Lalu bagaimana dengan Viki? Semenjak bertengkar hebat dengan Pras kala itu, Arum tidak pernah lagi berkomunikasi dengannya. Viki terus menerus telpon dan mengirim pesan, tapi Arum tidak pernah merespon. Bahkan untuk bertemu di kantor pun mereka hampir tak pernah, karena Arum selalu berhasil menghindar. Tentu saja Viki mendengar kabar bahwa Arum sudah bercerai dari gosip-gosip karyawan lain, tapi dia belum yakin selama Arum belum menceritakan semua padanya.
Empat bulan lalu, saat Viki sedang merokok di jam istiharat mereka.
"Aku pengen ngomong serius nih sebagai cowok sama cowok!" Agus mendekat pada Viki yang terlihat sedang asyik dengan batang rokoknya.
"Apaan sih? Sok serius banget!" kata Viki tanpa tahu apa yang terjadi.
"Kamu tahu enggak kalo Arum tuh lagi proses cerai sama suaminya?" Selidik Agus yang merupakan biang gosip paling tenar seantero kantor.
"Hah! Serius?" Viki tentu saja terkejut.
"Sok kaget segala sih! Kan kamu lagi deket sama Arum belakangan ini. Masa enggak tau kalo Arum mau cerai?" Agus masih sangat penasaran.
"Aku beneran enggak ngerti! Ya tahu ini juga dari kamu barusan," ujar Viki jujur.
Agus mencoba meneliti wajah Viki. Memastikan tidak ada kebohongan disana. Tampaknya memang Viki tidak tahu mengenai kabar itu.
"Padahal aku baru mau minta kamu tanggung jawab!" kata Agus santai.
"Lah hubungannya apaan? Kenapa aku yang tanggung jawab?" tanya Viki bingung.
"Lah gimana. Kan mereka cerai karena kamu katanya! Kamu beneran enggak ngerti apa-apa?" Agus bicara lagi.
"Gosip banget kamu ya! Kabar aja baru denger sekarang, kok bisa-bisanya aku jadi dibilang pebinor!" Viki mulai emosi.
"Ya masalahnya kedekatan kalian itu udah jadi rahasia umum, Bro. Kayanya semua orang di kantor ini juga tau deh kalo kamu sama Arum deket belakangan. Otomatis ya pas Arum cerai ya wajar lah kalo mereka pikir itu karena kamu! Makanya kamu juga sih emang suka aja cari perkara. Udah tau Arum punya suami, masih aja kamu pepet terus!" Agus menutup pembicaraannya.
Viki jadi berpikir malam itu di kamar kosnya. Kamar sederhana ala anak kos laki-laki yang tidak terlalu rapi, tapi cukup nyaman juga. Membaringkan tubuhnya dengan satu tangan menyangga di belakang kepalanya di atas ranjang berukuran minimalis dengan kasur yang mulai menipis busanya. Dia jadi tahu alasannya kenapa Arum tidak lagi membalas pesan atau mengangkat teleponnya.
Pantes aja dia gak pernah bales chat aku lagi. Ternyata lagi proses cerai sama suaminya. Dan apa beneran itu karena aku? Kalau iya ya aku harus minta maaf sama dia.
Viki akui, dia tertarik dengan Arum. Sikap jujurnya juga dewasa itu tentu wajah manisnya menarik baginya. Sebagai laki-laki normal, ada keinginan dalam dirinya untuk memiliki Arum seutuhnya. Tentu saja dia sadar posisi karena wanita itu memang sudah bersuami. Namun kini karena dia tahu mengenai perceraian Arum, rasa bersalah menghantuinya. Viki sama sekali memang tidak pernah bermaksud merusak rumah tangga siapapun.
Sejak saat itu memang Viki selalu berusaha menghubungi Arum dengan lebih keras, hingga saat ini walau sudah berlalu empat bulan lamanya dari perbincangannya bersama Agus saat itu. Arum selalu mengabaikannya, tapi dia tak pernah lelah mencoba. Andai Viki tahu di mana rumah Arum, mungkin dia sudah datang dan memaksa untuk bicara. Maksud hatinya, tentu saja minta maaf dan paling tidak bisa sedikit menghibur hati Arum yang pasti sedang gundah gulana.
