"Guys guys… aku punya berita besar!" Rizki mulai bicara.
"Apaan sih?" tanya Lili tentu saja segera ingin tahu.
"Kata Agus, Viki sama Arum kemaren dateng bareng liat anak-anak main bola!" Rizki sedikit berbisik dengan ekspresi wajah yang sangat intens.
"Eh serius? Astaga!" kata Uli membulatkan mata bahkan berdiri dari kursinya menghampiri Rizki untuk mendengar lebih banyak.
“Serius! Banyak kok saksinya,” Rizki masih menggebu.
"Semakin terbuka aja ya mereka? Enggak habis pikir deh!" kata Lili menyilangkan tangan di depan dadanya.
"Apaan sih? Ngomongin Arum ya?" Tri tiba-tiba ikut bicara yang hanya diangguki oleh teman-temannya.
"Beneran kok itu. Aku malah liat sendiri kemaren di lapangan. Cuman Arum emang enggak liat aku. Aku datang cuman kasih konsumsi sama air mineral aja terus pergi lagi," kata Tri santai.
"Wah, saksi kunci nih!" celetuk Uli.
"Jadi menurut kalian, mereka emang ada hubungan?" tanya Asti yang akhirnya penasaran juga.
"Ya kita pikir bareng-bareng aja sih sekarang, kalo emang enggak ada apa-apa, enggak mungkin lah mereka jalan bareng. Si Viki kan itungannya enggak ada hubungan kerjaan langsung sama kita. Ya mereka emang lagi deket aja," Tri berteori.
"Iya juga sih," Uli singkat menimpali.
"Ya, beritanya emang lagi hot banget! Udah jadi rahasia umum lah. Apalagi makin hari justru kayanya makin kebuka semua," Rizki bicara lagi.
"Ya kenapa mereka enggak jujur aja sih? Jadi kan orang-orang enggak ghibah terus?" Asti mencoba mencari jawaban.
"Ya enggak mungkin lah mau jujur, Ti. Secara enggak langsung bererarti kan mereka membenarkan kalo cerainya Arum sama Mas Pras emang karena pebinor itu si Viki!" kata Uli sedikit emosi.
"Ya mereka berani jalan bareng juga berarti emang sedikit banyak juga mulai membuka diri kan sama status hubungan mereka," jelas Rizki.
"Hehehe. Sampe Rizki sama Tri turun tangan ikut ngegosip nih berita santer banget!" kata Asti melihat kedua pria itu bersemangat.
Siang itu, HRD ramai dengan pembahasan Arum dan Viki yang mulai berani jalan berdua ke acara kantor. Ucapan mereka memang benar, gosip ini masih merupakan gosip paliang panas di kantor saat ini. Rizki dan Tri, dua sosok laki-laki di HRD yang memang biasanya lebih cenderung cuek dan lebih fokus pada pekerjaan bahkan sampai ikut memantau. Bukan berarti mereka tidak pernah membicarakan orang lain, hanya saja mereka membicarakan semua seperlunya. Kalau Asti, Lili, dan Uli, sebagai wanita memang sudah naluriah mereka untuk bergosip. Apa lagi ini mengenai teman terdekat yang bekerja satu ruangan dengan mereka. Tidak mungkin mereka tidak update.
Malam harinya seperti biasa Viki mengantar Arum pulang. Selalu menyempatkan makan malam dulu sebelum tiba di rumah Arum. Kali ini pilihan mereka jatuh pada mi ayam dan es kelapa muda. Viki jadi ingat juga ada kabar gembira yang ingin dia sampaikan pada Arum.
"Kamu masih inget brosur perumahan yang kamu kasih itu?" tanya Viki di sela makan malam mereka.
"Masih lah. Kenapa?" tanya Arum.
"Akhirnya kebeli juga. Hehehe. Ini masih proses pengajuan KPR sih. Cuman prosesnya di kantor sendiri jadi pasti acc kan. Hehehe," tawa Viki terlihat bangga.
"Eh beneran akhirnya? Bagus deh kalo gitu," Arum senyum senang.
"Aku juga udah cerita sama bapak ibu. Mereka juga seneng. Katanya kapan-kapan jadi bisa main ke Malang," ceritanya lagi.
"Ya harus lah kalo itu. Akhirnya kamu dengerin saran aku juga," celetuk Arum.
