Aku mengungkapkan perasaan yang telah kupendam selama bertahun-tahun kepadanya, yakni bahwa aku mencintainya.
Kuselipkan telapak tangan kiriku pada bagian belakang kepalanya. Aku mencondongkan mukaku ke mukanya dan mencium bibirnya yang lembut.
Gerakan lidahku perlahan-lahan memasuki mulutnya kemudian menggerakan lidahku secara memutar di dalam mulutnya.
Aku menatap manik biru pucatnya yang menatap balik mataku dengan tatapan kosong. Dia tidak bereaksi terhadap permainan lidahku. Pikirannya kosong setelah mendengarkan ungkapan cintaku.
Tiba-tiba cahaya kembali tampak pada manik-manik biru pucatnya saat dia tersadar. Matanya melebar menyadari apa yang kulakukan padanya saat ini.
Tangannya mendorong dadaku untuk menjauh darinya. Kulepaskan bibir kami yang saling bertaut dan menjauhkan mukaku darinya.
Suara napas kami yang tersengal-sengal mengisi latar belakang yang sunyi ini. Mataku terkunci pada bibir merahnya yang menggoda. Aku ingin
Tiga minggu telah berlalu sejak Layla menolakku. Aku tidak lagi pergi ke Istana Putih untuk mencari-cari dia. Sudah cukup dia menghancurkan hatiku, aku tidak akan mempedulikan dia lagi. Saat ini, aku kembali bekerja di Custodia. Hanya berdiam dan tidak melakukan apa-apa di laboratorium milik Prof. Hora membuatku tidak betah karena bosan. Itu sebabnya aku memutuskan untuk kembali ke Custodia. Seorang pria berambut biru malam duduk di balik meja dengan tumpukan kertas di atasnya. Dia melipat tangannya di atas mejanya sambil menatapku dengan tatapan yang mengintimidasi. "Saya tidak menyangka kamu akan kembali ke sini, Trystan." Aku mengalihkan mukaku darinya dan tetap menutup rapat mulutku. 'Baru hampir 2 bulan tidak berjumpa dengannya, aura yang dikeluarkannya benar-benar menyeramkan.' Dia menghela napasnya dan berkata, "Yah, setidaknya kedatanganmu ke sini akan membantu kami. Kebetulan kami kekurangan personel sekuat dan sekompeten dirimu." Ter
"Bawa mereka ke penjara," perintahku kepada para personel yang melindungi tempat ini. Mereka menganggukkan kepalanya dan menjalankan perintahku. Orang-orang berjas hitam itu memborgol tangan ratusan orang berjubah hitam dan bertopeng putih yang menyerang tempat ini. Walaupun ada pemberontakan dari mereka, para personel itu mampu menahan mereka dan membawa mereka ke sel tahanan bawah tanah. "Sial ... mereka tidak bilang kalau Custodia punya personel sekuat ini," keluh salah satu anggota Fylax yang belum diborgol dan dibawa ke penjara. Kutatap dia yang duduk di samping kiriku dan masih terikat oleh jeratan bayanganku. Lalu kuayunkan kakiku menjauh darinya dan mengabaikan tatapan tajamnya yang menusuk punggungku. Berurusan dengannya hanya akan membuang waktuku saja. Jadi, lebih baik aku segera berangkat ke Istana Putih. Biar personel Custodia saja yang mengurus tempat ini. Beberapa menit telah berlalu, aku masih dalam perjalanan ke tempat tujuan
Sampailah aku di Istana Putih. Sebenarnya masih beberapa ratus meter dari gerbang masuk, tetapi area ini masih bisa dibilang termasuk wilayah istana. "Ini gila ...," gumamku setelah melihat keributan yang ada di depan. Dua kubu berjumlah besar yang berlawanan saling berhadapan satu sama lain. Orang-orang berseragam biru navy sedang mengadang orang-orang berjubah hitam yang jumlahnya tiga kali lipat lebih banyak daripada mereka. Aku tercengang melihat pemandangan itu. 'Sebelum aku sampai di sini, sepanjang jalan aku terus dihalang oleh anggota Fylax yang ada dimana-mana. Sebenarnya berapa banyak anggota mereka sekarang? Padahal dulu tidak sampai 200 orang. Darimana mereka dapat orang sebanyak ini?' Kulihat orang-orang Fylax itu mulai menyerang pasukan elit negara dengan frontal. Personel militer itu terdesak oleh orang-orang berjubah hitam itu. 'Ini buruk, mereka kalah jumlah dan semangat tempur.' Tiba-tiba terdengar suara seruan dari belakanhk
"Kami tidak mungkin menyerah begitu saja setelah semua pengorbanan yang sudah kami lakukan!" Puluhan anggota Fylax yang tersisa memilih untuk tetap menyerangku. Mereka tidak menyerah setelah melihat rekan-rekannya terbantai dalam sekejap mata. Aku menggertakkan gigiku dan menatap kesal mereka yang tetap ingin melawanku. "Dasar pemberontak keras kepala, padahal sudah diberi kesempatan untuk hidup, tapi malah lebih memilih untuk mati." Orang-orang berjubah hitam dan bertopeng putih berlari ke arahku sambil mengangkat senjatanya dan melemparkan serangan jarak jauh kepadaku. Mereka membuatku tidak memiliki pilihan lain selain menghabisi mereka. "Jangan membenciku karena membunuh kalian," ujarku sambil mengarahkan pedangku ke mereka. "Aku hanya menjalankan tugasku." Aku menerjang ke arah kelompok Fylax yang juga berlari ke arahku. Setiap tebasan yang kulakukan diikuti oleh suara pekikkan yang menyakitkan. Dari puluhan orang yang berusaha untuk memb
