Kuturunkan kedua telapak tanganku yang menutupi mukaku dan mengangkat kepalaku untuk melihat lurus ke depan, ke arah Layla yang duduk di seberangku.
Kami saling bertatapan selama beberapa saat tanpa mengatakan apa-apa hingga akhirnya dia memutus kontak mata kami.
Bunyi deritan benda yang bergeser tertangkap oleh telingaku. Kulihat Layla yang berdiri dari kursinya dan mengayunkan kakinya menjauh dari tempat ini. Kupandang punggungnya yang semakin menjauh menuju pintu keluar.
Sebelum dia keluar dari ruangan ini, dia menghentikan langka kakinya dan berdiri di ambang pintu.
"Dua hari lagi akan ada sidang Quattor dan kamu akan ikut denganku. Kuharap kamu akan melakukan permintaanku dengan baik," ujar Layla tanpa membalikkan badannya untuk melihat lawan bicaranya.
Dia langsung melanjutkan langkah kakinya meninggalkanku sendirian di ruangan ini tanpa menunggu balasan dariku. Terdengar bunyi pintu tertutup setelah dia keluar dari kamarku.
Kini hanya
Tibalah hari dilaksanakannya sidang Quattor. Aku sedang melangkah mengikuti wanita berambut perak yang berjalan di depanku, Layla.Aku dan Layla melangkah melewati lorong yang sangat lebar dan panjang. Kami berjalan lurus ke depan, ke arah aula pertemuan yang berada di ujung lorong ini.Layla menghentikan langkahnya saat sampai di depan sebuah pintu putih yang tingginya mencapai 3 meter. Aku pun ikut menghentikan langkahku dan berdiri satu langkah di belakangnya.Layla menggenggam gagang pintu itu yang terbuat dari emas lalu mendorongnya hingga papan putih itu terbuka lebar dan menampakan isi ruangan yang ada di baliknya.Di depan kami, tampak sebuah ruangan yang sangat luas. Sebuah meja bundar terpasang di tengah-tengah ruangan itu.Terlihat ada tiga orang yang telah lebih dulu tiba sebelum kami duduk di meja itu. Ketiga orang itu melemparkan pandangan mereka ke arahku dan Layla."Akhirnya orang terakhir telah tiba. Kemarilah," panggil seor
Kepala Prof. Hora tergeletak di lantai putih yang bersimbah darah. Lantai di dekat kakiku juga mulai digenangi oleh darah yang keluar dari badannya yang tersungkur di depanku.Kulihat senjata yang ada di genggaman tanganku. Pedang yang kugunakan untuk memenggal kepalanya dilumuri oleh cairan merah yang segar.Keheningan di ruangan ini langsung pecah oleh suara jeritan seorang wanita. Suara itu berasal dari Nona Tabella yang terkejut melihat rekannya terpenggal dalam sekejap mata.Aku sendiri juga ingin menjerit karena tak menyangka aku akan membunuh Prof. Hora dengan tanganku sendiri. Sungguh, aku tidak pernah berpikiran untuk membunuhnya, bahkan melukai sekali pun tidak.'Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa tanganku bergerak sendiri untuk memenggal Prof. Hora?!' panikku dalam hati.Tidak hanya itu saja, sekarang aku juga tidak dapat menggerakkan tubuhku dan mengeluarkan suaraku, tetapi aku tidak dapat melakukannya. Rasanya seluruh tubuhku tidak da
"Bunuh mereka." Itulah yang dikomat-kamitkan oleh mulut Layla. Dia memberiku perintah untuk menghilangkan nyawa kedua orang yang berdiri di dekatnya.Tubuhku bergerak sendiri mengikuti perintahnya. Aura kegelapan meluap keluar dari tubuhku dan melapisi kedua kakiku sehingga membentuk sepasang sepatu boots berwarna hitam pekat. Kutarik kaki kananku ke belakang dan menerjang ke arah mereka secepat kilat.Kini aku berada tepat di balik punggung Kapten Giedrius. Nona Tabella yang melihatku tiba-tiba muncul di belakang Kapten langsung berteriak memperingati pria berambut biru malam itu. Namun, Kapten Giedrius terlambat menyadari kehadiranku.Kapten membalikkan badannya dan tersentak kaget saat melihatku. Dia pasti tidak menyangka akan melihatku lagi karena mengira aku telah tiada di dunia ini setelah terkena kekuatannya. Aku pun tidak tahu bagaimana aku dapat selamat dari 'Arte'-nya.Aura kegelapan yang melayang mengitariku langsung bergabung membentuk seekor
Kuayunkan pedangku ke bawah dan memenggal kepala Nona Tabella. Kepalanya terpisah dari badannya dan menggelinding di lantai. Permukaan lantai yang berwarna putih kini berhiaskan warna merah.Seketika senjata tajam yang ada di genggaman tanganku menghilang setelah aku membunuh target terakhir. Tubuhku langsung ambruk dan terduduk di lantai. Kedua tanganku menopang badanku dengan menempel di permukaan lantai yang bersimbah darah.Tubuhku terasa lemas dan tidak dapat digerakkan. Bahkan untuk mempertahankan posisi ini sudah terasa berat bagiku. Fisik dan mentalku terkuras habis akibat pembantaian yang kulakukan tanpa keinginanku itu.Aku mengangkat kepalaku dan menatap Layla. "Layla ... kamu mengendalikan diriku?" tanyaku dengan suara kecil. Akhirnya suaraku dapat dikeluarkan setelah aku membisu selama beberapa menit."Ya, karena kalau aku tidak melakukannya, kamu tidak akan menjalankan permintaanku," jawab Layla dengan nada datar. Tatapan matanya menatapku d
