"Jawab!" Lelaki itu membentakku. Aku yang masih mengenakan lilitan handuk dengan rambut yang masih basah inipun hanya terpaku ditempat.
"Hanya pereda nyeri tuan." Jawabku ketakutan. Lelaki itu menatapku sangat tajam lalu berjalan mendekat. Menyeretku kearah kamar mandi, aku dipaksanya masuk kedalam bathup yang masih penuh dengan sisa rendamanku tadi.Tanpa seucap katapun dia menarik selang shower yang kemudian diarahkan keatasku."Tuan, ampun." Dengan gelagapan aku berusaha berucap pada sosok yang seperti kesetanan itu."Kamu berencana untuk bunuh diri lagi?" Kali ini dia menjambak rambutku hingga air dari shower itu mengenai wajahku. "Kenapa?"Apalagi yang bisa kulakukan, melawannya pun aku tak kuasa. Aku hanya bisa menangis dibalik suara air shower yang dia kencangkan. Memang lebih baik diam saja tanpa menjawab apapun.*Aku masih diam saja setelah lelaki itu menggantikanku handuk dan akhirnya sekarang sudah berada diatas ranjang. Dia dengan telaten mengeringkan rambutku dengan handuk lainnya.Entah apa yang sebenarnya terjadi dengan lelaki ini, mungkinkah dia memiliki pribadi ganda. Kadang akan muncul dengan amarah yang membara lalu datang lagi layaknya malaikat penolong."Pakailah!" Perintahnya setelah selesai dengan handuknya lalu memberiku sebuah gaun tidur yang transparan. Aku langsung memakainya saja tanpa berucap kata apapun.Lelaki itu masih menamatiku, aku berusaha tak berbalik melihatnya. Dia membelai rambutku seakan menunjukkan sebuah perhatian. Aku hanya diam saja tak menanggapi apapun."Ucapkan kata apapun, jangan hanya mendiamnkanku seperti ini." Kali ini akhirnya aku menoleh kearahnya."Saya sangat lelah." Begitu ucapku lalu berbaring dan membelakanginya. Aku menarik selimut untuk menutupi tubuhku, berusaha memejamkan mataku agar secepatnya tertidur dan mungkin cara ini sebagai ganti mengusirnya secara halus.Kenapa Tuhan malah mentakdirkanku bertemu dengan lelaki seram ini. Seharusnya hari ini aku bisa menghabiskan waktu dengan banyak kegiatan diluar sana tapi malah terkurung disini.Tak terasa bulir air membasahi wajahku, aku menahan suara tangis agar tak didengarnya. Kufikir dengan begitu dia akan berlalu pergi tapi nyatanya malah ikut berbaring disebelahku dan merengkuh tubuhku dari belakang.Kepalaku yang terasa berat mungkin karena terlalu banyak menangis, hingga aku memilih untuk membiarkan sosok dibelakangku itu dan memilih untuk tidur.Irama musik pelan sepertinya mengiringi ketenangan ini. Jelas melihat keseliling ruangan yang hanya nampak samar tanpa warna. Sosok yang tengah duduk disebelah ranjang itu sesekali membelai lembut wajahku.Apakah sudah malam? Aku juga tidak bisa memastikan. Jendela besar yang ada disana juga sudah tertutup tirai, ingin sekali membukanya karena disanalah aku bisa melihat malam dan siang bergantian. Tapi gerakku seakan tertahan terasa sangat berat.***Berat sekali membuka mata, saat menyadari bahwa ada sesuatu yang dingin dikeningku. Aku mengambil benda yang ternyata sebuah pengompres.Dihadapanku nampak lelaki itu menatapku dengan tatapan teduh yang sulit diartikan. Aku langsung gegas membalikkan badan untuk beralih posisi miring membelakanginya. Selimut yang awalnya hanya sebatas bawah dada kini kutarik agar menutupi seluruh badanku dan menyisakan lubang seukuran wajah saja.Tapi sosok itu malah mendekat ke hadapanku, ikut berbaring disebelah dan langsung merengkuhku."Aku tidak suka melihatmu seperti