"Hari ini kamu mau kemana, Ay?" tanya Viki.
"Aku mau dateng ke pertandingan bola anak-anak. Mereka kan ada pertandingan persahabatan sama bank sebelah," jawab Arum membenarkan letak ponselnya.
"Jam berapa emang?" tanya Viki lagi.
"Ya nanti sore sih. Rencana berangkat jam tiga,” jawab Arum lagi melirik jam di tangannya.
"Ya udah aku anter. Telat dikit tapi ya. Tunggu aku selesai anter Jay ke tukang servis laptop," jelas Viki.
"Emang gak ngrepotin? Aku bisa berangkat sendiri kok," Arum meyakinkan diri.
"Udah, gak pake acara nolak-nolak segala ya," Viki bicara lagi dengan sangat lembut.
"Iya udah iya iya., terserah kamu aja!" jawab Arum memilih mengiyakan karena tak ingin berdebat lebih panjang melalui panggilan video dengan kekasih brondongnya, Viki.
Arum alias Chintya Aprilia Kusumaningrum, janda tanpa anak berusia 30 tahun yang bekerja sebagai staf HR di sebuah bank swasta di Malang. Wajah manis dengan rambut lurus sebahu. Tubuh ideal dengan pipi chubby. Sedikit tomboy, supel, aktif, mandiri, dan pekerja keras. Sudah dua bulan ini pacaran dengan rekan kerjanya di kantor, Viki alias Viki Narendra Gautama. Seorang perjaka tingting berusia 25 tahun yang bekerja sebagai customer service. Manis dengan kulit sawo matang. Baik, pekerja keras, dan ya sesekali masih suka genit sama nasabah. Setidaknya itulah yang Arum tahu untuk saat ini.
Sesuai janji, sampai juga Viki didepan rumah Arum sore hari itu. Rumah orang tua Arum lebih tepatnya. Dia tinggal di sana hanya bersama ibunya yang sudah berusia senja. Sedangkan sang ayah sudah lebih dulu meninggalkan mereka tiga tahun lalu. Arum keluar rumah dengan celana jins kesayangan dan hem kotak bewarna biru. Tak lupa tas ransel mini nya dengan make up tipis dan rambut yang dibiarkan tergerai. Ciri khas penampilannya sehari-hari yang nyaman dan sederhana. Segera menyambar helm yang sudah disiapkan sang kekasih."Dimana ini tempatnya?" tanya Viki."Di sebelah Mall Bahari," jawab Arum singkat.
“Ok pegangan, kita meluncur!”
Tidak banyak yang mereka bicarakan selama di jalan. Hanya basa-basi saja seperti biasa. Perjalanan 15 menit pun mereka sampai lokasi. Arum langsung turun saja dan masuk ke dalam lapangan futsal beriringan dengan Viki. Bergandengan tangan? Tentu tidak. Arum bukan tipe wanita yang suka bermanja-manja dengan prianya. Itu sangat menggelikan baginya. Itu juga kenapa sulit untuk rekan kerja mereka yang lain untuk menebak apa hubungan Arum dengan Viki sebenarnya. Keduanya tidak ingin memberi klarifikasi bak selebriti. Biarkan semuanya mengalir seperti air. Toh cepat atau lambat teman-teman mereka akan mengetahuinya.
Pertandingan sedang berlangsung. Arum mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ada beberapa sosok yang tak dikenalnya di sisi kiri ruangan yang kemungkinan besar adalah mereka dari bank lawan. Salah satunya memandang Arum dan melempar senyum saat mata mereka tak sengaja bertemu. Tentu sebagai bentuk sopan santun Arum balas tersenyum walau dengan sedikit kerut di dahinya.Arum beralih melihat beberapa rekannya yang sedang bertanding. Di pinggir lapangan sisi kanan ada beberapa sosok yang dikenalnya. Agus dari IT, Bari dari security, Jimi dari akunting, Juki dari marketing, dan Ojin yang juga CS sama seperti Viki. Tak begitu akrab memang tapi Arum tentu saja mudah membaur. Sedangkan Viki sudah mulai menyulut rokoknya bersama Ojin yang kebetulan memang cukup akrab dengannya.
Kedatangan mereka berdua tentu mengundang bisikan penasaran segera termasuk Ojin.
