Angel menghela napasnya panjang lalu segera masuk ke mobil Rendra. Meski ponsel sudah dimasukkannya dalam-dalam ke dalam tas, namun pesan dari Ben barusan terus menghiasi ruang matanya.Ben semena-mena memerintahnya. Lelaki itu sangat egois. Apa ada pria di dunia ini yang egoisnya menyamai Ben? Angel rasa tidak. Ben adalah pria paling egois yang dikenalnya.Mobil yang Rendra kendarai meluncur dengan mulus di jalan raya. Mereka langsung menuju restoran pilihan berdua untuk makan siang.Tadinya Angel menyerahkan pilihan pada Rendra. Terserah akan mengajaknya makan di mana saja. Namun Rendra tidak seegois itu untuk memutuskan sendiri. Dia menanyakan pendapat Angel hingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk santap siang di sebuah restoran Jepang.Tiba di restoran tersebut suasana ternyata sangat ramai. Entah karena bertepatan dengan jam makan siang atau karena di sana terkenal dengan makanannya yang super lezat.“Di sini yang paling enak ramen-nya,” ucap Rendra saat dirinya dan Angel se
Rendra menatap gemas pada Angel yang dengan kalemnya menggelengkan kepala sebagai pernyataan sikapnya bahwa ia tidak ingin berpisah dengan Ben.“Memangnya kamu bikin muka Lolita rusak gimana? Aku lihat dia baik-baik aja tuh.”“Ada bekas luka di pipinya dan itu yang bikin dia nggak bisa ikut beauty pageant. Dulu waktu masih sekolah aku nggak sengaja mengenai mukanya dengan stick golf,” jelas Angel menerangkan.Rendra tahu memang ada bekas luka tersebut di pipi Lolita. Namun, bukan berarti menjadi tanggung jawab Angel sampai harus mengorbankan kebahagiaannya.“Jadi hanya karena scar yang nggak seberapa itu sampai harus mengorbankan diri, kebahagiaan dan pernikahan kamu, begitu?” tanya Rendra menahan nada suaranya agar tidak terdengar tinggi. Angel yang mengalaminya namun entah mengapa dirinya yang tidak bisa terima.“Setiap kali aku memprotes maka Ben pasti menggunakan kesalahanku dulu sebagai senjata. Kalau bukan karena aku maka mungkin sekarang Lolita akan begini, Lolita nggak akan be
Refleks Angel terkejut mendengar celetukan Marsha yang tidak pernah disangka-sangka. Begitu pun dengan Rendra. Sontak saja suasana menjadi canggung. Merasa tidak enak pada Angel dan sebelum kesalahpahaman itu menjadi berlarut-larut, dengan cepat Rendra menjelaskan pada putrinya. “Bukan, Sayang. Tante ini namanya Tante Angel, temannya Papa.” Mendadak binar bahagia yang memenuhi wajah anak itu lenyap saat mendengar jawaban sang ayah. Terlihat jelas kalau dia begitu kecewa. “Ayo kenalan dulu sama Tante Angel.” Marsha mengulurkan tangannya pada Angel yang segera perempuan itu sambut. “Nama aku Marsha, Tante, tapi biasa dipanggil Sasa.” Bibir mungil gadis cilik itu bergerak-gerak lucu yang membuat Angel merasa gemas. “Halo, Sasa, kamu manis banget, Nak.” “Tante juga cantik,” balasnya pada Angel. Meski baru pertama kali ini bertemu dengan Angel, namun Marsha tidak merasa canggung. Malah ia sangat menyukai Angel. “Terima kasih, Sayang.” Angel mengusap kepala anak itu penuh kasih. Ke
Rendra menghela napasnya panjang. Ia tidak mengerti entah kenapa seharian ini Ben begitu aktif mengiriminya pesan. Dan semua isi pesannya itu nyaris serupa. Meminta Rendra agar segera mengembalikan Angel. Rendra sungguh tak habis pikir pada kelakuan Ben. Seharusnya jika Ben memang merasa memiliki Angel maka perlakukan perempuan itu sebagaimana seharusnya. Bukannya malah menyia-nyiakannya dan menyakiti dengan terang-terangan. Tanpa sadar tangan Rendra yang berada di setir mencengkram bagian itu hingga buku-buku jarinya memutih. Ia sangat membenci perselingkuhan. Namun, mirisnya sahabatnya sendirilah yang melakukan hal terkutuk tersebut. Tidak tahan lagi, Rendra lantas membalas pesan dari Ben. “Bukannya udah ada Lolita ya? Terus Angel buat apa lagi?” Hanya dalam hitungan detik pesan Rendra mendapat balasan. “Lho kok jadi ngegas? Gue kan cuma minta antar Angel ke kantor, banyak yang harus dia lakukan di sini. Dia harus kerja.” Rendra yang tidak ingin mengalah menjawab lagi pesan te