"Aku kan emang selalu dengerin kamu. Hehehe. Terus tadi gimana?" tanya Viki lagi.
"Apaan yang gimana sih?" Arum malah balik tanya.
"Iya itu katanya si Agus cerita-cerita ke temen kamu di HRD kalo kita habis keluar," tanya Viki.
"Iya kayanya anak-anak HRD juga udah pada tau. Cuman enggak ada yang berani tanya langsung aja. Mereka juga udah pada denger kok yang kasus aku sempat di panggil Pak Yos buat di interogasi itu, tapi ya udah lah aku mah cuekin aja," Arum terdengar jauh lebih santai kini.
“Iya emang harus gitu, Ay. Telinga harus tebel,” Viki memberi saran.
"Lagian itu enggak cuman temen HRD aku aja deh kayanya yang tahu. Ya emang udah kemana-mana tuh berita. Tadi aku aja enggak sengaja denger Mila sama Suri dari akunting ngomongin itu juga," curhat Arum kembali mengingat.
"Hm, sebegitunya ya. Agus tuh cowok tapi mulutnya lemes banget ya? Aku jadi ngerasa kaya artis gitu banyak yang ngomongin," Viki sedikit emosi.
"Yah anggap aja kita emang artis. Kita yg diomongin kan lumayan luntur dosa. Mereka yang ngomongin ya nambah dosa," kata Arum santai.
"Iya sih. Lama-lama mereka juga bakal berhenti sendiri kan!" Viki bicara lagi.
"Ya udah lah, ayo lanjut pulang!" ajak Arum yang sudah menghabiskan makanan dan segera membayar lalu lanjut pulang dengan sepeda Viki.
Kenapa bukan Viki yang bayar makanan mereka? Bagi Arum memang tidak ada salahnya bergantian membayar makanan saat dia sedang bersama pasangan. Kadang Arum yang membayar dan kadang Viki yang membayar. Toh mereka menjalani hubungan berdua. Lalu kenapa hanya pria yang wajib membayar. Bukan hanya pada pasangan, Arum memang biasa melakukan hal yang sama pada teman-temannya. Bahagia rasanya melihat orang-orang bahagia karena perbuatan kecil seerti mentraktir makan. Arum memang seloyal itu.
Sampai di rumah Arum. Siapa sangka sang mama masih duduk di depan teras mungkin memang menunggunya. Mama Arum memang tahu kalau Arum akhir-akhir ini sering pulang dengan laki-laki yang sama, tapi belum pernah bicara lebih lanjut sebelum sang anak yang memutuskan untuk bercerita. Siapa sangka malam ini akhirnya mereka bertemu.
"Kenapa masih di luar, Ma?" Arum bergerak mencium tangan sang mama.
“Enggak ada kok. Ya cuman bosen di dalem panas,” sedikit alasan dari Mama Arum.
Otomatis Viki mengikuti di belakangnya. Menyalami mama Arum untuk pertama kalinya sebagai pacar. Mata mama Arum tentu tidak bisa lepas dari pengamatannya pada pria yang dibawa putrinya itu.
"Viki, Tante," kenalnya.
"Owh ya Viki. Temen Arum ya?" tanya mama Arum yang memang sudah tak lagi muda.
"Iya, Tante. Saya temen Arum," jawab Viki super ramah.
"Makasih udah nganterin Arum pulang ya. Iya sudah tante masuk dulu. Arum, kamu suruh masuk dulu Viki. Buatin minum biar enggak seret-seret banget," kata Mama Arum yang juga tak kalah ramahnya dengan sang putri.
"Eh, enggak usah tante tadi sudah makan kok sama Arum. Mau lanjut dulu aja," elak Viki sopan.
"Owalah kok buru-buru? Ya udah ati-ati kalo gitu ya," kata Mama Arum yang tersenyum saat punggung tangannya kembali dicium.
Setelah kepergian Viki, tentu saja Arum dan mamanya masuk ke dalam rumah. Mendudukkan diri di ruang tamu melepas tas ransel juga kaos kaki. Hari ini memang sedikit melelahkan bagi Arum karena Pak Yos terus menerus memberinya tambahan pekerjaan. Sesekali meregangkan kedua tangan juga kepala yang terasa kaku. Jelly yang melihat Arum, segera beranjak naik pula ke kursi di sebelah Arum. Meminta untuk dibelai kepalanya.
"Tumben belum tidur jam segini, Ma? Aku mah enggak percaya kalo Mama nungguin aku," selidik Arum.
