Milly keluar dari kamarnya saat sore telah tiba. Dia menuju ke arah dapur dan bersiap-siap untuk menyiapkan makan malam. Rupanya, di dapur telah tersedia bahan-bahan masalan. Boy mungkin telah menyediakannya. Milly lantas bergegas untuk memasak.
Sebenarnya, Milly tidak terlalu pandai dalam memasak, dia hanya bisa memasak masakan-masakan sederhana. Malam ini, Milly akan membuat ayam goreng kecap, karena dia melihat ada ayam di dalam lemari pendingin.
Milly mengamati sekitarnya, tampak sangat sepi. Apakah Boy pergi? Atau pria itu kini sedang berada di dalam kamarnya?
Milly tak mengambil pusing tentang hal itu. Dia akan tetap memasak untuk dua orang. Kalaupun Boy pergi, nanti pria itu pasti akan pulang saat makan malam tiba, karenanya, Milly tetap memasak untuk dua orang.
Sembari memutar lagu di ponselnya, Milly mulai memasak. Dia akan memasak seenak mungkin, karena ini akan menjadi masakan pertama yang dia buat untuk Boy. Semoga saja Boy menyukainya.
Lama Milly menghabiskan waktunya di dapur sembari bersenandung, hingga akhirnya, masakannyapun selesai juga. Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore, Milly menengok ke arah pintu kamar Boy namun pria itu belum juga keluar dari kamarnya.
Milly kemudian memutuskan untuk mandi, mengganti pakaiannya lalu memanggil Boy untuk makan malam bersama.
Setelah Milly selesai mandi dan mengganti pakaiannya, dia lantas menuju ke kamar Boy, mengetuknya berkali-kali, namun tidak ada jawaban dari pria itu.
Apa Boy keluar?
Milly merogoh ponselnya, kemudian mulai mencari nomor Boy dan menghubunginya. Sekali, dua kali, tiga kali, namun Boy tak juga mengangkat panggilan Milly. Milly masih berusaha menghubungi Boy sembari menunggunya di ruang makan.
Akhirnya, panggilannya diangkat oleh Boy. Kalimat pertama yang diucapkan Boy adalah “Aku sibuk.”
“Uuum, aku masakin makan malam…”
“Kamu makan dulu aja, aku ada kerjaan.” Lalu panggilan dimatikan begitu saja.
Milly membatu, mencerna apa yang baru saja terjadi. Di hari pertama dia menjadi seorang istri, dia diperlakukan seperti ini oleh suaminya. Diberi surat kontrak, ditinggalkan sendirian, dan kini dirinya harus menunggu ketidak pastian.
Milly mengusap lembut perutnya, dia merasakan kesedihan yang amat sangat. Bukan tanpa alasan, selama ini, Milly memang telah memendam rasa terhadap Boy. Dia mengenal Boy ketika dirinya menjadi asisten pribadi Clara Adista, sang model papan atas yang saat itu merupakan kekasih Boy.
Boy yang tampak sangat mencintai dan perhatian dengan Clara mau tidak mau mencuri hati Milly. Boy bukanlah orang biasa, pria itu memiliki banyak koneksi, ditambah lagi, pria itu terkenal di kalangan model. Jika mau, Boy bisa saja menjadi seorang Playboy, mengingat banyaknya model yang menaruh hati padanya, namun dengan setia Boy tetap memilih bersama dengan Clara. Hal tersebut turut serta membuat Milly semakin mengagumi sosok Boy.
Kini, Milly masih tidak percaya, bahwa Boy sudah menjadi suaminya. Meski pernikahan mereka hanya karena terpaksa, meski pernikahan mereka hanya karena kontrak, nyatanya, Milly tidak bisa memungkiri dirinya sendiri bahwa dirinya sangat bahagia saat bisa menjadi istri seorang Bobby William.
Milly akhirnya memutuskan untuk menunggu Boy. Meski dia sudah lapar, namun istri yang baik adalah istri yang setia menunggu suaminya. Dia tidak sabar melihat reaksi Boy ketika menyantap hasil masakannya malam ini.
****
Sampai jam setengah sepuluh, Boy belum juga pulang. Milly sudah kelaparan, tapi dia tetap setia menunggu. Milly hanya meredakan laparnya dengan minum susu. Dia juga mulai memanaskan masakannya dan menaruhnya kembali di meja makan. Berpikir bahwa Boy akan segera pulang.
Benar saja, tepat pada jam sepuluh malam, Boy pulang. Milly menyambutnya di ruang tengah, dan suaminya itu tampak lelah seakan ingin segera masuk ke dalam kamarnya.
“Uum, kamu mau mandi dulu atau bagaimana?” tanya Milly kemudian.
Boy mentap Milly penuh tanya. “Ya, aku akan mandi dan langsung tidur.”