Ada desiran hebat tercipta di dada Angel ketika tatapannya bertemu dengan manik coklat milik Ben. Keadaan seperti ini selalu membuatnya lemah. Namun agaknya Ben tahu betul kerapuhan Angel. “Setelah dari restoran kamu nggak langsung pulang. Katakan kamu ke mana?” Ben mengulangi pertanyaannya dengan sorot tenang namun ada intimidasi di dalamnya. Angel akui jika Ben memiliki kemampuan menganalisa yang sangat bagus. Sehingga mau tidak mau ia harus berterus terang pada lelaki itu. “Tadi aku menemani Rendra ke sekolah anaknya dulu. Marsha namanya. Rendra udah janji akan menjemput Marsha. Karena anaknya itu trantruman Rendra takut terlambat. Jadi sebelum mengantar aku ke kantor kami mampir di sekolah Marsha.” Angel menerangkan dengan lengkap dan apa adanya. Perempuan itu harap suaminya bisa mengerti. Namun, Angel merasa heran entah mengapa Ben mendadak sepeduli itu padanya. Biasanya Ben mana pernah menghiraukan apa pun yang ingin ia lakukan. Bahkan Angel yakin sekalipun dirinya mati lelaki
Lovely Kindergarten—taman kanak-kanak tempat Marsha bersekolah hari ini tampak berbeda dari biasanya.Tempat yang digunakan sebagai tempat bermain sambil belajar itu sekarang begitu semarak karena sudah disulap menjadi area ulang tahun Marsha.Sesuai dengan temanya, anak perempuan menggunakan kostum princess, sedangkan yang laki-laki berpura-pura menjadi kurcaci dengan pakaian yang mereka yang lucu. Sedangkan Marsha sendiri menggunakan kostum snow white, yaitu gaun yang di bagian bawah berwarna kuning sedangkan di bagian dada berwarna biru. Sebuah bandana dengan aksen pita berwarna merah tersemat di kepalanya yang membuat anak itu terlihat semakin imut.Hari ini Marsha begitu gembira. Ia sangat bahagia lantaran papanya mewujudkan acara ulang tahun seperti yang anak itu impi-impikan sejak lama. hanya saja kebahagiaannya terasa belum sempurna karena seseorang yang diharapkannya datang menghadiri acara ulang tahunnya belum menampakkan wujud sampai saat ini.Dari tempatnya Marsha mengedar
Berkali-kali Angel mengerjapkan mata hanya demi meyakinkan diri bahwa penglihatannya tidak salah. Dan hasilnya adalah pemandangan itu tidak berubah. Memang suaminya yang berada di belakang anak-anak tersebut. Ben Evano.Pertanyaannya adalah, untuk apa Ben ke sini? Apa yang dilakukannya di tempat ini? Nggak mungkin ikut merayakan ulang tahun Marsha kan? Karena sepengamatan Angel Ben bukanlah penyayang anak-anak.Perhatian Angel teralihkan dari Ben ketika Marsha menggoyangkan tangannya.“Tante, waktunya bagi-bagi souvenir.”“Eh, iya.”Lalu selanjutnya Angel ikut bantu-bantu membagikan souvenir pada anak-anak yang akan mereka bawa pulang. Meski disibukkan dengan kegiatan tersebut, namun dari sudut matanya Angel bisa merasakan bahwa saat ini tatapan Ben masih hinggap di wajahnya. Pria itu mengamatinya dari jauh.Sementara itu Rendra yang berada di dekat Angel baru saja menyadari keberadaan Ben ketika tanpa sengaja melihat ke arah itu. Ben sedang berdiri di dekat perosotan dengan kedua ta
Ben dan Rendra serentak memandang ke arah Angel yang bergegas menghampiri mereka. Ben menghela napasnya, mencoba menahan emosi yang sudah tiba di ubun-ubun.“Ngapain kamu?” desis Ben dingin begitu Angel berada tepat di dekatnya. Tangannya yang tadi sudah terangkat untuk menghajar Rendra perlahan turun dari udara.“Harusnya aku yang bertanya begitu. Kenapa kamu mau memukul Rendra?” tanya Angel balik.Ben menjawab dengan dengkusan lantas memalingkan mukanya. Lelaki itu tidak menjawab pertanyaan Angel. Begitu pun ketika Angel memandang pada sahabat suaminya. Pria itu hanya diam tanpa berkata apa-apa.“Aku nggak tahu kalian ada masalah apa, tapi tolong jangan bertengkar di sini,” ucap Angel lagi.“Sekarang pulang!” Ben meraih tangan Angel dan bermakud menariknya pergi.Sebelum ia berhasil, Angel melepaskan kaitan tangannya dari Ben.“Sorry, aku nggak bisa ikut denganmu. Acaraku belum selesai.”Sontak saja penolakan istrinya membuat rahang Ben mengetat. Ia tidak suka ditolak oleh istri se