"Kalian tuh pacaran?" tanya Ojin ke Viki."Emang kalo dateng bareng gini harus pacaran?" Viki malah balik tanya."Hm, ya gak juga sih. Ya kali aja. Kalian sok misterius banget berdua," jawab Ojin enteng."Ato lu yang kepo?" respon Viki enteng.
"Ya emang sih kamu mau pacaran sama siapa juga bukan urusan aku. Cuman pesen aja aku tuh, jangan suka mainin cewek. Kasian dia. Setau aku, dia baru cerai kan sama suaminya?" Ojin mencoba peruntungan."Gak usah sok suci deh! Mending kamu urusin tuh duo teller yang kamu PHPin terus itu. Mereka masih enggak berhenti ngejar-ngejar kamu kan?" ejek Viki balik yang membuat Ojin meringis memilih untuk melanjutkan kegiatan menghisap rokoknya.Beda lagi dengan Arum yang juga diinterogasi oleh Agus yang memang cukup terkenal di bank karena paling update mengenai gosip-gosip terhangat masa kini. Jangan heran, mulut laki-laki di tempat Arum bekerja bahkan lebih licin dari perempuan. Agus mungkin bahkan tahu rahasia terkecil apapun yang terjadi di bank saat ini."Udah terang-terangan sekarang bawa Viki?" godanya."Ya ngapain juga gelap-gelapan, Gus. Ada-ada aja!" timpal Arum."Ya pokoknya kalo ada kabar bahagia tuh dibagi-bagi gitu. Kan biar kita juga ikut seneng." pancing Agus."Hahaha. Kita? Ya kamu aja kali, Gus. Lumayan dapat bahan ghibah baru kan?" serang Arum karena memang dia yakin besok di bank, acara keluarnya dengan Viki hari ini akan menjadi berita panas.Agus ataupun rekan lainnya sebenarnya penasaran. Tapi tak pernah bertanya secara blak-blakan karena Arum dan Viki sendiri nampaknya tidak terlalu ingin hubungannya dibahas. Makanya mereka selalu memberi jawaban yang ambigu dan berputar-putar tiap ditanya.Pertandingan futsal itu memang tidak lama, setelah sekitar satu jam pertandingan usai. Arum pamit pulang pada orang-orang yang dia kenal. Karena lapar, dia minta Viki untuk menemaninya makan malam lalapan favorit yang kebetulan searah dengan rumah Arum."Laper apa doyan sih, Ay?" tanya Viki jahil melihat lahapnya Arum makan bebek goreng di hadapannya."Laper… tapi doyan. Hehehe,” jawab Arum setelah meneguk es jeruk pesanannya."Ya udah makan yang banyak biar makin gendut," goda Viki lagi."Hm, nanti aku nya gendut kamu nya lari. Udah ketebak!" ejek Arum."Hahaha. Baper amat. Ya enggak lah. Aku mah udah cinta mati sama kamu, Ay!" goda Viki."Halah gombal! Emang kamu kira mempan gitu ngomong sok-sokan manis ke aku?" seru Arum lagi.Viki hanya bisa tertawa melihat tingkah sang kekasih. Hubungan mereka memang tidak terlalu kaku juga yang membuatnya justru merasa nyaman dalam menjalani hubungan. Arum juga bukan tipe wanita yang suka jaim, tapi lebih santai dan apa adanya saja. Masing-masing lanjut menikmati sepiring nasi bebek penyet plus es jeruk.Setibanya di rumah karena jam masih menunjukkan pukul tujuh, Viki memilih mampir sebentar. Arum sudah keluar dari dapur membawakan kopi panas untuk sang pujaan hati. Lalu tidak sengaja melihat brosur perumahan yang tergeletak di lantai. Seseorang pasti taruh itu di sana. Arum mulai membacanya dengan seksama."Vik, ini loh bagus perumahan. Enggak pake uang muka, cicilannya juga murah terus flat, dan lokasinya juga bagus loh. Kamu gak pengen beli?" tanya Arum."Buat apa? Masih ada rumah ortu aku di Surabaya," jawab Viki singkat."Ya buat investasi lah, Viki! Daripada kamu kos kaya sekarang kan sama-sama keluar duit juga tiap bulan. Nambah dikit kamu bisa nyicil rumah dan kamu enggak perlu tinggal di kos lagi," bujuk Arum lagi."Ya udah sini coba aku bawa tuh brosur. Nanti biar aku