Pria itu melangkah mundur untuk menjaga jarak denganku. Disimpan kembali telepon seluler miliknya ke dalam kantung yang ada di balik mantel abu-abunya. Dia berdiri cukup jauh dariku dan tidak mengatakan apa-apa.
"Jangan membuatku mengulangi pertanyaanku lagi," geramku kepadanya. Pria itu masih tidak membuka mulutnya dan hanya diam saja. 'Sebenarnya apa maunya sampai-sampai memfotoku dan menunjukkan hasil foto itu kepadaku?'
Aku mengepalkan tanganku dan menatapnya dengan tajam. 'Aku tidak boleh membiarkannya pergi begitu saja. Foto itu memperlihatkan penampilan asliku karena ilusi dari cincin ini tidak dapat mempengaruhi kamera.'
Kutarik kaki kananku ke belakang, bersiap-siap untuk menerjang ke arahnya. Tiba-tiba dia membuka mulutnya dan berkata kepadaku. "Tunggu, aku ke sini bukan untuk berkelahi denganmu."
Aku mengurungkan niatku untuk menyerangnya karena dia berkata begitu, tetapi aku tidak menurunkan kecurigaanku terhadapnya hanya karena dia mengat
Halo~ V I L sudah kembali. Ternyata kerjaan saya selesai lebih cepat dari perkiraan jadi saya dapat kembali untuk melanjutkan novel ini :3
Pria itu mengangkat kedua tangannya dan memegangi tudung hoodie yang menutupi kepalanya. Diturunkannya tudung itu sehingga rambutnya yang berwarna biru tua terlihat jelas. Setelah itu, tangan kanannya menarik salah satu tali maskernya sehingga terlepas dan memperlihatkan mukanya dengan jelas. Pria berambut biru tua itu tersenyum, tetapi sorot matanya tampak kosong karena tidak dapat melihat apa pun di tempat tanpa cahaya ini. Mataku melebar setelah melihat penampilannya dengan lebih jelas. Entah kenapa aku merasa familier dengan muka dan warna rambutnya. Warna rambutnya yang berwarna biru tua mirip seperti milik Kapten Giedrius dan muka itu ... rasanya aku pernah melihatnya entah dimana. "Apa kamu lupa denganku? Yah, kita hanya pernah bertemu satu kali sebelumnya jadi wajar kalau kamu tidak ingat," tanyanya sambil mengangkat bahu. Aku terdiam mendengar pernyataannya jika kami sudah pernah bertemu sebelumnya walau hanya sekali saja. 'Siapa dia? Kapan a
Pria itu mengeluarkan sebuah benda berukuran kecil dari balik pakaian luarnya yang tebal. Benda itu menyerupai sebuah kelereng yang transparan seperti kaca. "Ini adalah kelereng kebenaran. Benda ini akan menyala merah kalau ada yang berbohong dan menyala hijau kalau jujur," jelasnya dengan nada seperti seorang salesman. "Kamu bisa menanyakan apa saja kepadaku dan aku akan menjawabnya sejujur-jujurnya. Dengan begitu, kamu akan percaya padaku, kan?" lanjutnya sambil tersenyum meyakinkan. Aku menutup mulutku dengan tangan kananku dan mempertimbangkan usulannya. Kuturunkan tanganku dan berkata, "Aku akan mengetesnya dulu, coba tanyakan dua pertanyaan padaku." Aku tidak dapat langsung mempercayainya begitu saja. Setidaknya aku harus memeriksa terlebih dahulu apakah benda itu benar-benar dapat membedakan kejujuran dan kebohongan. Dia menganggukkan kepalanya lalu membuka mulutnya untuk memberikan pertanyaan kepadaku. "Apa nama samaran yang sekarang k
"Panggil saja aku Aquilo," jawabnya sambil memasukkan kembali benda bulat kecil itu ke balik mantelnya. Aku menganggukkan kepala mengerti. "Karena sepertinya perbincangan kita sudah berakhir, kita akan keluar dari sini," ujarku yang dibalas dengan dehamannya. Kujentikkan jariku, seketika tempat yang gelap gulita ini lenyap dan kini kami berada di gang sempit sebelumnya. Aku mengernyitkan mataku karena terangnya tempat ini. Mataku belum terbiasa dengan cahaya di jalanan sempit ini karena tadi cukup lama berada di tempat yang gelap gulita dan tanpa cahaya. Setelah mataku terbiasa, aku dapat melihat keadaan sekelilingku dengan jelas. Dua tas yang berisikan barang belanjaan tergeletak di samping kiri dan kananku. Untunglah tidak ada orang yang mengambilnya saat aku dan dia berada di dimensi kegelapanku. Aku mengambil kedua tas berbahan plastik yang tipis itu lalu menatap pria berambut biru tua yang berada beberapa meter di depanku. "Aku pergi dulu
