Seluruh cadangan kata-kata yang Angel miliki seakan tersedot kembali ke dalam tenggorokan setelah mendengar kalimat tajam yang Ben ucapkan. Setiap berhadapan dengan suaminya ini entah mengapa membuat Angel seakan membeku. Entah karena auranya yang begitu kuat sehingga terasa sangat mengintimidasi atau karena pada dasarnya Angel memang tidak akan bisa melawan meski sekuat apa pun ia mencoba karena pada akhirnya Benlah yang akan menang. Ben akan melumpuhkan Angel dengan senjata pamungkasnya yang terus diulang-ulang seperti mantra itu.Menghela napas, Angel menyambar tas di atas tempat tidur lalu bergerak pergi meninggalkan keduanya.Angel meninggalkan apartemen Ben setelah mengambil mobil di basement. Ia mencoba menguatkan hati sekaligus memberi kesadaran pada dirinya sendiri bahwa ia harus merelakan apa pun yang dimilikinya sebagai penebus ‘dosanya’ pada Lolita.Semestinya sejak pertama tadi Angel merelakan baju kesayangannya dipakai Lolita dan mereka tidak perlu perang urat leher. Toh
Menyaksikan Ben sedang berpagut bibir dengan Lolita membuat Angel berpikir untuk balik kanan memutar tubuhnya ke belakang. Namun ketika ingat tujuan awalnya menemui laki-laki itu, Angel meneruskan niatnya.Ia membuka pintu lebih lebar sembari berdeham agar sepasang sejoli yang sedang asyik bermesraan itu mengetahui kedatangannya.Usaha Angel membuahkan hasil. Keduanya sontak memisahkan diri lantas memandang ke arah pintu. Ben terlihat kesal, sedangkan Lolita tampak salah tingkah atau mungkin bersikap seperti salah tingkah. Lalu perempuan itu menyibukkan diri merapikan buku-buku dan dokumen di dalam lemari kaca yang berada di belakang Ben.“Nggak bisa ketuk pintu dulu sebelum masuk?” tegur Ben jengkel lalu melonggarkan dasinya.“Tadi aku udah ketuk pintu sebelumnya tapi nggak ada sahutan apa-apa makanya aku langsung masuk,” jawab Angel sembari menarik langkah mendekat.“Tahu begitu seharusnya jangan langsung masuk. Siapa tahu nggak ada orang di dalam. Lain kali belajarlah sopan santun.
Sebaris senyum miring tercetak di bibir Rendra setelah membaca pesan dari Ben. Sahabatnya itu begitu egois. Dia tidak ingin melihat Angel bersama lelaki lain tapi masih memelihara perempuan lain.Rendra lantas membalas pesan itu.“Mencuri kesempatan gimana maksud lo? Justru sekarang gue pergi sama Angel adalah berhubungan dengan pekerjaan. Kan lo sendiri yang menyerahkan semua ini sama dia. Lo yang minta gue berhubungan langsung sama dia. Giliran gue udah jalanin lo malah mikir yang aneh-aneh. Kalau lo mau kita bisa kok pergi bertiga.”Dua detik, tiga detik Rendra menanti setelah pesannya terkirim. Dan ternyata tidak ada balasan pesan dari Ben. Penuturan panjang Rendra membuat Ben tak berkutik.Deheman yang kemudian terdengar membuat Rendra tersadar ada perempuan yang duduk di sebelahnya dan sedang menunggu untuk berangkat.“Sorry, tadi aku balas pesan dulu, ada yang urgent.” Rendra sengaja berbohong. Ia tidak ingin Angel tahu bahwa barusan chatting dengan Ben.“Nggak apa-apa.” Angel