liat-liat lagi!" langsung sambar saja Viki."Enak loh punya rumah sendiri. Misal ortu kamu pengen jenguk, ya mereka bisa nginep situ. Atau ada temen-temen kamu pengen main juga bisa lebih bebas di situ. Aku dukung pokoknya kamu beli rumah. Nanti kalau kamu minat, aku bisa temenin kamu liat lokasinya!" bujuk Arum tiada henti."Ay, kamu nih ngerangkap marketing perumahan ya? Ngotot banget aku disuruh beli rumah. Ato jangan-jangan itu modus aja? Kamu kan yang sebenernya pengen main rumah aku? Iya kan? Hehehe," goda Viki."Hah, repot emang ngomong sama perjaka tua. Pikirannya ya anda, gak jauh-jauh dari selangkangan!" ejek Arum."Hah? Selangkangan? Emang aku ngomong apaan? Ya kamu kali yang mikirnya kesana. Aku enggak tuh!" Viki semakin semangat menghoda sang kekasih.Sebuah cubitan keras di lengan Viki menjadi hadiah untuk keusilannya, "terusin kamu ya! Udah pulang sana! Udah malem aku capek mau tidur!""Sakit banget, Ay! Ngapain sih cubit segala? Ya udah kalo gitu aku pulang ya. Pamitin ke mama kamu jangan lupa!" kata Viki."Iya iya ok. Ya udah sana ati-ati. Sama makasih tadi udah nemenin," kata Arum lagi melambaikan tangan.Begitulah kehidupan Arum sekarang. Manis karena Viki yang menemani hari-harinya. Walau mungkin bagi sebagian orang hubungan mereka terlihat tak biasa. Viki yang berusia lima tahun lebih muda darinya juga perbedaan status yang mencolok antara keduanya, seringkali menjadi bahan gunjingan dari orang-orang yang mengenal mereka. Arum juga tidak menutup mata dan telinga, dia tahu teman-temannya di kantor sering membicarakannya, tapi dia tidak pernah ambil pusing.Arum memilih menonton drama korea di kamarnya, tapi dia tidak sendirian. Seekor kucing persia jantan yang sangat gendut bernama Jelly selalu menemaninya. Rebahan santai di samping sang empunya. Arum mengecek ponsel yang sedari tadi tak tersentuh. Membuka i*******m dan memperhatikan story teman-teman onlinenya hingga tak sengaja menemukan foto mantan suaminya bersama seorang wanita yang tak tahu siapa. Selfie mesra dengan senyum lebar ke arah kamera. Dia Puja Nugrawan Prasojo atau dia selalu memanggilnya Mas Pras.Tidak ada yang salah pada hubungannya dengan Pras. Dia pria yang sangat baik juga sabar dan bertanggungjawab. Seorang pembawa acara berita di stasiun televisi lokal di daerahnya. Ya mereka memang tinggal berjauhan sejak pertama kali menikah. Arum tinggal di Malang, maka Pras tinggal di Blitar. Tidak ada yang berniat mengalah. Masing-masing terlanjur mencintai pekerjaan juga keluarganya. Mereka toh akan tetap bertemu di penghujung minggu. Kebanyakan Pras yang akan berkunjung ke Malang dan sesekali sebaliknya.Walau semuanya tampak baik, tapi mungkin itulah salah satu penyebab keretakan rumah tangga mereka. Pada akhirnya rasa yang membuncah itu mereda menjadi jenuh. Cinta yang besar itu memudar dan melebur. Kasih yang indah dan perhatian yang nyata itu kini kabur. Akhirnya pernikahan mereka kehilangan percikannya dan dengan sangat terpaksa memilih untuk berpisah dengan dalih kebahagiaan bersama.Apa kamu bahagia sekarang, Mas? Aku kok kangen sih, Mas. Kangen kamu boncengin aku naik vespa kesayanganmu. Kangen kita jalan-jalan random ke mall. Kangen kamu ajakin keliling cari berita bagus buat stasiun TV-mu. Kangen kamu yang sabar banget ngadepin aku yang super cerewet.Munafik kalau Arum mengatakan bahwa dia lupa. Kenangan itu akan selalu ada. Bagaimanapun Mas Pras pernah menjadi bagian terpenting dalam delapan tahun kehidupannya. Berpengaruh begitu besar membentuk sosoknya yang