ini." Dia menarik kepalaku tepat didada bidangnya. Aku hanya diam saja karena ketakutan. Sekuatnya menutup mataku saja tanpa berucap sepatah katapun. "Kamu memilih untuk diam saja? Apa perlu kupaksa agar berbicara?" Suaranya melemah.Aku sendiri bingung harus menjawab apa. Kaetakutanku setiap melihatnya sudah tidak bisa ditahan lagi."Tuan, saya tidak pernah tau kenapa bisa berada ditempat ini. Bila memang bibi saya mempunyai hutang yang harus dibayar biarkan saya bekerja untuk membayar hutangnya.""Kamu tidak mau berada disini?" Tanya nya lagi. Tangannya yang berada dikepalaku terasa mengeras seperti menarik rambutku. Aku menggeleng saja menjawabnya. "Kenapa tidak mau disini? Jawab!""Saya sangat takut pada tuan." Tenggorokanku sepertinya tercekat menahan isak yang takut untuk kukeluarkan. Dengan mata yang masih menutup buliran air kembali keluar membasahai sebagian wajahku. Aku sangat yakin hari ini aku pasti dihabisinya.Namun kenyataannya tangan yang tadi menarik rambutku malah berpindah tempat kewajahku, dia menghapus air disekitar pipiku."Saya paling tidak suka melihatmu menangis."Cukup lama kami saling diam, dan akupun masih berselimutkan takut pada sosok lelaki yang masih pula mendekapku.Suara ketukan pintu yang membuatnya beranjak, terdengar suara Vika yang sepertinya mengantar makanan untukku. Masih berada dibalik selimut hingga Vika membangunkanku."Sel, ini aku. Bangunlah." Dia berbisik mendekat, dengan cepat aku langsung memeluknya dan meluapkan tangisanku. Tepukan pelan darinya yang berusaha menenangkanku itu terasa begitu menghangat."Aku ingin keluar dari sini Vika. Aku takut padanya." Ucapku terbata disela isak yang sudah kutahan sejak tadi."Tuan muda tidak akan menyakitimu." Kugelengkan kepalaku."Dia seperti monster Vika. Dia sangat menyeramkan." Mataku masih menutup karena takut."Baiklah, tenangkan dirimu dulu. Sudah kubawakan sarapan lezat seperti kemarin. Bukankah kamu ingin menu ini lagi." Kulepaskan pelukannya, lalu wanita itu mengambil nampan yang terletak dimeja sebelah ranjang. Aku tak mau menoleh kearah lainnya kecuali pada Vika. "Aku akan menunggumu sampai selesai makan."Setidaknya ada Vika yang mempedulikanku disini. Aku mulai melahap makanan itu."Bagaimana demammu?""Siapa yang demam? Aku?" Aku sendiri bahkan tidak sadae tengah demam. Atau mungkin alat kompres dikeningku tadi karena demam."Semalaman Tuan Marcell tidak tidur untuk menjagamu." Bagaimana aku bisa mempercayai ucapan Vika. Tak mungkin lelaki seram itu melakukannya, dia sendiri dengan kasarnya bersikap padaku. "Kenapa tiba-tiba demam? Padahal kemarin pagi kita masih bersama dan kamu terlihat sangat baik-baik saja."Mengingat kejadian setelah Vika pergi kemarin saja aku langsung menangis terisak."Vika, aku ingin mati saja kalau tidak bisa keluar dari sini." Tak mungkin aku menceritakan bagaimana kejamnya tuan Marcell padaku kemarin."Sudahlah, kamu hanya merasa jenuh karena hanya menghabiskan hari dikamar saja." Bagaimana lagi meyakinkannya bahwa aku sangat ketakutan bila berdekatan dengan tuannya itu. "Habiskan makanmu Sel." Aku harus mengisi tenaga agar bisa berfikir cara keluar dari sini.Setelah menghabiskan makanku, Vika segera keluar dari kamar. Aku masih meratapi takdir yang sepertinya mempermainkanku. Aku merindukan bibi yang walaupun sangat menyebalkan itu tapi setidaknya lebih nyaman berada didekatnya ketimbang bersama lelaki kejam itu.Baru saja akan