Langsung kutolehkan kepalaku ke arah Layla yang telah menghilang dari tengah-tengah lautan manusia ini. 'Dia menghilang?! Kemana dia pergi?!'
Aku mengedarkan pandanganku untuk mencari dirinya yang lenyap dari kerumunan penduduk kota ini, tetapi usahaku sia-sia. Aku tidak dapat menemukan sosok yang kucari-cari.
Tiba-tiba kurasakan seseorang memegang pergelangan tangan kiriku dari belakang. Sontak aku membalikkan badanku untuk melihat siapa yang memegang tanganku.
Wanita berambut panjang yang bergelombang dan berwarna perak. Dia mengenakan gaun berwarna biru navy yang khas melambangkan bahwa dia bekerja di Istana Putih.
Manik biru pucatnya menatap mataku dengan lekat. "Apa benar itu kamu, Trystan?" tanyanya kepadaku.
"Layla?" Aku menyebut namanya dengan setengah kaget. Aku tidak menyangka dia akan muncul begitu saja dari belakangku. Terlebih lagi dia dapat mengenaliku walau aku sudah menggunakan cincin ilusi untuk mengubah penampilanku.
Aku menutup mataku dengan telapak tanganku dan menghembuskan napas berat. "Aku tidak menyalahkanmu jadi jangan memasang ekspresi wajah seperti itu," ujarku. Perkataanku tadi berkesan seperti menghakiminya dan melihatnya memasang senyuman pahit pada wajahnya membuat hatiku sakit. Kulepaskan telapak tanganku dari mataku dan memandang Layla yang duduk di seberangku. Kini dia tidak memasang senyuman pahit lagi, melainkan senyuman lega. Kami hanya duduk diam dan tidak mengatakan apa-apa lagi menyebabkan suasana menjadi canggung. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan untuk memecahkan keheningan ini. "Ngomong-ngomong, kenapa hanya aku yang tidak terpengaruh oleh kekuatanmu? Dan bagaimana kamu bisa tahu ini aku? Padahal aku sudah memakai cincin ilusi optis untuk mengubah penampilanku," tanyaku. "Aku sudah mengatur kekuatanku supaya tidak mempengaruhi kamu." Layla menjawab pertanyaan pertamaku. "Lalu tentang bagaimana aku bisa tahu itu kamu,
Layla melebarkan matanya saat mendengar pertanyaan itu. Bibirnya terbuka kecil, tetapi tidak mengeluarkan suara apa pun. Dia terkejut mendengarkan pertanyaanku yang tak terduga. Aku menunggu jawaban darinya dengan sabar. Kutatap dia yang terdiam dengan intens. Kulihat manik biru pucatnya bergerak mengacuhkan kontak mataku. Satu menit telah berlalu dan dia masih belum menjawab pertanyaanku. Jemari tangan kiriku mengetuk-ngetuk permukaan sofa bludru putih yang kududuki. "Kenapa kamu tidak bisa menjawab pertanyaanku?" tanyaku mendesaknya. Sikap Layla yang duduk di seberangku itu benar-benar berbeda dibandingkan saat sebelum aku meninggalkannya di Istana Putih. Perubahan sikapnya itu membuatku bingung. 'Apa benar dia Layla? Ataukah dia adalah orang yang menyamar menjadi Layla? Tapi dia bisa mengendalikan pikiran orang lain ... itu berarti dia benar-benar Layla.' Layla memejamkan kedua matanya. Dia menarik napas panjang-panjang lalu menghem
Tanganku menggenggam pergelangan tangannya dan berusaha melepaskan tangannya dari leherku, tetapi gagal. Cengkeramannya begitu kuat sehingga aku tidak dapat melepaskan cekikannya.'Kenapa dia bisa sekuat ini? Cengkeraman tangannya tidak bisa dilepas!' Aku mulai frustrasi karena tak kunjung herhasil melepaskan leherku dari cengkeraman tangannya.Aku tidak dapat bernapas sama sekali akibat cekikan tangannya. Sudah hampir 2 menit dia mencekikku. 'Ugh ... kalau begini terus, aku bisa mati!'Aku merasakan ada benda cair yang menyentuh mukaku. Cairan itu berasal dari mata Layla yang menitikkan air mata. Air bening itu berjatuhan menghujani mukaku.Manik biru pucatnya yang menatapku dengan tajam terus mengeluarkan air mata. Ekspresi wajahnya menggambar banyak emosi yang tercampur menjadi satu, yakni amarah, kekecewaan, kesedihan, dan emosi lain yang tak dapat kutafsirkan.Dia menggertakkan giginya lalu kembali berteriak kepadaku. "Oleh karena itu ... kamu
Sebelum berangkat ke Ibu Kota, terlebih dahulu kukemas barang bawaanku, antara lain pakaian gantiku dan pedang yang diberikan oleh Prof. Hora kepadaku. Setelah beberapa jam perjalanan dari Kota Boreus menuju Kota Centralis, Ibu Kota negara ini, tibalah kami di Istana Putih, tempat dimana Layla tinggal dan bekerja saat ini. Tidak ada yang berubah dari bangunan megah berwarna putih itu, yang berubah mungkin adalah orang-orangnya. Tatapan mata mereka terlihat kosong seperti melamun. Tampaknya mereka semua telah dikendalikan oleh Layla. Saat ini aku berada di salah satu kamar tidur khusus tamu yang berada di dalam gedung istana. Aku sedang mengeluarkan dan menyusun barang-barang bawaanku karena mulai hari ini aku akan tinggal di sini. Tiba-tiba kuhentikan kegiatanku yang sedang menyusun pakaianku ke dalam lemari. "Ngomong-ngomong, kenapa aku kembali ke sini lagi? Padahal aku sudah susah payah untuk kabur dari sini. Bahkan waktu itu aku hampir mati," heran
