Arum sudah memutuskan, daripada terus kepikiran sama si brondong alay, dia akan pergi ke Blitar akhir minggu nanti. Mas Pras sudah bilang sebelumnya kalau minggu ini tidak bisa ke Malang karena ada acara keluarga pernikahan sepupunya. Arum ingin pergi ke Blitar, hitung-hitung memberi kejutan untuk sang suami. Dia memang tidak memberi kabar mengenai kedatangannya tentu saja.
Hari Sabtu itu Arum sampai di terminal Blitar. Sudah memberi kabar pada sang suami yang tiba sebentar lagi. Dia sedang menunggu di pintu keluar sampai vespa biru kesayangan sang suami terlihat di kejauhan. Seperti biasa dengan senyum lebarnya Pras datang. Suaminya ini jujur saja memang biasa-biasa saja secara fisik. Tidak terlalu tampan, tapi tinggi dan juga tegap dengan kulit sawo matang khas pria Indonesia. Mas Pras punya senyum yang teduh. Bahkan tanpa harus mengenalnya, orang akan langsung tahu kalau dia orang yang baik dan sabar. Arum langsung mencium tangannya. Pras memberikannya helm dan segera naik ke sepeda motor itu setelah mengenakannya.
"Jam berapa tadi berangkat?" tanya Pras.
"Sekitar jam enam pagi, Mas," jawab Arum sedikit mengingat.
"Gitu kok ya enggak kasih kabar dari kemaren? Malah baru 10 menit yang lalu kamu kabarin. Kalo tau kan aku bisa berangkat lebih awal," kata Pras menunjukkan perhatiannya.
"Ya enggak apa-apa mas. Aku kan emang pengen bikin kejutan. Hehehe," Arum tersenyum.
"Capek enggak, Dek?" tanya Pras.
"Enggak kok, Mas. Kenapa emangnya?" Arum ingin tahu.
"Kalo jalan-jalan dulu mau? Mas mau pergi ke pasar burung," ajaknya.
"Boleh mas. Hehehe," Arum tentu saja senang. Dia rindu jalan-jalan dengan suaminya ini.
"Mas, enggak kangen sama aku tah?" tanya Arum mulai bermanja.
"Ya kangen lah, Dek," Jawab Pras sekenanya.
Arum memeluk pinggang Pras selama perjalanan. Banyak tertawa sambil melihat-lihat Kota Blitar yang memang lama tak dia kunjungi karena lebih sering suaminya yang datang ke Kota Malang. Begitulah mereka, saat bertemu semua terasa lebih ringan dan mudah. Tidak ada kecanggungan walau memang tak mesra. Tidak datar seperti pesan mereka di ponsel.
Sampai di pasar burung pun mereka keliling. Pras mendadak ingin membeli burung katanya.
"Cari burung apa sih mas?" tanya Arum yang memang tidak begitu mengerti.
"Mas juga belum tahu pasti sih. Pengen beli love bird sih kayanya. Ya kita cari-cari aja dulu ya," ajak Pras sambil melihat kesana kemari.
"Emang udah ada kandangnya di rumah?" tanya Arum lagi.
"Ya belum sih. Ini rencana pengen beli sama kandangnya. Hehehe," jawab Pras yang membuat Arum geleng kepala.
"Kapan hari tiba-tiba pengen vespa. Sekarang tiba-tiba pengen beli burung. Besok apa lagi?" sindir Arum yang dibalas cengir oleh Pras.
Sampai akhirnya Pras memutuskan membeli sepasang love bird berwarna putih bersayap biru plus kandangnya yang berwarna hitam. Tentu Arum yang duduk di belakang harus menggendongnya di punggung. Hal yang pastinya tidak akan dia lakukan kalau tidak terpaksa.
"Owalah, Mas, Mas. Kok yo tega banget aku disuruh bawa ginian," kata Arum merajuk.
"Maaf ya, Dek. Aku enggak tau kalo gak cukup ditaruh depan. Jadi ya terpaksa harus dibawa di belakang. Berhubung di belakangku kamu, kan ya jadi kamu yang harus bawa. Hehehe," Pras coba menjelaskan dengan lembut.
