Sebelum berangkat ke Ibu Kota, terlebih dahulu kukemas barang bawaanku, antara lain pakaian gantiku dan pedang yang diberikan oleh Prof. Hora kepadaku.
Setelah beberapa jam perjalanan dari Kota Boreus menuju Kota Centralis, Ibu Kota negara ini, tibalah kami di Istana Putih, tempat dimana Layla tinggal dan bekerja saat ini.
Tidak ada yang berubah dari bangunan megah berwarna putih itu, yang berubah mungkin adalah orang-orangnya. Tatapan mata mereka terlihat kosong seperti melamun. Tampaknya mereka semua telah dikendalikan oleh Layla.
Saat ini aku berada di salah satu kamar tidur khusus tamu yang berada di dalam gedung istana. Aku sedang mengeluarkan dan menyusun barang-barang bawaanku karena mulai hari ini aku akan tinggal di sini.
Tiba-tiba kuhentikan kegiatanku yang sedang menyusun pakaianku ke dalam lemari. "Ngomong-ngomong, kenapa aku kembali ke sini lagi? Padahal aku sudah susah payah untuk kabur dari sini. Bahkan waktu itu aku hampir mati," heran
Layla meletakkan kedua tangannya di atas meja dan menjawab pertanyaanku. "Aku mau membahas detail permintaan yang waktu itu kukatakan padamu saat kita masih berada di Balai Kota Boreus."Aku mengangkat salah satu alisku lalu menganggukkan kepalaku memberi dia isyarat untuk mulai membahas apa yang ingin dia bahas. 'Kebetulan sekali dia mau membahas tentang permintaannya itu karena waktu itu aku tidak mendengarkan detail permintaannya dengan jelas.'Laula menatap mataku dengan intens sebelum menjelaskan detail permintaannya kepadaku. "Aku mau kamu membunuh Nona Tabella, Prof. Hora, dan Kapten Giedrius," jelasnya dengan nada tegas.Aku membelalakkan mataku karena tidak menyangka dia akan membuat permintaan seperti itu. Apa yang dia minta padaku benar-benar di luar dugaanku dan di luar nalar.Aku langsung bangkit dari kursi dan menghantam meja bundar di depanku dengan kedua telapak tanganku. "Membunuh mereka? Apa kamu bercanda?!" seruku. Aku mengerutkan alisk
Kuturunkan kedua telapak tanganku yang menutupi mukaku dan mengangkat kepalaku untuk melihat lurus ke depan, ke arah Layla yang duduk di seberangku.Kami saling bertatapan selama beberapa saat tanpa mengatakan apa-apa hingga akhirnya dia memutus kontak mata kami.Bunyi deritan benda yang bergeser tertangkap oleh telingaku. Kulihat Layla yang berdiri dari kursinya dan mengayunkan kakinya menjauh dari tempat ini. Kupandang punggungnya yang semakin menjauh menuju pintu keluar.Sebelum dia keluar dari ruangan ini, dia menghentikan langka kakinya dan berdiri di ambang pintu."Dua hari lagi akan ada sidang Quattor dan kamu akan ikut denganku. Kuharap kamu akan melakukan permintaanku dengan baik," ujar Layla tanpa membalikkan badannya untuk melihat lawan bicaranya.Dia langsung melanjutkan langkah kakinya meninggalkanku sendirian di ruangan ini tanpa menunggu balasan dariku. Terdengar bunyi pintu tertutup setelah dia keluar dari kamarku.Kini hanya
Tibalah hari dilaksanakannya sidang Quattor. Aku sedang melangkah mengikuti wanita berambut perak yang berjalan di depanku, Layla.Aku dan Layla melangkah melewati lorong yang sangat lebar dan panjang. Kami berjalan lurus ke depan, ke arah aula pertemuan yang berada di ujung lorong ini.Layla menghentikan langkahnya saat sampai di depan sebuah pintu putih yang tingginya mencapai 3 meter. Aku pun ikut menghentikan langkahku dan berdiri satu langkah di belakangnya.Layla menggenggam gagang pintu itu yang terbuat dari emas lalu mendorongnya hingga papan putih itu terbuka lebar dan menampakan isi ruangan yang ada di baliknya.Di depan kami, tampak sebuah ruangan yang sangat luas. Sebuah meja bundar terpasang di tengah-tengah ruangan itu.Terlihat ada tiga orang yang telah lebih dulu tiba sebelum kami duduk di meja itu. Ketiga orang itu melemparkan pandangan mereka ke arahku dan Layla."Akhirnya orang terakhir telah tiba. Kemarilah," panggil seor
Kepala Prof. Hora tergeletak di lantai putih yang bersimbah darah. Lantai di dekat kakiku juga mulai digenangi oleh darah yang keluar dari badannya yang tersungkur di depanku.Kulihat senjata yang ada di genggaman tanganku. Pedang yang kugunakan untuk memenggal kepalanya dilumuri oleh cairan merah yang segar.Keheningan di ruangan ini langsung pecah oleh suara jeritan seorang wanita. Suara itu berasal dari Nona Tabella yang terkejut melihat rekannya terpenggal dalam sekejap mata.Aku sendiri juga ingin menjerit karena tak menyangka aku akan membunuh Prof. Hora dengan tanganku sendiri. Sungguh, aku tidak pernah berpikiran untuk membunuhnya, bahkan melukai sekali pun tidak.'Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa tanganku bergerak sendiri untuk memenggal Prof. Hora?!' panikku dalam hati.Tidak hanya itu saja, sekarang aku juga tidak dapat menggerakkan tubuhku dan mengeluarkan suaraku, tetapi aku tidak dapat melakukannya. Rasanya seluruh tubuhku tidak da
