Milly disambut dengan hangat oleh ibunya. Ibunya sempat terkejut mendapati Milly berdiri sendiri di ambang pintu dengan membawa sebuah rantang. Meski putrinya itu sedang menyunggingkan senyumannya, namun sang ibu bisa merasakan bahwa ada yang tak beres dengan putreinya itu.
Sebenarnya, Ibu Milly cukup mengerti bagaimana posisi Milly dan apa yang menimpa putrinya itu. Ibu Milly adalah sosok yang snagat dekat dengan Milly. Ketika Milly hamil, sang ibu adalah orang pertama yang tahu. Ibunya pulalah yang meminta Milly untuk memberi tahu Boy, dan Milly benar-benar melakukannya.
Ketika Boy memutuskan untuk bertanggung jawab, sebenarnya Ibu Milly sempat memiliki sebuah kekhawatiran, bahwa Milly tidak akan bahagia dengan Boy, karena pernikahan mereka jelas-jelas terjadi hanya karena rasa tanggung jawab. Ditambah lagi, keluarga Milly tentu cukup tahu diri, bahwa mereka akan berbesan dengan keluarga Boy yang merupakan konglongmerat. Namun pada akhirnya, orang tua Milly tak bisa berbuat banyak, bagaimanapun juga anak dalam kandungan Milly butuh status yang jelas nantinya.
Kini, melihat Milly berdiri di ambang pintu dengan membawa sebuah rantang dengan waktu yang hampir tengah malam, membuat ibu Milly merasa bahwa putrinya itu sedang tak baik-baik saja dibalik senyumannya.
“Apa yang kamu lakukan di sana, Nak? Ayo masuk.” Ajak Ibu Milly sembari melihat di sekitarnya. Tak ada Boy, apa memang Boy tak mengantar Milly?
“Ini, Milly tadi masak terlalu banyak, Bu. Jadi Milly bawa pulang buat dimakan sama Ibu sama Ayah.” Milly segera menuju ke meja makan keluarganya.
“Ayah sedang shift malam. Ibu jadinya tidur sendiri,” jawab sang ibu.
“Kebetulan sekali, Milly mau nginep sini malam ini.” Milly segera mengambil piring dan mengambil makanan di rantangnya. Dia duduk dan mulai menyantap makan malamnya. Tentu saja karena sejak tadi dia sudah menahan lapar.
Sang ibu hanya mengamati Milly, sebelum kemudian dia bertanya “Kamu belum makan?”
Milly menatap ibunya seketika, tampak ada kesedian dan kekhawatiran di wajah sang ibu, lalu Milly menjawab “Sudah, Bu. Orang hamil kan memang suka lapar.”
Sang ibu lalu duduk di sebelah Milly. “Kenapa kamu ke sini sendiri? Kenapa kamu nginep di sini? Suami kamu mana?”
“Uum, Boy tadi ngantar aku kok, Bu. Tapi dia sedang ada kerjaan penting dan mendadak di bandung, makanya aku mutusin buat nginep sini aja. Dia ngantar sampai depan gang. Mobilnya nggak bisa masuk.”
“Bener apa yang kamu katakan?” tanya sang ibu masih tak percaya.
Milly tersenyum lembut. “Bener, Bu…” Milly tidak bisa berkata lebih banyak lagi, dia tak ingin berbohong lebih banyak lagi. Akhirnya Milly memutuskan untuk menyantap makan malamnya kembali. Semoga saja ibunya tak lagi melemparkan pertanyaan lain.
Milly bersyukur karena ibunya tampak mengerti. Sang ibu hanya mengamati Milly saja tanpa melemparkan pertanyaan lain, sedangkan Milly entah kenapa merasa sedih dan lega, ketika Ibunya tak perlu tahu apa yang sedang menimpanya saat ini.
***
Milly masuk ke dalam kamarnya setelah menyelesaikan makan malamnya. Dia menghela napas panjang sembari mengusap lembut perutnya yang sudah mulai membuncit.
