Siapa lagi nih?
Emosi sudah benar-benar berada di ujung kepala Arum. Sepanjang perjalanan menggunakan bis juga berpindah ke ojol yang mengantar dia ke rumah Viki, hatinya terus saja bergemuruh. Sudah siap dengan semua sumpah serapah yang mungkin dia ucapkan di depan orang tua Viki. Tak peduli lagi mengenai apa yang akan orang tua Viki pikirkan atau katakan padanya. "Permisi…" sapa Arum dari depan sambil mengetuk pintu. "Iya…. Loh Arum kok tiba-tiba kesini? Sendirian?" tanya Bu Susi yang celingukan. "Iya tante sendiri. Ada yang perlu saya omongin sama Viki. Sekalian om sama tante juga," kata Arum masih mencoba sopan, tapi tanpa senyuman. "Owh… ya boleh-boleh ayo masuk." ajak Bu Susi yang sebenarnya juga menawarkan minuman tapi ditolak oleh Arum. Meminta Pak Jono dan Viki untuk segera bergabung. Tidak seperti kedua orangtuanya yang masih nampak bingung, Viki keluar dengan ragu dan duduk menjauh dari Arum. Nampak lemah dan lesu, membuat Arum semakin emosi melihat wajah Viki saat itu. "Sudah datang
"Kamu harus tanggung jawab, Vik sama aku! Aku sudah bilang sama orang tua aku kalo kamu bakal dateng dan nikahin aku!" mohon Elsa melalui telepon di kamar kosnya. "Aku udah bilang aku enggak mau! Cewek sialan! Semua ini gara-gara kamu aku harus putus sama Arum!" Viki malah balik marah melalui telpon di genggamannya. "Kamu masih mikirin Arum di saat seperti ini? Kamu harusnya mikirin aku dan bayi kamu, Vik! Aku tulus sayang banget sama kamu. Bahkan mungkin lebih besar dari perasaan Arum sama kamu. Aku bahkan udah rela hamil anak kamu," suara Elsa sudah bergetar menggema di seluruh penjuru kamar. "Enggak ada yang minta kamu hamil anak aku Elsa! Harusnya kamu bisa ati-ati. Pake pengaman kek atau minum obat apa gitu, jadi gak ada kejadian kaya gini. Dasar perempuan goblok!" Viki terus saja menghujatnya tapi sama sekali Elsa tak gentar. "Terserah kamu mau ngomong apa, Vik! Yang jelas kamu harus tanggungjawab atau aku yang bakal dateng ke rumah orang tua kamu bawa penghulu sekalian. Biar
"Viki… akhirnya kamu datang juga," begitu Elsa membuka mata, betapa senangnya dia karena pria itu yang ada di depannya. Dia hanya bisa berbaring di ranjangnya. Perutnya masih terasa sakit dan mual. "Jangan GR! Aku datang cuman karena dipaksa sama orangtuaku," Viki bahkan enggan menatap. "Terserah lah kamu datang karena apa, Vik! Tapi yang jelas aku enggak akan pernah berhenti berusaha buat anak kita. Apa salah kalo aku pengen kamu tanggung jawab sama anak kandung kamu sendiri? Apa salah kalo aku ingin anak ini lahir di dalam keluarga yang lengkap termasuk dengan ayahnya sendiri yaitu kamu?" Elsa mulai menangis lagi. "Dengan bunuh diri? Kamu bilang itu usaha? Daripada kamu bunuh diri, kenapa enggak kamu gugurin aja itu bayi? Kamu tetep bisa nikmatin hidup kamu tanpa harus ngurus anak. Dosa juga masih sama-sama dosa!" sarkas Viki mulai emosi. "Aku enggak sekejam itu, Vik! Mana bisa aku biarin bayi enggak berdosa ini nanggung semuanya sendiri. Seperti yang kamu bilang kan sama-sama do
Di lain sisi, setelah percobaan ratusan kali, akhirnya pada suatu malam Arum mau mengangkat telepon dari Viki. Ternyata memang tidak semudah itu lepas dari si brondong toxic. Pria itu keras kepala luar biasa. Pria itu mengatakan dia ada di depan rumah Arum dan tidak akan pergi sebelum wanita itu menemuinya. Sangat terpaksa karena tidak ingin mamanya tahu, Arum diam-diam menemui Viki di luar rumahnya. "Arum, tolong maafin aku," Viki akhirnya bisa bicara pada Arum. "Hmh, aku udah dari lama maafin kamu Viki… tapi kenapa kamu terus ganggu aku? Kamu harusnya fokus sama Elsa dan bayinya. Aku udah enggak mau ada urusan lagi sama kalian! Apa kamu enggak bisa ngerti juga mau aku, Vik?" Arum mencoba bersabar sebisa mungkin menekan suaranya. "Ya karena aku masih berharap bisa balikan sama kamu, Arum. Aku udah bilang puluhan kali kan," kata Viki lagi berusaha meraih wanita itu. "Aku juga udah bilang puluhan kali kalo aku enggak mau, Vik! Kamu enggak seharusnya kaya gini!" Arum mencoba tenang.