"Ya udah lah enggak apa-apa. Ayo pulang sekarang!" ajak Arum merajuk. Tentu saja Pras menyanggupi daripada istrinya ini makin marah.
Sesampainya di rumah, Ibu Pras yang mendengar suara vespa langsung menyambut anak dan menantu pertamanya ini.
"Loh ada Arum dateng? Kok enggak kabar-kabar toh. Tau gitu kan Ibu bisa masakin yang enak. Ayo ayo masuk!" Arum langsung bergerak mencium tangan ibu mertuanya itu lalu masuk ke dalam rumah sederhana keluarga suaminya itu.
“Enggak perlu repot-repot, Bu. Saya sih makan apa aja kan lahap. Hehehe,” ucap Arum yang selalu bisa mencairkan suasana.
"Kamu nih tetep aja enggak berubah. Kok tiba-tiba sudah sampe di Blitar toh? Mendadak kesininya?" tanya Ibu Pras.
"Iya, Buk. Ya pengen gantian aja. Sekali-kali saya yang kesini. Pengen ketemu Ibu sama Reno," kata Arum.
Reno adalah adik laki-laki Pras yang sekarang masih duduk di bangku kelas 5 SD. Usianya memang terpaut jauh dengan sang kakak. Bahkan sering sekali orang lain mengira bahwa Pras adalah om dari Reno. Saking jauhnya jarak usia mereka. Dulu waktu masih awal menikah, Reno bahkan sering pergi dengan Pras dan Arum, tapi sekarang dia mulai enggan karena sudah merasa bukan anak kecil lagi.
"Owalah, kalo Reno ya masih pergi main kalo jam segini," kata Ibu Pras.
"Ya Buk, enggak apa-apa namanya juga anak cowok. Nanti kan juga ketemu. Ini Arum bawa beberapa oleh-oleh buat dia," kata Arum.
"Ngapain sih repot-repot segala? Ya sudah Arum istirahat aja di kamar. Atau Pras kamu ajak makan siang dulu. Ibu pamit mau jaga toko, itu ada orang beli."
Ibu Pras memang memiliki usaha toko kelontong kecil. Satu-satunya usaha yang dimiliki sejak Pras masih kecil. Walau pun rasanya toko itu sudah tua dan ketinggalan jaman, tapi sang ibu tetap mempertahankannya, sebagai bekal tua katanya. Namun sejak ada Reno, otomatis Pras menjadi tulang punggung keluarganya. Itu juga salah satu alasannya sulit untuk jauh dari orangtuanya yang juga sudah renta.
Di kamar Pras, Arum melihat ke sekeliling. Masih sama dengan terakhir kali dia datang ke kamar ini. Kamar sederhana dengan perabotan lawas serba kayu.
"Masih sama aja ya kamarnya. Gak ada perubahan," kata Arum yang masih sibuk mengamati.
"Iya iya lah, Dek. Mau berubah gimana juga? Mas udah nyaman sama kamar ini."
Pras yang duduk di ranjang tersenyum penuh arti dan menepuk tempat kosong di sebelahnya.
"Sini, Dek. Mas kangen," tentu saja Arum mengerti kemana arah pembicaraan ini.
"Baru juga sampe, Mas. Hehehe. Iya bentar ya mas. Aku ke kamar mandi dulu. Habis perjalanan jauh, badan aku kotor banget," pamit Arum meminta pengertian.
Arum kembali dari kaar mandi setelah mengganti pakaiannya dan membersihkan diri. Senyum Pras masih sama dan masih melekat dengan sempurna. Arum memilih duduk di sisinya dan semua bermula dari sentuhan. Ciuman yang berubah dari lebut menjadi menuntut. Siang panas itu terasa lebih panas di kamar Pras. Dua insan melebur jadi satu dan membaur tanpa ragu untuk melepas rindu.