Semenjak bekerja menjadi asisten pribadi Clara, Milly memang lebih sering tinggal di apartmen Clara. Baru beberapa minggu terakhir, Milly kembali tinggal di rumah ibunya setelah memutuskan berhenti bekerja dengan Clara. Kemudian, Boy menikahinya, dan dia pindah ke apartmen baru pria itu.
Kini, Milly kembali tidur di kamar mungilnya. Setidaknya, ketika berada di sini, Milly tak merasa tertekan seperti saat berada di dalam apartmen Boy.
Milly menghela napas panjang. Dia menuju ke arah ranjangnya, mulai duduk di sana dan masih mengusap lembut perutnya.
Apa suatu saat nanti, Boy akan membuka hati untuknya? Astaga… memangnya siapa dia? Dibandingkan dengan Clara —perempuan yang dicintai Boy setengah mati, Milly sama sekali tak ada apa-apanya.
Clara adalah model papan atas dengan postur tubuh proposional. Tinggi langsing dan semampai. Sedangkan dirinya, Milly memiliki postur mungil dan berisi meski tidak gemuk. Clara adalah sosok yang selalu modis, sangat pantas bersanding dengan Boy yang juga memiliki penampilan modis, sedangkan dia…
Milly menghela napas panjang, dia membaringkan tubuhnya pada ranjang mungilnya. Apa yang kamu pikirkan saat menerima pinangannya, Mill? Tanya Milly pada dirinya sendiri.
Milly kembali mengusap lembut perutnya. Tentu saja yang dipikirkan Milly hanya status untuk anaknya kelak. Milly tak akan mempedulikan lagi tentang perasaannya jika memikirkan tentang anaknya. Meski begitu, menjalani hal ini membuat Milly merasa sakit.
Kamu harus banyak bersabar, Mill… kamu harus bersabar… nasehatnya dalam hati. Akhirnya, Milly memutuskan memejamkan matanya dan mulai menenggelamkan diri ke dalam dunia mimpi.
***
Di lain tempat. Boy mengamati jalanan ibu kota dari jendela kaar apartmennya. Sesekali dia menyesap bir kaleng yang ada di tangannya.
Apa dia sudah keterlaluan tadi? Apa dia salah karena sudah menghindari Milly sampai seperti itu hingga Milly sedih dan memilih menginap di rumah orang tuanya?
Sial!
Boy hanya belum bisa menerima keadaannya. Dia adalah pria bebas sebelumnya. Dia memiliki kekasih, dia memiliki perempuan yang sangat dicintainya. Kemudian tiba-tiba, peremouan itu menikah dengan pria lain, membuat Boy gila dan meniduri asisten dari kekasihnya itu hingga hamil. Boy bukanlah pria brengsek yang lepas tanggung jawab begitu saja. Dia memutuskan untuik bertanggung jawab, meski dia tak bisa menjanjikan apapun pada Milly.
Sejujurnya, Boy masih tertekan dengan semua keadaan ini. Menikah dengan Milly sama sekali tak pernah terpikirkan untuknya, karena itulah, Boy masih menyesuaikan diri.
Perhatian Milly tadi yang memasak makan malam untuknya, membuat Boy terganggu. Dia tidak suka diperhatikan, dia tak suka ketika ada seseorang yang mencoba mencuri-curi hati dan juga perhatiannya. Boy masih mencoba untuk mengobati luka patah hatinya karena Clara, dan perhatian Milly bukan salah satu ‘obat’ yang bagus untuk hal itu. Karena itulah, yang bisa Boy lakukan hanya menghindar sebisa mungkin.
Boy menyesap kembali minumannya sebelum dia berjalan pergi meninggalkan kamarnya. Boy menatap pintu kamar Milly. Dengan spontan kaki Boy melangkah mendekat ke arah pintu kamar Milly, lalu dia mulai membukanya.