Layla meletakkan kedua tangannya di atas meja dan menjawab pertanyaanku. "Aku mau membahas detail permintaan yang waktu itu kukatakan padamu saat kita masih berada di Balai Kota Boreus."Aku mengangkat salah satu alisku lalu menganggukkan kepalaku memberi dia isyarat untuk mulai membahas apa yang ingin dia bahas. 'Kebetulan sekali dia mau membahas tentang permintaannya itu karena waktu itu aku tidak mendengarkan detail permintaannya dengan jelas.'Laula menatap mataku dengan intens sebelum menjelaskan detail permintaannya kepadaku. "Aku mau kamu membunuh Nona Tabella, Prof. Hora, dan Kapten Giedrius," jelasnya dengan nada tegas.Aku membelalakkan mataku karena tidak menyangka dia akan membuat permintaan seperti itu. Apa yang dia minta padaku benar-benar di luar dugaanku dan di luar nalar.Aku langsung bangkit dari kursi dan menghantam meja bundar di depanku dengan kedua telapak tanganku. "Membunuh mereka? Apa kamu bercanda?!" seruku. Aku mengerutkan alisk
Kuturunkan kedua telapak tanganku yang menutupi mukaku dan mengangkat kepalaku untuk melihat lurus ke depan, ke arah Layla yang duduk di seberangku.Kami saling bertatapan selama beberapa saat tanpa mengatakan apa-apa hingga akhirnya dia memutus kontak mata kami.Bunyi deritan benda yang bergeser tertangkap oleh telingaku. Kulihat Layla yang berdiri dari kursinya dan mengayunkan kakinya menjauh dari tempat ini. Kupandang punggungnya yang semakin menjauh menuju pintu keluar.Sebelum dia keluar dari ruangan ini, dia menghentikan langka kakinya dan berdiri di ambang pintu."Dua hari lagi akan ada sidang Quattor dan kamu akan ikut denganku. Kuharap kamu akan melakukan permintaanku dengan baik," ujar Layla tanpa membalikkan badannya untuk melihat lawan bicaranya.Dia langsung melanjutkan langkah kakinya meninggalkanku sendirian di ruangan ini tanpa menunggu balasan dariku. Terdengar bunyi pintu tertutup setelah dia keluar dari kamarku.Kini hanya
Tibalah hari dilaksanakannya sidang Quattor. Aku sedang melangkah mengikuti wanita berambut perak yang berjalan di depanku, Layla.Aku dan Layla melangkah melewati lorong yang sangat lebar dan panjang. Kami berjalan lurus ke depan, ke arah aula pertemuan yang berada di ujung lorong ini.Layla menghentikan langkahnya saat sampai di depan sebuah pintu putih yang tingginya mencapai 3 meter. Aku pun ikut menghentikan langkahku dan berdiri satu langkah di belakangnya.Layla menggenggam gagang pintu itu yang terbuat dari emas lalu mendorongnya hingga papan putih itu terbuka lebar dan menampakan isi ruangan yang ada di baliknya.Di depan kami, tampak sebuah ruangan yang sangat luas. Sebuah meja bundar terpasang di tengah-tengah ruangan itu.Terlihat ada tiga orang yang telah lebih dulu tiba sebelum kami duduk di meja itu. Ketiga orang itu melemparkan pandangan mereka ke arahku dan Layla."Akhirnya orang terakhir telah tiba. Kemarilah," panggil seor
Kepala Prof. Hora tergeletak di lantai putih yang bersimbah darah. Lantai di dekat kakiku juga mulai digenangi oleh darah yang keluar dari badannya yang tersungkur di depanku.Kulihat senjata yang ada di genggaman tanganku. Pedang yang kugunakan untuk memenggal kepalanya dilumuri oleh cairan merah yang segar.Keheningan di ruangan ini langsung pecah oleh suara jeritan seorang wanita. Suara itu berasal dari Nona Tabella yang terkejut melihat rekannya terpenggal dalam sekejap mata.Aku sendiri juga ingin menjerit karena tak menyangka aku akan membunuh Prof. Hora dengan tanganku sendiri. Sungguh, aku tidak pernah berpikiran untuk membunuhnya, bahkan melukai sekali pun tidak.'Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa tanganku bergerak sendiri untuk memenggal Prof. Hora?!' panikku dalam hati.Tidak hanya itu saja, sekarang aku juga tidak dapat menggerakkan tubuhku dan mengeluarkan suaraku, tetapi aku tidak dapat melakukannya. Rasanya seluruh tubuhku tidak da