Di lain sisi, Arum memang butuh waktu sendiri. Dia memang tak sepenuhnya menyalahkan Viki. Hanya saja berhubungan dengannya tentu saja malah serasa membuka luka lama. Mengingat lagi perpisahannya dengan Pras. Arum yakin Viki pasti sudah mengetahuinya sekarang. Berita mengenai perceraiannya berkembang cepat ke seluruh kantor. Arum juga yakin Viki jadi merasa bertanggungjawab. Itu kenapa dia terus menghubunginya tanpa henti. Arum jelas tidak butuh dikasihani seperti itu. Dia akan mampu menanganinya sendiri. Itulah pikirnya.
Hingga suatu malam. Setelah Viki mengomentari W******p story Arum yang hanya menampilkan menu makan malamnya. Berselang beberapa menit ponselnya berbunyi. Sebuah pesan balasan dari Arum.
Arum : Kamu enggak capek w* aku terus?
Viki : Kamu kenapa enggak pernah balas w* aku?
Arum : Aku yakin kamu pasti udah denger di kantor.
Viki : Sorry ya. Tapi apa bener karena aku?
Arum : Ya gimana ya. Bener gak bener sih.
Viki : Gimana maksudnya?
Arum : Ya dia emang ceraiin aku karena cemburu sama kamu.
Viki : Cemburu sama aku? Kok bisa?
Arum : Ya dia liat riwayat panggilan aku.
Viki : Astaga. Aku bener2 minta maaf.
Arum : Udah lewat. Enggak perlu dibahas lagi. Lagian emang sebelumnya hubungan aku sama dia emang udah enggak baik-baik aja.
Viki : Ya tetep aja aku minta maaf. Gimanapun nama aku udah kebawa soalnya.
Arum : Iya iya udah santai aja. Semua juga udah kejadian. Gak ada yang perlu dimaafin juga.
Viki : Terus kondisi kamu sekarang gimana?
Arum : Ya udah jauh lebih mending sih.
Viki : Baguslah kalo gitu. Btw, masa idah kamu udah habis belum sih?
Arum : Gak tau ya. Iya mungkin. Aku gak pernah ngitung. Kenapa nanyain masa idah segala?
Viki : Ya gak apa2 sih. Cuman pengen mulai usaha aja.
Arum : Usaha apa?
Viki : Ya usaha biar bisa beneran jadi suami kamu. Hehehe.
Arum : Kamu tuh ya! Gak ada hubungan aja kita jadi bahan gosip sekantor. Apalagi kalo ada hubungan. Nanti mereka pikir kamu beneran pebinor.
Viki : Justru itu Arum. Karena udah ada gosip kamu ada hubungan sama aku ya sekalian aja kan dijadiin. Jadi jatohnya mereka gak fitnah. Karena kita bener2 ada hubungan. Lumayan kan kita bisa ngurangin dosa. Hehehe.
Arum : Wow, sebuah pemikiran yang antimainstream. Sumpah gila kamu tuh ya Vik! Banyak2in istighfar sana!
Arum mulai bisa tersenyum lagi. Viki memang semenyenangkan itu. Rekan-rekannya di kantor juga banyak menghiburnya. Walau tidak ada satupun dari mereka yang berani menanyakan mengenai perceraiannya, tapi dia yakin mereka semua sudah tahu. Dia juga tidak ada kewajiban untuk menjelaskan apapun. Cepat atau lambat semuanya toh juga akan lupa. Ibunya pun dirumah lebih sering menemaninya. Biasanya malam hari saat pulang kerja sang ibu sudah tidur di kamarnya. Sekarang tidak, beliau masih terjaga bahkan kadang menemaninya makan malam, kadang malah menonton sinetron bersamanya. Walau akhirnya Arum yang kasihan dan memintanya berlaku biasa saja.
Pras? Tentu dia akan terkadang merindukannya. Sedikit menangis tapi dengan segera menghapus air matanya. Sudah tidak tahu bagaimana kabarnya kecuali postingannya di medsos yang kadang menjadi pelipur lara. Sejauh yang dilihat masih sibuk dengan pekerjaan yang sangat dicintainya itu. Hingga akhirnya kini, Arum resmi menjadi kekasih Viki. Tentu saja tidak acara tembak-menembak seperti remaja tanggung yang sedang dimabuk asmara. Hanya komitmen untuk saling menghargai dan menjaga. Mencoba menjalani semuanya pelan-pelan. Masih terlalu dalam luka Arum atas perpisahannya yang lalu dan tentu saja Viki mengiyakan.
