"Kamu akan menikah sore ini! Sekarang bersiap, kita akan berangkat ke kota."
Aji berdiri si tempatnya, ia masih mencerna ucapan sang nenek yang terdengar sepintas lalu karena wanita bicara sambil berjalan cepat masuk kamar.pNenek Aji keluar dari kamar membawa dua tas hitam kecil lalu masuk ke kamar Aji. Dengan sembarangan ia memasukkan pakaian cucu laki-lakinya itu. Tidak memilih mana pakaian yang masih pantas mana yang sudah tidak layak."Ni —nikah sama siapa, Uti?" tanya pria 23 tahun itu bingung. Memangnya dia harus menikah dengan siapa? Teman dekat saja dia tidak punya apalagi kekasih!"Gak usah banyak tanya! Anggap saja ini sebagai bayaran untuk merawat anak haram seperti koe!” Wanita tua itu menjawab dengan kasar. Ia melemparkan tas milik Aji ke lantai. Uti Warsih mengambil baju kemeja putih yang warna sudah agak kuning di lemari pakaian lalu meminta Aji untuk memakainya setelah mandi.Mendengar kata anak haram dan hutang budi membuat Aji tidak berkutik, Ia dengan terpaksa mengikuti keinginan neneknya itu yang adalah satu-satunya keluarga yang ia punya.Aji dibesarkan di desa dan dikenal sebagai anak haram oleh seluruh warga di kampungnya. Itu karena ibunya yang bekerja di kota besar yang belum menikah kembali ke desa dengan membawa seorang bayi yang baru beberapa hari dilahirkan.Seumur hidupnya, Aji hidup dengan hinaan orang dan kata-kata penyesalan dari uti Warsih. Itu sebabnya ia selalu bekerja keras agar bisa membuat neneknya itu bangga dan bahagia, sayang itu semua belum bisa terwujud.Aji yang bertubuh kekar dengan kulit sedikit gelap karena terbakar matahari terlihat tampan dan gagah mengenakan kemeja putih pemberian uti tadi. Ditambah peci, Aji yang bekerja sebagai buruh terlihat begitu berbeda.Sesuai kata uti Warsih tidak lama ada sebuah mobil mewah yang berhenti di depan rumah kecil mereka. Mobil hitam yang catnya begitu mengkilap dan licin menarik perhatian tetangga Aji. Mereka keluar dari rumah, mendekati mobil itu dan mengagumi kendaraan itu.“Minggir! Minggir!” Uti Warsih menghalau para tetangganya agar menjauh dari mobil itu. “Nanti mobilnya lecet! Tangan kalian, kan kasar. Ayo, Le, ndang masuk!” Ia menarik Aji yang masih heran sekaligus terpana masuk ke dalam mobil itu.“Ini mobil siapa, Uti? Apa kita gak salah naik mobil ini?” Aji sampai tidak berani duduk karena takut mengotori jok mobil dan dimintai ganti rugi.“Calon bojomu! Wes gak usah cerewet! Ikutin aja apa kata uti. Bikin uti kaya raya dan pergi dari hidup selamanya. Uti wes bosen ngurusi anak haram. Bikin hidup uti sial!” Nenek itu menggerutu.Cukup lama berkendara, akhirnya mobil masuk ke parkiran hotel yang sangat besar di kota. Aji mendongak, melihat keluar jendela mengagumi besar dan megahnya tempat yang mereka datangi.Sopir yang menjemput Aji langsung mengarahkan Aji untuk menuju kamar presidential suite yang disewa oleh majikannya. Aji yang sibuk menikmati besarnya hotel kaget ketika mereka berhenti di depan kamar. “Ini kita ngapain kesini?” tanyanya pada sopir.“Nona Radhia dan keluarga juga sudah menunggu di dalam. Silahkan masuk.” Sopir menempelkan pass card sampai lampu di pintu berubah hijau. Ia mempersilahkan Aji dan uti Warsih masuk menemui Radhia – calon istri Aji yang sudah menunggu di ruang tamu.Seorang wanita memakai kebaya putih dengan riasan wajah lengkap duduk melantai bersama keluarganya. Wanita itu melirik Aji dengan kesal. Ia membuang nafas kasar meratapi nasibnya yang harus menikah dengan pria yang usia lima tahun lebih muda darinya.Jika bukan demi harta warisan papanya, Radhia yang tidak percaya dengan cinta tidak akan mau menikah apalagi dengan pria muda dari kampung.