Share

Bab 4 - Teman Baik

Milly dan sang ibu saling bertatapan ketika melihat Boy yang kini sudah duduk tenang di meja makan kecil mereka dengan menu sarapan seadanya. Sebenarnya, tak ada yang salah dengan hal itu, namun melihat Boy yang sudah rapi dan keren berada di meja makan sederhana mereka tampak terlihat kontras.

Milly menyuguhkan nasi goreng, beberapa potong telur, dan juga acar di meja makan. Hal tersebut tak luput dari perhatian Boy. Kemudian, sang ibu juga sudah menata piring di meja makan, serta tak lupa membawa minuman ke sana.

“Ayah mana?” Boy membuka suaranya memecah keheningan.

“Uum, shift malam. Biasanya baru pulang jam sembilan,” jawab Milly.

Boy hanya mengangguk.

“Kalau begitu, Nak Bobby sarapan dulu sama Milly, ibu mau berangkat ke pasar.”

“Ibu nggak ikut sarapan?” tanya Boy kemudian.

“Ibu bawa bekal, soalnya nanti kesiangan ke pasarnya,” jawab ibu Milly.

Ibu Milly memang bekerja di sebuah toko pakaian di pasar, sedangkan ayah Milly menjadi satpam sebuah perumahan. Milly sendiri sebelumnya bekerja sebagai asisten artis, namun kini dia sudah menganggur.

Boy hanya menganggukkan kepalanya, begitupun dengan Milly yang memang tak bisa menahan ibunya. Sang ibupun akhirnya pergi meninggalkan rumah beserta Milly yang kini hanya berdua dengan Boy.

Boy tak sungkan lagi meraih piringnya dan mengambil nasi goreng, telur dan acar di hadapannya ke piringnya. Dia juga tiba-tiba melemparkan pertanyaan pada Milly sembari melakukan hal tersebut “Bagaimana tidurmu? Nyenyak?” tanyanya.

Milly menatap ke arah Boy, lalu dia hanya mengangguk.

“Apa yang beda dari kamar ini dan kamar di apartmenku?” tanya Boy lagi sebelum dia menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.

“Tidak ada.” Hanya itu jawaban Milly. Padahal, bagi Milly tentu saja banyak perbedaannya. Kamar di apartmen Boy mewah, ber-AC, dan juga pastinya lebih luas. Namun bagi Milly, sebagus apapun kamarnya, ketika dia merasa sangat sendirian di sana, maka tak ada gunanya juga. Bukannya Milly ingin Boy tidur dengannya, tapi minimal, Milly tak ingin merasa sendirian di apartmen itu.

Boy lalu menatap Milly dengan sungguh-sungguh. “Jadi, sampai kapan kamu menginap di sini? Kamu mengadu dengan orang tuamu tentang pernikahan kita?” tanya Boy kemudian. Boy bukannya takut Milly mengadu, dia hanya tidak suka bahwa urusan rumah tangganya nanti dicampuri oleh orang lain termasuk keluarga mereka sendiri.

“Aku tidak mengadu.”

“Kalau gitu, kenapa kamu menginap di sini di malam pertama kamu pindah?” tanya Boy setengah mendesis tajam, “Apa kamu nggak mikir apa yang akan dipikirkan oleh orang tuamu?”

“Ayah nggak di rumah, Ibu juga sudah tahu kalau hubungan kita tak baik dan tidak seperti pasangan kebanyakan.”

“Oh bagus sekali, akhirnya ada juga yang tahu tentang hubungan tak sehat kita.” Boy setengah menyindir.

“Ibu sudah merasakan sejak sebelum kita menikah, Boy. Pernikahan kita tidak normal, semua orang tua akan merasakan hal yang sama.”

Setelah ucapan Milly itu, Boy tak bisa lagi menjawabnya. “Jadi kamu masih akan tinggal di sini?” tanyanya kemudian.

Milly menggelengkan kepalanya. Tentu saja dia tidak akan melakukannya. Semalam dia menginap karena sudah terlalu malam, dan dia tahu jika ibunya hanya sendirian di rumah. Milly tentu tak ingin membuat ayah dan ibunya khawatir jika dia menginap terlalu lama di rumah mereka. Milly akan tetap kembali ke apartmen Boy hari ini, karena memang sudah seharusnya seperti itu. Meski tadi Boy tidak datang untuk menyemputnya.

“Aku akan pulang.”

“Baguslah kalau kamu tahu diri.” Boy menjawab cepat. “Habiskan sarapanmu, dan ayo kuantar pulang. Aku ada kerjaan jam sembilan nanti,” ucap Boy dengan nada arogan sembari melirik sekilas ke arah jam tangannya.

Milly tak bisa berbuat banyak. Dia hanya mengangguk dan menuruti saja apapun perintah dari suaminya itu.