Viki mengingat lagi malam itu, malam saat dirinya mengungkapkan perasaan pada Arum. Malam biasa seperti malam-malam lain saat Viki mengantar Arum pulang ke rumahnya. Ibu Arum juga sudah mulai mengenalinya sebagai teman sang putri tunggal. Duduk di teras depan rumah seperti yang biasa dia lakukan. Ini sudah lima bulan sejak perceraian Arum. Seharusnya Arum sudah bisa move on. Seharusnya dia bisa kasih kesempatan sama aku. Paling tidak itu yang Viki pikirkan sebelum bersusah payah mengutarakan perasaannya. Berharap Arum mau sedikit berbelas kasih untuk membalas perasaannya dan membuka lembaran baru bersamanya.
Arum bernafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Viki. Dia tahu cepat atau lambat brondong ini pasti akan bicara. Faktanya Arum juga sudah merasa nyaman dengan hadirnya Viki dalam hidupnya. Dan juga tidak ada salahnya kan membuka lembaran baru bersama orang baru.
"OK. Aku mau coba ngejalanin hubungan ini sama kamu, tapi… aku harap kamu ngerti aku belum mau terbuka sama orang kantor. Pertama, ya karena statusku yang janda sedangkan kamu masih single. Kedua, usia kamu yang jauh lebih muda dari aku. Ketiga, aku enggak mau mereka mikir kamu beneran pebinor," syarat Arum panjang lebar.
"Astaga… sebenernya pengen protes, tapi nanti kamu malah ngambek terus enggak mau jadi pacar aku. Mendingan aku diem deh!" kata Viki lagi menunjukkan keputusasaannya.
"Sementara aja Vik, sampai mereka pelan-pelan tau sendiri kalau kita emang ada hubungan. Biarkan waktu yang menunjukkan semua," pinta Arum lagi.
Karena Viki belum nampak merespon ucapannya. Arum mengancam lagi, "iya atau enggak sama sekali Viki!"
Viki sebenarnya tentu tidak setuju. Dia bahkan akan dengan senang hati mengenalkan pada semua orang kalau Arum ini kekasihnya sekarang, namun dia coba memahami posisi Arum. Pasti akan sangat tidak nyaman untuknya. Seolah-olah dengan berpacaran dengan Viki, secara tidak langsung mengakui bahwa dia bercerai dengan mantan suaminya memang karena Viki.
"Iya iya siap deh, Bu Bos! Demi kenyamanan Bu Bos apapun akan saya lakukan!" Viki berlagak.
"Kamu tuh, akunya serius kamu malah bercanda!" kata Arum merajuk yang dalam hatinya tentu saja merona bahagia.
"Astaga Arum… kamu tuh yang suudzon mulu sama aku. Kalo enggak karena keseriusan aku ini kamu gak bakalan mau sama aku Arum. Udah berbulan-bulan loh aku ikhtiar memohon di sepertiga malam," ucap Viki lagi manis dan meyakinkan.
"Halah gombal!" mereka tertawa bersama akhirnya. Itu lah Viki selalu lucu dan kocak di mata Arum.
"Tapi ngomong-ngomong, aku pengen juga punya panggilan sayang buat kamu. Biar kaya orang pacaran gitu," Viki mulai menggoda Arum.
"Astaga dasar brondong alay! Sadar umur Vik!" Ejek Arum.
"Lah aku mah masih muda kali. Kan situ yang tua. Hahahahahaha." Viki tertawa sangat puas. Sedangkan Arum sudah heboh mencubit dan memukul lengan Viki.
"Dasar kamu ya! Brondong sialan!" Arum marah.
"Hehehe. Iya iya maafin dong, Sayang. Udahan ah, sakit semua badan aku," Viki memegang pergelangan tangan Arum.
“Ya kamu yang mulai!”
"Hm, ah gimana kalo, Ay? Singkatan dari Ayang? Aku panggil kamu gitu aja ya. lucu, Ay," Viki bicara lagi masih serius dengan rencana panggilan sayang barunya untuk sang kekasih.