Keesokan harinya Arum masih beraktifitas normal meskipun tidak dengan kondisi hatinya. Dia tahu Viki sudah resmi menikah sekarang. Membuatnya sedikit sedih karena bahkan setelah pasang surut kehidupannya bersama si brondong toxic, masih belum ada yang tahu tentang kisah cinta antara keduanya. Tidak bisa dipungkiri, kadang dia butuh teman untuk bicara atau teman untuk menyandarkan kepala. Arum terus menjadi pribadi yang begitu bersemangat dalam bekerja dan ceria dalam kesehariannya. Beberapa hari belakangan untungnya Arum dan rekannya yang lain masih sibuk dengan kompetisi futsal antar bank dalam rangka merayakan Hari Kemerdekaan RI yang kebetulan diselenggarakan oleh bank mereka, Bank Gemilang. "Nanti sore ada pertandingan futsal lagi loh. Siapa yang bisa nemenin aku?" Rizki mulai bertanya. Para karyawan wanita yang sudah berkeluarga dan semua sibuk dengan suami dan anaknya masing-masing memilih diam, artinya mereka tidak akan turut serta. Sedangkan Tri yang sudah beberapa hari ini
Viki resmi menjadi seorang suami dengan istri yang tak diinginkan, tapi seperti janjinya dia tidak akan tinggal bersama Elsa. Kembali ke rumah orangtuanya dan segera menghubungi Arum. Wanita itu sebenarnya sudah sangat enggan menanggapi. Bahkan di hari yang harusnya menjadi malam pertama antara Viki dan Elsa, pria itu justru memilih menelponnya. Sama seperti kali ini ketika Viki mulai menelpon lagi. Arum sudah sebisa mungkin menghindar, tapi lama kelamaan pesan dan telpon itu menjadi sangat mengganggu. "Astaga. Mau apa lagi sih cowok ini?" entah sudah telepon yang keberapa sore itu. Arum akhirnya mengangkat panggilan video dari mantan brondong toxicnya itu sebelum dia tidur. Dia harus mencari alasan agar tidak perlu berlama-lama bicara dengannya. "Ada apa sih?" tanya Arum akhirnya mengangkat telepon itu. "Ya aku pengen ngobrol sama kamu, Arum!" jawab Viki santai. "Kamu itu suami orang Viki sekarang. Hargain sedikit aja lah istri kamu itu!" Arum bersikeras. "Ya justru itu aku telp
Arum sudah protes ke Rizki karena memberikan nomornya tanpa ijin ke Awan. Pria yang sudah dianggap seperti adiknya sendiri itu justru tertawa terbahak saat dia mengatakan bahwa Awan menyatakan cinta padanya. Rizki justru berpesan agar dirinya harus menjaga perasaan Awan dengan baik karena menurutnya pria itu baik dan juga terlalu polos. Arum kesal juga, padahal posisinya saat ini Awan lah yang sudah memiliki istri dan anak, kenapa dia yang harus menjaga hati? Setelah perkenalan mereka, Awan akhirnya mengajak Arum bertemu untuk kedua kalinya. Awan sebenarnya ingin menjemput di kantor, tapi dengan 1001 alasan Arum berhasil meyakinkannya untuk langsung bertemu di sebuah kafe di dekat kantor Arum. Jadi disinilah mereka sore itu duduk berhadapan di lantai dua sebuah kafe yang tidak terlalu ramai. Jujur saja kalau urusan penampilan, dibandingkan dengan Viki, Awan bisa terbilang sangat ketinggalan jaman. Jaketnya terlihat sudah lama bahkan warnanya memudar sedangkan sepatunya hampir tidak bi