"Iya, masih belum bisa tidur. Di dalem juga panas tadi pengen cari angin seger makanya keluar. Tadi juga ada Bu Sugeng dateng nganter pesenan kue jadi sekalian deh ngobrol,” kata Mama Arum yang hanya dijawab anggukan saja.
"Temenmu tadi itu kok masih muda banget kayanya. Kaya masih kecil ya?" tanya sang mama.
"Iya, Ma emang masih kecil. Selisih lima tahun lebih muda dari aku," jawab Arum sekenanya.
"Yakin pacaran sama yang umurnya yang lebih muda? Kemaren aja yang seumuran gagal ini malah lebih muda?" selidik sang mama.
"Yang bilang pacaran ini sapa toh, Ma? Orang cuman temenan!" jawab Arum santai.
"Ya mamamu ini meskipun sudah tua, tapi ya ngerti lah mana temen mana pacar Arum," ucap sang mama setengah menggoda.
"Iya emang kenapa juga kalo lebih muda? Dia yang mau kok sama aku. Lagian juga ya, Ma usia ini kan enggak mempengaruhi kedewasaan seseorang. Lagian dia udah 25 tahun kok, Ma. Enggak semuda itu juga," Arum coba membela diri.
"Tuh kan bener pacaran? Gitu tadi kok enggak ngaku,” tentu saja tebakannya benar. “Ya kalo dari mama sih terserah. Mama kan cuman bilang aja supaya kamu lebih ati-ati lagi,” kata Mama Arum.
“Iya, Ma, Aru ngerti kok,” jawabnya berusaha menyudahi pembicaraan ini.
“Ya udah kalo gitu istirahat sekarang. Besok pagi masih harus kerja lagi kan?” Mama Arum memilih untuk mengalah dan beranjak masuk ke kamarnya.
Mama Arum sangat tahu watak keras sang anak. Apa yang dia anggap benar maka akan terus diperjuangkan. Kalau Arum sudah berkehendak, apapun yang akan dia katakan sebagai mama pasti ditolak mentah-mentah. Tentu saja dia sangat paham karena sifat Arum persis sekali dengan dirinya. Sama-sama keras kepala dan biasanya sang suaminya lah yang menjadi penengah. Berhubung sang suami sudah tidak ada lagi di dunia, maka pergi lebih baik untuk menghindari pertengkaran.
Mama pasti lagi kangen sama papa. Papa sehat kan disana, Pa? Papa seneng kan disana? Sekarang tinggal Arum sama mama aja disini, Pa. Arum harus dan berusaha ngejagain mama. Arum janji enggak akan marah-marah lagi sama mama. Arum enggak akan ngedebat mama lagi. Sebisa mungkin ngedengerin nasehat mama. Sebisa mungkin nurut sama mama. Doain kita terus dari sana ya, Pa.
Arum tahu mamanya itu kemungkinan besar sedang merindukan almarhum papanya. Hati Arum menghangat rindu pada sang ayah. Sang ayah adalah sosok yang sangat dekat dengannya. Cinta pertamanya, pelabuhan hatinya, juga pendingin emosinya. Seorang pekerja keras yang merupakan panutannya dalam bekerja. Sang ayahnya lah yang mengantarkannya kesana kemari untuk melamar pekerjaan dulu kala. Ayahnya lah yang paling bahagia saat dia mendapat pekerjaan pertamanya sebagai HRD di sebuah rumah sakit swasta. Ayahnya juga yang mengantarkannya pertama kali datang bekerja di sana.
Rindu pada sang ayah entah mengapa membuatnya ikut teringat pada Pras. Arum jadi ingat memori saat sang ayah meninggal, saking terpukulnya Arum hanya pingsan seharian. Bahkan ketika sadar pun Arum tak ingin pulang ke rumahnya. Hanya berdiam diri di rumah tetangga. Terlalu takut menerima kenyataan bahwa sang ayah telah tiada. Arum tidak bisa melakukan apa-apa selama proses pemakaman sang ayah. Hanya Pras yang membantu ibunya yang saat itu sebetulnya juga sama lemahnya. Pras yang repot kesana kemari. Pras yang mengurus ini itu. Pras juga sibuk bolak balik untuk menenangkan Arum dan ibunya sekaligus.