"Terserah kamu aja! Tapi jangan harap aku panggil kamu gitu juga ya!" Arum memang begitu, justru geli dengan hal-hal manis dan romantis.
"Siap laksanakan, Bu Bos! Eh, Ay…" Viki memberi hormat dengan senyum gula murni yang super manis.
Tolong support cerita aku di GoodNovel ya. Btw, cerita ini akan segera hadir versi cetaknya loh.
"Guys guys… aku punya berita besar!" Rizki mulai bicara."Apaan sih?" tanya Lili tentu saja segera ingin tahu."Kata Agus, Viki sama Arum kemaren dateng bareng liat anak-anak main bola!" Rizki sedikit berbisik dengan ekspresi wajah yang sangat intens."Eh serius? Astaga!" kata Uli membulatkan mata bahkan berdiri dari kursinya menghampiri Rizki untuk mendengar lebih banyak.“Serius! Banyak kok saksinya,” Rizki masih menggebu."Semakin terbuka aja ya mereka? Enggak habis pikir deh!" kata Lili menyilangkan tangan di depan dadanya."Apaan sih? Ngomongin Arum ya?" Tri tiba-tiba ikut bicara yang hanya diangguki oleh teman-temannya."Beneran kok itu. Aku malah liat sendiri kemaren di lapangan. Cuman Arum emang enggak liat aku. Aku datang cuman kasih konsumsi sama air mineral aja terus pergi lagi," kata Tri santai."Wah, saksi kunci nih!" celetuk Uli."Jadi menurut kalian, mereka emang ada hubungan?" tanya Asti yang akhirnya penasaran juga."Ya kita pikir bareng-bareng aja sih sekarang, kalo
Beberapa hari kemudian, tepatnya di penghujung minggu, Viki menelpon Arum melalui panggilan video dari kamar kosnya,"Akhirnya kredit rumah aku disetujuin loh, Ay. Aku udah mulai nyicil dua bulan lagi," seru Viki malam itu."Iya tah? Syukur kalo gitu! Selamat ya!" Arum ikut senang karena Viki mendengarkan saran darinya."Rumahnya sih udah tiga perempat jadi. Nanti kalo jadi, terus bapak ibu aku dateng, aku mau adain selamatan kecil-kecilan. Ya paling dua bulanan lagi," angan Viki."Hehehe. Iya iya siiip. Bagus itu," Arum merespon singkat saja."Capek banget kayanya kamu ya? Muka kamu kok lemes banget sih?" Viki bertanya."Iya. Aku capek banget. Hari ini banyak banget yang harus dikerjain. Pak Yos juga marah-marah terus seharian. Enggak tau dah kesambet apaan. Emang kayanya enggak bisa kalo enggak marahin anak buahnya sehari aja," Arum bicara."Hehehe. Kamu tuh enggak pernah ada habisnya ya kalo nyeritain Pak Yos," goda Viki."Iya emang iya. Bisa berbusa kayanya deh mulut aku kalo ceri
Sesuai janji sebelumnya, malam ini Arum menyempatkan diri untuk makan malam bersama bapak dan ibu dari Viki. Pak Jono dan Ibu Susi namanya. Mereka pedagang di Surabaya. Mempunyai satu gerai pakaian di sebuah pasar grosir yang cukup besar di sana. Kebetulan hari ini mereka sedang ada urusan di Malang. Bertemu dengan seorang teman lama yang memang berencana memesan seragam dalam jumlah banyak. Jadi disinilah mereka, sebuah restoran dengan menu makanan khas Indonesia yang memang cukup terkenal di Malang. Lokasinya besar dan tidak terlalu ramai membuat restoran itu cocok untuk berbincang-bincang santai. Arum dan Viki tiba tepat setelah adzan maghrib. "Pak, Bu, kenalin ini Arum yang sekarang lagi pacaran sama aku," ucap Viki dengan bangga pada orangtuanya, membuat Arum kikuk juga "Arum, Pak, Bu," Arum mengenalkan diri mencium punggung tangan kedua orang tua itu. "Selamat datang, Nak Arum. Ayo silahkan duduk. Kita makan malam dulu ya. Bapak sudah laper ini," ajak Bu Susi tersenyum dengan