saat ini. Walaupun sekarang hanya tersisa setumpuk sesal yang selalu datang belakangan, namun dia berusaha begitu keras untuk bangkit dan mengambil semua pelajaran berharga.Berapa bulan yang lalu di kantor Arum,"Arum, kamu dipanggil sama Pak Yos tuh!" panggil Rizki."Aku? Ok!" Arum gerak cepat masuk ke ruangan Pak Bos nya yang ajaib itu.Arum mengetuk pintu dan masuk saja perlahan,"Selamat ulang tahun istriku.""Loh Mas Pras? Kok bisa di sini?" Arum tidak tahu harus memasang ekspresi bagaimana.Mas Pras tetap tersenyum dengan sebuket bunga di tangannya. Sengaja duduk di kursi atasan Arum untuk mengerjainya. Lalu rekannya yang lain ikut masuk membawa kue juga cemilan lainnya. Menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Pak Yos, Lili, Asti, Rizki, Uli, dan Tri.Hari ini memang hari ulang tahun Arum yang bertepatan jatuh pada tanggal 15 April setiap tahunnya."Selamat ulang tahun ya Arum," salam Pak Yos padanya.Masing-masing memberi ucapan selamat lalu lanjut memotong kue dan menikmati cemilan yang tersedia. Ya selayaknya kejutan ulang tahun pada umumnya."Gimana nih kejutannya kira-kira?
Sebuah pesan masuk dari Pak Yos yang memintanya datang ke ruangan. Kebetulan Arum sedang keliling melihat kondisi kantor.Arum terburu-buru meninggalkan semmua pekerjaannya dan setelah 10 menit berjalan cukup jauh akhirnya tiba juga di depan ruangan sang bos. Dia mengetuk dan masuk ke dalam ruangan Pak Yos. Ya itu memang sudah kebiasaan di HR. Bisa masuk walau sang bos belum mempersilahkan dari dalam."Duduk dulu Arum," Pak Yos mempersilahkan.Arum menurut saja segera duduk di sana. Masih berusaha mengatur nafas yang ngos-ngosan. Pasti ada pekerjaan lainnya yang harus dia kerjakan. Pak Yos masih bicara di telepon entah dengan siapa. Arum meneliti ruangan dominasi warna putih gading ini. Berkas yang selalu berserakan di atas mejanya penuh tumpukan dokumen yang perlu di tanda tangani. Di sudut ruangan berjejer beberapa piala juga plakat tentu beberapa ordner berisi dokumen. Lengkap dengan cahaya matahari yang masuk melalui sela-sela tirai."Arum,
Arum sudah memutuskan, daripada terus kepikiran sama si brondong alay, dia akan pergi ke Blitar akhir minggu nanti. Mas Pras sudah bilang sebelumnya kalau minggu ini tidak bisa ke Malang karena ada acara keluarga pernikahan sepupunya. Arum ingin pergi ke Blitar, hitung-hitung memberi kejutan untuk sang suami. Dia memang tidak memberi kabar mengenai kedatangannya tentu saja.Hari Sabtu itu Arum sampai di terminal Blitar. Sudah memberi kabar pada sang suami yang tiba sebentar lagi. Dia sedang menunggu di pintu keluar sampai vespa biru kesayangan sang suami terlihat di kejauhan. Seperti biasa dengan senyum lebarnya Pras datang. Suaminya ini jujur saja memang biasa-biasa saja secara fisik. Tidak terlalu tampan, tapi tinggi dan juga tegap dengan kulit sawo matang khas pria Indonesia. Mas Pras punya senyum yang teduh. Bahkan tanpa harus mengenalnya, orang akan langsung tahu kalau dia orang yang baik dan sabar. Arum langsung mencium tangannya. Pras memberikannya helm dan