"Yang kuat, Dek. Yang ikhlas. Yang sabar. Kalo kamu kaya gini terus mama gimana?" katanya saat itu berusaha menguatkan sedangkan Arum masih larut dalam kesedihannya.
"Mama kasian tuh di sebelah sendirian. Anaknya kan cuman kamu aja. Kamu malah milih di sini," bujuk Pras saat itu yang tidak bisa berbuat banyak.
Akhirnya setelah sekitar enam jam semenjak pingsan pertama, Arum kembali ke rumah. Tentu setelah proses pemakaman selesai hingga dia tidak perlu melihat jasad papanya. Menangis berpelukan dengan sang mama, hal yang sebenarnya cukup jarang mereka lakukan. Arum ingat akhirnya hanya bisa menyandarkan tubuhnya di pelukan sang suami yang tak meninggalkannya sedikitpun. Menyambut lautan pelayat yang terus berdatangan.
"Kenapa malah jadi inget sama Mas Pras sih? Astagaaaa!" Arum merutuki otaknya sendiri.
Beberapa hari kemudian, tepatnya di penghujung minggu, Viki menelpon Arum melalui panggilan video dari kamar kosnya,"Akhirnya kredit rumah aku disetujuin loh, Ay. Aku udah mulai nyicil dua bulan lagi," seru Viki malam itu."Iya tah? Syukur kalo gitu! Selamat ya!" Arum ikut senang karena Viki mendengarkan saran darinya."Rumahnya sih udah tiga perempat jadi. Nanti kalo jadi, terus bapak ibu aku dateng, aku mau adain selamatan kecil-kecilan. Ya paling dua bulanan lagi," angan Viki."Hehehe. Iya iya siiip. Bagus itu," Arum merespon singkat saja."Capek banget kayanya kamu ya? Muka kamu kok lemes banget sih?" Viki bertanya."Iya. Aku capek banget. Hari ini banyak banget yang harus dikerjain. Pak Yos juga marah-marah terus seharian. Enggak tau dah kesambet apaan. Emang kayanya enggak bisa kalo enggak marahin anak buahnya sehari aja," Arum bicara."Hehehe. Kamu tuh enggak pernah ada habisnya ya kalo nyeritain Pak Yos," goda Viki."Iya emang iya. Bisa berbusa kayanya deh mulut aku kalo ceri
Sesuai janji sebelumnya, malam ini Arum menyempatkan diri untuk makan malam bersama bapak dan ibu dari Viki. Pak Jono dan Ibu Susi namanya. Mereka pedagang di Surabaya. Mempunyai satu gerai pakaian di sebuah pasar grosir yang cukup besar di sana. Kebetulan hari ini mereka sedang ada urusan di Malang. Bertemu dengan seorang teman lama yang memang berencana memesan seragam dalam jumlah banyak. Jadi disinilah mereka, sebuah restoran dengan menu makanan khas Indonesia yang memang cukup terkenal di Malang. Lokasinya besar dan tidak terlalu ramai membuat restoran itu cocok untuk berbincang-bincang santai. Arum dan Viki tiba tepat setelah adzan maghrib. "Pak, Bu, kenalin ini Arum yang sekarang lagi pacaran sama aku," ucap Viki dengan bangga pada orangtuanya, membuat Arum kikuk juga "Arum, Pak, Bu," Arum mengenalkan diri mencium punggung tangan kedua orang tua itu. "Selamat datang, Nak Arum. Ayo silahkan duduk. Kita makan malam dulu ya. Bapak sudah laper ini," ajak Bu Susi tersenyum dengan
Keesokan harinya, sudah dari pagi Viki pamit pergi ke pantai. Arum membalas pesan Viki seadanya karena dia sendiri ingin mencoba fokus pada pernikahan tetangganya yang memang dia hadiri bersama sang mama, mencoba bersikap senatural mungkin agar Viki tak curiga. Entah apa yang dirinya tunggu. Makin banyak bukti? Atau menunggu Viki akhirnya berhenti dan mengakui? Di dalam gedung resepsi pernikahan, setelah turun menyalami pengantin. Menemani sang ibu mencari makanan dan membawanya ke tempat duduk. Giliran Arum yang berkeliling mencari camilan. Dia bukan tipe perempuan yang banyak makan, tapi entah kenapa badannya tak juga kurus. Dia memilih mengambil seporsi salad buah yang nampak menggoda. Saat matanya menyisir ke penjuru gedung, mendadak ada sosok yang lebih menarik perhatiannya daripada jajaran makanan didepannya. "Lah itu kan Alex? Bukannya dia harusnya pergi ke pantai sama Viki?" Arum coba menghampiri sosok Alex yang nampak sedang makan bersama seorang wanita di sampingnya. Arum
