Orang yang menaiki tangga itu menampakkan dirinya. Orang itu merupakan seorang pria berambut biru tua yang mengenakan mantel abu-abu.
Aku melebarkan mataku saat melihat sosok yang baru saja naik ke lantai 3 ini. Kusebut namanya dengan nada heran, "Aquilo?"
Bola matanya yang berwarna perak langsung mengarah ke arahku begitu aku menyebut namanya. Dia tersenyum lebar dan mengangkat tangan kanannya.
"Yo, Cae, kebetulan sekali kamu lagi di luar kamarmu saat aku mau bertemu denganmu," sapanya dengan nada sok bersahabat, padahal kami baru bertemu sebanyak dua kali.
Aku bangkit berdiri dari sofa dan menatapnya dengan was-was. "Kamu stalker, ya? Untuk apa kamu datang ke sini?" tanyaku dengan curiga.
Aku melipat tanganku di dada dan mencengkeram lenganku sendiri. 'Kebetulan macam apa ini? Dia muncul begitu saja saat aku sedang memikirkannya. Membuatku merinding saja.'
Dia tertawa dengan nyaring. "Hahaha! Lucu sekali kamu! Begitu, ya, cara kamu m
"Kamu benar juga ...," gumamku. Aku mengalihkan pandanganku ke arah televisi yang masih menyala. Alat elektronik itu menyiarkan berita tentang respons warga Kota Boreus terhadap kedatangan Layla dalam 3 hari mendatang. Aquilo yang berdiri di hadapanku dan membelakangi televisi itu membalikkan badannya dan ikut menonton berita itu. "Lihat, bahkan berita tentang kedatangan anggota Quattor itu sudah tersebar di TV," ujarnya sambil mengarahkan telapak tangan kirinya ke layar kaca itu. Berita itu menampakkan respons rakyat yang antusias saat mengetahui bahwa Layla, yang kini merupakan salah satu anggota Quattor akan datang ke kota ini. Orang-orang itu mengatakan bahwa mereka tidak sabar untuk menyambutnya dengan meriah. "Bodohnya mereka. Masa sih mereka sama sekali tidak merasa curiga?" cemooh Aquilo terhadap penduduk kota ini. Aku hanya hanya tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa. 'Yah, Quattor terlihat benar di mata orang awam karena mereka adal
Tibalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh penduduk Kota Boreus. Di balai kota, ribuan orang berkumpul di sana untuk menyambut kedatangan anggota Quattor yang tak lain adalah Layla. Aku dan Aquilo tidak ketinggalan untuk ikut meramaikan acara penyambutan ini. Aku tiba di balai kota sekitar 15 menit yang lalu dan sudah ada lebih dari 1.000 orang yang sudah berada di ruang terbuka ini lebih dulu daripada aku. 'Mereka benar-benar antusias untuk bertemu dengan Layla, ya? Jangan-jangan mereka sudah datang ke sini beberapa jam lebih dulu.' "Hei, ayo kita pindah tempat. Di sini terlalu menyesakkan," ajak Aquilo yang berdiri di samping kananku. Aku menganggukkan kepalaku dan berjalan mengikutinya untuk pergi keluar dari kerumunan manusia ini. Setelah kami berjalan cukup jauh, tibalah kami di tempat yang tak begitu dipenuhi oleh penduduk kota. Aquilo duduk di pinggir jalan dan menghela napas lega karena sudah terbebas dari kerumunan orang yang berdiri tak begitu ja
Acara penyambutan kedatangan Layla dan rombongannya berjalan dengan lancar tanpa sedikit pun masalah. Saat ini, Layla sedang berpidato di tengah-tengah kerumunan penduduk Kota Boreus. Dia berpidato tentang nasionalisme dan patriotisme. Ribuan orang yang menghadiri acara ini menyimak pidatonya dengan tenang dan serius. Kulirik ke arah Aquilo yang berdiri di samping kiriku, dia mengangkat tangan kanannya dan menutup mulutnya yang terbuka dengan lebar dengan telapak tangannya. Dia menguap melepaskan kantuknya. Dia menutup mulutnya dan menurunkan tangannya setelah puas menarik napas dalam-dalam. "Panjang sekali dia berbicara. Kapan selesainya sih?" gumamnya sambil menghembuskan napas panjang. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku melihatnya yang terlihat mengantuk. 'Sepertinya di antara ribuan orang yang ada di sini, hanya dia seorang yang tidak tertarik mendengarkan pidato Layla.' Kupalingkan kepalaku ke arah Layla yang berdiri jauh di depan, di teng
Langsung kutolehkan kepalaku ke arah Layla yang telah menghilang dari tengah-tengah lautan manusia ini. 'Dia menghilang?! Kemana dia pergi?!' Aku mengedarkan pandanganku untuk mencari dirinya yang lenyap dari kerumunan penduduk kota ini, tetapi usahaku sia-sia. Aku tidak dapat menemukan sosok yang kucari-cari. Tiba-tiba kurasakan seseorang memegang pergelangan tangan kiriku dari belakang. Sontak aku membalikkan badanku untuk melihat siapa yang memegang tanganku. Wanita berambut panjang yang bergelombang dan berwarna perak. Dia mengenakan gaun berwarna biru navy yang khas melambangkan bahwa dia bekerja di Istana Putih. Manik biru pucatnya menatap mataku dengan lekat. "Apa benar itu kamu, Trystan?" tanyanya kepadaku. "Layla?" Aku menyebut namanya dengan setengah kaget. Aku tidak menyangka dia akan muncul begitu saja dari belakangku. Terlebih lagi dia dapat mengenaliku walau aku sudah menggunakan cincin ilusi untuk mengubah penampilanku.
