapkannya semalam bahwa rumah ini sengaja dibangunnya untukku. Langsung saja menepis fikiran itu, tidak mungkin ucapannya benar. Nico membukakan tutup botol air mineral saat menyadari bahwa aku kesulitan saat akan meminumnya. Aku tersenyum kearahnya. "Kamu juga bukan orang sini?" Dia mengangguk lalu mengunyah sepotong kue yang dibawa oleh Vika dari rumah. "Berapa hari tuan Marcell akan pergi?" "Mungkin dua minggu." Kini mataku seolah membulat mendengar ucapan Nico. Wah kabar bagus sek