Angel menghela napasnya panjang lalu segera masuk ke mobil Rendra. Meski ponsel sudah dimasukkannya dalam-dalam ke dalam tas, namun pesan dari Ben barusan terus menghiasi ruang matanya.Ben semena-mena memerintahnya. Lelaki itu sangat egois. Apa ada pria di dunia ini yang egoisnya menyamai Ben? Angel rasa tidak. Ben adalah pria paling egois yang dikenalnya.Mobil yang Rendra kendarai meluncur dengan mulus di jalan raya. Mereka langsung menuju restoran pilihan berdua untuk makan siang.Tadinya Angel menyerahkan pilihan pada Rendra. Terserah akan mengajaknya makan di mana saja. Namun Rendra tidak seegois itu untuk memutuskan sendiri. Dia menanyakan pendapat Angel hingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk santap siang di sebuah restoran Jepang.Tiba di restoran tersebut suasana ternyata sangat ramai. Entah karena bertepatan dengan jam makan siang atau karena di sana terkenal dengan makanannya yang super lezat.“Di sini yang paling enak ramen-nya,” ucap Rendra saat dirinya dan Angel se
Rendra menatap gemas pada Angel yang dengan kalemnya menggelengkan kepala sebagai pernyataan sikapnya bahwa ia tidak ingin berpisah dengan Ben.“Memangnya kamu bikin muka Lolita rusak gimana? Aku lihat dia baik-baik aja tuh.”“Ada bekas luka di pipinya dan itu yang bikin dia nggak bisa ikut beauty pageant. Dulu waktu masih sekolah aku nggak sengaja mengenai mukanya dengan stick golf,” jelas Angel menerangkan.Rendra tahu memang ada bekas luka tersebut di pipi Lolita. Namun, bukan berarti menjadi tanggung jawab Angel sampai harus mengorbankan kebahagiaannya.“Jadi hanya karena scar yang nggak seberapa itu sampai harus mengorbankan diri, kebahagiaan dan pernikahan kamu, begitu?” tanya Rendra menahan nada suaranya agar tidak terdengar tinggi. Angel yang mengalaminya namun entah mengapa dirinya yang tidak bisa terima.“Setiap kali aku memprotes maka Ben pasti menggunakan kesalahanku dulu sebagai senjata. Kalau bukan karena aku maka mungkin sekarang Lolita akan begini, Lolita nggak akan be
Refleks Angel terkejut mendengar celetukan Marsha yang tidak pernah disangka-sangka. Begitu pun dengan Rendra. Sontak saja suasana menjadi canggung. Merasa tidak enak pada Angel dan sebelum kesalahpahaman itu menjadi berlarut-larut, dengan cepat Rendra menjelaskan pada putrinya. “Bukan, Sayang. Tante ini namanya Tante Angel, temannya Papa.” Mendadak binar bahagia yang memenuhi wajah anak itu lenyap saat mendengar jawaban sang ayah. Terlihat jelas kalau dia begitu kecewa. “Ayo kenalan dulu sama Tante Angel.” Marsha mengulurkan tangannya pada Angel yang segera perempuan itu sambut. “Nama aku Marsha, Tante, tapi biasa dipanggil Sasa.” Bibir mungil gadis cilik itu bergerak-gerak lucu yang membuat Angel merasa gemas. “Halo, Sasa, kamu manis banget, Nak.” “Tante juga cantik,” balasnya pada Angel. Meski baru pertama kali ini bertemu dengan Angel, namun Marsha tidak merasa canggung. Malah ia sangat menyukai Angel. “Terima kasih, Sayang.” Angel mengusap kepala anak itu penuh kasih. Ke
Rendra menghela napasnya panjang. Ia tidak mengerti entah kenapa seharian ini Ben begitu aktif mengiriminya pesan. Dan semua isi pesannya itu nyaris serupa. Meminta Rendra agar segera mengembalikan Angel. Rendra sungguh tak habis pikir pada kelakuan Ben. Seharusnya jika Ben memang merasa memiliki Angel maka perlakukan perempuan itu sebagaimana seharusnya. Bukannya malah menyia-nyiakannya dan menyakiti dengan terang-terangan. Tanpa sadar tangan Rendra yang berada di setir mencengkram bagian itu hingga buku-buku jarinya memutih. Ia sangat membenci perselingkuhan. Namun, mirisnya sahabatnya sendirilah yang melakukan hal terkutuk tersebut. Tidak tahan lagi, Rendra lantas membalas pesan dari Ben. “Bukannya udah ada Lolita ya? Terus Angel buat apa lagi?” Hanya dalam hitungan detik pesan Rendra mendapat balasan. “Lho kok jadi ngegas? Gue kan cuma minta antar Angel ke kantor, banyak yang harus dia lakukan di sini. Dia harus kerja.” Rendra yang tidak ingin mengalah menjawab lagi pesan te