Malam harinya, Pras dan Arum santai di teras depan. Meminum kopi panas buatan sang istri yang langka baginya. Mereka berdua baru selesai makan malam dengan ayah, ibu, dan juga Reno. Ayah Pras juga tidak kalah rentanya. Lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar saja. Arum juga sudah menyapa beliau dan sedikit bertukar cerita.
"Besok acara jam berapa, Mas?" tanya Arum.
"Besok jam 10 kita udah harus berangkat. Kan masih ada iring-iring penganten dulu. Akad sekalian resepsi," Pras menjawab.
"Owh gitu. Iya Mas siap!" kata Arum.
"Habis ini kita istirahat aja. Tamu juga pasti capek kan? Hm… tapi jatah dulu lagi ya, Dek? Mas masih kangen," rajuk Pras dengan senyum manisnya.
"Ya ampun, Mas, mesum banget ini," goda Arum tentu saja.
"Ya emang mesum. Sama istri sendiri ini. Jadi boleh ya Dek berarti?" Pras masih usaha.
"Iya iya boleh kok. Masa aku bisa nolak sih muka kaya gini?" jawab Arum mengusap pipi suaminya yang disambut senyum lebar keduanya.
Keesokan harinya acara pernikahan sepupu Pras pun yang bernama Eli dengan suaminya Aldo berjalan lancar. Saat ini mereka sedang menanti prosesi temu yang akan segera dilangsungkan. Pras dan Arum duduk berdampingan mengenakan sarimbit batik nuansa biru yang nampak serasi. Cuaca memang sedikit panas siang ini jadi Arum sibuk mengipas tubuhnya dengan sobekan kerdus air mineral. Tiba-tiba sebuah pesan masuk di ponsel Arum dari Viki. “Lagi ngapain?”
Tentu saja Arum terkejut. Ngapain sih nih brondong W* disaat yang tidak tepat?
Arum menjawab secepatnya, “Di Blitar. Acara nikahan sepupu suami.”
Arum berharap Viki cepat paham dengan situasinya saat ini. Begitu centang biru terlihat, Arum langsung menghapus pesannya.
Bukan! Arum menghapus pesannya bukan karena dia berselingkuh. Dia hanya tidak ingin suaminya curiga lalu menanyakan hal yang tidak-tidak padanya lalu kemungkinan terburuknya berakhir dengan pertengkaran. Arum percaya bahwa kadang, ada hal yang memang tak perlu diketahui oleh pasangan demi keberlangsungan hubungan. Itu saja pikirnya. Namun siapa sangka, Pras melihat semuanya dari tadi melalui sudut matanya. Melihat semua pergerakan Arum.
Viki siapa? Kenapa pesannya pake dihapus?
Dalam dian, menatap istrinya dalam-dalam.
Kamu sembunyiin apa dari aku, Dek? Kenapa kamu enggak pernah cerita tentang teman kamu yang namanya Viki?
Pras masih bimbang dan gamang.
Apa aku tanya aja sama dia? Tapi kayanya aku harus cari tahu sendiri tentang Viki sebelum aku ngobrol sama dia!