Hari-hari Arum memang sedang suram belakangan. Dia sudah memutuskan untuk pisah dari Viki. Tidak menyangka hubungan yang berjalan sudah satu tahun itu berhenti. Memang dia mencintainya, tapi dipikir-pikir lagi Retta memang lebih cocok bersama Viki daripada dirinya dan dia cukup sadar diri. Arum akhirnya mengetahui ternyata memang Retta sudah lama memendam rasa pada Viki. Dia selama ini berusaha mati-matian berusaha membuat Viki membalas perasaannya. Sepertinya berhasil pada akhirnya walau di saat yang salah karena kebetulan saat itu Viki masih bersama Arum. Sedangkan Viki? Dia terus berusaha menemuinya di rumah, mengiriminya pesan, juga menelponnya tiap malam. Masih meminta kesempatan terus untuk memperbaiki hubungan. Dia mengaku masih mencintai Arum dan hanya dia. Sedangkan pada Retta tidak lain hanya simpati dan perhatian sebagai teman. Tentu Arum sulit untuk percaya walau sudah memaafkan. Sebenarnya semakin lama Viki semakin mengganggu karena semakin lama dia tidak lagi mengucap ma
Bisa dibilang sebagai bentuk permintaan maaf dan supaya hubungan mereka membaik, Viki berjanji akan membawa Arum untuk jalan-jalan penuh dua hari ini. Jadilah hari Sabtu, Arum yang meminta bantuan untuk diantar bertemu dengan salah seorang agen penjualan tanah. Sedangkan hari Minggu, Viki yang berinisiatif membawa Arum juga sang mama dan Tante Tini untuk makan siang. Tentu saja niat terselubungnya ingin mendapat restu dari keduanya yang bisa dibilang adalah keluarga terdekat Arum saat ini."Mau kemana aja sih kita hari ini?" tanya Viki pagi itu saat bersantai di teras rumah Arum."Kalo hari ini sih aku pengen liat tanah. Di kabupaten, tapi perbatasan kota. Harganya sih murah, DP-nya murah, terus bisa dicicil lagi. Penasaran pengen liat lokasinya!" jelas Arum bersemangat."Ya udah, mau berangkat sekarang?” tawar Viki dan Arum mengangguk."Iya langsung aja yuk. Keburu siang," Arum sudah siap memasang kaos kakinya."Aku belum pamit mama kamu loh?" tanya Viki."Udah aku pamitin," Arum sud
Sudah beberapa bulan hubungan Arum dan Viki kembali berjalan mungkin lebih kuat dari sebelumnya. Walau hingga detik ini masih belum pernah mau mengungkapkan hubungan mereka secara terbuka, tapi Arum tidak lagi menumpang mobil Viki dengan sembunyi-sembunyi. Biasanya harus berjalan dulu beberapa meter di luar kantor ke dekat perempatan jalan agar tidak ada yang melihat, tapi sekarang mereka akan naik bersama dari lahan parkir dengan mobil Viki. Dia sudah tak lagi memikirkan pandangan karyawan mengenai hubungan mereka. Sudah tidak naik motor lagi memang sejak Viki membeli mobil itu. Sebuah sedan merah kini yang selalu menjadi tunggangannya. Tentu bukan masalah sama sekali bagi Arum entah naik motor atau mobil, tapi bagi Viki tentu menjadi kebanggan tersendiri juga selain itu dia ingin memberi yang terbaik untuk Arum. Supaya Arum tidak perlu kehujanan, kepanasan, atau apapun itu saat mengendarai motor bersamanya. Tentu saja sebagian lain adalah untuk memenuhi gengsinya sendiri mengingat h
Keesokan harinya di kantor, saat jam makan siang Arum bersama Asti yang kini juga malas untuk pergi ke kantin, memilih untuk makan siang berdua di dalam ruangan. Nasi bungkus yang sebelumnya sudah disiapkan oleh OB mereka. Bunyi sendok berdenting mendadak terganggu saat ponsel Arum berbunyi. Sebuah telepon masuk dari Viki. Asti tentu saja cuek menyantap makanannya walau samar-samar dia masih bisa mendengar percakapan itu karena sunyinya ruang kerja mereka. "Halo," sapa Arum. … "Iya kenapa?" tanya Arum sudah menjauhkan diri dari posisi Asti. … "Iya udah kenapa sih?" tanya Arum yang terdengar mulai gusar. … "Sorry tapi ya mana ada aku uang segitu? Uang aku juga udah kepake kamu kan 10 juta. Terus kemaren udah kepake bayar DP tanah yang aku beli itu. Tabungan aku udah habis!" jawab Arum seadanya dengan suara selirih mungkin. … "Usahain gimana? Ya enggak ada enggak bisa aku maaf! Ya coba aja kamu yang usahain. Itu kan mobil kamu," Arum mulai engga
