Boy sedang membuka-buka gambar hasil tangkapan kameranya. Itu adalah foto prewedding sepasang kekasih yang seminggu yang lalu dia ambil. Sepasang kekasih itu tampak serasi, tampak bahagia dan tampak cocok satu sama lain, seakan-akan keduanya memang sangat menginginkan dan menantikanhari pernikahan mereka.
Tiba-tba saja Boy mengingat hubungan pernikahannya dengan Milly. Mereka tak melakukan foto prewedding, jangankan prewedding, bahkan foto pernikahan mereka pun tak ada.
Kemarin, mereka hanya menikah di pencatatan sipil. Milly ditemani ayahnya, dan Boy pun hanya dengan ayahnya. Tidak ada pesta, dan mungkin tak ada yang tahu jika mereka sudah menikah kecuali keluarga masing-masing.
Kadang, Boy berpikir, apa dia terlalu jahat kepada Milly? Bagaimanapun juga, Milly adalah seorang perempuan, dan biasanya seorang perempuan memiliki banyak bayangan indah tentang pernikahan mereka. Namun, Boy tak bisa memberikan hal tersebut pada Milly.
Biarlah. Toh ini kesalahan bersama, Kan? Andai saja Milly tidak hamil, mungkin hal ini tak akan terjadi. Tidak akan ada yang tersakiti karena semua ini. Namun, Milly hamil, dan malam itu tetap terjadi.
Boy menghela napas panjang. Bayangan malam itu pun tiba-tiba keluar dalam ingatannya. Bayangan tentang malam panas yang dia lalui bersama dengan Milly. Boy memang mabuk saat itu, namun kini, Boy sedikit demi sedikit dapat mengingat bagaimana malam itu terjadi…
“Mil.... Buka Mil..” Boy sedang mabuk berat saat itu, dan Boy menuju ke apartmen Clara. Setelah tahu bahwa Clara sang pujaan hatinya telah menikah, Boy memang patah hati. Clara sudah tak lagi tinggal di apartmen perempuan itu, dan apartmen Clara memang hanya ditinggali oleh Milly.
Milly membuka pintu apartemen Clara. Dia mendapati Boy yang sudah seperti orang gila karena mabuk.
“Duhh kamu ngapain sih kesini Boy?” tanya Milly kemudian
“Minggir, aku mau tidur.” Boy menerobos masuk. Mily mengikuti Boy sampai ke dalam kamar Clara yang kini memang ditempati oleh Milly.
“Kamu nggak bisa gini terus Boy, kamu sudah seperti orang gila tau nggak.”
“Orang Gila? Bagaimana aku nggak gila kalau orang yang ku cintai menikah begitu saja dengan lelaki lain?”
“Kamu bisa melupakannya Boy, kamu akan mendapat penggantinya.”
“Enggak, aku nggak bisa, nggak ada yang bisa gantikan Clara di hatiku Mil!”
Samar-samar Boy melihat tatapan kesedihan yang diperlihatkan oleh Milly padanya. Membuat Boy merasa iba seketika. Kenapa Milly menatap Boy seperti itu?
Tiba-tiba saja, Milly mencengkeram kedua pundak Boy. “Boy, Lihat aku, Selama ini aku selalu ada di sebelahmu, mencintaimu tanpa sarat apapun, tapi kamu tak pernah sedikitpun melihatku.”
Boy membulatkan matanya menatap ke arah Milly dengan tatapan tak percayanya. “Enggak, kamu gila, manamungkin kamu....”
Boy tak dapat melanjutkan kata-katanya ketika bibir Milly membungkamnya dengan paksa. Melumatnya dengan rasa yang sarat akan kefrustasian. Seperti seolah-olah bahwa selama ini Milly telah memendam cinta yang begitu dalam uintuk Boy.