“Bu Warsih, monggo.” Seorang wanita paruh baya mempersilahkan Warsih untuk duduk bergabung bersama mereka sedang Aji diarahkan untuk duduk di sebelah Radhia.Aji melirik uti Warsih, melihat raut wajah serius uti, Aji segera menempati tempatnya.Tidak menunggu lebih lama, penghulu segera menikahkan kedua orang yang baru pertama kali bertemu. Ucapan sah bergema di ruangan itu, menandakan Aji dan Radhia kini sudah sah menjadi suami istri.“Ini cekmu! 2 miliar.” Radhia menyerahkan selembar cek kepada Warsih sebagai imbalan karena telah mencarikan calon suami untuknya.Senyum Warsih mengembang lebar, matanya berbinar melihat angka yang tertulis di sana. “Akhirnya, aku bisa hidup tenang. Sekarang aku bebas dari rasa malu,” ujarnya sambil mengibas-ngibas cek itu.Dada Aji terasa sesak mengetahui kalau Warsih ternyata sudah menjualnya. Tetapi ia hanya bisa diam dan menahan emosinya karena tidak mungkin ia memarahi utinya.“Sekarang mau ikut nona Radhia. Nurut sama istrimu, jangan bikin masalah. Ngerti koe?” warsih berpesan sambil memasukkan cek-nya ke dalam tas.Selesai dengan semua urusannya, Warsih meninggalkan Aji bersama keluarga barunya dan kembali ke desa. Keluarga Radhia juga kembali ke kamar mereka masing-masing meninggalkan Aji dan Radhia berdua di kamar pengantin.“Dengar, hanya karena sekarang kita sudah menikah, bukan berarti kamu bisa menyentuh saya. Saya gak sudi disentuh oleh pria kasar sepertimu, paham?” Radhia berjalan melewati Aji begitu saja.Wanita itu melepas satu per satu perhiasan yang menempel di tubuhnya, mendiamkan Aji seolah lelaki itu tidak ada di sana.“Ngapain berdiri disana? Cepat ganti baju! Aku jijik melihat baju kotormu itu!” pekik Radhia sambil berlalu masuk ke dalam kamar mandi.Aji menunduk memperhatikan penampilannya. Ia membuang nafas panjang, membongkar tas yang Warsih siapkan.Radhia kembali berdecak ketika melihat penampilan Aji. “Kamu gak punya baju yang lain? Sopir saya aja bajunya lebih bagus dari itu. Itu lebih cocok jadi kain lap.” Radhia menggeleng pelan, ia yang kesal karena penampilan Aji memilih duduk di sofa dan bekerja melalui laptopnya.Aji masih berdiri di tempatnya, ia tidak tahu harus melakukan apa. Ingin ke ranjang tetapi belum dipersilahkan. Ingin makan, tapi takut tidak sopan.“Em…. boleh saya jalan-jalan keliling hotel?” tanya aji takut-takut. Pikirnya, daripada di kamar dan tidak melakukan apa-apa, lebih baik ia keluar.Radhia menengadah. “Kamu tahu jalan kembali ke kamar? Jangan sampai kamu hilang dan membuat saya malu.”“Ta – tau, Mbak.” sahutnya. Radhia mendelik tetapi ia sedang malas meladeni Aji. Moodnya rusak gara-gara pakaian lusuh suaminya itu. Radhia mengibaskan tangan, mengijinkan Aji pergi keluar.Aji menjelajahi setiap lantai hotel dengan lift. Ia masuk ke restoran hanya untuk melihat-lihat kemudian keluar. Pun begitu saat ia masuk ke toko souvenir yang dekat lobi. Ia masuk dan melihat beberapa kerajinan tangan yang dijual dengan harga fantastis. Aji tidak berani menyentuh apapun, takut meninggalkan sidik jarinya di barang mahal.Seseorang menepuk pundak Aji yang sedang melihat lukisan. “Maaf, Apa anda Aji Hutama?” tanya orang itu begitu Aji berbalik._________“Kamu tidur di sofa!” Aji menerima bantal dan selimut pemberian Radhia.Aji menundukkan pandangannya tidak berani melihat sang istri karena saat ini Radhia sedang mengenakan gaun tidur tanpa lengan dengan potongan berleher rendah.Wanita itu berbalik, ia naik ke atas ranjang dan membungkus tubuhnya dengan selimut sampai pinggang. Melihat Radhia yang sudah nyaman di ranjangnya, Aji naik ke atas sofa. Membaringkan tubuhnya sambil memikirkan ucapan nona Bella – wanita yang tadi menyapanya di toko souvenir.Kepala Aji dipenuhi pertanyaan setelah percakapannya dengan nona Bella. Benarkan ia putra Wisnu Hutama yang telah lama hilang?Lelah memikirkan jawaban atas pertanyaan itu didukung keadaan kamar yang dingin, Aji akhirnya terlelap.Ia terperanjat kaget ketika kakinya dipukul oleh sesuatu. Ia yang sedang tidur nyenyak, sampai melompat duduk karena terkejut.“Iya, Uti! Aji bangun.” Aji mengucek mata, menguap lebar membuat Radhia mundur enggan terlalu dekat dengan pria itu.“Jorok!” Radhia