Keesokan harinya, sudah dari pagi Viki pamit pergi ke pantai. Arum membalas pesan Viki seadanya karena dia sendiri ingin mencoba fokus pada pernikahan tetangganya yang memang dia hadiri bersama sang mama, mencoba bersikap senatural mungkin agar Viki tak curiga. Entah apa yang dirinya tunggu. Makin banyak bukti? Atau menunggu Viki akhirnya berhenti dan mengakui? Di dalam gedung resepsi pernikahan, setelah turun menyalami pengantin. Menemani sang ibu mencari makanan dan membawanya ke tempat duduk. Giliran Arum yang berkeliling mencari camilan. Dia bukan tipe perempuan yang banyak makan, tapi entah kenapa badannya tak juga kurus. Dia memilih mengambil seporsi salad buah yang nampak menggoda. Saat matanya menyisir ke penjuru gedung, mendadak ada sosok yang lebih menarik perhatiannya daripada jajaran makanan didepannya. "Lah itu kan Alex? Bukannya dia harusnya pergi ke pantai sama Viki?" Arum coba menghampiri sosok Alex yang nampak sedang makan bersama seorang wanita di sampingnya. Arum
Hari-hari Arum memang sedang suram belakangan. Dia sudah memutuskan untuk pisah dari Viki. Tidak menyangka hubungan yang berjalan sudah satu tahun itu berhenti. Memang dia mencintainya, tapi dipikir-pikir lagi Retta memang lebih cocok bersama Viki daripada dirinya dan dia cukup sadar diri. Arum akhirnya mengetahui ternyata memang Retta sudah lama memendam rasa pada Viki. Dia selama ini berusaha mati-matian berusaha membuat Viki membalas perasaannya. Sepertinya berhasil pada akhirnya walau di saat yang salah karena kebetulan saat itu Viki masih bersama Arum. Sedangkan Viki? Dia terus berusaha menemuinya di rumah, mengiriminya pesan, juga menelponnya tiap malam. Masih meminta kesempatan terus untuk memperbaiki hubungan. Dia mengaku masih mencintai Arum dan hanya dia. Sedangkan pada Retta tidak lain hanya simpati dan perhatian sebagai teman. Tentu Arum sulit untuk percaya walau sudah memaafkan. Sebenarnya semakin lama Viki semakin mengganggu karena semakin lama dia tidak lagi mengucap ma
Bisa dibilang sebagai bentuk permintaan maaf dan supaya hubungan mereka membaik, Viki berjanji akan membawa Arum untuk jalan-jalan penuh dua hari ini. Jadilah hari Sabtu, Arum yang meminta bantuan untuk diantar bertemu dengan salah seorang agen penjualan tanah. Sedangkan hari Minggu, Viki yang berinisiatif membawa Arum juga sang mama dan Tante Tini untuk makan siang. Tentu saja niat terselubungnya ingin mendapat restu dari keduanya yang bisa dibilang adalah keluarga terdekat Arum saat ini."Mau kemana aja sih kita hari ini?" tanya Viki pagi itu saat bersantai di teras rumah Arum."Kalo hari ini sih aku pengen liat tanah. Di kabupaten, tapi perbatasan kota. Harganya sih murah, DP-nya murah, terus bisa dicicil lagi. Penasaran pengen liat lokasinya!" jelas Arum bersemangat."Ya udah, mau berangkat sekarang?” tawar Viki dan Arum mengangguk."Iya langsung aja yuk. Keburu siang," Arum sudah siap memasang kaos kakinya."Aku belum pamit mama kamu loh?" tanya Viki."Udah aku pamitin," Arum sud
Sudah beberapa bulan hubungan Arum dan Viki kembali berjalan mungkin lebih kuat dari sebelumnya. Walau hingga detik ini masih belum pernah mau mengungkapkan hubungan mereka secara terbuka, tapi Arum tidak lagi menumpang mobil Viki dengan sembunyi-sembunyi. Biasanya harus berjalan dulu beberapa meter di luar kantor ke dekat perempatan jalan agar tidak ada yang melihat, tapi sekarang mereka akan naik bersama dari lahan parkir dengan mobil Viki. Dia sudah tak lagi memikirkan pandangan karyawan mengenai hubungan mereka. Sudah tidak naik motor lagi memang sejak Viki membeli mobil itu. Sebuah sedan merah kini yang selalu menjadi tunggangannya. Tentu bukan masalah sama sekali bagi Arum entah naik motor atau mobil, tapi bagi Viki tentu menjadi kebanggan tersendiri juga selain itu dia ingin memberi yang terbaik untuk Arum. Supaya Arum tidak perlu kehujanan, kepanasan, atau apapun itu saat mengendarai motor bersamanya. Tentu saja sebagian lain adalah untuk memenuhi gengsinya sendiri mengingat h