Dua minggu telah berlalu sejak aku sepakat untuk bekerja sama dengan Aquilo. Aku sedang duduk santai di sofa ruang keluarga sambil menonton televisi. Berkat hadiah dari kontes berburu yang kumenangkan beberapa bulan lalu, aku dapat hidup santai tanpa bekerja sama sekali. Uang itu cukup untuk menghidupiku selama kurang lebih 2 tahun. Siaran televisi yang kunonton sebagian besar membahas tentang keadaan wilayah utara. Terkadang berita tersebut juga membahas tentang keadaan wilayah selatan, timur, barat, dan bahkan keadaan negara lain. Anehnya, belakangan ini aku tidak mendengarkan ada berita dari Ibu Kota. Selama beberapa hari terakhir, sama sekali tidak ada siaran yang membahas tentang keadaan Ibu Kota. Aku mengangkat tangan kananku dan meletakkan jari jempol dan telunjukku pada bibirku. Kutatap layar kaca di depanku dan berpikir dengan serius. 'Aneh, padahal biasanya selalu ada berita tentang Kota Centralis, bahkan berita paling tidak berarti
Orang yang menaiki tangga itu menampakkan dirinya. Orang itu merupakan seorang pria berambut biru tua yang mengenakan mantel abu-abu. Aku melebarkan mataku saat melihat sosok yang baru saja naik ke lantai 3 ini. Kusebut namanya dengan nada heran, "Aquilo?" Bola matanya yang berwarna perak langsung mengarah ke arahku begitu aku menyebut namanya. Dia tersenyum lebar dan mengangkat tangan kanannya. "Yo, Cae, kebetulan sekali kamu lagi di luar kamarmu saat aku mau bertemu denganmu," sapanya dengan nada sok bersahabat, padahal kami baru bertemu sebanyak dua kali. Aku bangkit berdiri dari sofa dan menatapnya dengan was-was. "Kamu stalker, ya? Untuk apa kamu datang ke sini?" tanyaku dengan curiga. Aku melipat tanganku di dada dan mencengkeram lenganku sendiri. 'Kebetulan macam apa ini? Dia muncul begitu saja saat aku sedang memikirkannya. Membuatku merinding saja.' Dia tertawa dengan nyaring. "Hahaha! Lucu sekali kamu! Begitu, ya, cara kamu m
"Kamu benar juga ...," gumamku. Aku mengalihkan pandanganku ke arah televisi yang masih menyala. Alat elektronik itu menyiarkan berita tentang respons warga Kota Boreus terhadap kedatangan Layla dalam 3 hari mendatang. Aquilo yang berdiri di hadapanku dan membelakangi televisi itu membalikkan badannya dan ikut menonton berita itu. "Lihat, bahkan berita tentang kedatangan anggota Quattor itu sudah tersebar di TV," ujarnya sambil mengarahkan telapak tangan kirinya ke layar kaca itu. Berita itu menampakkan respons rakyat yang antusias saat mengetahui bahwa Layla, yang kini merupakan salah satu anggota Quattor akan datang ke kota ini. Orang-orang itu mengatakan bahwa mereka tidak sabar untuk menyambutnya dengan meriah. "Bodohnya mereka. Masa sih mereka sama sekali tidak merasa curiga?" cemooh Aquilo terhadap penduduk kota ini. Aku hanya hanya tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa. 'Yah, Quattor terlihat benar di mata orang awam karena mereka adal
Tibalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh penduduk Kota Boreus. Di balai kota, ribuan orang berkumpul di sana untuk menyambut kedatangan anggota Quattor yang tak lain adalah Layla. Aku dan Aquilo tidak ketinggalan untuk ikut meramaikan acara penyambutan ini. Aku tiba di balai kota sekitar 15 menit yang lalu dan sudah ada lebih dari 1.000 orang yang sudah berada di ruang terbuka ini lebih dulu daripada aku. 'Mereka benar-benar antusias untuk bertemu dengan Layla, ya? Jangan-jangan mereka sudah datang ke sini beberapa jam lebih dulu.' "Hei, ayo kita pindah tempat. Di sini terlalu menyesakkan," ajak Aquilo yang berdiri di samping kananku. Aku menganggukkan kepalaku dan berjalan mengikutinya untuk pergi keluar dari kerumunan manusia ini. Setelah kami berjalan cukup jauh, tibalah kami di tempat yang tak begitu dipenuhi oleh penduduk kota. Aquilo duduk di pinggir jalan dan menghela napas lega karena sudah terbebas dari kerumunan orang yang berdiri tak begitu ja
Acara penyambutan kedatangan Layla dan rombongannya berjalan dengan lancar tanpa sedikit pun masalah. Saat ini, Layla sedang berpidato di tengah-tengah kerumunan penduduk Kota Boreus. Dia berpidato tentang nasionalisme dan patriotisme. Ribuan orang yang menghadiri acara ini menyimak pidatonya dengan tenang dan serius. Kulirik ke arah Aquilo yang berdiri di samping kiriku, dia mengangkat tangan kanannya dan menutup mulutnya yang terbuka dengan lebar dengan telapak tangannya. Dia menguap melepaskan kantuknya. Dia menutup mulutnya dan menurunkan tangannya setelah puas menarik napas dalam-dalam. "Panjang sekali dia berbicara. Kapan selesainya sih?" gumamnya sambil menghembuskan napas panjang. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku melihatnya yang terlihat mengantuk. 'Sepertinya di antara ribuan orang yang ada di sini, hanya dia seorang yang tidak tertarik mendengarkan pidato Layla.' Kupalingkan kepalaku ke arah Layla yang berdiri jauh di depan, di teng