“Kamu OB baru, ya?” Seorang pria dengan tubuh tegap yang juga mengenakan seragam biru seperti Aji menghampirinya.Wajah lelaki itu terlihat kaku dan menyebalkan. Ia menatap Aji dengan pandangan merendahkan, menganggap dirinya senior.“Iya, Mas.” Aji menjawab dengan sopan disertai senyum manis dan ramah. Ia sedang berdiri di depan cermin dan merapikan rambutnya. Lelaki bernama Jamil itu memperhatikan bayangan Aji, heran dengan tingkah Aji.“Percuma mau kamu rapi-rapi juga, nanti juga bau keringet. Sekarang kamu bersihin ruangan Pak Raffi!” titahnya. Ia menahan tawa. Dikepalanya membayangkan Aji yang sedang dimarahi oleh Raffi yang terkenal arogan.Aji yang polos tanpa curiga menanyakan dimana ruang kerja tuan Raffi yang Jamil maksud. Setelah mengetahuinya, ia mendorong troli berisi peralatan kebersihan menuju ke lantai 20.Untung pagi tadi ia sempat bertanya kepada satpam cara menggunakan lift, jadi ia bisa naik ke lantai 10 dengan cepat.Lantai 20 masih sepi, ruang kerja wakil CEO dan
“Apa anda tidak tahu siapa dia?” Bella yang melihat Raffi ingin memukul Aji segera menghampiri dan memisahkan keduanya. “Memangnya siapa dia?” Raffi menaikkan sebelah alisnya, menatap Bella penasaran. Tangan pria itu sibuk merapikan jas dan dasi kemudian membersihkan jas dari debu. “Dia in —”“Saya OB baru. Saya belum tahu kebiasaan pak Raffi. Maaf, Pak.” Aji memotong ucapan Bella. Pandangan Bella beralih menatap Aji heran. Ia melihat Aji menggeleng pelan kemudian paham dengan keinginan pemuda itu. “Bereskan barang-barangmu, setelah itu ikut saya!” Pandangannya beralih kepada Raffi, dengan mata menyipit menatap Raffi tajam. “Sebaiknya anda belajar menjaga sikap anda, tuan Raffi.” Bella berbaik, ia keluar mendahului Aji walau begitu ia masih bisa mendengar Raffi menggerutu bahkan menghinanya. Aji meletakkan trolinya di pantry sesuai perintah Bella. Ia segera menyusul tangan kanan tuan Wisnu itu ke lift dan masuk. Entah kemana Bella membawanya yang jelas wanita itu menekan tombol
Ha-ha-ha“Gimana rasanya dimarahin satu divisi, hah?” Jamil tertawa mengejek saat Aji masuk ke pantry.“Sini, 50 ribu!” Jamil menadahkan tangan ke teman-temannya meminta uang taruhan. Ia yakin Aji tidak sanggup membelikan makan siang untuk satu divisi dan ia memenangkan taruhan mereka.Dilihat dari tampangnya saja, Jamil sudah bisa menebak isi dompet Aji yang tidak seberapa.sambil menggerutu, tiga orang OB yang lain menyerahkan selembar uang berwarna biru kepada Jamil . Pria itu kemudian mengipas-ngipas hasil taruhan ke wajah sambil menepuk pundak Aji.“Makasi, ya! Kamu sudah bikin aku menang banyak.” Ia nyengir, memperlihatkan deretan giginya yang agak kuning karena merokok.“Saya beli makanan buat marketing, kok Mas. Tuh, mereka lagi pada makan siang.” Aji melewati Jamil. Ia mengambil air putih dari dispenser lalu menenggaknya hingga habis. Jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika Bella memesan begitu banyak makanan. Ia tidak tahu harus bagaimana membayar semua pesanan itu.Terny