Hubungan Arum dan Viki masih terus berjalan naik dan turun seperti roller coaster. Arum perlahan mulai membiasakan diri untuk menerima perilaku Viki yang bisa dibilang toxic dan abbusive. Kalau perilaku sang pacar tidak bisa diubah berarti dirinya yang harus berubah, itulah prinsipnya untuk saat ini. Walau perlahan dia mulai berani bercerita pada teman masa sekolahnya dulu, yang memang tidak pernah bertemu Viki. Tentu saja semua yang tahu mengenai kisah mereka pasti akan menyarankan Arum untuk segera memutuskan hubungannya dengan Viki, tapi hingga saat ini pikiran itu belum terlintas lagi dalam otaknya. Sampai kini Arum masih enggan mengakhiri semuanya. Sepertinya hati menutupi semua cacat itu dengan dalih cinta. Begitu juga dengan waktu dua tahun kebersamaan mereka yang Arum harap akan bisa bertambah lagi dan lagi, bahkan mungkin menjadi sepanjang waktu. Segala luka fisik maupun psikis yang sudah dia terima, Arum menjalaninya dengan tahan. Menurutnya, setiap orang bisa berubah dan di
Setelah hampir lima tahun melewati hal-hal yang menguras tenaga, pikiran, dan emosinya, Arum berhasil melepaskan semuanya. Sesuai janjinya pada diri sendiri dan apa yang dia katakan pada semua orang di sekitarnya, dia ingin fokus untuk membahagiakan diri sendiri dan sang mama. Malam ini, Arum merebahkan diri di ranjang kesayangannya bersama Jelly. Televisi menyala mempertontonkan sinetron favoritnya. Besok weekend dan Arum sudah merencanakan ingin mengajak Jelly pergi ke salon hewan untuk mendapatkan perawatan. Kali ini sekaligus mengajak mamanya yang memang sangat sayang pada Jelly bahkan sudah dianggap seperti anak sendiri. “Mama, besok kita pergi sama Jelly ya. Kita anter dia ke salon biar makin cakep,” ajak Arum semangat. “Habis itu ya kita juga ke salon ya? Sekali-kali mama ini pengen perawatan gitu. Cuci muka apa rambut itu apa namanya?” rajuk Mama Tina pada anak satu-satunya itu. “Hahaha. Mama mau? Ya udah kalo gitu besok kita juga ke salon. Kita anter Jelly dulu terus kita k
“Mau kemana kita hari ini?” Awan menawarkan. “Ya bukannya kamu yang ngajakin aku tadi. Emang kamu mau kemana?” Arum balik bertanya. Awan melihat lekat pada sosok Arum. Wanita itu hari ini tampak cantik walau hanya mengenakan celana jins dan kaos polo berkerah. Tentu saja sebenarnya itu hanya perasaannya saja karena penampilan Arum sama sekali tak pernah berubah dan masih seperti biasanya. “Wan? Kok malah ngelamun sih?” Arum menyadari tingkah aneh pria itu. “Eh eh iya maaf. Aku ini loh. Hm, mau beli mainan aja buat Athir. Kamu mau nemenin kan?” Arum jadi berpikir jauh lagi. Pria disampingnya ini begitu menyayangi keluarganya dan apakah pantas dia datang begitu saja dan sangat mungkin menyebabkan kehancuran untuk keharmonisan keluarga kecil itu. “Arum? Kok jadi kamu yang ngelamun sih?” Awan yang tak kunjung mendapat jawaban. “Ah iya. Aku bebas aja sih anterin kemana aja kamu mau. Aku nanti cuman mau liat-liat tanaman aja buat mama di pasar bunga.” Arum tersenyum kikuk. “Owh ok ka