Aku menutup mataku dengan telapak tanganku dan menghembuskan napas berat. "Aku tidak menyalahkanmu jadi jangan memasang ekspresi wajah seperti itu," ujarku. Perkataanku tadi berkesan seperti menghakiminya dan melihatnya memasang senyuman pahit pada wajahnya membuat hatiku sakit. Kulepaskan telapak tanganku dari mataku dan memandang Layla yang duduk di seberangku. Kini dia tidak memasang senyuman pahit lagi, melainkan senyuman lega. Kami hanya duduk diam dan tidak mengatakan apa-apa lagi menyebabkan suasana menjadi canggung. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan untuk memecahkan keheningan ini. "Ngomong-ngomong, kenapa hanya aku yang tidak terpengaruh oleh kekuatanmu? Dan bagaimana kamu bisa tahu ini aku? Padahal aku sudah memakai cincin ilusi optis untuk mengubah penampilanku," tanyaku. "Aku sudah mengatur kekuatanku supaya tidak mempengaruhi kamu." Layla menjawab pertanyaan pertamaku. "Lalu tentang bagaimana aku bisa tahu itu kamu,
Layla melebarkan matanya saat mendengar pertanyaan itu. Bibirnya terbuka kecil, tetapi tidak mengeluarkan suara apa pun. Dia terkejut mendengarkan pertanyaanku yang tak terduga. Aku menunggu jawaban darinya dengan sabar. Kutatap dia yang terdiam dengan intens. Kulihat manik biru pucatnya bergerak mengacuhkan kontak mataku. Satu menit telah berlalu dan dia masih belum menjawab pertanyaanku. Jemari tangan kiriku mengetuk-ngetuk permukaan sofa bludru putih yang kududuki. "Kenapa kamu tidak bisa menjawab pertanyaanku?" tanyaku mendesaknya. Sikap Layla yang duduk di seberangku itu benar-benar berbeda dibandingkan saat sebelum aku meninggalkannya di Istana Putih. Perubahan sikapnya itu membuatku bingung. 'Apa benar dia Layla? Ataukah dia adalah orang yang menyamar menjadi Layla? Tapi dia bisa mengendalikan pikiran orang lain ... itu berarti dia benar-benar Layla.' Layla memejamkan kedua matanya. Dia menarik napas panjang-panjang lalu menghem
Tanganku menggenggam pergelangan tangannya dan berusaha melepaskan tangannya dari leherku, tetapi gagal. Cengkeramannya begitu kuat sehingga aku tidak dapat melepaskan cekikannya.'Kenapa dia bisa sekuat ini? Cengkeraman tangannya tidak bisa dilepas!' Aku mulai frustrasi karena tak kunjung herhasil melepaskan leherku dari cengkeraman tangannya.Aku tidak dapat bernapas sama sekali akibat cekikan tangannya. Sudah hampir 2 menit dia mencekikku. 'Ugh ... kalau begini terus, aku bisa mati!'Aku merasakan ada benda cair yang menyentuh mukaku. Cairan itu berasal dari mata Layla yang menitikkan air mata. Air bening itu berjatuhan menghujani mukaku.Manik biru pucatnya yang menatapku dengan tajam terus mengeluarkan air mata. Ekspresi wajahnya menggambar banyak emosi yang tercampur menjadi satu, yakni amarah, kekecewaan, kesedihan, dan emosi lain yang tak dapat kutafsirkan.Dia menggertakkan giginya lalu kembali berteriak kepadaku. "Oleh karena itu ... kamu
Sebelum berangkat ke Ibu Kota, terlebih dahulu kukemas barang bawaanku, antara lain pakaian gantiku dan pedang yang diberikan oleh Prof. Hora kepadaku. Setelah beberapa jam perjalanan dari Kota Boreus menuju Kota Centralis, Ibu Kota negara ini, tibalah kami di Istana Putih, tempat dimana Layla tinggal dan bekerja saat ini. Tidak ada yang berubah dari bangunan megah berwarna putih itu, yang berubah mungkin adalah orang-orangnya. Tatapan mata mereka terlihat kosong seperti melamun. Tampaknya mereka semua telah dikendalikan oleh Layla. Saat ini aku berada di salah satu kamar tidur khusus tamu yang berada di dalam gedung istana. Aku sedang mengeluarkan dan menyusun barang-barang bawaanku karena mulai hari ini aku akan tinggal di sini. Tiba-tiba kuhentikan kegiatanku yang sedang menyusun pakaianku ke dalam lemari. "Ngomong-ngomong, kenapa aku kembali ke sini lagi? Padahal aku sudah susah payah untuk kabur dari sini. Bahkan waktu itu aku hampir mati," heran