Sesampainya di rumah setelah rentetan acara pernikahan yang padat itu, Arum memilih mandi untuk mengusir gerah. Waktu itu digunakan Pras untuk membuka I*******m milik istrinya. Dia ingat berteman dengan beberapa rekan kerja Arum di kantor walau selama ini pun dia juga sudah melakukannya. Pras menyusun rencana kecil dari sana. Dia ingin mencari beberapa petunjuk dari teman-teman barunya. Melihat daftar teman mereka, lalu mengumpulkan beberapa nama yang terkait dengan Viki, dan mencocokkannya dengan semua daftar teman Arum yang menjadi temannya di I*******m. Enggak mungkin kan aku DM ke salah satu temen Arum? Pasti mereka bakalan bingung kenapa aku enggak langsung aja tanya ke Arum daripada repot-repot DM mereka. Lagipula ya kalau si Viki ini memang teman kerja Arum, kalau bukan gimana? Yang ada malah pada curiga nanti temen-temen Arum sama kita. Tentu saja karena daftarnya cukup banyak dan Arum juga sudah akan selesai mandi, pekerjaan itu tak akan selesai malam ini. Pras bahkan berpik
Sedangkan di Kota Malang, di kantornya siang itu, Arum ikut menangis juga. Beruntung dia masih sempat mengirimkan presentainya pada Pak Yos. Beliau sedang sibuk dengan dunianya sekarang. Dia tidak akan menyadari kalau salah satu anak buahnya sedang menangis sangat keras di salah satu sudut ruangan. Suara tangisan yang sebenarnya sampai juga di telinga Asti dan Lili yang berada di sisi lain ruangan.Arum sama sekali tidak menyangka rumah tangganya akan berakhir seperti ini. Tentu selama ini dia juga merasa pernikahannya tidak baik-baik saja, tapi bukan begini perpisahan yang dia inginkan. Bukan karena ada laki-laki lain seperti yang Mas Pras pikirkan. Bukan karena gosip perselingkuhan yang entah dia dengar dari siapa. Apapun yang dimulai dengan niat baik, Arum ingin mengakhirinya secara baik, begitu juga pernikahan ini.Darimana dia bisa tahu tentang Viki? Apa ada yang cerita sama dia? Siapa yang cerita sama dia?Arum tiba-tiba penasaran. Tentu saja bukan ingin menyalahkannya siapapun
Lalu bagaimana dengan Viki? Semenjak bertengkar hebat dengan Pras kala itu, Arum tidak pernah lagi berkomunikasi dengannya. Viki terus menerus telpon dan mengirim pesan, tapi Arum tidak pernah merespon. Bahkan untuk bertemu di kantor pun mereka hampir tak pernah, karena Arum selalu berhasil menghindar. Tentu saja Viki mendengar kabar bahwa Arum sudah bercerai dari gosip-gosip karyawan lain, tapi dia belum yakin selama Arum belum menceritakan semua padanya. Empat bulan lalu, saat Viki sedang merokok di jam istiharat mereka. "Aku pengen ngomong serius nih sebagai cowok sama cowok!" Agus mendekat pada Viki yang terlihat sedang asyik dengan batang rokoknya. "Apaan sih? Sok serius banget!" kata Viki tanpa tahu apa yang terjadi. "Kamu tahu enggak kalo Arum tuh lagi proses cerai sama suaminya?" Selidik Agus yang merupakan biang gosip paling tenar seantero kantor. "Hah! Serius?" Viki tentu saja terkejut. "Sok kaget segala sih! Kan kamu lagi deket sama Arum belakangan ini. Masa enggak tau
"Guys guys… aku punya berita besar!" Rizki mulai bicara."Apaan sih?" tanya Lili tentu saja segera ingin tahu."Kata Agus, Viki sama Arum kemaren dateng bareng liat anak-anak main bola!" Rizki sedikit berbisik dengan ekspresi wajah yang sangat intens."Eh serius? Astaga!" kata Uli membulatkan mata bahkan berdiri dari kursinya menghampiri Rizki untuk mendengar lebih banyak.“Serius! Banyak kok saksinya,” Rizki masih menggebu."Semakin terbuka aja ya mereka? Enggak habis pikir deh!" kata Lili menyilangkan tangan di depan dadanya."Apaan sih? Ngomongin Arum ya?" Tri tiba-tiba ikut bicara yang hanya diangguki oleh teman-temannya."Beneran kok itu. Aku malah liat sendiri kemaren di lapangan. Cuman Arum emang enggak liat aku. Aku datang cuman kasih konsumsi sama air mineral aja terus pergi lagi," kata Tri santai."Wah, saksi kunci nih!" celetuk Uli."Jadi menurut kalian, mereka emang ada hubungan?" tanya Asti yang akhirnya penasaran juga."Ya kita pikir bareng-bareng aja sih sekarang, kalo
