Beberapa menit telah berlalu, aku telah mengambil semua bahan makanan yang ada di dalam daftar belanjaan yang dituliskan oleh bu Luna. Sekarang aku sedang menunggu antrian di kasir. Ada banyak orang yang berbelanja di sini hingga mencapai 3 baris antrian.
Entah kenapa orang yang ada di depanku menghabiskan banyak waktu untuk mengurus barang belanjaannya. Orang-orang yang mengantri di belakangku mulai mengeluh.
Aku pun mulai merasa kesal dengan antrian yang tak kunjung bergerak ini. 'Duh, kenapa yang di depan lama sekali sih? Sebenarnya berapa banyak barang yang dia beli sampai-sampai selama itu?'
Kulangkahkan satu langkah ke depan untuk melihat kenapa antrian di depan sangat lama. Kulihat orang yang berdiri di depanku tampak seperti dalam masalah. Dia memeriksa dompetnya dan merogoh saku celananya dengan gelisah.
"Pak, bisa tolong bayar barang-barangnya sekarang? Antrian yang di belakang semakin memanjang," ujar kasir sambil menghembuskan napas lelah.
Aku berjalan di trotoar yang dilalui oleh kerumunan orang. Untungnya saat ini ada banyak orang di jalanan jadi orang yang membuntutiku itu tidak dapat berbuat apa-apa di keramaian ini.Aku baru menyadari bahwa ada orang yang mengekoriku tak lama setelah pergi dari toko sembako.Aku dapat mengetahui jika aku dibuntuti oleh orang itu karena melihat bayangan dirinya yang tampak mencurigakan dari pantulan kaca jendela belakang mobil yang terparkir di pinggir jalan.Pada awalnya dia berjalan cukup jauh di belakangku dengan santainya, tetapi saat aku menoleh ke belakang, dia langsung bersembunyi atau berpura-pura sibuk dengan menghentikan langkahnya dan memainkan ponselnya.Aku merasa risih karena keberadaan orang itu, tetapi kutahan diriku dan berusaha untuk tetap bersikap tenang. 'Sebenarnya siapa orang itu? Kenapa dia mengikutiku?'Aku menggigit bibir bawahku. Paranoia mulai menggerogoti diriku. Aku khawatir dan takut jika dia akan menyeret orang lain
Halo~ V I L di sini Terima kasih kepada para pembaca yang sudah mengikuti dan mendukung novel pertama saya yang berjudul "Broken Vessel". Di catatan ini, saya meminta izin untuk hiatus karena akhir-akhir ini saya ada banyak sekali kesibukan. Ada begitu banyak tugas kuliah, porposal, surat lampiran, dan orderan komisi gambar yang harus segera diselesaikan ... ups, malah jadi curhat, hehe. Selain itu, saya juga mengikuti sebuah ajang kontes desain skin karakter game sebelah yang tenggat waktunya sudah mendekat, yaitu sekitar 10 hari lagi, haduhhh. Oleh karena itu, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada pembaca yang sudah setia membaca novel ini karena saya akan hiatus selama kurang lebih 2 minggu. Sampai jumpa di chapter selanjutnya.
Pria itu melangkah mundur untuk menjaga jarak denganku. Disimpan kembali telepon seluler miliknya ke dalam kantung yang ada di balik mantel abu-abunya. Dia berdiri cukup jauh dariku dan tidak mengatakan apa-apa. "Jangan membuatku mengulangi pertanyaanku lagi," geramku kepadanya. Pria itu masih tidak membuka mulutnya dan hanya diam saja. 'Sebenarnya apa maunya sampai-sampai memfotoku dan menunjukkan hasil foto itu kepadaku?' Aku mengepalkan tanganku dan menatapnya dengan tajam. 'Aku tidak boleh membiarkannya pergi begitu saja. Foto itu memperlihatkan penampilan asliku karena ilusi dari cincin ini tidak dapat mempengaruhi kamera.' Kutarik kaki kananku ke belakang, bersiap-siap untuk menerjang ke arahnya. Tiba-tiba dia membuka mulutnya dan berkata kepadaku. "Tunggu, aku ke sini bukan untuk berkelahi denganmu." Aku mengurungkan niatku untuk menyerangnya karena dia berkata begitu, tetapi aku tidak menurunkan kecurigaanku terhadapnya hanya karena dia mengat
Pria itu mengangkat kedua tangannya dan memegangi tudung hoodie yang menutupi kepalanya. Diturunkannya tudung itu sehingga rambutnya yang berwarna biru tua terlihat jelas. Setelah itu, tangan kanannya menarik salah satu tali maskernya sehingga terlepas dan memperlihatkan mukanya dengan jelas. Pria berambut biru tua itu tersenyum, tetapi sorot matanya tampak kosong karena tidak dapat melihat apa pun di tempat tanpa cahaya ini. Mataku melebar setelah melihat penampilannya dengan lebih jelas. Entah kenapa aku merasa familier dengan muka dan warna rambutnya. Warna rambutnya yang berwarna biru tua mirip seperti milik Kapten Giedrius dan muka itu ... rasanya aku pernah melihatnya entah dimana. "Apa kamu lupa denganku? Yah, kita hanya pernah bertemu satu kali sebelumnya jadi wajar kalau kamu tidak ingat," tanyanya sambil mengangkat bahu. Aku terdiam mendengar pernyataannya jika kami sudah pernah bertemu sebelumnya walau hanya sekali saja. 'Siapa dia? Kapan a