Boy masuk ke dalam sana, mengamati segala penjuru ruangan yang memang tak berubah sedikitpun.
Milly hanya membawa sebuah koper yang berisi pakaiannya. Perempuan itu tak membawa apapun, jadi tidak ada yang berubah dengan kamar perempuan itu. Bahkan koper Milly saja masih tampak berada di depan lemarinya, dan belum dibongkar.
Boy menghela napas panjang. Ada sebuah rasa sesak di dadanya yang entah berasal dari mana. Boy tidak tahu, apa yang dia rasakan saat ini. Boy juga tak mengerti, kenapa dia merasakan perasaan sesak seperti ini saat menginmgat tentang Milly. Memangnya, apa pedulinya dengan perempuan itu? Yang terpenting saat ini, dia sudah bertanggung jawab, jadi, dia tak harus mencurahkan perhatiannya secara berlebihan, kan?
Boy akhirnya meninggalkan kamar Milly lalu kembali ke kamarnya dan melemparkan diri di atas ranjangnya. Dia terbaring nyalang dengan pikiran yang berkelana. Kenapa perasaannya menjadi segunda ini? Apa yang terjadi dengannya?
***
Keesokan harinya…
Ketika membantu ibunya memasak sarapan, Milly mendengar pintu rumahnya diketuk oleh seseorang. Milly menatap ibunya seketika, dan mengira bahwa yang datang adalah ayahnya.
“Biar aku saja yang buka pintunya, Bu. Paling itu Ayah.”
“Biasanya kalau Ayah shift malam, dia baru pulang jam sembilan. Ini baru jam tujuh.”
“Mungkin temannya sudah gantiin.” Milly menjawab sembari menuju ke arah pintu. Dia membuka pintu depan rumahnya dan alangkah terkejutnya ketika dia mendapati Boy yang sudah berdiri menjulang di ambang pintu rumahnya. “Boy?” Milly menampilkan raut wajah terkejutnya.
“Kenapa terkejut gitu?” tanya Boy dengan santai.
“A —apa yang kamu lakuin di sini?” tanya Milly dengan terpatah-patah.
“Jemput kamu, memangnya apa lagi?”
“Tapi aku…”
“Dan sarapan bareng. Nggak apa-apa, kan, kalau aku numpang sarapan di sini?”
Pertanyaan Boy benar-benar membuat Milly ternganga karena terkejut. Kenapa Boy ingin sarapan di rumah sederhananya? Kenapa pria ini datang menjemputnya pagi-pagi sekali? Apa rencananya? Apa yang diinginkannya? Kenapa tiba-tiba Boy berubah?
-TBC-
Milly dan sang ibu saling bertatapan ketika melihat Boy yang kini sudah duduk tenang di meja makan kecil mereka dengan menu sarapan seadanya. Sebenarnya, tak ada yang salah dengan hal itu, namun melihat Boy yang sudah rapi dan keren berada di meja makan sederhana mereka tampak terlihat kontras.Milly menyuguhkan nasi goreng, beberapa potong telur, dan juga acar di meja makan. Hal tersebut tak luput dari perhatian Boy. Kemudian, sang ibu juga sudah menata piring di meja makan, serta tak lupa membawa minuman ke sana.“Ayah mana?” Boy membuka suaranya memecah keheningan.“Uum, shift malam. Biasanya baru pulang jam sembilan,” jawab Milly.Boy hanya mengangguk.“Kalau begitu, Nak Bobby sarapan dulu sama Milly, ibu mau berangkat ke pasar.”“Ibu nggak ikut sarapan?” tanya Boy kemudian.“Ibu bawa bekal, soalnya nanti kesiangan ke pasarnya,” jawab ibu Milly.Ibu Milly