Ada desiran hebat tercipta di dada Angel ketika tatapannya bertemu dengan manik coklat milik Ben. Keadaan seperti ini selalu membuatnya lemah. Namun agaknya Ben tahu betul kerapuhan Angel. “Setelah dari restoran kamu nggak langsung pulang. Katakan kamu ke mana?” Ben mengulangi pertanyaannya dengan sorot tenang namun ada intimidasi di dalamnya. Angel akui jika Ben memiliki kemampuan menganalisa yang sangat bagus. Sehingga mau tidak mau ia harus berterus terang pada lelaki itu. “Tadi aku menemani Rendra ke sekolah anaknya dulu. Marsha namanya. Rendra udah janji akan menjemput Marsha. Karena anaknya itu trantruman Rendra takut terlambat. Jadi sebelum mengantar aku ke kantor kami mampir di sekolah Marsha.” Angel menerangkan dengan lengkap dan apa adanya. Perempuan itu harap suaminya bisa mengerti. Namun, Angel merasa heran entah mengapa Ben mendadak sepeduli itu padanya. Biasanya Ben mana pernah menghiraukan apa pun yang ingin ia lakukan. Bahkan Angel yakin sekalipun dirinya mati lelaki
Detik waktu seakan berhenti berputar ketika pria itu memutar tubuhnya hingga bertemu mata dengan Angel. Sekujur tubuh Angel seketika menggigil. Pria itu adalah satu-satunya manusia yang tidak ingin Angel temui di muka bumi ini. Kalau pun dirinya harus bertemu dengan pria tersebut maka dia adalah orang terakhir yang ingin Angel lihat."Angel ..." Bibir Ben gemetar saat melafalkan nama perempuan yang sudah bertahun-tahun menghilang dari kehidupannya.Angel membeku di tempat. Kakinya terasa selunak agar-agar hingga ia merasa tidak sanggup lagi menopang tubuhnya sendiri."Mama, Om itu lagi bicara sama Mama." Bobby menggoyang-goyangkan tangan Angel karena ibunya itu terpaku membisu.Angel masih belum sanggup melakukan apa-apa. Semua ini begitu mendadak dan sangat mengejutkannya.Sementara itu Ben masih belum berkedip memandang Angel. Adegan demi adegan yang terjadi di masa lalu kini berputar-putar di kepalanya seperti tayangan film yang diputar ulang. Namun yang paling berkesan adalah saat
Ben yang tadi berdiri tegak membungkukkan sedikit badannya agar sejajar dengan Bobby. Melihat cara anak itu memandangnya membuat Ben mengerti bahwa Bobby meragukannya."Bobby, jangan takut. Om bukan orang jahat atau penculik anak. Maksud Om sebenarnya baik. Om hanya kasihan dan nggak mau Bobby lama menunggu di sini.”Meski Ben sudah mencoba meyakinkannya namun Bobby masih merasa bimbang. Mamanya mengajarkan pada anak itu agar berhati-hati pada orang tidak dikenal."Dari mana Om tahu namaku?" tatap Bobby curiga.Ben menahan senyum melihat ekspresi Bobby yang menggemaskan. Tangannya lantas menyelinap ke balik jas. Dikeluarkannya sesuatu dari sana. Kertas gambar yang kemarin ditemukannya."Ini, Om tahu dari sini."Sepasang mata anak itu terbuka lebar menyaksikan kertas yang kemarin dicarinya ternyata ada bersama Ben."Ini dia yang aku cari. Om ketemu di mana?" kejarnya antusias."Om ketemu di sekolah ini. Kemarin kertasnya jatuh tapi Bobby sudah pulang. Ini ambillah." Ben memberikan kert