Aku menahan tangannya agar tidak semakin memperbesar robekan pada dada kirinya. Aku juga tidah tahu kenapa aku sampai melakukan ini kepada orang yang tadi mencoba membunuhku.Suara tawa keluar dari mulutnya dan diikuti oleh suara batuk. "Biarkan aku mati, Nak," ujarnya dengan suara serak.Mataku terbelalak setelah mendengar suaranya yang terdengar familier di telingaku. Tangan kiriku langsung memegang topeng putihnya lalu melepaskannya dari mukanya. Tampak wajah yang familier dari balik benda yang menutupi wajahnya.Topeng itu terlepas dari pegangan tanganku dan jatuh ke permukaan aspal. Mulutku menganga, tetapi tidak mengeluarkan suara."Lama tidak jumpa, Trystan," sapa orang yang duduk di hadapanku. Senyuman kecil terpasang pada wajahnya dengan cairan merah yang mengalir keluar dari mulutnya seperti air terjun."Kakek Fero ...," ucapku menyebut nama orang yang berada di depanku dengan suara kecil. Perasaanku bercampur aduk, haru karena akhirnya b
"Kakek?" Aku menyentuh bahunya dengan tangan yang bergetar hebat. Dia tidak membalasku yang memanggil namanya.Kulihat wajahnya yang pucat pasi dan berlumuran darah yang mengucur keluar dari hidung dan mulutnya. Kedua matanya tertutup rapat seperti tertidur nyenyak untuk selama-lamanya.Aku mengguncang-guncangkan bahunya dan terus memanggil namanya dengan setengah berteriak. "Buka matamu, Kakek Fero!" raungku sambil memeluk badannya yang dingin.Aku berteriak sejadi-jadinya dan mempererat pelukanku pada tubuh yang tak bernyawa ini. "Kenapa kalian harus mati di tanganku? Kenapa?!" raungku dengan pedih. "Kalau saja aku tidak kembali ke Custodia ... mungkin kalian tidak akan menghadapi akhir seperti ini!"Kulepaskan pelukanku darinya dan menurunkan tubuhnya ke permukaan jalanan yang digenangi oleh cairan merah. "Menangisi kematian orang lain tidak akan membawa mereka kembali hidup. Aku harus berhenti terpuruk seperti ini, tapi ...."Aku menundukkan ke
Aku diantarkan ke ruang tamu yang berisikan 3 sofa bludru putih, sebuah meja kaca yang ada di tengah-tengah ruangan ini, dan kabinet dan lemari buku pada setiap sisi dinding. Seorang wanita berambut perak dengan gaun berwarna biru navy duduk di salah satu sofa. Manik biru pucatnya menatap diriku dari atas ke bawah seperti sedang menilai penampilanku yang berantakan. "Kalau begitu, saya permisi," pamit orang yang mengantarku ke ruangan ini sambil menundukkan kepalanya lalu keluar dan menutup pintu, meninggalkan aku dan Layla berduaan di ruangan ini. "Kenapa kamu memanggilku?" tanyaku tanpa basa-basi sembari memalingkan mukaku darinya. "Sikapmu dingin sekali, padahal dulu kamu itu selalu hangat kepadaku. Kamu sudah berubah, ya," ujar Layla yang duduk sambil menyilangkan kakinya. Tawa sinis keluar dari mulutku. "Aku sudah berubah? Ya, itu benar, tapi yang lebih dulu berubah itu kamu," balasku menatap sinis ke arahnya dan menunjuknya dengan
Layla menghentikan langkah kakinya dan menatapku dengan tatapan tidak percaya. "Apa ...?" Wajahnya menampakkan ekspresi terkejut, tidak menyangka akan mendengarkan berita yang sulit dipercaya ini.Kubuka mulutku lagi untuk memberi tahu dia bahwa dua orang yang pernah merawat kami dengan baik di perbatasan utara telah meninggal, tetapi aku tidak jadi memberi memberitahukan hal itu karena aku menyadari ada kehadiran orang lain di tempat ini selain kami berdua. Aku merasakan 'Arte' yang kuat, tetapi aku tidak tahu pasti darimana asalnya."Trystan, apa maksud perkataanmu tadi?" tanya Layla dengan suara kecil. Sepertinya dia tidak mempercayai ucapanku dan mengira jika dia salah dengar. Aku terdiam sejenak sebelum menjawabnya."Kakek dan nenek sudah meninggal," bisikku mengulangi perkataanku sebelumnya. Kedua matanya terbelalak kaget setelah mendengar kalimat yang sama dan tahu kalau dia tidak salah mendengar.Tangan kanannya terangkat dan menutupi mulutnya yan