Sesampainya di rumah setelah rentetan acara pernikahan yang padat itu, Arum memilih mandi untuk mengusir gerah. Waktu itu digunakan Pras untuk membuka I*******m milik istrinya. Dia ingat berteman dengan beberapa rekan kerja Arum di kantor walau selama ini pun dia juga sudah melakukannya. Pras menyusun rencana kecil dari sana. Dia ingin mencari beberapa petunjuk dari teman-teman barunya. Melihat daftar teman mereka, lalu mengumpulkan beberapa nama yang terkait dengan Viki, dan mencocokkannya dengan semua daftar teman Arum yang menjadi temannya di I*******m. Enggak mungkin kan aku DM ke salah satu temen Arum? Pasti mereka bakalan bingung kenapa aku enggak langsung aja tanya ke Arum daripada repot-repot DM mereka. Lagipula ya kalau si Viki ini memang teman kerja Arum, kalau bukan gimana? Yang ada malah pada curiga nanti temen-temen Arum sama kita. Tentu saja karena daftarnya cukup banyak dan Arum juga sudah akan selesai mandi, pekerjaan itu tak akan selesai malam ini. Pras bahkan berpik
Sedangkan di Kota Malang, di kantornya siang itu, Arum ikut menangis juga. Beruntung dia masih sempat mengirimkan presentainya pada Pak Yos. Beliau sedang sibuk dengan dunianya sekarang. Dia tidak akan menyadari kalau salah satu anak buahnya sedang menangis sangat keras di salah satu sudut ruangan. Suara tangisan yang sebenarnya sampai juga di telinga Asti dan Lili yang berada di sisi lain ruangan.Arum sama sekali tidak menyangka rumah tangganya akan berakhir seperti ini. Tentu selama ini dia juga merasa pernikahannya tidak baik-baik saja, tapi bukan begini perpisahan yang dia inginkan. Bukan karena ada laki-laki lain seperti yang Mas Pras pikirkan. Bukan karena gosip perselingkuhan yang entah dia dengar dari siapa. Apapun yang dimulai dengan niat baik, Arum ingin mengakhirinya secara baik, begitu juga pernikahan ini.Darimana dia bisa tahu tentang Viki? Apa ada yang cerita sama dia? Siapa yang cerita sama dia?Arum tiba-tiba penasaran. Tentu saja bukan ingin menyalahkannya siapapun
Lalu bagaimana dengan Viki? Semenjak bertengkar hebat dengan Pras kala itu, Arum tidak pernah lagi berkomunikasi dengannya. Viki terus menerus telpon dan mengirim pesan, tapi Arum tidak pernah merespon. Bahkan untuk bertemu di kantor pun mereka hampir tak pernah, karena Arum selalu berhasil menghindar. Tentu saja Viki mendengar kabar bahwa Arum sudah bercerai dari gosip-gosip karyawan lain, tapi dia belum yakin selama Arum belum menceritakan semua padanya. Empat bulan lalu, saat Viki sedang merokok di jam istiharat mereka. "Aku pengen ngomong serius nih sebagai cowok sama cowok!" Agus mendekat pada Viki yang terlihat sedang asyik dengan batang rokoknya. "Apaan sih? Sok serius banget!" kata Viki tanpa tahu apa yang terjadi. "Kamu tahu enggak kalo Arum tuh lagi proses cerai sama suaminya?" Selidik Agus yang merupakan biang gosip paling tenar seantero kantor. "Hah! Serius?" Viki tentu saja terkejut. "Sok kaget segala sih! Kan kamu lagi deket sama Arum belakangan ini. Masa enggak tau
"Guys guys… aku punya berita besar!" Rizki mulai bicara."Apaan sih?" tanya Lili tentu saja segera ingin tahu."Kata Agus, Viki sama Arum kemaren dateng bareng liat anak-anak main bola!" Rizki sedikit berbisik dengan ekspresi wajah yang sangat intens."Eh serius? Astaga!" kata Uli membulatkan mata bahkan berdiri dari kursinya menghampiri Rizki untuk mendengar lebih banyak.“Serius! Banyak kok saksinya,” Rizki masih menggebu."Semakin terbuka aja ya mereka? Enggak habis pikir deh!" kata Lili menyilangkan tangan di depan dadanya."Apaan sih? Ngomongin Arum ya?" Tri tiba-tiba ikut bicara yang hanya diangguki oleh teman-temannya."Beneran kok itu. Aku malah liat sendiri kemaren di lapangan. Cuman Arum emang enggak liat aku. Aku datang cuman kasih konsumsi sama air mineral aja terus pergi lagi," kata Tri santai."Wah, saksi kunci nih!" celetuk Uli."Jadi menurut kalian, mereka emang ada hubungan?" tanya Asti yang akhirnya penasaran juga."Ya kita pikir bareng-bareng aja sih sekarang, kalo