Belum sempat Arum menuntaskan melihat semua status W******p orang lain, sebuah panggilan video masuk. Arum hanya memutar bola matanya malas dan seketika moodnya memburuk. Belum sempat dirinya bicara, sebuah suara sudah terdengar emosi di seberang. Siapa lagi kalau bukan si brondong toxic, Viki. "Kamu lagi online tapi kenapa chat aku enggak dibales?" tanya Viki dengan penuh tanya curiga. "Ya aku emang belum bales. Aku habis mandi terus liatin W* story orang-orang," Arum menjawab dengan tak kalah ketus. "Enggak usah bohong kamu sama aku! Dari tadi juga bales chat lama banget. Lagi chat sama siapa?" tanya Viki menuduh tak berdasar. "Apaan sih gak jelas kamu tuh! Kalo vidcal cuman mau marah-marah aku tutup aja telepon ini!" ancam Arum akhirnya. "Hmh… ya udah enggak enggak…. Aku tuh cuman kangen sama kamu, Ay. Kamu tadi tumben-tumbenan pake lembur segala. Padahal aku pengen pulang bareng. Aku jadi pulang sendiri," responnya tiba-tiba lunak. "Ya namanya juga kerja! Kaya enggak tau aja
Setelah hampir lima tahun melewati hal-hal yang menguras tenaga, pikiran, dan emosinya, Arum berhasil melepaskan semuanya. Sesuai janjinya pada diri sendiri dan apa yang dia katakan pada semua orang di sekitarnya, dia ingin fokus untuk membahagiakan diri sendiri dan sang mama. Malam ini, Arum merebahkan diri di ranjang kesayangannya bersama Jelly. Televisi menyala mempertontonkan sinetron favoritnya. Besok weekend dan Arum sudah merencanakan ingin mengajak Jelly pergi ke salon hewan untuk mendapatkan perawatan. Kali ini sekaligus mengajak mamanya yang memang sangat sayang pada Jelly bahkan sudah dianggap seperti anak sendiri. “Mama, besok kita pergi sama Jelly ya. Kita anter dia ke salon biar makin cakep,” ajak Arum semangat. “Habis itu ya kita juga ke salon ya? Sekali-kali mama ini pengen perawatan gitu. Cuci muka apa rambut itu apa namanya?” rajuk Mama Tina pada anak satu-satunya itu. “Hahaha. Mama mau? Ya udah kalo gitu besok kita juga ke salon. Kita anter Jelly dulu terus kita k
“Mau kemana kita hari ini?” Awan menawarkan. “Ya bukannya kamu yang ngajakin aku tadi. Emang kamu mau kemana?” Arum balik bertanya. Awan melihat lekat pada sosok Arum. Wanita itu hari ini tampak cantik walau hanya mengenakan celana jins dan kaos polo berkerah. Tentu saja sebenarnya itu hanya perasaannya saja karena penampilan Arum sama sekali tak pernah berubah dan masih seperti biasanya. “Wan? Kok malah ngelamun sih?” Arum menyadari tingkah aneh pria itu. “Eh eh iya maaf. Aku ini loh. Hm, mau beli mainan aja buat Athir. Kamu mau nemenin kan?” Arum jadi berpikir jauh lagi. Pria disampingnya ini begitu menyayangi keluarganya dan apakah pantas dia datang begitu saja dan sangat mungkin menyebabkan kehancuran untuk keharmonisan keluarga kecil itu. “Arum? Kok jadi kamu yang ngelamun sih?” Awan yang tak kunjung mendapat jawaban. “Ah iya. Aku bebas aja sih anterin kemana aja kamu mau. Aku nanti cuman mau liat-liat tanaman aja buat mama di pasar bunga.” Arum tersenyum kikuk. “Owh ok ka
Arum dan mamanya masih berada di ruang tamu kecil mereka. Rumah yang memang sudah mereka tempati selama berpuluh-puluh tahun sejak papa dan mama Arum menikah. Rumah ini menjadi saksi kunci bagaimana Arum lahir hingga sedewasa ini. Rumah ini melihat jelas tawa tangis dan segala rasa yang Arum tumpahkan. Sebenarnya Arum sudah memiliki rumahnya sendiri dengan Pras saat itu, tapi memang sama sekali tidak pernah ditempati dan hanya dikontrakkan saja. Suatu saat nanti Arum pasti akan tinggal di sana walau untuk saat ini dia masih setia mendampingi sang ibu. Mama Tina melihat anaknya yang menemaninya kini. Entah kenapa ada sedikit perasaan iba karena anaknya itu harus menjalani hidup sendirian sebagai seorang janda di usianya yang kini sudah menginjak 35 tahun. Padahal di usia seperti itu, harusnya dia sedang menghabiskan waktu bersama suami dan anak-anaknya dan bukan menemani ibunya yang sudah tua juga mulai sakit-sakitan. Entah bagaimana sang mama juga merasa sedikit bertanggungjawab hingg