Beberapa hari kemudian, tepatnya di penghujung minggu, Viki menelpon Arum melalui panggilan video dari kamar kosnya,"Akhirnya kredit rumah aku disetujuin loh, Ay. Aku udah mulai nyicil dua bulan lagi," seru Viki malam itu."Iya tah? Syukur kalo gitu! Selamat ya!" Arum ikut senang karena Viki mendengarkan saran darinya."Rumahnya sih udah tiga perempat jadi. Nanti kalo jadi, terus bapak ibu aku dateng, aku mau adain selamatan kecil-kecilan. Ya paling dua bulanan lagi," angan Viki."Hehehe. Iya iya siiip. Bagus itu," Arum merespon singkat saja."Capek banget kayanya kamu ya? Muka kamu kok lemes banget sih?" Viki bertanya."Iya. Aku capek banget. Hari ini banyak banget yang harus dikerjain. Pak Yos juga marah-marah terus seharian. Enggak tau dah kesambet apaan. Emang kayanya enggak bisa kalo enggak marahin anak buahnya sehari aja," Arum bicara."Hehehe. Kamu tuh enggak pernah ada habisnya ya kalo nyeritain Pak Yos," goda Viki."Iya emang iya. Bisa berbusa kayanya deh mulut aku kalo ceri
Sesuai janji sebelumnya, malam ini Arum menyempatkan diri untuk makan malam bersama bapak dan ibu dari Viki. Pak Jono dan Ibu Susi namanya. Mereka pedagang di Surabaya. Mempunyai satu gerai pakaian di sebuah pasar grosir yang cukup besar di sana. Kebetulan hari ini mereka sedang ada urusan di Malang. Bertemu dengan seorang teman lama yang memang berencana memesan seragam dalam jumlah banyak. Jadi disinilah mereka, sebuah restoran dengan menu makanan khas Indonesia yang memang cukup terkenal di Malang. Lokasinya besar dan tidak terlalu ramai membuat restoran itu cocok untuk berbincang-bincang santai. Arum dan Viki tiba tepat setelah adzan maghrib. "Pak, Bu, kenalin ini Arum yang sekarang lagi pacaran sama aku," ucap Viki dengan bangga pada orangtuanya, membuat Arum kikuk juga "Arum, Pak, Bu," Arum mengenalkan diri mencium punggung tangan kedua orang tua itu. "Selamat datang, Nak Arum. Ayo silahkan duduk. Kita makan malam dulu ya. Bapak sudah laper ini," ajak Bu Susi tersenyum dengan
Keesokan harinya, sudah dari pagi Viki pamit pergi ke pantai. Arum membalas pesan Viki seadanya karena dia sendiri ingin mencoba fokus pada pernikahan tetangganya yang memang dia hadiri bersama sang mama, mencoba bersikap senatural mungkin agar Viki tak curiga. Entah apa yang dirinya tunggu. Makin banyak bukti? Atau menunggu Viki akhirnya berhenti dan mengakui? Di dalam gedung resepsi pernikahan, setelah turun menyalami pengantin. Menemani sang ibu mencari makanan dan membawanya ke tempat duduk. Giliran Arum yang berkeliling mencari camilan. Dia bukan tipe perempuan yang banyak makan, tapi entah kenapa badannya tak juga kurus. Dia memilih mengambil seporsi salad buah yang nampak menggoda. Saat matanya menyisir ke penjuru gedung, mendadak ada sosok yang lebih menarik perhatiannya daripada jajaran makanan didepannya. "Lah itu kan Alex? Bukannya dia harusnya pergi ke pantai sama Viki?" Arum coba menghampiri sosok Alex yang nampak sedang makan bersama seorang wanita di sampingnya. Arum