"Aku heran, kenapa om Wisnu bisa baik sama Aji? Padahal mereka, kan baru pertama kali ketemu." Radhia langsung menelepon Raffi, melaporkan Aji yang mendapatkan hadiah ponsel mahal dari ayah kekasihnya itu.Di tempat lain, Raffi yang memang temperamental meremas ponsel yang masih menempel di telinganya kuat-kuat.Hatinya terbakar emosi mendengar kemurahan hati ayahnya. Kemarin pria tua yang seorang pengusaha nomor satu itu membantu Aji dengan langsung mengirim Bella. Hari ini Wisnu Hutama mengirimkan Aji yang seorang anak kampung ponsel mahal.Raffi tidak terima. Wisnu begitu keras kepadanya tetapi kenapa sangat baik kepada pemuda asing.Raffi menutup telepon Radhia. Ia yang masih di rumah bergegas mengenakan pakaian rapi lalu turun ke meja makan.Ia yakin orang tuanya sedang berada di ruang makan menikmati sarapan.Wisnu sedang mengolesi rotinya dengan selai melirik ketika sekilas melihat Raffi masuk ke ruang makan.Ia kemudian menoleh melihat jam dinding. Keningnya berkerut heran
“A –Apa?” Radhia terkejut sampai berdiri dari duduknya. “Perusahaan pailit?” pekiknya tidak percaya dengan apa yang ia dengar.“Hampir pailit, Nona muda.” Manajer keuangan mengoreksi Radhia.Radhia mendorong kursinya lebih jauh lalu berjalan memutari meja makan sambil menggigit kuku ibu jari.Ia pulang ke rumah dan membatalkan rencana bulan madunya dengan Aji karena ingin bersenang-senang dengan teman-temannya juga menghabiskan waktu di spa.Namun, ia malah mendapatkan kabar yang sangat mengejutkan. Perusahaan yang sudah orang tuanya rintis selama bertahun-tahun kini nyaris bangkrut jika tidak segera mendapatkan suntikan dana segar.“Sepertinya kali ini anda harus turun tangan sendiri, Nona. Anda harus bisa meyakinkan para investor dan dewan komisaris untuk memberikan tambahan dana, jika tidak Setiawan Grup akan benar-benar berakhir.” Setelah menjelaskan kondisi perusahaan, manajer keuangan pamit undur diri Radhia meraup wajahnya dengan kasar. Berkacak pinggang, berjalan mondar mand
"Tuan muda saya akan tiba 15 menit lagi di rumah nona Radhia. Anda ingin menemui saya di luar atau saya harus menjemput tuan di dalam?" Suara Bella terdengar dari ujung ponsel.Aji berlari menjauh dari Radhia untuk menjawab telepon dari Bella agar wanita itu tidak tahu jika ia dan tuan Wisnu berhubungan.Aji menoleh melihat sekitar, memastikan tidak ada orang yang mendengarkan pembicaraannya."U —untuk apa nona Bella datang kemari?" tanya Aji berbisik. "Menjemput anda untuk tes DNA. Semuanya sudah siap, hari ini juga dokter siap mengambil sampel DNA anda."Aji terkesiap, ia melupakan rencana untuk melakukan tes DNA dengan tuan Wisnu Hutama. "Biar saya saja yang menemui nona Bella di luar. Jangan ada orang yang tahu nona Bella menjemput saya di sini." Permintaan Aji adalah perintah untuk Bella wanita itu langsung menyetujui tanpa banyak bertanya.Di dalam rumah Aji berpikir keras mencari alasan untuk bisa keluar dan menemui Bella. Ia ingin memastikan apa tuan Wisnu benar ayahnya atau
"98% cocok!" Tuan Wisnu langsung memeluk Aji yang duduk di sebelahnya ketika dokter membacakan hasil dari tes DNA mereka. 98 persen cocok, berarti sudah bisa dipastikan kalau kedua pria ini adalah ayah dan anak.Jika tuan Wisnu sangat gembira bisa menemukan putranya yang telah hilang, Aji tidak tahu harus bagaimana ia merespon.Seumur hidup ia membenci ayahnya yang membuat Aji selalu diejek sebagai anak haram. Tetapi sebagai seorang anak ia ingin tahu rasanya memiliki seorang ayah.“Kau tidak senang?” tanya tuan Wisnu. Ia mengurai pelukannya dan melihat wajah datar Aji.“Entahlah, Tuan. Saya benci ayah karena meninggalkan saya dan juga ibu. Membuat saya diejek oleh semua orang. Tanpa ayah saya tidak punya sosok laki-laki yang harus saya contoh.”Tuan Wisnu menunduk lesu, merasa bersalah karena sudah membuat Aji harus melewati masa-masa sulitnya sendirian.Dokter meninggalkan ruang, memberikan waktu kepada ayah dan anak yang baru bertemu itu untuk saling berbincang.Tentu saja ia tid