Tanpa disangka, Boy ternyata membalas lumatan bibir dari Milly, membalasnya sepanas mungkin. Hasratnya selama ini kepada Clara tak pernah tersampaikan, mungkin dengan kehadiran Milly semuanya akan sedikit meringankan bebannya. Pada akhirnya keduanya sama-sama hanyut dalam perasaan masing-masing.
Sedikit demi sedikit Boy mendorong tubuh Milly mendekat ke arah ranjang. Sesekali jemarinya membantu Milly melucuti pakaiannya. Sedangkan bibirnya seolah tak ingin meninggalkan bibir Milly yang entah kenapa terasa begitu memabukkan.
Astaga… Boy tidak pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya. Gairahnya seolah-olah terpancing begitu saja dan tak bisa dikendalikan. Boy melepaskan tautan bibirnya, melucuti pakaiannya sendiri dan membuat dirinya berdiri polos seperti yang kini dilakukan oleh Milly.
Keduanya sudah berdiri polos tanpa sehelai benangpun. Sempat saling menatap dan mengagumi tubuh masing-masing, sebelum kemudian keduanya kembali saling menautkan bibir masing-masing, saling melumat dengan panas dan juga dengan gairah yang sama-sama menggebu.
Astaga… akal sehat mereka seakan hilang begitu saja. Boy membawa tubuh Milly hingga terbaring di atas ranjang. Bibirnya mulai turun menelusuri tubuh Milly, berhenti pada puncak dadanya, menggodanya, meninggalkan jejak di sana, sebelum menuruni perut Milly kemudian berhenti pada pusat diri Milly.
Milly mengerang seketika. Dia tak percaya bahwa Boy akan melakukan hal ini padanya, menggodanya hingga dia nyaris gila. Entah sudah berapa kali Milly mengerangkan nama Boy, Boy tak ingin berhenti menggodanya. Hingga ketika Boy merasakan gairahnya tak tertahankan lagi, dia segera menghentikan aksinya, kembali p-ada Milly dan menatap Milly dengan sungguh-sungguh.
“Aku akan melakukannya,” ucap Boy penuh arti, seolah-olah dia memang sedang meminta izin pada Milly.
Milly hanya mengangguk lemah. Mendapati persetujuan dari Milly, Boy tak membuang waktu lagi. Segera dia mencoba menyatukan dirinya dengan tubuh Milly.
Milly tampak terlihat tak nyaman dan Boy baru sadar bahwa ini akan menjadi pertama kalinya untuk Milly.
“Kamu belum pernah—” Boy menggantung kalimatnya dengan tubuh yang sudah membeku. Dia tak percaya bahwa Milly belum pernah melakukan hal ini sebelumnya.
Milly mencengkeram lengan Boy kemudian perempuan itu menjawab “Lakukan, Boy… jangan berhenti… lakukan saja…” Milly tampak seperti seorang yang sedang memohon.
Boy tahu, bahwa meskipun Milly tak memohon padanya, Boy tak bisa berhenti lagi saat ini. Dia akan melakukannya dengan Milly, dia akan menyatukan diri dan mencurahkan gairahnya pada tubuh perempuan itu.
Pada akhirnya, Boy menundukkan kepalanya, mengecup singkat bibir Milly sebelum dia berkata “Sudah pasti aku tak akan berhenti, Mill…” dan setelah itu, Boy kembali meraih bibir Milly, melumatnya dengan panas, sedangkan tubuhnya mendorong lebih keras lagi hingga tubuh mereka menyatu dengan sempurna...
Boy Menggelengkan kepalanya cepat saat bayangan erotis itu menari-nari di kepalanya. Sial! Apa yang sudah dia bayangkan? Kenapa dia jadi semesum ini? Boy bahkan merasakan bukti gairahnya menegang seketika saat mengingat malam panas yang dia lewati bersama Milly itu.
Sialan Milly! Bagaimana mungkin perempuan itu menggodanya seperti itu? dan… cinta? Astaga… Boy bahkan baru ingat jika Milly mengungkapkan perasaannya malam itu, walau setelahnya, keduanya bersikap layaknya orang asing yang tak pernah melakukan apapun. Sial!