bernafas lega karena tak menemukan sosok seram itu, tapi dia malah muncul dari kamar mandi. Apakah dia disana selama Vika menemaniku."Kamu bilang apa tadi? Ingin keluar dari sini?" Aku langsung menarik selimut yang ada diranjang untuk menutupi tubuhku. Berjalan mundur hingga menabrak lemari kaca kaca yang ada dibelakangku. "Kamu memilih mati saja ketimbang disini bukan?"Lelaki seram itu dengan telaten mengobati sikut ku, sebenarnya tidak seberapa hanya sebuah luka kecil karena pecahan kaca dari lemari yang dia lempar vas bunga. Aku masih belum berani menatapnya. Lelaki ini sungguh tak bisa kutebak. "Benarkah kamu sangat takut melihatku?" Aku mengangguk tanpa melihatnya. Rasanya sudah tidak tahan sekali beberapa hari saja bersamanya. Lelaki itu meletakkan kembali peralatan p3k ke meja lalu kembali mendekatiku, tanpa aba-aba apapun dia memelukku. "Aku hanya takut kamu pergi. Cukup disini saja dan aku janji tidak akan menyakitimu lagi." Entahlah aku sendiri tidak bisa mempercayai ucapannya. Lebih baik sekarang untuk tidak mengucapkan apapun karena hanya akan memancing emosinya saja. "Mengerti?" Aku mengangguk, lalu tuan Marcell membetulkan posisi selimutku. Vika datang untuk mengantarkan makan siang. Tuan Marcell gegas mengambil alih nampannya dan segera mungkin memberi isyarat pada Vika untuk keluar. Kali ini lelaki yang seram itu mulai menyuapka
"Aku tidak percaya kalau tuan akan mau menuruti kemauanku." Aku masih membelakanginya karena memang ketakutan yang masih saja kurasakan ketika melihatnya. "Ya, asalkan kau tetap disini aku akan melakukan apapun. Walaupun harus memaksamu dahulu." Aku hanya menghela nafas panjang mendengar ucapannya barusan. Sebaiknya aku memang harus menerima takdir hidup sebagai tawanan manusia keji ini. Lelaki itu beranjak menaiki ranjang, aku bisa merasakan bahwa dia juga ikut tidur disebelahku dan kemudian melingkarkan lengannya ke perutku. Buliran air mata kemudian jatuh, entah apa yang akan terjadi selanjutnya. "Kamu ingat seorang anak yang kamu tolong lima tahun yang lalu?" Mendengar pertanyaannya membuatku kembali mengingat kejadian yang dia maksudkan. "Seorang gadis kecil yang menyembunyikan anak laki-laki dalam sebuah tong sampah yang berada diujung perbatasan kota." *Hari ini memang sangat sial sekali, buku tugas yang harusnya aku bawa kesekolah malah tertinggal dirumah. Biasanya aku se
*Aku langsung bangkit dari posisi rebahannku. Memandang kearah lelaki kaku tersebut, senyumnya terpoles seolah memahami apa yang sedang kupertanyakan.Bagaimana bisa aku menyelamatkan seorang lelaki yang malah membuat hidupku seburuk ini. "Tuhan memang mentakdirkan kita untuk bersama. Jadi jangan berfikir bahwa aku akan meelepaskanmu begitu saja." Dia berucap seolah tak pernah menyakitiku, bila memang Tuhan mentakdirkanku untuk menghabiskan waktu bersamanya seumur hidup, sungguh nasibku pastilah sial sekali. Lelaki didepanku kini masih mengulas senyum, debaran jantung seakan tidak beraturan. Seandainya dia sehangat ini sepanjang waktu pastilah aku tidak perlu lagi merasakan ketakutan. Aku masih memandamg kearahnya, menikmati senyum selagi masih nampak disana sebelum semuanya berganti dengan wajah kejam seperti yang selalu dia tampakkan."Kenapa memandangku seperti itu?" Tanyanya, benar saja rautnya seketika berubah masam. Aku langsung menundukkan kepalaku membayangkan siksaan apa