Ben menekuri dengan saksama kertas putih di tangannya. Di kertas itu berisi gambar. Bukan gambar biasa melainkan gambar pesawat. Dilihat sepintas lalu gambar tersebut digambar oleh orang dewasa atau seseorang yang begitu berbakat. Gambar tersebut begitu bagus dan rapi. Mulai dari goresannya yang begitu estetik hingga kombinasi warna yang digunakan. Tidak akan ada yang menyangka jika gambar tersebut adalah hasil goresan tangan dari seorang anak yang masih berusia lima tahun. Bahkan Ben sendiri.Kertas itu Ben dapat di sekolah Taman Kanak-Kanak tempatnya bertemu dengan anak yang begitu mirip dengannya. Saat anak itu pergi bersama lelaki yang Ben duga adalah ayahnya Ben baru menyadari anak tersebut meninggalkan sesuatu.Ben memungut kertas gambar tersebut dari tanah. Lalu akibat terlalu penasaran lelaki itu membawa kertas tersebut bersamanya.‘Bobby Fernanda.’ Ben mengeja di dalam hati dua potong kata yang merupakan nama anak tersebut.Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalanya yang
Enam tahun kemudian. "Papa!!!" Segaris senyum tipis terselip di bibir Refal di ketika melihat seorang anak laki-laki memanggil lalu berlari menghampirinya. Anak laki-laki itu berkulit putih dan memiliki paras yang rupawan. Tinggi badannya juga melebihi anak-anak seusianya. Refal tersenyum lantas menyambut tangan anak itu saat ingin bersalaman dengannya. "Gimana sekolahnya, By?" tanyanya pada Bobby, nama anak itu. "Menyenangkan, Pa. Aku suka sekolah di sini." Refal membelai kepala Bobby. Mereka melangkah bersisian menuju tempat mobil Refal diparkir. Tiba-tiba seorang lelaki yang berjalan terburu-buru dari arah berlawanan dengan mereka tidak sengaja menabrak Bobby hingga anak itu terjatuh. "Aduuuuh, Papaaa ...," rintihnya dengan ringisan di wajah. Sontak pria yang menabrak memandang ke arah Bobby. "Maaf, Om nggak senga—" Perkataan pria itu terputus. Wajah anak yang ditabraknya terasa tidak asing lagi dengannya. Matanya, hidungnya, bibirnya, serta bentuk dahinya bagai copy pa
Setelah meninggalkan kamar Angel dan menyuruh perempuan itu beristiraharat Refal muncul tak lama kemudian dengan membawa nampan berisi nasi dan dua buah gelas. Masing-masing gelas tersebut berisi air putih dan teh. Lelaki itu lantas meletakkan di atas nakas."Makanlah dulu," suruhnya pada Angel. Setelah berkata demikian lelaki itu keluar dari kamar.Menghela napasnya, Angel bangkit dari posisinya berbaring. Perempuan itu memijit-mijit pelipisnya. Sementara itu pikirannya mulai mengurai kejadian demi kejadian yang terjadi dalam hidupnya.Apa yang dilakukan Ben sekarang? Apa lelaki itu mencarinya? Apa lelaki itu tidak merasa penasaran karena Angel tidak pulang?Angel menepis pikiran demi pikiran itu dari kepalanya. Mana mungkin Ben mencarinya. Lelaki itu sudah mengusirnya dan terlihat begitu membenci Angel.Memejamkan mata, Angel mengusir pikiran tersebut jauh-jauh. Ia tidak boleh lagi memikirkan Ben apalagi berharap lebih dengan menginginkan lelaki itu mencarinya."Kenapa tidak dimakan
Sore itu Refal baru saja pulang dari tempat kerjanya. Hari ini pasiennya tidak terlalu banyak sehingga ia bisa meninggalkan rumah sakit lebih awal.Sejak pagi hujan turun tanpa henti. Titik-titik air masih terus membasahi hingga saat ini.Refal mengemudi dengan santai. Namun lama kelamaan ia mulai merasa ngantuk. Berkali-kali lelaki yang berprofesi sebagai dokter kandungan tersebut menutupi kuap dengan telapak tangan. Ia berencana setibanya nanti di rumah akan tidur sepuasnya. Bergelung di dalam selimut adalah hal yang sangat diinginkannya saat ini.Tiba-tiba sesuatu mengejutkannya. Lelaki muda itu sontak menekan pedal rem dengan mendadak ketika tiba-tiba melihat seorang perempuan berlari ke tengah jalan dan menabrakkan diri ke mobilnya. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat itu juga ketika orang tersebut ambruk ke aspal tepat di depan mobilnya.Refal buru-buru keluar dari mobil dan melihat sendiri perempuan itu. Kantuknya lenyap. Matanya yang tadi begitu berat mendadak terbuka leb