Arum sedang bekerja di depan komputernya dengan wajah cemberut dan terlipat. Asti yang baru saja keluar dari ruangan Pak Yos membawa setumpuk berkas tentu bisa melihat jelas air muka sang sahabat. Suasana memang cukup sepi karena sebagian orang sedang tidak ada di ruangan entah dinas luar atau memang sedang ada urusan ke departemen lain. “Kenapa sih kamu uring-uringan gitu?” tanya Asti yang melihat gelagat aneh Arum. “Enggak ngerti juga! Awan tuh berubah banget belakangan ini. Kayanya dia mulai ngehindar dari aku,” Arum senewen sendiri. “Lagi? Hahaha. Kamu tuh sadar enggak sih sekarang kalo sedikit banyak sikap kamu udah sama kaya dia? Ketularan childish kayanya ya. Dikit-dikit ngambek, terus manyun. Kaya ABG lagi kasmaran. Hehehe,” goda Asti. “Heh? Apaan sih. Enggak lah ya. Aku tuh cuman kesel karena dia bersikap sesuka hati semaunya sendiri sama aku. Kalo lagi butuh aja dia nyariin, kalo enggak ya lupa!” Arum masih menggerutu. “Tapi kan kamu tahu hari kaya gini emang bakal daten
Saat jam istirahat pun, Arum memilih makan siang dengan Asti di ruangan mereka. Seperti sudah menjadi kebaisaan kini mereka akan berada di sana. Seakan tidak cukup sudah membicarakan kedua pria itu, Viki dan Awan melalui telepon hingga larut malam, Arum kembali bercerita tentang dua pria siang itu. “Sumpah sinetron banget ceritanya. Hahaha,” Asti tidak habis pikir. “Kamu ketawa di atas penderitaan orang lain banget sih, Ti!” Arum tertawa juga. Terbiasa menutupi seluruh perasaannya sendiri. “Kisah hidupmu kalo dijadiin film bagus banget kayanya! Banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari sana,” Asti berandai. “Lah iya. Bayangin aja. Setelah bertahun-tahun, kamu udah punya anak tiga, aku masih stuck sama satu cowok itu,” Arum juga tidak percaya sudah selama itu dia menghabiskan waktu dengan Viki.. “Hahaha iya juga sih. Udah kaya kredit motor. Hahaha. Terus kamu sama Awan gimana?” tanya Asti lagi. “Enggak ngerti juga sih. Dia baik, cuman gimana ya, Ti. Dia makin kesini makin keli
Elsa memberanikan diri menemui Viki di rumahnya. Sebenarnya dia juga baru tahu bahwa Viki punya rumah pribadi di Malang. Elsa tahu dari Cindy, temannya di tempat karaoke yang ternyata masih kontak dengan Andi, teman karaoke Viki malam itu saat pertama kali mereka pertama berkenalan. Walau sedikit memaksa, tapi akhirnya Cindy bisa membujuk Andi untuk memberi alamat rumah Viki. Viki tak langsung membuka pintu saat Elsa datang. Dia memang tidak mengatakan akan datang karena pria itu pasti akan menghindarinya. Sebuah surat perceraian datang di kos Elsa kemarin, dan karena itulah Elsa datang hari ini. Masih berharap Viki mau merubah keputusannya walau tentu saja Intan dan Rani sudah berulang kali mendukung keputusan Viki untuk bercerai dan berpesan pada Elsa agar tidak lagi berhubungan dengannya, tapi ternyata cinta itu memang buta. Pintu itu dibuka menampilkan sosok Viki yang berantakan. Matanya merah dan wajahnya mengeras saat melihat Elsa yang muncul di sana. “Ada apa sih kamu kesini?