Boy sedang membuka-buka gambar hasil tangkapan kameranya. Itu adalah foto prewedding sepasang kekasih yang seminggu yang lalu dia ambil. Sepasang kekasih itu tampak serasi, tampak bahagia dan tampak cocok satu sama lain, seakan-akan keduanya memang sangat menginginkan dan menantikanhari pernikahan mereka.Tiba-tba saja Boy mengingat hubungan pernikahannya dengan Milly. Mereka tak melakukan foto prewedding, jangankan prewedding, bahkan foto pernikahan mereka pun tak ada.Kemarin, mereka hanya menikah di pencatatan sipil. Milly ditemani ayahnya, dan Boy pun hanya dengan ayahnya. Tidak ada pesta, dan mungkin tak ada yang tahu jika mereka sudah menikah kecuali keluarga masing-masing.Kadang, Boy berpikir, apa dia terlalu jahat kepada Milly? Bagaimanapun juga, Milly adalah seorang perempuan, dan biasanya seorang perempuan memiliki banyak bayangan indah tentang pernikahan mereka. Namun, Boy tak bisa memberikan hal tersebut pada Milly.Biarlah. Toh ini kesalahan
“Ohh, jadi kamu tadi yang dibilang Clara mau kerja paruh waktu di sini?” tanya perempuan bernama Kirana itu ketika Milly sudah dipersilahkan masuk dan duduk di sebuah kursi yang berada di ruangan tersebut. “Benar, Bu…” jawab Milly dengan sopan. “Jangan terlalu kaku, ah… memangnya saya terlihat kayakj ibu-ibu?” Kirana bertanya dengan nada bercanda. Milly sedikit tersenyum. Dia tidak menyangka jika Kiranabukanlah sosok yang arogan. Perempuan ini tampak ramah dan baik. Sepertinya, Milly akan suka bekerja dengannya. “Saya harus tahu, berapa usia kandungan kamu,” ucap Kirana kemudian. “Mau jalan lima bulan. Apakah ada masalah?” “Enggak. Tugas kamu di sini nanti cuma beresin baju saja, dan siapin kalau ada pemotretan brand baru. Bagaimana? Kamu bersedia.” “Bersedia. Saya sangat bersedia.” Milly menjawab cepat dan antusias. “Bagus. Kalau begitu kamu boleh pulang. Besok kamu baru mulai bekerja.” “Terima kasih… Uuumm, Mb
Milly kembali ke apartmen Boy setelah dari studio Boy. Dia memilih istirahat saja di rumah sebelum menyiapkan makan malam. Kali ini, tentu Milly akan menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri.Boy sudah pasti tak pulang, jika mengingat bagaimana sikap pria itu terakhir kali mereka bertemu tadi. Boy terlihat marah. Ya, tentu saja. Milly secara tak langsung dapat mengundang gosip yang tidak-tidak tentang Clara… bodoh sekali dia.Milly menuju ke kamarnya, kemudian menenggelampak diri diantara bantal-bantalnya sebelum kemudian dia terlelap tidur.***Boy membuka bingkisan yang dibawa oleh Milly tadi, lalu dia teringat dengan ucapan Milly bahwa bingkisan makan siang itu adalah pemberian dari Clara. Apa maksud Milly? Bukankah tadi sebelum datang, Boy lah yang meminta dikirim makan siang ini?Kemudian, Boy baru mengingat jika di sana tadi ada Lolita dan asistennya. Apa Milly mengatakan hal itu agar hubungannya tidak diketahui oleh Lo
Makan malam sepiring berdua terasa canggung dan menjadi sangat hening. Hanya suara sendok dan garpu yang beradu diantara mereka. Milly mencoba mengendalikan jantungnya agar tak berdebar sekencang ini. Dia tak ingin Boy tahu atau mendengarkan debaran jantungnya yang menggila seperti saat ini.Boy juga demikian. Tadi dia masih santai, seolah-olah tak terjadi apapun dan dal ini tak mempengaruhinya. Namun, sikap diam dan canggung yang ditampilkan Milly benar-benar mengganggunya. Membuat Boy mau tidak mau ikutan diam dan canggung.Hanya suara sendok dan piring yang saling beradu yang ada diantara mereka. Hingga tak terasa, makanan di piring itu habis. Hanya sisa sepotong telur yang menunggu untuk disendok.“Habiskan,” ucap Boy kemudian.“Ehh? Kamu aja,” Milly menolak. Dia merasa tidak enak, karena jujur saja, mungkin tadi sebagian besar makanan di piring itu Milly yang memakannya.Sejak sebelum hamil, Milly memang suka makan, dan