Langkah kaki Angel semakin menjauh meninggalkan Galaxy Group. Ia mulai lelah lantaran tenaganya yang terus terkuras. Hingga pertolongan itu akhirnya datang.Angel melihat ada taksi melintas di tengah-tengah hujan yang bertambah deras. Diulurkannya tangan ke arah jalan, meminta agar taksi tersebut berhenti.Taksi menepi lalu berhenti di dekat Angel. Beruntung taksi tersebut sedang kosong sehingga Angel bisa masuk ke dalamnya.“Ke mana, Mbak?” Supir taksi menanyakan tujuan Angel saat telah bergerak pelan.Angel tak lantas menjawab karena memang dirinya tidak tahu harus pergi ke mana. Ia hanya ingin menjauh dari Ben yang telah mengusirnya.“Mbak, kita akan ke mana?” Untuk kedua kali supir taksi menanyakannya lantaran Angel belum memberi jawaban.“Jalan saja dulu, Pak.” Angel menjawab. Sambil taksi berjalan ia akan memikirkan tujuannya.Menuruti keinginan penumpangnya, taksi melaju membelah jalan raya. Hingga tiba di traffic light Angel belum bisa menentukan tujuannya.“Mbak, saya harus m
Hari ini Angel tetap beraktivitas seperti biasa. Perempuan itu datang ke kantornya. Kehamilan yang dialaminya sama sekali bukan halangan baginya untuk menjalankan rutinitas. Lagipula ia ingin bertemu dengan Ben. Ia ingin tahu apa suaminya itu sungguh-sungguh dengan keinginan untuk menyuruh Lolita pergi.‘’Kamu yakin tetap kerja hari ini?” tanya Rendra bimbang mengingat saat ini sepertinya keadaan Angel tidak benar-benar sehat.“Aku akan baik-baik saja, Rend. Nggak usah terlalu mengkhawatirkanku,” kata Angel meyakinkan.“Jadi nanti setelah dari kantor kamu juga akan kembali ke apartemen Ben?” Rendra bertanya lagi.“Aku harap begitu.”Kalau sampai Lolita belum pergi juga dari apartemen tersebut maka Angel benar-benar tidak akan kembali ke sana. Sudah cukup. Ia tidak tahan lagi.“Terus kapan Tante ke sini lagi? Sasa kan belum puas main sama Tante,” sela Marsha sambil memandangi Angel dengan wajah polosnya.Angel mengalihkan perhatiannya pada Marsha. Lalu diberinya anak itu segaris senyu
Butuh waktu beberapa detik bagi Lolita untuk meresapi ucapan Ben sebelum perempuan itu berkata, “Hamil?”“Aku juga baru tahu kalau dia hamil,” ucap Ben menimpali.“Kamu yakin kalau dia hamil anakmu?”Pertanyaan yang dilontarkan Lolita tentu mengejutkan Ben. Iya, tadi Ben juga melafalkan hal yang sama saat berada di rumah Rendra. Hanya saja itu merupakan bentuk kekagetannya atas hal yang sekali pun tidak pernah melintas di kepalanya, bukan berarti ia meragukan kalau anak yang dikandung Angel bukan anaknya.“Maksudmu apa, Ta?” Ben ingin Lolita memperjelas kata-katanya yang ambigu.“Maksudku adalah bagaimana mungkin dia bisa hamil anakmu sedangkan kalian baru beberapa waktu belakangan ini berbaikan. Jadi menurutku sangat nggak masuk akal.”Ben sontak membisu. Pria itu mencoba mencerna perkataan kekasihnya. Belum sempat pria itu menyimpulkan, Lolita sudah kembali berbicara.“Aku tahu kamu nggak bodoh, Ben. Kamu sangat cerdas. Jadi aku harap kamu bisa menggunkan kecerdasanmu itu. Jangan ma