Aku menurut saja ketika tuan Marcell menyuruhku masuk kedalam bathup bersamanya dari pada harus berakhir dengan siksaan yang mungkin lebih sakit lagi. Dengan lembut menggosok punggungku dan beralih hampir kesemua bagian atas badanku seperti tengah memandikan anak kecil."Hari ini aku yang akan mengantarmu kerumah sakit untuk mengecek jahitan kakimu." Ucapnya. Aku melihat kakiku yang dia posisikan dipinggiran buthup dengan perban yang sudah basah. Menghela nafas berat seraya menikmati setiap sentuhan dari tangan lelaki yang ada dibelakangku ini. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya tepat dibelakang telingaku hingga mencoba untuk menepis semua desiran yang kurasakan dengan memejamkan mata sekuat mungkin. "Tuan Marcell terlihat fokus pada kemudinya. Aku yang duduk disebelahnya memilih untuk menoleh kearah jendela saja. Sengaja aku tak berucap apapun sedari tadi begitupun sebaliknya. Hingga aku merasakan sentuhan kulit tangannya yang sudah menggenggam tanganku. Mendekatkan tanganku p
Melihat tuan Marcell yang sangat hangat hari ini membuatku sedikit melupakan ketakutan yang biasa kurasakan setiap bersamanya. Ternyata dia sudah menyiapkan beberapa kotak berisi makanan yang diletakkan dalam satu tas. Begitu juga sekantong kresek makanan ringan dan softdrink. "Anggap saja kita sedang piknik." Ucapnya setelah menata semua makanan tadi diatas kursi semen yang juga kududuki. Memandang langit diujung sore bersamaan angin yang lumayan kencang berhembus. Senyumnya masih mengulas diwajahnya. "Apakah aku sangat menyeramkan sekali sehingga membuatmu takut?" Tanyanya saat aku tengah menyuapkan sesendok makanan kedalam mulutku. Aku menggeleng pelan, takut sekali rasanya menjawab iya. "Tapi kenapa kamu selalu berusaha pergi dariku?" Tanyanya lagi, aku hanya bisa menundukkan kepala seraya mengunyah makanan dengan pelan. "Aku menyakitimu?" Sekali lagi aku hanya menggeleng. Baru saja aku menikmati kehangatan akan sikapnya, kini dia sudah mencengkeram kedua lenganku. "Lalu kenap
Giliran tuan Marcell yang terpaku menatapku. "Sel, pulanglah bersamaku." Suaranya melemah, aku mencoba untuk melepaskan genggamannya tapi tetap saja tenagaku masih kalah dengannya. "Rumah itu khusus kubangun untuk kita tinggali."***Aku terbangun dengan sosok lelaki yang masih memelukku diranjang. Semalam dia tak melepaskanku dan tanpa banyak bicara langsung menggendongku untuk masuk kedalam mobilnya. Apa lagi yang bisa kulakukan kecuali hanya menurutinya saja dari pada harus mendapatinya dengan amarah yang meledak. "Selena." Suara seraknya memang sangat khas, bahkan ketika tenang seperti ini aku sangat menyukainya. Setelah bangun tadi aku langsung beranjak dari ranjang dan sekarang tengah berdiri di depan jendela memandang hamparan laut yang luas. Tangan tuan Marcell meraih tanganku dan seperti biasanya aku hanya diam saja tanpa menanggapi apapun. "Aku sudah jatuh cinta pada seorang gadis kecil yang sudah mamasukkan ku pada tong sampah la