Hari-hari Arum memang sedang suram belakangan. Dia sudah memutuskan untuk pisah dari Viki. Tidak menyangka hubungan yang berjalan sudah satu tahun itu berhenti. Memang dia mencintainya, tapi dipikir-pikir lagi Retta memang lebih cocok bersama Viki daripada dirinya dan dia cukup sadar diri. Arum akhirnya mengetahui ternyata memang Retta sudah lama memendam rasa pada Viki. Dia selama ini berusaha mati-matian berusaha membuat Viki membalas perasaannya. Sepertinya berhasil pada akhirnya walau di saat yang salah karena kebetulan saat itu Viki masih bersama Arum. Sedangkan Viki? Dia terus berusaha menemuinya di rumah, mengiriminya pesan, juga menelponnya tiap malam. Masih meminta kesempatan terus untuk memperbaiki hubungan. Dia mengaku masih mencintai Arum dan hanya dia. Sedangkan pada Retta tidak lain hanya simpati dan perhatian sebagai teman. Tentu Arum sulit untuk percaya walau sudah memaafkan. Sebenarnya semakin lama Viki semakin mengganggu karena semakin lama dia tidak lagi mengucap ma
Setelah hampir lima tahun melewati hal-hal yang menguras tenaga, pikiran, dan emosinya, Arum berhasil melepaskan semuanya. Sesuai janjinya pada diri sendiri dan apa yang dia katakan pada semua orang di sekitarnya, dia ingin fokus untuk membahagiakan diri sendiri dan sang mama. Malam ini, Arum merebahkan diri di ranjang kesayangannya bersama Jelly. Televisi menyala mempertontonkan sinetron favoritnya. Besok weekend dan Arum sudah merencanakan ingin mengajak Jelly pergi ke salon hewan untuk mendapatkan perawatan. Kali ini sekaligus mengajak mamanya yang memang sangat sayang pada Jelly bahkan sudah dianggap seperti anak sendiri. “Mama, besok kita pergi sama Jelly ya. Kita anter dia ke salon biar makin cakep,” ajak Arum semangat. “Habis itu ya kita juga ke salon ya? Sekali-kali mama ini pengen perawatan gitu. Cuci muka apa rambut itu apa namanya?” rajuk Mama Tina pada anak satu-satunya itu. “Hahaha. Mama mau? Ya udah kalo gitu besok kita juga ke salon. Kita anter Jelly dulu terus kita k
“Mau kemana kita hari ini?” Awan menawarkan. “Ya bukannya kamu yang ngajakin aku tadi. Emang kamu mau kemana?” Arum balik bertanya. Awan melihat lekat pada sosok Arum. Wanita itu hari ini tampak cantik walau hanya mengenakan celana jins dan kaos polo berkerah. Tentu saja sebenarnya itu hanya perasaannya saja karena penampilan Arum sama sekali tak pernah berubah dan masih seperti biasanya. “Wan? Kok malah ngelamun sih?” Arum menyadari tingkah aneh pria itu. “Eh eh iya maaf. Aku ini loh. Hm, mau beli mainan aja buat Athir. Kamu mau nemenin kan?” Arum jadi berpikir jauh lagi. Pria disampingnya ini begitu menyayangi keluarganya dan apakah pantas dia datang begitu saja dan sangat mungkin menyebabkan kehancuran untuk keharmonisan keluarga kecil itu. “Arum? Kok jadi kamu yang ngelamun sih?” Awan yang tak kunjung mendapat jawaban. “Ah iya. Aku bebas aja sih anterin kemana aja kamu mau. Aku nanti cuman mau liat-liat tanaman aja buat mama di pasar bunga.” Arum tersenyum kikuk. “Owh ok ka
Arum dan mamanya masih berada di ruang tamu kecil mereka. Rumah yang memang sudah mereka tempati selama berpuluh-puluh tahun sejak papa dan mama Arum menikah. Rumah ini menjadi saksi kunci bagaimana Arum lahir hingga sedewasa ini. Rumah ini melihat jelas tawa tangis dan segala rasa yang Arum tumpahkan. Sebenarnya Arum sudah memiliki rumahnya sendiri dengan Pras saat itu, tapi memang sama sekali tidak pernah ditempati dan hanya dikontrakkan saja. Suatu saat nanti Arum pasti akan tinggal di sana walau untuk saat ini dia masih setia mendampingi sang ibu. Mama Tina melihat anaknya yang menemaninya kini. Entah kenapa ada sedikit perasaan iba karena anaknya itu harus menjalani hidup sendirian sebagai seorang janda di usianya yang kini sudah menginjak 35 tahun. Padahal di usia seperti itu, harusnya dia sedang menghabiskan waktu bersama suami dan anak-anaknya dan bukan menemani ibunya yang sudah tua juga mulai sakit-sakitan. Entah bagaimana sang mama juga merasa sedikit bertanggungjawab hingg