“Ehh? Nggak makan malam dulu? Aku sudah panasin masakannya.” Milly masih berharap jika Boy mau makan malam bersamanya. Makan malam pertama sebagai suami istri.
Boy melirik ke arah meja makan. Di sana masih tersaji menu makan malam yang tampak belum tersentuh. “Kamu nungguin aku? Kamu bisa makan sendiri, kan?”
“Uummm, kupikir…”
“Aku sudah makan di luar.” Boy menjawab cepat. “Kamu makan sendiri saja, aku akan mandi dan beristirahat.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Boy meninggalkan Milly begitu saja memasuki kamarnya.
Milly menatap kepergian Boy dengan tatapan nanar. Dia tak percaya bahwa Boy akan melakukan hal ini padanya. Sepanjang sore dia sudah berusaha memasak, sepanjang malam dia sudah menunggu pria itu sampai kelaparan, dan kini, Boy memilih tetap meninggalkannya. Sebenarnya, kenapa Boy tampak begitu membencinya? Apa karena pernikahan ini yang telah mengikat pria itu?
***
Milly memutuskan membungkus semua makan malamnya. Pada saat itu, Boy keluar dari kamarnya dan bersiap mengambil air minum. Boy melihat Milly tampak bersiap-siap akan pergi, padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam.
“Mau kemana?” tanya Boy dengan nada sedikit cuek sembari mengambil sebotol air mineral dari dalam lemari pendinginnya.
“Uum, karena aku tadi masak banyak, jadinya aku bungkus buat Ibu sama ayah. Aku boleh ngantar makanan ini ke mereka, kan? Soalnya sayang kalau dibuang.”
“Sudah malam. Mending simpan aja. Bisa diangetin besok.”
“Uumm, nggak apa-apa, kok. Toh rumah kontrakan ibu nggak jauh dari sini.”
“Memangnya kamu mau jalan kaki. Jam segini mana ada kendaraan.”
“Yaaa nggak apa-apa.”
Boy bersedekap seketika. “Kamu itu cewek, dan kamu lagi hamil.”
Milly masih fokus dengan rantangnya. “Aku lagi pengen makan sama ibu, memang salah, ya?”
Boy mendengkus sebal. Dioa lalu masuk ke dalam kamarnya, kemudian kembali dengan membawa sebuah jaket dan juga kunci mobilnya. “Ayo kuantar,” ucapnya sembari menuju pintu keluar. Milly menatap Boy dan dia semakin bingun dibuatnya. Sebenarnya, Boy kenapa? Setengah jam yang lalu, pria itu menjadi pria kejam yang tak perhatian dan tak peduli dengan Milly, namun lihat, sekarang Boy seakan berubah seratusdelapan puluh derajat. Apa yang diinginkan pria itu? apa tujuannya?
Milly pada akhirnya mengikuti saja perintah Boy. Dia mengikuti Boy ke basement, memasuki mobil Boy kemudian pria itu mulai mengemudikan mobilnya meninggalkan gedung apartmennnya.
Dari ujung matanya, Milly melihat bahwa Boy tampak tak suka melakukan hal ini, pria itu mungkin capek dan butuh istirahat, lalu kenapa Boy memaksakan kehendaknya untuk mengantar Milly?
“Nanti kamu langsung pulang saja.” Milly membuka suaranya.
“Kenapa?”
“Rumah kontrakan Ibu kan ada di dalam gang, mobil kamu nggak bisa masuk, dan nggak ada tempat parkirnya.”
“Terus kamu pulangnya gimana?” tanya Boy kemudian yang masih fokus dengan jalanan di hadapannya.
“Aku nginep di rumah Ibu saja malam ini.”
Boy melambatkan laju mobilnya, lalu dia menatap ke arah Milly seketika “Maksudmu?”
“Nginep semalam, nggak apa-apa, kan?” tanya Milly kemudian.
Sekali lagi, Boy mendengkus sebal, dia kemudian menjawab “Terserah kamu.” Kemudian Boy mulai melajukan mobilnya, tanpa menghiraukan Milly lagi.
Sampailah mereka di depan gang rumah orang tua Milly. Milly mengambil rantang makanannya kemudian keluar dari dalam mobil Boy, dan setelah itu, Boy segera pergi begitu saja meninggalkan Milly seolah-olah pria itu tak mempedulikan apa yang akan dilakukan Milly.
Milly menatap mobil Boy yang mulai hilang dibalik tikungan jalan. Matanya nanar, hatinya terasa pilu. Makan malam pertama yang dia idam-idamkan berakhir seperti ini. Sangat menyedihkan. Apa yuang harus dia katakan pada ibunya nanti? Apa dia harus jujur bahwa pernikahannya tidak berjalan dengan lancar?