Keesokan harinya, Milly sudah bangun pagi-pagi sekali. Dia bahkan sudah bersiap-siap untuk pergi. Meski begitu, dia juga sudah menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri dan juga untuk Boy. Namun jika Boy tak mau memakannya, Milly akan memasukkannya ke dalam kotak bekal dan membawanya ke tempat kerja.Ketika Boy keluar dari dalam kamarnya, Milly mengangkat wajahnya. Sekali lagi, dia terpesona dengan penampilan suaminya yang entah kenapa selalu terlihat tampan dan keren di matanya.Boy itu berdarah blasteran. Sejauh yang Milly tahu, ayah Boy itu adalah salah satu pengusaha asing, sedangkan ibu Boy berasal dari kalangan konglongmerat di negeri ini. Boy memiliki postur dan wajah sedikit kebule-bulean. Matanya bahkan berwarna abu-abu, berbeda dengan warna mata kebanyakan penduduk asli Indonesia. Milly jelas berharap bahwa kelak anaknya akan memiliki warna mata seperti Boy. Pasti jika perempuan akan terlihat cantik, dan jika laki-laki akan terlihat sangat tampan.Pipi
Milly baru sampai di dalam apartmen Boy, lalu dia sedikit mengerutkan keningnya ketika mendapati Boy yang rupanya sudah pulang, pria itu bahkan sudah duduk di ruang tamu seolah-olah sedang menunggunya.Memang, tadi Boy pulang lebih dulu, namun Milly mengira jika Boy akan mengerjakan pekerjaan lain, atau mungkin memiliki jadwal lain hingga dia akan pulang terlambat seperti biasanya. Tapi rupanya, pria itu langsung pulang.Saat Boy pulang tadi, Boy bahkan sempat meninggalkan tatapan mata tajamnya pada Milly, membuat Milly dengan spontan menundukkan kepalanya. Namun, tatapan mata Boy yang tak biasa itu diketahui oleh Kirana, hingga membuat Kirana melemparkan pertanyaan pada Milly.“Kamu kenal Boy?”“Uum, Iya… kan, saya pernah jadi asisten pribadi Clara, mbak…” hanya itu yang bisa dijawab Milly pada saat itu. Kirana pun percaya dan dia tidak menanyakan hal lagi. Lagi pula, tidak akan mungkin ada yang curiga dengan hubunga
“Jadi, lo serius sudah nikah?” Andre masih saja tak percaya dengan pengakuan Boy.“Udah deh. Kita nggak usah bahas itu lagi. Toh, elo nggak percaya, kan?”“Sialan lo. Gue masih shock! Mikirin elo nikah sama perempuan biasa saja gue hampir nggak percaya, apalagi alasan elo nikah karena bunting duluan.”“Memangnya kenapa?”“Boy! Gue kenal elo, Man!” seru Andre. “Terus gimana sama nyokap bokap elo? Mereka setuju elo nikah gini?”“Kalau yang gue lihat sih, mereka kurang setuju. Tapi mau bagaimana lagi. Nyokap bokap juga nggak ngelarang, cuma ya itu, gue neglihat di raut wajah mereka, kayaknya sih mereka kecewa.”“Terus, lo sekarang tinggalin dia di rumah cuma sama orang tua elo? Lo nggak mikir gimana canggungnya dia?”“Gue sudah ajak dia pindah ke apartmen. Jadi sekarang dia di apartmen sendiri.”“Boy! Itu lebi