Arum sedang bekerja di depan komputernya dengan wajah cemberut dan terlipat. Asti yang baru saja keluar dari ruangan Pak Yos membawa setumpuk berkas tentu bisa melihat jelas air muka sang sahabat. Suasana memang cukup sepi karena sebagian orang sedang tidak ada di ruangan entah dinas luar atau memang sedang ada urusan ke departemen lain. “Kenapa sih kamu uring-uringan gitu?” tanya Asti yang melihat gelagat aneh Arum. “Enggak ngerti juga! Awan tuh berubah banget belakangan ini. Kayanya dia mulai ngehindar dari aku,” Arum senewen sendiri. “Lagi? Hahaha. Kamu tuh sadar enggak sih sekarang kalo sedikit banyak sikap kamu udah sama kaya dia? Ketularan childish kayanya ya. Dikit-dikit ngambek, terus manyun. Kaya ABG lagi kasmaran. Hehehe,” goda Asti. “Heh? Apaan sih. Enggak lah ya. Aku tuh cuman kesel karena dia bersikap sesuka hati semaunya sendiri sama aku. Kalo lagi butuh aja dia nyariin, kalo enggak ya lupa!” Arum masih menggerutu. “Tapi kan kamu tahu hari kaya gini emang bakal daten
Saat jam istirahat pun, Arum memilih makan siang dengan Asti di ruangan mereka. Seperti sudah menjadi kebaisaan kini mereka akan berada di sana. Seakan tidak cukup sudah membicarakan kedua pria itu, Viki dan Awan melalui telepon hingga larut malam, Arum kembali bercerita tentang dua pria siang itu. “Sumpah sinetron banget ceritanya. Hahaha,” Asti tidak habis pikir. “Kamu ketawa di atas penderitaan orang lain banget sih, Ti!” Arum tertawa juga. Terbiasa menutupi seluruh perasaannya sendiri. “Kisah hidupmu kalo dijadiin film bagus banget kayanya! Banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari sana,” Asti berandai. “Lah iya. Bayangin aja. Setelah bertahun-tahun, kamu udah punya anak tiga, aku masih stuck sama satu cowok itu,” Arum juga tidak percaya sudah selama itu dia menghabiskan waktu dengan Viki.. “Hahaha iya juga sih. Udah kaya kredit motor. Hahaha. Terus kamu sama Awan gimana?” tanya Asti lagi. “Enggak ngerti juga sih. Dia baik, cuman gimana ya, Ti. Dia makin kesini makin keli
Elsa memberanikan diri menemui Viki di rumahnya. Sebenarnya dia juga baru tahu bahwa Viki punya rumah pribadi di Malang. Elsa tahu dari Cindy, temannya di tempat karaoke yang ternyata masih kontak dengan Andi, teman karaoke Viki malam itu saat pertama kali mereka pertama berkenalan. Walau sedikit memaksa, tapi akhirnya Cindy bisa membujuk Andi untuk memberi alamat rumah Viki. Viki tak langsung membuka pintu saat Elsa datang. Dia memang tidak mengatakan akan datang karena pria itu pasti akan menghindarinya. Sebuah surat perceraian datang di kos Elsa kemarin, dan karena itulah Elsa datang hari ini. Masih berharap Viki mau merubah keputusannya walau tentu saja Intan dan Rani sudah berulang kali mendukung keputusan Viki untuk bercerai dan berpesan pada Elsa agar tidak lagi berhubungan dengannya, tapi ternyata cinta itu memang buta. Pintu itu dibuka menampilkan sosok Viki yang berantakan. Matanya merah dan wajahnya mengeras saat melihat Elsa yang muncul di sana. “Ada apa sih kamu kesini?