Sembari menghela napas panjang, Milly memasuki gang rumah ibunya. Apapun yang terjadi, dia tidak akan membuat kedua orang tuanya khawatir dan kepikiran. Dia bisa mengatakan bahwa Boy sedang pergi ke luar kota mendadak malam ini, Ibunya tidak akan curiga. Dia hanya perlu menyingkirkan raut wajah sedihnya saat ini. Ya, semuanya akan baik-baik saja, Milly hanya perlu banyak bersabar.
-TBC-
Milly disambut dengan hangat oleh ibunya. Ibunya sempat terkejut mendapati Milly berdiri sendiri di ambang pintu dengan membawa sebuah rantang. Meski putrinya itu sedang menyunggingkan senyumannya, namun sang ibu bisa merasakan bahwa ada yang tak beres dengan putreinya itu.Sebenarnya, Ibu Milly cukup mengerti bagaimana posisi Milly dan apa yang menimpa putrinya itu. Ibu Milly adalah sosok yang snagat dekat dengan Milly. Ketika Milly hamil, sang ibu adalah orang pertama yang tahu. Ibunya pulalah yang meminta Milly untuk memberi tahu Boy, dan Milly benar-benar melakukannya.Ketika Boy memutuskan untuk bertanggung jawab, sebenarnya Ibu Milly sempat memiliki sebuah kekhawatiran, bahwa Milly tidak akan bahagia dengan Boy, karena pernikahan mereka jelas-jelas terjadi hanya karena rasa tanggung jawab. Ditambah lagi, keluarga Milly tentu cukup tahu diri, bahwa mereka akan berbesan dengan keluarga Boy yang merupakan konglongmerat. Namun pada akhirnya, orang tua Milly tak bisa
Milly dan sang ibu saling bertatapan ketika melihat Boy yang kini sudah duduk tenang di meja makan kecil mereka dengan menu sarapan seadanya. Sebenarnya, tak ada yang salah dengan hal itu, namun melihat Boy yang sudah rapi dan keren berada di meja makan sederhana mereka tampak terlihat kontras.Milly menyuguhkan nasi goreng, beberapa potong telur, dan juga acar di meja makan. Hal tersebut tak luput dari perhatian Boy. Kemudian, sang ibu juga sudah menata piring di meja makan, serta tak lupa membawa minuman ke sana.“Ayah mana?” Boy membuka suaranya memecah keheningan.“Uum, shift malam. Biasanya baru pulang jam sembilan,” jawab Milly.Boy hanya mengangguk.“Kalau begitu, Nak Bobby sarapan dulu sama Milly, ibu mau berangkat ke pasar.”“Ibu nggak ikut sarapan?” tanya Boy kemudian.“Ibu bawa bekal, soalnya nanti kesiangan ke pasarnya,” jawab ibu Milly.Ibu Milly
Boy sedang membuka-buka gambar hasil tangkapan kameranya. Itu adalah foto prewedding sepasang kekasih yang seminggu yang lalu dia ambil. Sepasang kekasih itu tampak serasi, tampak bahagia dan tampak cocok satu sama lain, seakan-akan keduanya memang sangat menginginkan dan menantikanhari pernikahan mereka.Tiba-tba saja Boy mengingat hubungan pernikahannya dengan Milly. Mereka tak melakukan foto prewedding, jangankan prewedding, bahkan foto pernikahan mereka pun tak ada.Kemarin, mereka hanya menikah di pencatatan sipil. Milly ditemani ayahnya, dan Boy pun hanya dengan ayahnya. Tidak ada pesta, dan mungkin tak ada yang tahu jika mereka sudah menikah kecuali keluarga masing-masing.Kadang, Boy berpikir, apa dia terlalu jahat kepada Milly? Bagaimanapun juga, Milly adalah seorang perempuan, dan biasanya seorang perempuan memiliki banyak bayangan indah tentang pernikahan mereka. Namun, Boy tak bisa memberikan hal tersebut pada Milly.Biarlah. Toh ini kesalahan
“Ohh, jadi kamu tadi yang dibilang Clara mau kerja paruh waktu di sini?” tanya perempuan bernama Kirana itu ketika Milly sudah dipersilahkan masuk dan duduk di sebuah kursi yang berada di ruangan tersebut. “Benar, Bu…” jawab Milly dengan sopan. “Jangan terlalu kaku, ah… memangnya saya terlihat kayakj ibu-ibu?” Kirana bertanya dengan nada bercanda. Milly sedikit tersenyum. Dia tidak menyangka jika Kiranabukanlah sosok yang arogan. Perempuan ini tampak ramah dan baik. Sepertinya, Milly akan suka bekerja dengannya. “Saya harus tahu, berapa usia kandungan kamu,” ucap Kirana kemudian. “Mau jalan lima bulan. Apakah ada masalah?” “Enggak. Tugas kamu di sini nanti cuma beresin baju saja, dan siapin kalau ada pemotretan brand baru. Bagaimana? Kamu bersedia.” “Bersedia. Saya sangat bersedia.” Milly menjawab cepat dan antusias. “Bagus. Kalau begitu kamu boleh pulang. Besok kamu baru mulai bekerja.” “Terima kasih… Uuumm, Mb