Beberapa hari kemudian, tepatnya di penghujung minggu, Viki menelpon Arum melalui panggilan video dari kamar kosnya,"Akhirnya kredit rumah aku disetujuin loh, Ay. Aku udah mulai nyicil dua bulan lagi," seru Viki malam itu."Iya tah? Syukur kalo gitu! Selamat ya!" Arum ikut senang karena Viki mendengarkan saran darinya."Rumahnya sih udah tiga perempat jadi. Nanti kalo jadi, terus bapak ibu aku dateng, aku mau adain selamatan kecil-kecilan. Ya paling dua bulanan lagi," angan Viki."Hehehe. Iya iya siiip. Bagus itu," Arum merespon singkat saja."Capek banget kayanya kamu ya? Muka kamu kok lemes banget sih?" Viki bertanya."Iya. Aku capek banget. Hari ini banyak banget yang harus dikerjain. Pak Yos juga marah-marah terus seharian. Enggak tau dah kesambet apaan. Emang kayanya enggak bisa kalo enggak marahin anak buahnya sehari aja," Arum bicara."Hehehe. Kamu tuh enggak pernah ada habisnya ya kalo nyeritain Pak Yos," goda Viki."Iya emang iya. Bisa berbusa kayanya deh mulut aku kalo ceri
Setelah hampir lima tahun melewati hal-hal yang menguras tenaga, pikiran, dan emosinya, Arum berhasil melepaskan semuanya. Sesuai janjinya pada diri sendiri dan apa yang dia katakan pada semua orang di sekitarnya, dia ingin fokus untuk membahagiakan diri sendiri dan sang mama. Malam ini, Arum merebahkan diri di ranjang kesayangannya bersama Jelly. Televisi menyala mempertontonkan sinetron favoritnya. Besok weekend dan Arum sudah merencanakan ingin mengajak Jelly pergi ke salon hewan untuk mendapatkan perawatan. Kali ini sekaligus mengajak mamanya yang memang sangat sayang pada Jelly bahkan sudah dianggap seperti anak sendiri. “Mama, besok kita pergi sama Jelly ya. Kita anter dia ke salon biar makin cakep,” ajak Arum semangat. “Habis itu ya kita juga ke salon ya? Sekali-kali mama ini pengen perawatan gitu. Cuci muka apa rambut itu apa namanya?” rajuk Mama Tina pada anak satu-satunya itu. “Hahaha. Mama mau? Ya udah kalo gitu besok kita juga ke salon. Kita anter Jelly dulu terus kita k
“Mau kemana kita hari ini?” Awan menawarkan. “Ya bukannya kamu yang ngajakin aku tadi. Emang kamu mau kemana?” Arum balik bertanya. Awan melihat lekat pada sosok Arum. Wanita itu hari ini tampak cantik walau hanya mengenakan celana jins dan kaos polo berkerah. Tentu saja sebenarnya itu hanya perasaannya saja karena penampilan Arum sama sekali tak pernah berubah dan masih seperti biasanya. “Wan? Kok malah ngelamun sih?” Arum menyadari tingkah aneh pria itu. “Eh eh iya maaf. Aku ini loh. Hm, mau beli mainan aja buat Athir. Kamu mau nemenin kan?” Arum jadi berpikir jauh lagi. Pria disampingnya ini begitu menyayangi keluarganya dan apakah pantas dia datang begitu saja dan sangat mungkin menyebabkan kehancuran untuk keharmonisan keluarga kecil itu. “Arum? Kok jadi kamu yang ngelamun sih?” Awan yang tak kunjung mendapat jawaban. “Ah iya. Aku bebas aja sih anterin kemana aja kamu mau. Aku nanti cuman mau liat-liat tanaman aja buat mama di pasar bunga.” Arum tersenyum kikuk. “Owh ok ka
Arum dan mamanya masih berada di ruang tamu kecil mereka. Rumah yang memang sudah mereka tempati selama berpuluh-puluh tahun sejak papa dan mama Arum menikah. Rumah ini menjadi saksi kunci bagaimana Arum lahir hingga sedewasa ini. Rumah ini melihat jelas tawa tangis dan segala rasa yang Arum tumpahkan. Sebenarnya Arum sudah memiliki rumahnya sendiri dengan Pras saat itu, tapi memang sama sekali tidak pernah ditempati dan hanya dikontrakkan saja. Suatu saat nanti Arum pasti akan tinggal di sana walau untuk saat ini dia masih setia mendampingi sang ibu. Mama Tina melihat anaknya yang menemaninya kini. Entah kenapa ada sedikit perasaan iba karena anaknya itu harus menjalani hidup sendirian sebagai seorang janda di usianya yang kini sudah menginjak 35 tahun. Padahal di usia seperti itu, harusnya dia sedang menghabiskan waktu bersama suami dan anak-anaknya dan bukan menemani ibunya yang sudah tua juga mulai sakit-sakitan. Entah bagaimana sang mama juga merasa sedikit bertanggungjawab hingg