Entah kenapa, tiba-tiba saja Boy ingin menghubungi Milly. Apa yang dilakukan perempuan itu saat ini? Apa dia sedang sibuk? Atau… apa perempuan itu sedang memikirkan dirinya? Tiba-tiba saja, Boy mengambil ponselnya, kemudian mencari nomor Milly.
Sial! Apa yang akan dia lakukan? Menghubungi Milly? Yang benar saja… Boy kembali menyimpan ponselnya, dan mencoba mengenyahkan semua bayangan masa lalu tentang dirinya dan Milly.
Tidak, tak bisa seperti ini terus. Dia harus melupakan malam itu, dia harus melupakan pernyataan cinta Milly di malam itu. semua itu hanya pengaruh alkohol, oke…
*****
Di lain tempat…
Milly mendatangi sebuah butik besar, butik milik salah satu teman Clara. Ya, tadi Milly sempat menghubungi Clara, bertanya apakah Clara memiliki kenalan yang bisa mempekerjakannya atau tidak.
Sebenarnya jika mau, Milly masih bisa bekerja dengan Clara. Meski Clara sudah tidak menjadi model lagi sejak perempuan itu menikah, nyatanya, Clara memang masih membutuhkan tenaga kerja.
Namun Milly berkata bahwa dia hanya ingin bekerja paruh waktu dengan kondisi kehamilannya saat ini. Karena itulah, Clara tadi merekomendasikan Milly ke salah satu temannya yang memiliki butik.
Milly sempat ragu. Butik itu terlalu besar dan tak seperti yang dia pikirkan. Namun Milly tetap melakukan apa yang dia inginkan. Dia akan tetap bekerja, untuk mengisi kekosongannya, dan untuk menambah tabungannya. Biar bagaimanapun juga, dia harus menabung untuk dirinya dan bayinya di masa depan, karena pernikahannya dengan Boy tentu tak bisa dia harapkan.
Milly memasuki butik tersebut, kemudian dia disambut oleh salah seorang pegawai. Setelah menyebutkan niatnya dan rekomendasi dari Clara, Milly dibawa menuju ke sebuah ruangan. Ruangan tersebut adalah ruang kerja si designer. Namanya, Kirana, salah satu designer ternama di negeri ini. Milly jelas tahu siapa perempuan itu, bahkan Milly juga tahu salah satu gosip yang pernah ramai diperbincangkan tentang perempuan itu.
Kirana… adalah mantan kekasih Boy… kenapa Clara merekomendasikannya untuk bekerja di sana?
-TBC-
“Ohh, jadi kamu tadi yang dibilang Clara mau kerja paruh waktu di sini?” tanya perempuan bernama Kirana itu ketika Milly sudah dipersilahkan masuk dan duduk di sebuah kursi yang berada di ruangan tersebut. “Benar, Bu…” jawab Milly dengan sopan. “Jangan terlalu kaku, ah… memangnya saya terlihat kayakj ibu-ibu?” Kirana bertanya dengan nada bercanda. Milly sedikit tersenyum. Dia tidak menyangka jika Kiranabukanlah sosok yang arogan. Perempuan ini tampak ramah dan baik. Sepertinya, Milly akan suka bekerja dengannya. “Saya harus tahu, berapa usia kandungan kamu,” ucap Kirana kemudian. “Mau jalan lima bulan. Apakah ada masalah?” “Enggak. Tugas kamu di sini nanti cuma beresin baju saja, dan siapin kalau ada pemotretan brand baru. Bagaimana? Kamu bersedia.” “Bersedia. Saya sangat bersedia.” Milly menjawab cepat dan antusias. “Bagus. Kalau begitu kamu boleh pulang. Besok kamu baru mulai bekerja.” “Terima kasih… Uuumm, Mb