Milly kembali ke apartmen Boy setelah dari studio Boy. Dia memilih istirahat saja di rumah sebelum menyiapkan makan malam. Kali ini, tentu Milly akan menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri.Boy sudah pasti tak pulang, jika mengingat bagaimana sikap pria itu terakhir kali mereka bertemu tadi. Boy terlihat marah. Ya, tentu saja. Milly secara tak langsung dapat mengundang gosip yang tidak-tidak tentang Clara… bodoh sekali dia.Milly menuju ke kamarnya, kemudian menenggelampak diri diantara bantal-bantalnya sebelum kemudian dia terlelap tidur.***Boy membuka bingkisan yang dibawa oleh Milly tadi, lalu dia teringat dengan ucapan Milly bahwa bingkisan makan siang itu adalah pemberian dari Clara. Apa maksud Milly? Bukankah tadi sebelum datang, Boy lah yang meminta dikirim makan siang ini?Kemudian, Boy baru mengingat jika di sana tadi ada Lolita dan asistennya. Apa Milly mengatakan hal itu agar hubungannya tidak diketahui oleh Lo
Makan malam sepiring berdua terasa canggung dan menjadi sangat hening. Hanya suara sendok dan garpu yang beradu diantara mereka. Milly mencoba mengendalikan jantungnya agar tak berdebar sekencang ini. Dia tak ingin Boy tahu atau mendengarkan debaran jantungnya yang menggila seperti saat ini.Boy juga demikian. Tadi dia masih santai, seolah-olah tak terjadi apapun dan dal ini tak mempengaruhinya. Namun, sikap diam dan canggung yang ditampilkan Milly benar-benar mengganggunya. Membuat Boy mau tidak mau ikutan diam dan canggung.Hanya suara sendok dan piring yang saling beradu yang ada diantara mereka. Hingga tak terasa, makanan di piring itu habis. Hanya sisa sepotong telur yang menunggu untuk disendok.“Habiskan,” ucap Boy kemudian.“Ehh? Kamu aja,” Milly menolak. Dia merasa tidak enak, karena jujur saja, mungkin tadi sebagian besar makanan di piring itu Milly yang memakannya.Sejak sebelum hamil, Milly memang suka makan, dan
Keesokan harinya, Milly sudah bangun pagi-pagi sekali. Dia bahkan sudah bersiap-siap untuk pergi. Meski begitu, dia juga sudah menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri dan juga untuk Boy. Namun jika Boy tak mau memakannya, Milly akan memasukkannya ke dalam kotak bekal dan membawanya ke tempat kerja.Ketika Boy keluar dari dalam kamarnya, Milly mengangkat wajahnya. Sekali lagi, dia terpesona dengan penampilan suaminya yang entah kenapa selalu terlihat tampan dan keren di matanya.Boy itu berdarah blasteran. Sejauh yang Milly tahu, ayah Boy itu adalah salah satu pengusaha asing, sedangkan ibu Boy berasal dari kalangan konglongmerat di negeri ini. Boy memiliki postur dan wajah sedikit kebule-bulean. Matanya bahkan berwarna abu-abu, berbeda dengan warna mata kebanyakan penduduk asli Indonesia. Milly jelas berharap bahwa kelak anaknya akan memiliki warna mata seperti Boy. Pasti jika perempuan akan terlihat cantik, dan jika laki-laki akan terlihat sangat tampan.Pipi
Milly baru sampai di dalam apartmen Boy, lalu dia sedikit mengerutkan keningnya ketika mendapati Boy yang rupanya sudah pulang, pria itu bahkan sudah duduk di ruang tamu seolah-olah sedang menunggunya.Memang, tadi Boy pulang lebih dulu, namun Milly mengira jika Boy akan mengerjakan pekerjaan lain, atau mungkin memiliki jadwal lain hingga dia akan pulang terlambat seperti biasanya. Tapi rupanya, pria itu langsung pulang.Saat Boy pulang tadi, Boy bahkan sempat meninggalkan tatapan mata tajamnya pada Milly, membuat Milly dengan spontan menundukkan kepalanya. Namun, tatapan mata Boy yang tak biasa itu diketahui oleh Kirana, hingga membuat Kirana melemparkan pertanyaan pada Milly.“Kamu kenal Boy?”“Uum, Iya… kan, saya pernah jadi asisten pribadi Clara, mbak…” hanya itu yang bisa dijawab Milly pada saat itu. Kirana pun percaya dan dia tidak menanyakan hal lagi. Lagi pula, tidak akan mungkin ada yang curiga dengan hubunga