"Bunuh mereka." Itulah yang dikomat-kamitkan oleh mulut Layla. Dia memberiku perintah untuk menghilangkan nyawa kedua orang yang berdiri di dekatnya.Tubuhku bergerak sendiri mengikuti perintahnya. Aura kegelapan meluap keluar dari tubuhku dan melapisi kedua kakiku sehingga membentuk sepasang sepatu boots berwarna hitam pekat. Kutarik kaki kananku ke belakang dan menerjang ke arah mereka secepat kilat.Kini aku berada tepat di balik punggung Kapten Giedrius. Nona Tabella yang melihatku tiba-tiba muncul di belakang Kapten langsung berteriak memperingati pria berambut biru malam itu. Namun, Kapten Giedrius terlambat menyadari kehadiranku.Kapten membalikkan badannya dan tersentak kaget saat melihatku. Dia pasti tidak menyangka akan melihatku lagi karena mengira aku telah tiada di dunia ini setelah terkena kekuatannya. Aku pun tidak tahu bagaimana aku dapat selamat dari 'Arte'-nya.Aura kegelapan yang melayang mengitariku langsung bergabung membentuk seekor
Kuayunkan pedangku ke bawah dan memenggal kepala Nona Tabella. Kepalanya terpisah dari badannya dan menggelinding di lantai. Permukaan lantai yang berwarna putih kini berhiaskan warna merah.Seketika senjata tajam yang ada di genggaman tanganku menghilang setelah aku membunuh target terakhir. Tubuhku langsung ambruk dan terduduk di lantai. Kedua tanganku menopang badanku dengan menempel di permukaan lantai yang bersimbah darah.Tubuhku terasa lemas dan tidak dapat digerakkan. Bahkan untuk mempertahankan posisi ini sudah terasa berat bagiku. Fisik dan mentalku terkuras habis akibat pembantaian yang kulakukan tanpa keinginanku itu.Aku mengangkat kepalaku dan menatap Layla. "Layla ... kamu mengendalikan diriku?" tanyaku dengan suara kecil. Akhirnya suaraku dapat dikeluarkan setelah aku membisu selama beberapa menit."Ya, karena kalau aku tidak melakukannya, kamu tidak akan menjalankan permintaanku," jawab Layla dengan nada datar. Tatapan matanya menatapku d
Kuayunkan kakiku untuk menghampiri Layla. Sepanjang jalan menuju tempatnya berdiri, jejak merah mengikuti langkah kakiku di lantai.Layla yang berdiri dengan jarak beberapa meter di depan mulai tertawa. "Hahaha. Kamu tidak akan mempercayai aku lagi? Memangnya kamu bisa membuang kepercayaanmu itu hanya dengan berkata begitu?" sindir Layla.Bibirku melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman miring. "Kenapa tidak? Ayo kita lihat apakah aku masih mempercayaimu atau tidak," balasku yang kini berjarak beberapa langkah darinya."Berhenti. Jangan mendekatiku," titah Layla kepadaku. Tak kugubris perintahnya dan terus melangkahkan kakiku ke arahnya.Sekilas dia melebarkan matanya karena aku tidak menuruti perintahnya, tetapi sedetik kemudian matanya kembali seperti biasa. Layla mulai meningkatkan kesiagaannya terhadapku.Kuhentikan kakinya saat aku berada tepat di hadapannya. Jarak antara tubuh kami hanya sejauh satu langkah saja.Kuangkat tangan ka
Aku meraba pinggang belakangku dengan tangan kananku dan mencabut sesuatu yang menancap pada badanku. Begitu benda itu terlepas dari pinggangku, aku merasakan rasa sakit yang lebih menyakitkan dari sebelumnya dan kurasakan darahku merembes keluar dari luka itu.Kulihat benda yang baru saja kucaput dari pinggang belakangku, benda itu adalah sebuah belati. Belati tajam itu dilumuri oleh darah segarku.Kualihkan pandanganku ke arah Layla dan menggertakkan gigiku. "Kamu ..?!" geramku sambil menggenggam erat senjata tajam yang ada di tangan kananku."Aku tidak bisa menggunakan 'Arte'-ku kepadamu, itu berarti kamu sudah tidak mempercayaiku lagi, tapi kenapa kamu malah melindungiku dari serangan mereka? Kamu aneh, ya?" heran Layla sambil tersenyum sinis."Aku sudah melindungiku, tapi kamu malah menusukku seperti ini ... kamu membuatku menyesal karena sudah melindungimu. Seharusnya kubiarkan saja kamu diberondongi serangan 'boneka-bonekamu,' " sesalku sembari men