***   

Akhirnya, sampailah mereka di apartmen Boy lagi. Milly menghela napas panjang, merasakan kembali kekosongan di sana. Bukan tanpa alasan, dia hanya tak tahu apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Boy akan kembali bekerja, dan tak ada jaminan bahwa pria itu akan pulang cepat nantinya. Milly juga tak ingin berharap lebih dan berakhir kecewa seperti kemarin.

Boy yang melihatnya merasa sedikit terganggu, akhirnya dia merogoh saku celananya, mengeluarkan dompetnya, sebelum kemudian dia mengeluarkan sebuah kartu dari sana dan memberikannya pada Milly.

“Kamu bisa belanja menggunakan ini,” ucap Boy sembari memberikan kartu tersebut pada Milly.

Milly menatap kartu tersebut kemudian beralih menatap Boy penuh tanya, “Untuk apa?”

“Untuk belanja.”

“Aku… sudah ada uang.”

“Ya, tapi nggak sebanyak uangku.” Boy tak dapat menahan diri untuk menyombongkan dirinya. Dia hanya mulai kesal ketika Milly menolaknya.

“Iya, aku tahu. Maksudku, aku masih bisa belanja pakai uangku sendiri.”

“Bisa nggak sih, kamu ambil saja dan jangan cerewet. Pakai ini buat beli kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan bayi kamu.” Boy benar-benar mulai kesal dibuatnya.

Milly akhirnya menerima kartu tersebut. Boy benar, dia sudah tidak kerja, dia sudah tak mendapatkan menghasilan, meski sekarang dia memiliki tabungan, tapi itu tidak banyak, dan pasti akan habis jika untuk mencukupi kebutuhannya dengan bayinya. Dia memang membutuhkan kartu yang diberikan Boy itu.

“Kamu bisa belanja apapun semaumu. Limit Lima puluh juta, pinnya adalah tanggal lahir Clara.” Milly ternganga dibuatnya. Buka karena limitnya, tapi karena pin yang digunakan Boy. Rupanya, Clara memang memiliki pengaruh yang cukup besar untuk Boy hingga pin ATM saja, Boy menggunakan tanggal lahir Clara.

Milly kemudian menggangguk, lalu dia bertanya “Kalau misalnya aku mau kerja lagi, apa boleh?”

“Untuk apa? Kamu hamil. Siapa yang mau mempekerjakan perempuan hamil?”

“Aku bakal bosan kalau di rumah terus. Maksudku, aku ingin bersosialisasi dengan banyak orang.”

“Kamu bisa pergi jalan-jalan tanpa harus bekerja.”

“Kadang aku juga rindu bekerja.”

Sungguh, Boy merasa bahwa Milly sedang mengujinya sepanjang pagi ini. Boy menghela napas panjang “Kalau kamu ingin menjadi asisten artis lagi, maka lupakan, kamu itu hamil, sebentar lagi mau lahiran. Siapa juga yang mau mempekerjakan kamu?”

“Kalau misalkan ada yang mau, apa aku boleh?”

“Terserah kamu.” Boy akhirnya memilih mengalah. Milly keras kepala dan perempuan itu membuatnya pusing.

Di satu sisi, Boy tak ingin ikut campur lebih jauh dengan kehidupan pribadi Milly dan apapun yang diinginkan perempuan itu. ingat, mereka memiliki kontrak dan peraturan pertama pernikahan mereka adalah tak mencampuri urusan pribadi masing-masing. Namun di sisi lain, Boy juga merasa khawatir. Pekerjaan sebagai asisten artis bukanlah pekerjaan mudah. Boy bekerja diantara orang-orang itu, dan dia tahu pasti bagaimana repotnya menjadi asisten artis seperti pekerjaan Milly dulu, apalagi kini Milly sedang hamil empat atau mungkin sudah lima bulan.

Sial! Bahkan usia kandungan Milly saja Boy tak tahu persisnya.

Milly lalu menghela napas panjang, dia tersenyum senang dengan kebebasan yang diberikan oleh Boy kepadanya.

“Terima kasih, Boy. Aku senang karena kita tetap melakukan tugas dan kewajiban masing-masing tanpa ikut campur masalah masing-masing seperti yang tertulis di kontrak. Kita akan menjadi partner yang baik, kita akan menjadi teman baik yang saling mendukung kedepannya.”

Boy mencerna kalimat yang telah diucapkan Milly tersebut, kemudian dia menarik sebelah ujung bibirnya dan mendengkus sinis, “Teman baik?”

Ya, teman baik? Apa mereka bisa berteman baik dengan status hubungan mereka saat ini? Apa mereka bisa berteman baik dengan begitu banyak perbedaan diantara mereka? Dan, apa mereka bisa berteman baik setelah apa yang sudah terjadi diantara mereka? Astaga… Boy sangsi jika memikirkannya. Jika Milly dapat memikirkan bahwa mereka bisa berteman baik kedepannya, mungkin Milly terlalu naif, karena bagi Boy, mereka sudah tak dapat berteman lagi… tidak, setelah hal intim yang pernah terjadi diantara mereka berdua…

-TBC-

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status