Tidak banyak bicara bahkan perjalanan Surabaya-Malang begitu hening. Viki memaksa ingin mengantarnya sekarang setelah tadi Arum datang sendiri mengendarai bis. Arum memutar radio hanya untuk sekedar pemecah sunyi di antara mereka. Sebenarnya banyak yang Viki ingin bicarakan, tapi Arum beralasan letih. Hingga tiba di depan rumah Arum, wanita itu bahkan tak ingin memberinya tawaran untuk mampir. “Kenapa sih kamu, Arum?” tanya Viki malam itu. “Se-sebenernya aku pengen kita putus,” jawab Arum ragu. “Apa? Putus? Kenapa?” Viki ingin mencoba mendengar alasan apa lagi yang kan digunakan Arum kali ini. “Terlalu banyak ketidakcocokan antara kita berdua, Vik! Aku cuman takut enggak bisa nyesuaiin diri sama kamu. Kita udah dewasa, tapi aku liat kamu belum bisa bersikap dewasa. Setiap kali ada masalah kamu selalu nyelesaiin pake kekerasan. Setiap kali aku minta kita untuk instropeksi diri masing-masing pun rasanya enggak ada perubahan berarti. Kejadian Retta lalu ini Elsa, semuanya terlalu bera
Hingga tiba di depan gang pun Arum mengucapkan terima kasih seadanya pada Awan atas hari ini juga minta maaf karena akhir yang kurang menyenangkan. Awan terlihat masih diam saja jelas sangat marah dan cemburu. Arum tidak terlalu fokus karena dia benar-benar tak bisa berlama-lama dan segera berlari ke rumahnya. Segera melepas asal sepatu juga jaket dan tas ranselnya dan segera mengangkat panggilan video dari Viki yang pasti sudah marah. “Kamu tuh dari mana aja sih, Ay? Kenapa baru diangkat sekarang telepon aku?” tanya Viki ketus. “Iya aku baru aja sampe rumah. Sabar kenapa sih? Aku ini lagi acara keluarga. Kamu ngertiin aku sedikit dong,” jawab Arum tak kalah kesalnya. “Ya kamu mencurigakan soalnya. Masa aku chat aja enggak ada yang masuk. Aku telpon juga enggak bisa nyambung. Kan rumah Tante Tini juga bukan di pelosok desa. Masa sih sinyal aja enggak ada?” Viki masih mencercanya dengan pertanyaan. “Iya udah maaf maaf. Aku juga enggak tahu kenapa enggak ada sinyal disana. Lagi gangg
“Kamu pengennya ke pantai apa?” tanya Awan saat mengantarkan Arum pulang malam itu. “Apaan aja sih. Pantai mana aja asal pantai, bebas deh. Malang selatan kan banyak pilihan pantainya,” Arum tersenyum kecil. “Ok nanti aku coba browsing ya. Kita cari pantai yang aksesnya enggak terlau sulit tapi juga enggak terlalu rame.” “Iya dan ada kuliner seafoodnya. Hehehe.” “Makanan terus deh di otaknya. Pantesan gemesin gini,” Awan merujuk pada pipi tembem Arum yang sedang duduk di sampingnya. “Owh. Udah berani ngeledek?” tanya Arum bercanda yang dibalas tawa saja oleh Awan. “Setelah dari pantai mau kemana?” tanya Arum lagi antusias. “Hm, kamu masih mau jalan lagi? Ke Blitar aja gimana? Ada sahabat aku di sana nanti kita bisa main ke rumahnya. Kan dari pantai juga searah. Sekalian aku udah lama banget enggak kesana,” ajak Awan. Blitar? Pikiran Arum menerawang. Kota yang begitu penuh dengan kenangan entah manis atau pahit dan entah baik atau buruk. Tempat yang sudah hampir empat tahun ini