Milly kembali ke apartmen Boy setelah dari studio Boy. Dia memilih istirahat saja di rumah sebelum menyiapkan makan malam. Kali ini, tentu Milly akan menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri.Boy sudah pasti tak pulang, jika mengingat bagaimana sikap pria itu terakhir kali mereka bertemu tadi. Boy terlihat marah. Ya, tentu saja. Milly secara tak langsung dapat mengundang gosip yang tidak-tidak tentang Clara… bodoh sekali dia.Milly menuju ke kamarnya, kemudian menenggelampak diri diantara bantal-bantalnya sebelum kemudian dia terlelap tidur.***Boy membuka bingkisan yang dibawa oleh Milly tadi, lalu dia teringat dengan ucapan Milly bahwa bingkisan makan siang itu adalah pemberian dari Clara. Apa maksud Milly? Bukankah tadi sebelum datang, Boy lah yang meminta dikirim makan siang ini?Kemudian, Boy baru mengingat jika di sana tadi ada Lolita dan asistennya. Apa Milly mengatakan hal itu agar hubungannya tidak diketahui oleh Lo
Makan malam sepiring berdua terasa canggung dan menjadi sangat hening. Hanya suara sendok dan garpu yang beradu diantara mereka. Milly mencoba mengendalikan jantungnya agar tak berdebar sekencang ini. Dia tak ingin Boy tahu atau mendengarkan debaran jantungnya yang menggila seperti saat ini.Boy juga demikian. Tadi dia masih santai, seolah-olah tak terjadi apapun dan dal ini tak mempengaruhinya. Namun, sikap diam dan canggung yang ditampilkan Milly benar-benar mengganggunya. Membuat Boy mau tidak mau ikutan diam dan canggung.Hanya suara sendok dan piring yang saling beradu yang ada diantara mereka. Hingga tak terasa, makanan di piring itu habis. Hanya sisa sepotong telur yang menunggu untuk disendok.“Habiskan,” ucap Boy kemudian.“Ehh? Kamu aja,” Milly menolak. Dia merasa tidak enak, karena jujur saja, mungkin tadi sebagian besar makanan di piring itu Milly yang memakannya.Sejak sebelum hamil, Milly memang suka makan, dan
Keesokan harinya, Milly sudah bangun pagi-pagi sekali. Dia bahkan sudah bersiap-siap untuk pergi. Meski begitu, dia juga sudah menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri dan juga untuk Boy. Namun jika Boy tak mau memakannya, Milly akan memasukkannya ke dalam kotak bekal dan membawanya ke tempat kerja.Ketika Boy keluar dari dalam kamarnya, Milly mengangkat wajahnya. Sekali lagi, dia terpesona dengan penampilan suaminya yang entah kenapa selalu terlihat tampan dan keren di matanya.Boy itu berdarah blasteran. Sejauh yang Milly tahu, ayah Boy itu adalah salah satu pengusaha asing, sedangkan ibu Boy berasal dari kalangan konglongmerat di negeri ini. Boy memiliki postur dan wajah sedikit kebule-bulean. Matanya bahkan berwarna abu-abu, berbeda dengan warna mata kebanyakan penduduk asli Indonesia. Milly jelas berharap bahwa kelak anaknya akan memiliki warna mata seperti Boy. Pasti jika perempuan akan terlihat cantik, dan jika laki-laki akan terlihat sangat tampan.Pipi