Arum sedang bekerja di depan komputernya dengan wajah cemberut dan terlipat. Asti yang baru saja keluar dari ruangan Pak Yos membawa setumpuk berkas tentu bisa melihat jelas air muka sang sahabat. Suasana memang cukup sepi karena sebagian orang sedang tidak ada di ruangan entah dinas luar atau memang sedang ada urusan ke departemen lain. “Kenapa sih kamu uring-uringan gitu?” tanya Asti yang melihat gelagat aneh Arum. “Enggak ngerti juga! Awan tuh berubah banget belakangan ini. Kayanya dia mulai ngehindar dari aku,” Arum senewen sendiri. “Lagi? Hahaha. Kamu tuh sadar enggak sih sekarang kalo sedikit banyak sikap kamu udah sama kaya dia? Ketularan childish kayanya ya. Dikit-dikit ngambek, terus manyun. Kaya ABG lagi kasmaran. Hehehe,” goda Asti. “Heh? Apaan sih. Enggak lah ya. Aku tuh cuman kesel karena dia bersikap sesuka hati semaunya sendiri sama aku. Kalo lagi butuh aja dia nyariin, kalo enggak ya lupa!” Arum masih menggerutu. “Tapi kan kamu tahu hari kaya gini emang bakal daten
Saat jam istirahat pun, Arum memilih makan siang dengan Asti di ruangan mereka. Seperti sudah menjadi kebaisaan kini mereka akan berada di sana. Seakan tidak cukup sudah membicarakan kedua pria itu, Viki dan Awan melalui telepon hingga larut malam, Arum kembali bercerita tentang dua pria siang itu. “Sumpah sinetron banget ceritanya. Hahaha,” Asti tidak habis pikir. “Kamu ketawa di atas penderitaan orang lain banget sih, Ti!” Arum tertawa juga. Terbiasa menutupi seluruh perasaannya sendiri. “Kisah hidupmu kalo dijadiin film bagus banget kayanya! Banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari sana,” Asti berandai. “Lah iya. Bayangin aja. Setelah bertahun-tahun, kamu udah punya anak tiga, aku masih stuck sama satu cowok itu,” Arum juga tidak percaya sudah selama itu dia menghabiskan waktu dengan Viki.. “Hahaha iya juga sih. Udah kaya kredit motor. Hahaha. Terus kamu sama Awan gimana?” tanya Asti lagi. “Enggak ngerti juga sih. Dia baik, cuman gimana ya, Ti. Dia makin kesini makin keli
Elsa memberanikan diri menemui Viki di rumahnya. Sebenarnya dia juga baru tahu bahwa Viki punya rumah pribadi di Malang. Elsa tahu dari Cindy, temannya di tempat karaoke yang ternyata masih kontak dengan Andi, teman karaoke Viki malam itu saat pertama kali mereka pertama berkenalan. Walau sedikit memaksa, tapi akhirnya Cindy bisa membujuk Andi untuk memberi alamat rumah Viki. Viki tak langsung membuka pintu saat Elsa datang. Dia memang tidak mengatakan akan datang karena pria itu pasti akan menghindarinya. Sebuah surat perceraian datang di kos Elsa kemarin, dan karena itulah Elsa datang hari ini. Masih berharap Viki mau merubah keputusannya walau tentu saja Intan dan Rani sudah berulang kali mendukung keputusan Viki untuk bercerai dan berpesan pada Elsa agar tidak lagi berhubungan dengannya, tapi ternyata cinta itu memang buta. Pintu itu dibuka menampilkan sosok Viki yang berantakan. Matanya merah dan wajahnya mengeras saat melihat Elsa yang muncul di sana. “Ada apa sih kamu kesini?