Pria itu mengeluarkan sebuah benda berukuran kecil dari balik pakaian luarnya yang tebal. Benda itu menyerupai sebuah kelereng yang transparan seperti kaca. "Ini adalah kelereng kebenaran. Benda ini akan menyala merah kalau ada yang berbohong dan menyala hijau kalau jujur," jelasnya dengan nada seperti seorang salesman. "Kamu bisa menanyakan apa saja kepadaku dan aku akan menjawabnya sejujur-jujurnya. Dengan begitu, kamu akan percaya padaku, kan?" lanjutnya sambil tersenyum meyakinkan. Aku menutup mulutku dengan tangan kananku dan mempertimbangkan usulannya. Kuturunkan tanganku dan berkata, "Aku akan mengetesnya dulu, coba tanyakan dua pertanyaan padaku." Aku tidak dapat langsung mempercayainya begitu saja. Setidaknya aku harus memeriksa terlebih dahulu apakah benda itu benar-benar dapat membedakan kejujuran dan kebohongan. Dia menganggukkan kepalanya lalu membuka mulutnya untuk memberikan pertanyaan kepadaku. "Apa nama samaran yang sekarang k
"Panggil saja aku Aquilo," jawabnya sambil memasukkan kembali benda bulat kecil itu ke balik mantelnya. Aku menganggukkan kepala mengerti. "Karena sepertinya perbincangan kita sudah berakhir, kita akan keluar dari sini," ujarku yang dibalas dengan dehamannya. Kujentikkan jariku, seketika tempat yang gelap gulita ini lenyap dan kini kami berada di gang sempit sebelumnya. Aku mengernyitkan mataku karena terangnya tempat ini. Mataku belum terbiasa dengan cahaya di jalanan sempit ini karena tadi cukup lama berada di tempat yang gelap gulita dan tanpa cahaya. Setelah mataku terbiasa, aku dapat melihat keadaan sekelilingku dengan jelas. Dua tas yang berisikan barang belanjaan tergeletak di samping kiri dan kananku. Untunglah tidak ada orang yang mengambilnya saat aku dan dia berada di dimensi kegelapanku. Aku mengambil kedua tas berbahan plastik yang tipis itu lalu menatap pria berambut biru tua yang berada beberapa meter di depanku. "Aku pergi dulu
Dua minggu telah berlalu sejak aku sepakat untuk bekerja sama dengan Aquilo. Aku sedang duduk santai di sofa ruang keluarga sambil menonton televisi. Berkat hadiah dari kontes berburu yang kumenangkan beberapa bulan lalu, aku dapat hidup santai tanpa bekerja sama sekali. Uang itu cukup untuk menghidupiku selama kurang lebih 2 tahun. Siaran televisi yang kunonton sebagian besar membahas tentang keadaan wilayah utara. Terkadang berita tersebut juga membahas tentang keadaan wilayah selatan, timur, barat, dan bahkan keadaan negara lain. Anehnya, belakangan ini aku tidak mendengarkan ada berita dari Ibu Kota. Selama beberapa hari terakhir, sama sekali tidak ada siaran yang membahas tentang keadaan Ibu Kota. Aku mengangkat tangan kananku dan meletakkan jari jempol dan telunjukku pada bibirku. Kutatap layar kaca di depanku dan berpikir dengan serius. 'Aneh, padahal biasanya selalu ada berita tentang Kota Centralis, bahkan berita paling tidak berarti
Orang yang menaiki tangga itu menampakkan dirinya. Orang itu merupakan seorang pria berambut biru tua yang mengenakan mantel abu-abu. Aku melebarkan mataku saat melihat sosok yang baru saja naik ke lantai 3 ini. Kusebut namanya dengan nada heran, "Aquilo?" Bola matanya yang berwarna perak langsung mengarah ke arahku begitu aku menyebut namanya. Dia tersenyum lebar dan mengangkat tangan kanannya. "Yo, Cae, kebetulan sekali kamu lagi di luar kamarmu saat aku mau bertemu denganmu," sapanya dengan nada sok bersahabat, padahal kami baru bertemu sebanyak dua kali. Aku bangkit berdiri dari sofa dan menatapnya dengan was-was. "Kamu stalker, ya? Untuk apa kamu datang ke sini?" tanyaku dengan curiga. Aku melipat tanganku di dada dan mencengkeram lenganku sendiri. 'Kebetulan macam apa ini? Dia muncul begitu saja saat aku sedang memikirkannya. Membuatku merinding saja.' Dia tertawa dengan nyaring. "Hahaha! Lucu sekali kamu! Begitu, ya, cara kamu m