Arum dan mamanya masih berada di ruang tamu kecil mereka. Rumah yang memang sudah mereka tempati selama berpuluh-puluh tahun sejak papa dan mama Arum menikah. Rumah ini menjadi saksi kunci bagaimana Arum lahir hingga sedewasa ini. Rumah ini melihat jelas tawa tangis dan segala rasa yang Arum tumpahkan. Sebenarnya Arum sudah memiliki rumahnya sendiri dengan Pras saat itu, tapi memang sama sekali tidak pernah ditempati dan hanya dikontrakkan saja. Suatu saat nanti Arum pasti akan tinggal di sana walau untuk saat ini dia masih setia mendampingi sang ibu. Mama Tina melihat anaknya yang menemaninya kini. Entah kenapa ada sedikit perasaan iba karena anaknya itu harus menjalani hidup sendirian sebagai seorang janda di usianya yang kini sudah menginjak 35 tahun. Padahal di usia seperti itu, harusnya dia sedang menghabiskan waktu bersama suami dan anak-anaknya dan bukan menemani ibunya yang sudah tua juga mulai sakit-sakitan. Entah bagaimana sang mama juga merasa sedikit bertanggungjawab hingg
Arum sedang bekerja di depan komputernya dengan wajah cemberut dan terlipat. Asti yang baru saja keluar dari ruangan Pak Yos membawa setumpuk berkas tentu bisa melihat jelas air muka sang sahabat. Suasana memang cukup sepi karena sebagian orang sedang tidak ada di ruangan entah dinas luar atau memang sedang ada urusan ke departemen lain. “Kenapa sih kamu uring-uringan gitu?” tanya Asti yang melihat gelagat aneh Arum. “Enggak ngerti juga! Awan tuh berubah banget belakangan ini. Kayanya dia mulai ngehindar dari aku,” Arum senewen sendiri. “Lagi? Hahaha. Kamu tuh sadar enggak sih sekarang kalo sedikit banyak sikap kamu udah sama kaya dia? Ketularan childish kayanya ya. Dikit-dikit ngambek, terus manyun. Kaya ABG lagi kasmaran. Hehehe,” goda Asti. “Heh? Apaan sih. Enggak lah ya. Aku tuh cuman kesel karena dia bersikap sesuka hati semaunya sendiri sama aku. Kalo lagi butuh aja dia nyariin, kalo enggak ya lupa!” Arum masih menggerutu. “Tapi kan kamu tahu hari kaya gini emang bakal daten
Saat jam istirahat pun, Arum memilih makan siang dengan Asti di ruangan mereka. Seperti sudah menjadi kebaisaan kini mereka akan berada di sana. Seakan tidak cukup sudah membicarakan kedua pria itu, Viki dan Awan melalui telepon hingga larut malam, Arum kembali bercerita tentang dua pria siang itu. “Sumpah sinetron banget ceritanya. Hahaha,” Asti tidak habis pikir. “Kamu ketawa di atas penderitaan orang lain banget sih, Ti!” Arum tertawa juga. Terbiasa menutupi seluruh perasaannya sendiri. “Kisah hidupmu kalo dijadiin film bagus banget kayanya! Banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari sana,” Asti berandai. “Lah iya. Bayangin aja. Setelah bertahun-tahun, kamu udah punya anak tiga, aku masih stuck sama satu cowok itu,” Arum juga tidak percaya sudah selama itu dia menghabiskan waktu dengan Viki.. “Hahaha iya juga sih. Udah kaya kredit motor. Hahaha. Terus kamu sama Awan gimana?” tanya Asti lagi. “Enggak ngerti juga sih. Dia baik, cuman gimana ya, Ti. Dia makin kesini makin keli
Elsa memberanikan diri menemui Viki di rumahnya. Sebenarnya dia juga baru tahu bahwa Viki punya rumah pribadi di Malang. Elsa tahu dari Cindy, temannya di tempat karaoke yang ternyata masih kontak dengan Andi, teman karaoke Viki malam itu saat pertama kali mereka pertama berkenalan. Walau sedikit memaksa, tapi akhirnya Cindy bisa membujuk Andi untuk memberi alamat rumah Viki. Viki tak langsung membuka pintu saat Elsa datang. Dia memang tidak mengatakan akan datang karena pria itu pasti akan menghindarinya. Sebuah surat perceraian datang di kos Elsa kemarin, dan karena itulah Elsa datang hari ini. Masih berharap Viki mau merubah keputusannya walau tentu saja Intan dan Rani sudah berulang kali mendukung keputusan Viki untuk bercerai dan berpesan pada Elsa agar tidak lagi berhubungan dengannya, tapi ternyata cinta itu memang buta. Pintu itu dibuka menampilkan sosok Viki yang berantakan. Matanya merah dan wajahnya mengeras saat melihat Elsa yang muncul di sana. “Ada apa sih kamu kesini?