Keesokan harinya di kantor, saat jam makan siang Arum bersama Asti yang kini juga malas untuk pergi ke kantin, memilih untuk makan siang berdua di dalam ruangan. Nasi bungkus yang sebelumnya sudah disiapkan oleh OB mereka. Bunyi sendok berdenting mendadak terganggu saat ponsel Arum berbunyi. Sebuah telepon masuk dari Viki. Asti tentu saja cuek menyantap makanannya walau samar-samar dia masih bisa mendengar percakapan itu karena sunyinya ruang kerja mereka. "Halo," sapa Arum. … "Iya kenapa?" tanya Arum sudah menjauhkan diri dari posisi Asti. … "Iya udah kenapa sih?" tanya Arum yang terdengar mulai gusar. … "Sorry tapi ya mana ada aku uang segitu? Uang aku juga udah kepake kamu kan 10 juta. Terus kemaren udah kepake bayar DP tanah yang aku beli itu. Tabungan aku udah habis!" jawab Arum seadanya dengan suara selirih mungkin. … "Usahain gimana? Ya enggak ada enggak bisa aku maaf! Ya coba aja kamu yang usahain. Itu kan mobil kamu," Arum mulai engga
Setelah hampir lima tahun melewati hal-hal yang menguras tenaga, pikiran, dan emosinya, Arum berhasil melepaskan semuanya. Sesuai janjinya pada diri sendiri dan apa yang dia katakan pada semua orang di sekitarnya, dia ingin fokus untuk membahagiakan diri sendiri dan sang mama. Malam ini, Arum merebahkan diri di ranjang kesayangannya bersama Jelly. Televisi menyala mempertontonkan sinetron favoritnya. Besok weekend dan Arum sudah merencanakan ingin mengajak Jelly pergi ke salon hewan untuk mendapatkan perawatan. Kali ini sekaligus mengajak mamanya yang memang sangat sayang pada Jelly bahkan sudah dianggap seperti anak sendiri. “Mama, besok kita pergi sama Jelly ya. Kita anter dia ke salon biar makin cakep,” ajak Arum semangat. “Habis itu ya kita juga ke salon ya? Sekali-kali mama ini pengen perawatan gitu. Cuci muka apa rambut itu apa namanya?” rajuk Mama Tina pada anak satu-satunya itu. “Hahaha. Mama mau? Ya udah kalo gitu besok kita juga ke salon. Kita anter Jelly dulu terus kita k
“Mau kemana kita hari ini?” Awan menawarkan. “Ya bukannya kamu yang ngajakin aku tadi. Emang kamu mau kemana?” Arum balik bertanya. Awan melihat lekat pada sosok Arum. Wanita itu hari ini tampak cantik walau hanya mengenakan celana jins dan kaos polo berkerah. Tentu saja sebenarnya itu hanya perasaannya saja karena penampilan Arum sama sekali tak pernah berubah dan masih seperti biasanya. “Wan? Kok malah ngelamun sih?” Arum menyadari tingkah aneh pria itu. “Eh eh iya maaf. Aku ini loh. Hm, mau beli mainan aja buat Athir. Kamu mau nemenin kan?” Arum jadi berpikir jauh lagi. Pria disampingnya ini begitu menyayangi keluarganya dan apakah pantas dia datang begitu saja dan sangat mungkin menyebabkan kehancuran untuk keharmonisan keluarga kecil itu. “Arum? Kok jadi kamu yang ngelamun sih?” Awan yang tak kunjung mendapat jawaban. “Ah iya. Aku bebas aja sih anterin kemana aja kamu mau. Aku nanti cuman mau liat-liat tanaman aja buat mama di pasar bunga.” Arum tersenyum kikuk. “Owh ok ka