Kuayunkan kakiku untuk menghampiri Layla. Sepanjang jalan menuju tempatnya berdiri, jejak merah mengikuti langkah kakiku di lantai.Layla yang berdiri dengan jarak beberapa meter di depan mulai tertawa. "Hahaha. Kamu tidak akan mempercayai aku lagi? Memangnya kamu bisa membuang kepercayaanmu itu hanya dengan berkata begitu?" sindir Layla.Bibirku melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman miring. "Kenapa tidak? Ayo kita lihat apakah aku masih mempercayaimu atau tidak," balasku yang kini berjarak beberapa langkah darinya."Berhenti. Jangan mendekatiku," titah Layla kepadaku. Tak kugubris perintahnya dan terus melangkahkan kakiku ke arahnya.Sekilas dia melebarkan matanya karena aku tidak menuruti perintahnya, tetapi sedetik kemudian matanya kembali seperti biasa. Layla mulai meningkatkan kesiagaannya terhadapku.Kuhentikan kakinya saat aku berada tepat di hadapannya. Jarak antara tubuh kami hanya sejauh satu langkah saja.Kuangkat tangan ka
Aku meraba pinggang belakangku dengan tangan kananku dan mencabut sesuatu yang menancap pada badanku. Begitu benda itu terlepas dari pinggangku, aku merasakan rasa sakit yang lebih menyakitkan dari sebelumnya dan kurasakan darahku merembes keluar dari luka itu.Kulihat benda yang baru saja kucaput dari pinggang belakangku, benda itu adalah sebuah belati. Belati tajam itu dilumuri oleh darah segarku.Kualihkan pandanganku ke arah Layla dan menggertakkan gigiku. "Kamu ..?!" geramku sambil menggenggam erat senjata tajam yang ada di tangan kananku."Aku tidak bisa menggunakan 'Arte'-ku kepadamu, itu berarti kamu sudah tidak mempercayaiku lagi, tapi kenapa kamu malah melindungiku dari serangan mereka? Kamu aneh, ya?" heran Layla sambil tersenyum sinis."Aku sudah melindungiku, tapi kamu malah menusukku seperti ini ... kamu membuatku menyesal karena sudah melindungimu. Seharusnya kubiarkan saja kamu diberondongi serangan 'boneka-bonekamu,' " sesalku sembari men
Setelah terbang dan menghindari kejaran pasukan elit negara dan Custodia, akhirnya aku berhasil menjauh dari pusat Kota Centralis, Ibu Kota negara ini.Saat ini, aku sedang berada di bagian selatan luar Ibu Kota. Wilayah ini tidak semaju di bagian pusat kota. Tidak banyak gedung pencakar langit berdiri di wilayah ini, malahan tempat ini terlihat cukup kumuh.Aku berjalan dan melompati atap-atap bangunan yang ada di daerah ini karena jalanan di bawah dilalui oleh rakyat jelata. Aku tidak tahu apakah pikiran mereka juga telah dikendalikan oleh Layla atau tidak. Oleh karena itu, untuk berjaga-jaga aku akan menghindari mereka.Saat memperhatikan sekelilingku, mataku menangkap ada suatu penampakan di atas salah satu gedung kaca yang berada cukup jauh dariku. Penampakan itu terlihat menyerupai figur manusia yang berwarna serba hitam.Aku pun memutuskan untuk mendekat ke bangunan dimana aku melihat penampakan itu. Begitu aku sudah cukup dekat dengan mereka, baru
Anggota Fylax yang kutemui di salah satu atap gedung membawaku ke sebuah bangunan kosong yang sepertinya sudah lama tidak digunakan.Bagian luar bangunan bertingkat 4 itu terlihat suram. Rerumputan yang ada di perkarangan bangunan itu begitu panjang karena tidak pernah dipotong. Lumut-lumut juga menempel di beberapa bagian dinding.Kami berjalan memasuki bangunan yang tampaknya merupakan bekas gedung kantor suatu perusahaan.Bagian dalam bangunan ini kosong melompong. Tak ada satu pun perabotan yang menghiasi ruangan ini. Tempat ini juga minim cahaya karena tidak ada lampu yang menyala, pencahayaan ruangan ini hanya bergantung pada sinar matahari yang masuk dari jendela.Aku dan anggota Fylax yang membawaku ke tempat ini melangkah semakin ke dalam bangunan ini. Selama kami berjalan, aku merasakan adanya kehadiran orang lain di dalam gedung terbengkalai ini.Jumlah mereka ada banyak, mungkin sekitar puluhan orang dan mereka tersebar di sepenjuru lan