Tidak banyak bicara bahkan perjalanan Surabaya-Malang begitu hening. Viki memaksa ingin mengantarnya sekarang setelah tadi Arum datang sendiri mengendarai bis. Arum memutar radio hanya untuk sekedar pemecah sunyi di antara mereka. Sebenarnya banyak yang Viki ingin bicarakan, tapi Arum beralasan letih. Hingga tiba di depan rumah Arum, wanita itu bahkan tak ingin memberinya tawaran untuk mampir. “Kenapa sih kamu, Arum?” tanya Viki malam itu. “Se-sebenernya aku pengen kita putus,” jawab Arum ragu. “Apa? Putus? Kenapa?” Viki ingin mencoba mendengar alasan apa lagi yang kan digunakan Arum kali ini. “Terlalu banyak ketidakcocokan antara kita berdua, Vik! Aku cuman takut enggak bisa nyesuaiin diri sama kamu. Kita udah dewasa, tapi aku liat kamu belum bisa bersikap dewasa. Setiap kali ada masalah kamu selalu nyelesaiin pake kekerasan. Setiap kali aku minta kita untuk instropeksi diri masing-masing pun rasanya enggak ada perubahan berarti. Kejadian Retta lalu ini Elsa, semuanya terlalu bera
Hingga tiba di depan gang pun Arum mengucapkan terima kasih seadanya pada Awan atas hari ini juga minta maaf karena akhir yang kurang menyenangkan. Awan terlihat masih diam saja jelas sangat marah dan cemburu. Arum tidak terlalu fokus karena dia benar-benar tak bisa berlama-lama dan segera berlari ke rumahnya. Segera melepas asal sepatu juga jaket dan tas ranselnya dan segera mengangkat panggilan video dari Viki yang pasti sudah marah. “Kamu tuh dari mana aja sih, Ay? Kenapa baru diangkat sekarang telepon aku?” tanya Viki ketus. “Iya aku baru aja sampe rumah. Sabar kenapa sih? Aku ini lagi acara keluarga. Kamu ngertiin aku sedikit dong,” jawab Arum tak kalah kesalnya. “Ya kamu mencurigakan soalnya. Masa aku chat aja enggak ada yang masuk. Aku telpon juga enggak bisa nyambung. Kan rumah Tante Tini juga bukan di pelosok desa. Masa sih sinyal aja enggak ada?” Viki masih mencercanya dengan pertanyaan. “Iya udah maaf maaf. Aku juga enggak tahu kenapa enggak ada sinyal disana. Lagi gangg
“Kamu pengennya ke pantai apa?” tanya Awan saat mengantarkan Arum pulang malam itu. “Apaan aja sih. Pantai mana aja asal pantai, bebas deh. Malang selatan kan banyak pilihan pantainya,” Arum tersenyum kecil. “Ok nanti aku coba browsing ya. Kita cari pantai yang aksesnya enggak terlau sulit tapi juga enggak terlalu rame.” “Iya dan ada kuliner seafoodnya. Hehehe.” “Makanan terus deh di otaknya. Pantesan gemesin gini,” Awan merujuk pada pipi tembem Arum yang sedang duduk di sampingnya. “Owh. Udah berani ngeledek?” tanya Arum bercanda yang dibalas tawa saja oleh Awan. “Setelah dari pantai mau kemana?” tanya Arum lagi antusias. “Hm, kamu masih mau jalan lagi? Ke Blitar aja gimana? Ada sahabat aku di sana nanti kita bisa main ke rumahnya. Kan dari pantai juga searah. Sekalian aku udah lama banget enggak kesana,” ajak Awan. Blitar? Pikiran Arum menerawang. Kota yang begitu penuh dengan kenangan entah manis atau pahit dan entah baik atau buruk. Tempat yang sudah hampir empat tahun ini