"Vika, apakah kamu asli orang sini?" Aku bertanya kala Vika mengajakku duduk disebuah pinggiran pantai, lelaki botak yang kutahu bernama Nico itu juga ikut bergabung bersama kami. "Tidak, ibuku dulu juga pelayan keluarga besar Alexandro dikediamannya yang berada dikota X." Aku hanya mengangguk saja dan menebak mungkin yang dimaksudnya adalah keluarga tuan Marcell. "Rumah ini baru dibangun sekitar tiga tahun yang lalu hingga tuan Marcell membawa kita yang tinggal disini semuanya." Berarti benar yang diucapkannya semalam bahwa rumah ini sengaja dibangunnya untukku. Langsung saja menepis fikiran itu, tidak mungkin ucapannya benar. Nico membukakan tutup botol air mineral saat menyadari bahwa aku kesulitan saat akan meminumnya. Aku tersenyum kearahnya. "Kamu juga bukan orang sini?" Dia mengangguk lalu mengunyah sepotong kue yang dibawa oleh Vika dari rumah. "Berapa hari tuan Marcell akan pergi?" "Mungkin dua minggu." Kini mataku seolah membulat mendengar ucapan Nico. Wah kabar bagus sek
"Kenapa tak menelfonku sama sekali?" Aku baru saja ingat tentang ponsel yang diberi Nico kemarin. Dengan sangat takut aku memandang tuan Marcell. "Tu tuan." Lelaki itu balik memandang tajam kearahku. "Saya lupa menaruh ponselnya." Aku meletekkan alat yang belum selesai kugunakan lalu menutup wajahku dengan kedua tangan. Pasti dia akan menyiksaku lagi karena menghilangkan barang mahal itu. Tanpa kuduga tangan kekarnya malah menarik tanganku. "Tuan akan menyiksaku?" Lelaki itu justru menggeleng dan menampakkan senyumnya. Kemudian memelukku. "Asalkan bukan kamu yang menghilang." Ucapnya seraya mengecupi ujung kepalaku. Merasakan debaran jantung yang sangat terasa berpacu. Melihat kehangatan yang diberikannya kini pastilah membuatku sangat bahagia walaupun hanya sesaat. "Aku sangat merindukanmu." Tuan Marcell melepaskan pelukannya lalu menatapku sangat lekat. Bisa kurasakan hembusan nafasnya yang bercampur aroma mint. Mata birinya begitu indah dengan garis wajah berbalut bulu-bulu rap
"Sel apakah kau masih takut denganku?" Aku hanya diam saja mendengar pertanyaan yang keluar darinya. "Sel, masih seramkah aku untukmu?" Aku menggeleng dengan lambat, senyum yang awalnya mengembang berubah raut sedikit kaku. Apakah lelaki ini akan marah lagi?"Tuan..." Tuan Marcell menggeser duduknya untuk menjauh dariku, entah kenapa aku justru merasakan desiran yang begitu menghujam perasaanku. "Maksudku bukan begitu." Nafasnya terdengar berat, wajahnya dipalingkannya tanpa melihatku. Aku yang masih memaku ditempatku ini mulai merasakan ketakutan bila lelaki ini akan memunculkan sifat tempramentalnya. Tanganku saling bertemu diatas pangkuanku, mencoba mempersiapkan diri untuk menyambut keadaan bilamana tuan Marcell benar-benar akan marah padaku. "Sel, aku tak tau bagaimana caranya membuatmu tak takut lagi. Tapi selama kamu masih tinggal disisiku selama itu pula aku akan berusaha untuk menaklukkan amarahku." Tuan Marcell mendekat lagi
*"Hei!" Teriak pemuda yang sepertinya ku temui beberapa hari lalu. Aku hanya menoleh kemudian kembali melanjutkan jalanku dan memilih untuk mengabaikannya saja. Baru saja beberapa langkah saja, tangan itu sudah berhasil menarikku untuk ikut duduk ditempat yang biasa kugunakam untuk melepas penat. "Kenapa?" Aku mencoba melepaskan eratannya, pemuda bermata biru itu hanya memaku didepanku dan belum mengucapkan sepatah katapun. "Kenapaaaa?" Aku menggeram. "Anggap saja ucapan terimakasih." Dia memberikan sebatang coklat seperti yang biasa dibeli teman-temanku. Melihat dia pergi aku membiarkannya saja, karena pandanganku kini hanya berfokus pada coklat yang sepertinya sangat enak sekali. Sudah lama aku ingin memakan voklat ini, tapi selalu alasan uang yang membuatku tak bisa merealisasikan keinginanku sendiri. Setelah memghabiskannya aku segera pulang, berjlana dengan riangnya menuju rumah bibi yang berjarak tak cukup jauh dari lapangan ini.
Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaannya. "Tuan tak akan meninggalkanku ditengah jalan lagi kan?" Mengingat kejadian kapan lalu saat dia meninggalkanku dipinggiran laut yang jauh dari rumah. Tuan Marcell menggeleng lalu membelai ujung kepalaku, sungguh hangat sekali sikapnya yang membuatku mengembangkan senyum untuknya. Nampak tuan Marcell melirik kearah arloji dipergelangan tangannya, aku hanya diam saja seraya mengamati sekitar. "Selena?" Suara dari sosok lelaki yang sempat kutemui diswalayan waktu itu. Menyadari kehadiran Mattew, tuan Marcell gegas mendekatkan posisi duduknya untuk lebih mendekat. "Dengan siapa Matt?" Mencoba berbasa-basi dengan mengamati gerak gerik tuan Marcell yang masih bersikap biasa. "Bersama temanku, oh ya semua teman sekelas kaget ketika aku memberi kabar bahwa kamu sudah menikah dan tinggal sekota denganku." Aku menelan saliva yang terasa berat, seandainya bisa saja kukatakan bahwa lelaki disebelahku ini bukanla
Tuan Marcell hanya memandangku dengan lekat, manik matanya yang kebiruan terlihat jelas bahkan rahangnya yang biasanya mengeras itu nampak begitu tegas. Aku bisa merasakan degup jantungku sendiri yang tak beraturan."Sel?" Aku menelan saliva mendengar suara seraknya. "Bolehkah aku menciummu?" Tanpa bisa menjawab pertanyaannya langsung menutup mataku seolah memberi kesempatan padanya. Sosok itu sudah menempelkan bibirnya pada bibirku. Fikiranku sudah berkelana dan membayangkan lebih tapi nyatanya dia langsung menarik bibirnya lagi. Ketika kubuka mata untuk melihatnya sudah beranjak didepan jendela memandang kearah laut. Aku mendecah kesal. Apalagi yang akan kuperbuat kali ini, menuruti kekecewaan dengan melanjutkan membersihkan ranjang yang masih belum kubereskan. "Sel." Kembali dia mendekat, dengan cepat aku langsung menarik selimut yang akan ku lipat tadinya. Memasang badan untuk berbaring diranjang dan menutup selimut sampai batas wajahku. Takku pedulikan lagi panggilannya. Tuan
Malam ini tidak berbeda dengan malamku sebelumnya yang masih saja berselimut ketakutan. Memakan sisa camilan tadi siang yang diantar Vika, biasanya dia sudah mengantar makan malamku tapi malam ini apakah dia terlupa? Sesekali menengok kearah pintu, takut bila tuan Marcell masuk dan entah apa yang akan dia lakukan padaku. "Sel." Suara serak khasnya yang membuka pintu bersamaan dengan Vika dibelakangnya membawa nampan yang sudah kutunggu sedari tadi. Setelahnya Vika langsung keluar kamar membawa bekas gelas kotor siang tadi. Tuan Marcell menata dua piring hidangan lengkap dimeja makan lalu menarikku agar duduk disebelahnya. Aku hanya menurutinya saja agar tak perlu memancing emosinya. "Habiskan makananmu." Tanpa disuruhpun pasti akan kuhabiskan makanan dihadapanku ini. "Sel." Panggilnya yang membuatku terpaksa menoleh. "Iya tuan?" Aku menatap kearahnya yang menunjukkan lukanya yang sudah berganti perban baru. "Tanganku masih sakit, tolong suapi aku." Aku melotot kearahnya tapi sek
"Tuan!" Aku berteriak kala dia menghores luka ketangannya, mengambil tissue yang ada didasboard mobilnya dan menekan lukanya dengan cepat. "Apa yang anda lakukan?" Bukannya sebuah jawaban yang ku dapati malah sebuah senyum yang mengembang. Untuk saat ini hanya bisa membersihkan lukanya menggunakan tissue yang ada. "Kau mencemaskanku?" Dia bersuara, mencekal tanganku yang masih berusaha menekan luka dengan tissue. "Tuan ini kenapa sih?" Aku malah membentaknya tak peduli dengannya yang mungkin akan marah setelah ini. "Apakah hobi anda memang menyakiti orang lain dan diri sendiri?" "Anggap saja ini perjanjian, sekali aku menyakitimu saat itu pula aku akan menyakiti diriku sendiri." Aku menoleh lagi kearahnya. *Sekembalinya kami kerumah ini, aku masih mendiamkannya walau sesekali merasa khawatir dengan luka ditangannya. Sepertinya tuan Marcell memang sudah gila. Kembali ke kamar, melepaskan beberapa aksesoris yang terpasang sebagai pelengkap penampilanku tadi. Toerdengar suara pint