Arum dan mamanya masih berada di ruang tamu kecil mereka. Rumah yang memang sudah mereka tempati selama berpuluh-puluh tahun sejak papa dan mama Arum menikah. Rumah ini menjadi saksi kunci bagaimana Arum lahir hingga sedewasa ini. Rumah ini melihat jelas tawa tangis dan segala rasa yang Arum tumpahkan. Sebenarnya Arum sudah memiliki rumahnya sendiri dengan Pras saat itu, tapi memang sama sekali tidak pernah ditempati dan hanya dikontrakkan saja. Suatu saat nanti Arum pasti akan tinggal di sana walau untuk saat ini dia masih setia mendampingi sang ibu. Mama Tina melihat anaknya yang menemaninya kini. Entah kenapa ada sedikit perasaan iba karena anaknya itu harus menjalani hidup sendirian sebagai seorang janda di usianya yang kini sudah menginjak 35 tahun. Padahal di usia seperti itu, harusnya dia sedang menghabiskan waktu bersama suami dan anak-anaknya dan bukan menemani ibunya yang sudah tua juga mulai sakit-sakitan. Entah bagaimana sang mama juga merasa sedikit bertanggungjawab hingg
Arum sedang bekerja di depan komputernya dengan wajah cemberut dan terlipat. Asti yang baru saja keluar dari ruangan Pak Yos membawa setumpuk berkas tentu bisa melihat jelas air muka sang sahabat. Suasana memang cukup sepi karena sebagian orang sedang tidak ada di ruangan entah dinas luar atau memang sedang ada urusan ke departemen lain. “Kenapa sih kamu uring-uringan gitu?” tanya Asti yang melihat gelagat aneh Arum. “Enggak ngerti juga! Awan tuh berubah banget belakangan ini. Kayanya dia mulai ngehindar dari aku,” Arum senewen sendiri. “Lagi? Hahaha. Kamu tuh sadar enggak sih sekarang kalo sedikit banyak sikap kamu udah sama kaya dia? Ketularan childish kayanya ya. Dikit-dikit ngambek, terus manyun. Kaya ABG lagi kasmaran. Hehehe,” goda Asti. “Heh? Apaan sih. Enggak lah ya. Aku tuh cuman kesel karena dia bersikap sesuka hati semaunya sendiri sama aku. Kalo lagi butuh aja dia nyariin, kalo enggak ya lupa!” Arum masih menggerutu. “Tapi kan kamu tahu hari kaya gini emang bakal daten
Saat jam istirahat pun, Arum memilih makan siang dengan Asti di ruangan mereka. Seperti sudah menjadi kebaisaan kini mereka akan berada di sana. Seakan tidak cukup sudah membicarakan kedua pria itu, Viki dan Awan melalui telepon hingga larut malam, Arum kembali bercerita tentang dua pria siang itu. “Sumpah sinetron banget ceritanya. Hahaha,” Asti tidak habis pikir. “Kamu ketawa di atas penderitaan orang lain banget sih, Ti!” Arum tertawa juga. Terbiasa menutupi seluruh perasaannya sendiri. “Kisah hidupmu kalo dijadiin film bagus banget kayanya! Banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari sana,” Asti berandai. “Lah iya. Bayangin aja. Setelah bertahun-tahun, kamu udah punya anak tiga, aku masih stuck sama satu cowok itu,” Arum juga tidak percaya sudah selama itu dia menghabiskan waktu dengan Viki.. “Hahaha iya juga sih. Udah kaya kredit motor. Hahaha. Terus kamu sama Awan gimana?” tanya Asti lagi. “Enggak ngerti juga sih. Dia baik, cuman gimana ya, Ti. Dia makin kesini makin keli
Elsa memberanikan diri menemui Viki di rumahnya. Sebenarnya dia juga baru tahu bahwa Viki punya rumah pribadi di Malang. Elsa tahu dari Cindy, temannya di tempat karaoke yang ternyata masih kontak dengan Andi, teman karaoke Viki malam itu saat pertama kali mereka pertama berkenalan. Walau sedikit memaksa, tapi akhirnya Cindy bisa membujuk Andi untuk memberi alamat rumah Viki. Viki tak langsung membuka pintu saat Elsa datang. Dia memang tidak mengatakan akan datang karena pria itu pasti akan menghindarinya. Sebuah surat perceraian datang di kos Elsa kemarin, dan karena itulah Elsa datang hari ini. Masih berharap Viki mau merubah keputusannya walau tentu saja Intan dan Rani sudah berulang kali mendukung keputusan Viki untuk bercerai dan berpesan pada Elsa agar tidak lagi berhubungan dengannya, tapi ternyata cinta itu memang buta. Pintu itu dibuka menampilkan sosok Viki yang berantakan. Matanya merah dan wajahnya mengeras saat melihat Elsa yang muncul di sana. “Ada apa sih kamu kesini?