Tidak banyak bicara bahkan perjalanan Surabaya-Malang begitu hening. Viki memaksa ingin mengantarnya sekarang setelah tadi Arum datang sendiri mengendarai bis. Arum memutar radio hanya untuk sekedar pemecah sunyi di antara mereka. Sebenarnya banyak yang Viki ingin bicarakan, tapi Arum beralasan letih. Hingga tiba di depan rumah Arum, wanita itu bahkan tak ingin memberinya tawaran untuk mampir. “Kenapa sih kamu, Arum?” tanya Viki malam itu. “Se-sebenernya aku pengen kita putus,” jawab Arum ragu. “Apa? Putus? Kenapa?” Viki ingin mencoba mendengar alasan apa lagi yang kan digunakan Arum kali ini. “Terlalu banyak ketidakcocokan antara kita berdua, Vik! Aku cuman takut enggak bisa nyesuaiin diri sama kamu. Kita udah dewasa, tapi aku liat kamu belum bisa bersikap dewasa. Setiap kali ada masalah kamu selalu nyelesaiin pake kekerasan. Setiap kali aku minta kita untuk instropeksi diri masing-masing pun rasanya enggak ada perubahan berarti. Kejadian Retta lalu ini Elsa, semuanya terlalu bera
Hingga tiba di depan gang pun Arum mengucapkan terima kasih seadanya pada Awan atas hari ini juga minta maaf karena akhir yang kurang menyenangkan. Awan terlihat masih diam saja jelas sangat marah dan cemburu. Arum tidak terlalu fokus karena dia benar-benar tak bisa berlama-lama dan segera berlari ke rumahnya. Segera melepas asal sepatu juga jaket dan tas ranselnya dan segera mengangkat panggilan video dari Viki yang pasti sudah marah. “Kamu tuh dari mana aja sih, Ay? Kenapa baru diangkat sekarang telepon aku?” tanya Viki ketus. “Iya aku baru aja sampe rumah. Sabar kenapa sih? Aku ini lagi acara keluarga. Kamu ngertiin aku sedikit dong,” jawab Arum tak kalah kesalnya. “Ya kamu mencurigakan soalnya. Masa aku chat aja enggak ada yang masuk. Aku telpon juga enggak bisa nyambung. Kan rumah Tante Tini juga bukan di pelosok desa. Masa sih sinyal aja enggak ada?” Viki masih mencercanya dengan pertanyaan. “Iya udah maaf maaf. Aku juga enggak tahu kenapa enggak ada sinyal disana. Lagi gangg
“Kamu pengennya ke pantai apa?” tanya Awan saat mengantarkan Arum pulang malam itu. “Apaan aja sih. Pantai mana aja asal pantai, bebas deh. Malang selatan kan banyak pilihan pantainya,” Arum tersenyum kecil. “Ok nanti aku coba browsing ya. Kita cari pantai yang aksesnya enggak terlau sulit tapi juga enggak terlalu rame.” “Iya dan ada kuliner seafoodnya. Hehehe.” “Makanan terus deh di otaknya. Pantesan gemesin gini,” Awan merujuk pada pipi tembem Arum yang sedang duduk di sampingnya. “Owh. Udah berani ngeledek?” tanya Arum bercanda yang dibalas tawa saja oleh Awan. “Setelah dari pantai mau kemana?” tanya Arum lagi antusias. “Hm, kamu masih mau jalan lagi? Ke Blitar aja gimana? Ada sahabat aku di sana nanti kita bisa main ke rumahnya. Kan dari pantai juga searah. Sekalian aku udah lama banget enggak kesana,” ajak Awan. Blitar? Pikiran Arum menerawang. Kota yang begitu penuh dengan kenangan entah manis atau pahit dan entah baik atau buruk. Tempat yang sudah hampir empat tahun ini