Tidak banyak bicara bahkan perjalanan Surabaya-Malang begitu hening. Viki memaksa ingin mengantarnya sekarang setelah tadi Arum datang sendiri mengendarai bis. Arum memutar radio hanya untuk sekedar pemecah sunyi di antara mereka. Sebenarnya banyak yang Viki ingin bicarakan, tapi Arum beralasan letih. Hingga tiba di depan rumah Arum, wanita itu bahkan tak ingin memberinya tawaran untuk mampir. “Kenapa sih kamu, Arum?” tanya Viki malam itu. “Se-sebenernya aku pengen kita putus,” jawab Arum ragu. “Apa? Putus? Kenapa?” Viki ingin mencoba mendengar alasan apa lagi yang kan digunakan Arum kali ini. “Terlalu banyak ketidakcocokan antara kita berdua, Vik! Aku cuman takut enggak bisa nyesuaiin diri sama kamu. Kita udah dewasa, tapi aku liat kamu belum bisa bersikap dewasa. Setiap kali ada masalah kamu selalu nyelesaiin pake kekerasan. Setiap kali aku minta kita untuk instropeksi diri masing-masing pun rasanya enggak ada perubahan berarti. Kejadian Retta lalu ini Elsa, semuanya terlalu bera
Hingga tiba di depan gang pun Arum mengucapkan terima kasih seadanya pada Awan atas hari ini juga minta maaf karena akhir yang kurang menyenangkan. Awan terlihat masih diam saja jelas sangat marah dan cemburu. Arum tidak terlalu fokus karena dia benar-benar tak bisa berlama-lama dan segera berlari ke rumahnya. Segera melepas asal sepatu juga jaket dan tas ranselnya dan segera mengangkat panggilan video dari Viki yang pasti sudah marah. “Kamu tuh dari mana aja sih, Ay? Kenapa baru diangkat sekarang telepon aku?” tanya Viki ketus. “Iya aku baru aja sampe rumah. Sabar kenapa sih? Aku ini lagi acara keluarga. Kamu ngertiin aku sedikit dong,” jawab Arum tak kalah kesalnya. “Ya kamu mencurigakan soalnya. Masa aku chat aja enggak ada yang masuk. Aku telpon juga enggak bisa nyambung. Kan rumah Tante Tini juga bukan di pelosok desa. Masa sih sinyal aja enggak ada?” Viki masih mencercanya dengan pertanyaan. “Iya udah maaf maaf. Aku juga enggak tahu kenapa enggak ada sinyal disana. Lagi gangg
“Kamu pengennya ke pantai apa?” tanya Awan saat mengantarkan Arum pulang malam itu. “Apaan aja sih. Pantai mana aja asal pantai, bebas deh. Malang selatan kan banyak pilihan pantainya,” Arum tersenyum kecil. “Ok nanti aku coba browsing ya. Kita cari pantai yang aksesnya enggak terlau sulit tapi juga enggak terlalu rame.” “Iya dan ada kuliner seafoodnya. Hehehe.” “Makanan terus deh di otaknya. Pantesan gemesin gini,” Awan merujuk pada pipi tembem Arum yang sedang duduk di sampingnya. “Owh. Udah berani ngeledek?” tanya Arum bercanda yang dibalas tawa saja oleh Awan. “Setelah dari pantai mau kemana?” tanya Arum lagi antusias. “Hm, kamu masih mau jalan lagi? Ke Blitar aja gimana? Ada sahabat aku di sana nanti kita bisa main ke rumahnya. Kan dari pantai juga searah. Sekalian aku udah lama banget enggak kesana,” ajak Awan. Blitar? Pikiran Arum menerawang. Kota yang begitu penuh dengan kenangan entah manis atau pahit dan entah baik atau buruk. Tempat yang sudah hampir empat tahun ini