Tidak banyak bicara bahkan perjalanan Surabaya-Malang begitu hening. Viki memaksa ingin mengantarnya sekarang setelah tadi Arum datang sendiri mengendarai bis. Arum memutar radio hanya untuk sekedar pemecah sunyi di antara mereka. Sebenarnya banyak yang Viki ingin bicarakan, tapi Arum beralasan letih. Hingga tiba di depan rumah Arum, wanita itu bahkan tak ingin memberinya tawaran untuk mampir. “Kenapa sih kamu, Arum?” tanya Viki malam itu. “Se-sebenernya aku pengen kita putus,” jawab Arum ragu. “Apa? Putus? Kenapa?” Viki ingin mencoba mendengar alasan apa lagi yang kan digunakan Arum kali ini. “Terlalu banyak ketidakcocokan antara kita berdua, Vik! Aku cuman takut enggak bisa nyesuaiin diri sama kamu. Kita udah dewasa, tapi aku liat kamu belum bisa bersikap dewasa. Setiap kali ada masalah kamu selalu nyelesaiin pake kekerasan. Setiap kali aku minta kita untuk instropeksi diri masing-masing pun rasanya enggak ada perubahan berarti. Kejadian Retta lalu ini Elsa, semuanya terlalu bera
Hingga tiba di depan gang pun Arum mengucapkan terima kasih seadanya pada Awan atas hari ini juga minta maaf karena akhir yang kurang menyenangkan. Awan terlihat masih diam saja jelas sangat marah dan cemburu. Arum tidak terlalu fokus karena dia benar-benar tak bisa berlama-lama dan segera berlari ke rumahnya. Segera melepas asal sepatu juga jaket dan tas ranselnya dan segera mengangkat panggilan video dari Viki yang pasti sudah marah. “Kamu tuh dari mana aja sih, Ay? Kenapa baru diangkat sekarang telepon aku?” tanya Viki ketus. “Iya aku baru aja sampe rumah. Sabar kenapa sih? Aku ini lagi acara keluarga. Kamu ngertiin aku sedikit dong,” jawab Arum tak kalah kesalnya. “Ya kamu mencurigakan soalnya. Masa aku chat aja enggak ada yang masuk. Aku telpon juga enggak bisa nyambung. Kan rumah Tante Tini juga bukan di pelosok desa. Masa sih sinyal aja enggak ada?” Viki masih mencercanya dengan pertanyaan. “Iya udah maaf maaf. Aku juga enggak tahu kenapa enggak ada sinyal disana. Lagi gangg
“Kamu pengennya ke pantai apa?” tanya Awan saat mengantarkan Arum pulang malam itu. “Apaan aja sih. Pantai mana aja asal pantai, bebas deh. Malang selatan kan banyak pilihan pantainya,” Arum tersenyum kecil. “Ok nanti aku coba browsing ya. Kita cari pantai yang aksesnya enggak terlau sulit tapi juga enggak terlalu rame.” “Iya dan ada kuliner seafoodnya. Hehehe.” “Makanan terus deh di otaknya. Pantesan gemesin gini,” Awan merujuk pada pipi tembem Arum yang sedang duduk di sampingnya. “Owh. Udah berani ngeledek?” tanya Arum bercanda yang dibalas tawa saja oleh Awan. “Setelah dari pantai mau kemana?” tanya Arum lagi antusias. “Hm, kamu masih mau jalan lagi? Ke Blitar aja gimana? Ada sahabat aku di sana nanti kita bisa main ke rumahnya. Kan dari pantai juga searah. Sekalian aku udah lama banget enggak kesana,” ajak Awan. Blitar? Pikiran Arum menerawang. Kota yang begitu penuh dengan kenangan entah manis atau pahit dan entah baik atau buruk. Tempat yang sudah hampir empat tahun ini