Melihat tuan Marcell yang sepertinya akan marah aku langsung menunduk. "Maaf tuan." Terdengar suara jelaan nafas darinya. Kufikir dia akan memarahiku habis-habisan tapi nyatanya malah melajukan kembali mobilnya. *"Selena?" Seorang lelaki seusiaku yang tak sengaja bertemu di pusat perbelanjaan. Aku masih mengingat-ingat wajahnya yang sepertinya sangat tidak asing. "Kamu Selena bukan? Tak mengingatku?" Tanyanya lagi dan menepuk pundakku. "Mattew?" Yah, dia adalah teman sekolahku dulu. Walaupun tidak dekat tapi kita pernah sekelas. Dia tertawa dan menepuk pundakku berkali-kali. Aku melirik kearah tuan Marcell yang ada dibelakangku, wajahnya seakan menegang dan aku sangat paham situasi ini. "Kamu tinggal disini? Sejak kapan?" "Ehemm." Suara khas berserak dari arah belakang, tuan Marcell menngait jemariku sepertinua memberi isyarat bahwa aku akan mati setelah ini. "Temanmu?" "Sel?" Mattew nampak kebingungan, dia menatapku berharap diberi penjelasan tentang sosok yang kini sudah berdi
"Kenapa tak menelfonku sama sekali?" Aku baru saja ingat tentang ponsel yang diberi Nico kemarin. Dengan sangat takut aku memandang tuan Marcell. "Tu tuan." Lelaki itu balik memandang tajam kearahku. "Saya lupa menaruh ponselnya." Aku meletekkan alat yang belum selesai kugunakan lalu menutup wajahku dengan kedua tangan. Pasti dia akan menyiksaku lagi karena menghilangkan barang mahal itu. Tanpa kuduga tangan kekarnya malah menarik tanganku. "Tuan akan menyiksaku?" Lelaki itu justru menggeleng dan menampakkan senyumnya. Kemudian memelukku. "Asalkan bukan kamu yang menghilang." Ucapnya seraya mengecupi ujung kepalaku. Merasakan debaran jantung yang sangat terasa berpacu. Melihat kehangatan yang diberikannya kini pastilah membuatku sangat bahagia walaupun hanya sesaat. "Aku sangat merindukanmu." Tuan Marcell melepaskan pelukannya lalu menatapku sangat lekat. Bisa kurasakan hembusan nafasnya yang bercampur aroma mint. Mata birinya begitu indah dengan garis wajah berbalut bulu-bulu rap
"Vika, apakah kamu asli orang sini?" Aku bertanya kala Vika mengajakku duduk disebuah pinggiran pantai, lelaki botak yang kutahu bernama Nico itu juga ikut bergabung bersama kami. "Tidak, ibuku dulu juga pelayan keluarga besar Alexandro dikediamannya yang berada dikota X." Aku hanya mengangguk saja dan menebak mungkin yang dimaksudnya adalah keluarga tuan Marcell. "Rumah ini baru dibangun sekitar tiga tahun yang lalu hingga tuan Marcell membawa kita yang tinggal disini semuanya." Berarti benar yang diucapkannya semalam bahwa rumah ini sengaja dibangunnya untukku. Langsung saja menepis fikiran itu, tidak mungkin ucapannya benar. Nico membukakan tutup botol air mineral saat menyadari bahwa aku kesulitan saat akan meminumnya. Aku tersenyum kearahnya. "Kamu juga bukan orang sini?" Dia mengangguk lalu mengunyah sepotong kue yang dibawa oleh Vika dari rumah. "Berapa hari tuan Marcell akan pergi?" "Mungkin dua minggu." Kini mataku seolah membulat mendengar ucapan Nico. Wah kabar bagus sek