Milly baru sampai di dalam apartmen Boy, lalu dia sedikit mengerutkan keningnya ketika mendapati Boy yang rupanya sudah pulang, pria itu bahkan sudah duduk di ruang tamu seolah-olah sedang menunggunya.Memang, tadi Boy pulang lebih dulu, namun Milly mengira jika Boy akan mengerjakan pekerjaan lain, atau mungkin memiliki jadwal lain hingga dia akan pulang terlambat seperti biasanya. Tapi rupanya, pria itu langsung pulang.Saat Boy pulang tadi, Boy bahkan sempat meninggalkan tatapan mata tajamnya pada Milly, membuat Milly dengan spontan menundukkan kepalanya. Namun, tatapan mata Boy yang tak biasa itu diketahui oleh Kirana, hingga membuat Kirana melemparkan pertanyaan pada Milly.“Kamu kenal Boy?”“Uum, Iya… kan, saya pernah jadi asisten pribadi Clara, mbak…” hanya itu yang bisa dijawab Milly pada saat itu. Kirana pun percaya dan dia tidak menanyakan hal lagi. Lagi pula, tidak akan mungkin ada yang curiga dengan hubunga
“Jadi, lo serius sudah nikah?” Andre masih saja tak percaya dengan pengakuan Boy.“Udah deh. Kita nggak usah bahas itu lagi. Toh, elo nggak percaya, kan?”“Sialan lo. Gue masih shock! Mikirin elo nikah sama perempuan biasa saja gue hampir nggak percaya, apalagi alasan elo nikah karena bunting duluan.”“Memangnya kenapa?”“Boy! Gue kenal elo, Man!” seru Andre. “Terus gimana sama nyokap bokap elo? Mereka setuju elo nikah gini?”“Kalau yang gue lihat sih, mereka kurang setuju. Tapi mau bagaimana lagi. Nyokap bokap juga nggak ngelarang, cuma ya itu, gue neglihat di raut wajah mereka, kayaknya sih mereka kecewa.”“Terus, lo sekarang tinggalin dia di rumah cuma sama orang tua elo? Lo nggak mikir gimana canggungnya dia?”“Gue sudah ajak dia pindah ke apartmen. Jadi sekarang dia di apartmen sendiri.”“Boy! Itu lebi
Menjelang Pagi…Milly masih mendesakkan tubuhnya pada sesuatu yang terasa bidang dan keras. Selama hidupnya, Milly baru merasakan tidur yang terasa sangat nyaman seperti ini. Seperti sedang dipeluk seseorang hingga membuat tubuhnya hangat.Dipeluk? Tunggu dulu… Milly membuka matanya seketika, dan benar saja, rupanya saat ini dirinya sedang berada dalam pelukan seseronga.Milly menjauh seketika, namun tubuhnya membentur dinding di belakangnya hingga dia mengerang dengan spontan.“Awww…”Mendengar erangan tersebut membuat Boy membuka matanya seketika “Sudah bangun?” tanya Boy kemudian.“Boy? Kenapa kamu… di sini?” tanya Milly dengan sedikit bingung.Bukannya menjawab pertanyaan Milly, dengan spontan Boy malah sudah membalikkan posisi tubuh mereka hinggga kini Boy sudah berada di atas tubuh Milly. Milly terkejut seketika dengan apa yang sedang dilakukan Boy saat ini.
Karena tak melihat Milly akan menjawab pertanyaannya. Boy akhirnya memutuskan menuruti perintah Milly. Dia berjalan menuju ke meja makan dan duduk di sana sembari menunggu makanan yang akan disiapkan oleh Milly.Jujur saja, Boy merasa serba salah. Dan dia juga merasa salah tingkah. Kecanggungan benar-benar terasa menyebalkan. Membuat Boy mencoba untuk bersikap biasa-biasa saja seolah-olah apa yang mereka lakukan sepanjang pagi tadi di kamar Milly adalah sebuah hal yang wajar. Padahal, dika dilihat dari hubungan mereka, hal itu tak wajar dilakukan.Memang. Mereka adalah suami istri. Sudah sepatutnya mereka melakukan hal itu. namun ingat, mereka memiliki kontrak. Dan sial! Boy menikahi Milly hanya karena sebatas tanggung jawab. Kenapa dia meniduri Milly lagi? Haruskah Boy menanyakan hal ini pada Andre?Sikap Milly yang berubah menjadi pendiam memperburuk semuanya. Membuat kecanggungan terasa mencekiknya. Sialan…Boy lalu melihat Milly mulai menyuguhk