Makan malam sepiring berdua terasa canggung dan menjadi sangat hening. Hanya suara sendok dan garpu yang beradu diantara mereka. Milly mencoba mengendalikan jantungnya agar tak berdebar sekencang ini. Dia tak ingin Boy tahu atau mendengarkan debaran jantungnya yang menggila seperti saat ini.
Boy juga demikian. Tadi dia masih santai, seolah-olah tak terjadi apapun dan dal ini tak mempengaruhinya. Namun, sikap diam dan canggung yang ditampilkan Milly benar-benar mengganggunya. Membuat Boy mau tidak mau ikutan diam dan canggung.
Hanya suara sendok dan piring yang saling beradu yang ada diantara mereka. Hingga tak terasa, makanan di piring itu habis. Hanya sisa sepotong telur yang menunggu untuk disendok.
“Habiskan,” ucap Boy kemudian.
“Ehh? Kamu aja,” Milly menolak. Dia merasa tidak enak, karena jujur saja, mungkin tadi sebagian besar makanan di piring itu Milly yang memakannya.
Sejak sebelum hamil, Milly memang suka makan, dan
Keesokan harinya, Milly sudah bangun pagi-pagi sekali. Dia bahkan sudah bersiap-siap untuk pergi. Meski begitu, dia juga sudah menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri dan juga untuk Boy. Namun jika Boy tak mau memakannya, Milly akan memasukkannya ke dalam kotak bekal dan membawanya ke tempat kerja.Ketika Boy keluar dari dalam kamarnya, Milly mengangkat wajahnya. Sekali lagi, dia terpesona dengan penampilan suaminya yang entah kenapa selalu terlihat tampan dan keren di matanya.Boy itu berdarah blasteran. Sejauh yang Milly tahu, ayah Boy itu adalah salah satu pengusaha asing, sedangkan ibu Boy berasal dari kalangan konglongmerat di negeri ini. Boy memiliki postur dan wajah sedikit kebule-bulean. Matanya bahkan berwarna abu-abu, berbeda dengan warna mata kebanyakan penduduk asli Indonesia. Milly jelas berharap bahwa kelak anaknya akan memiliki warna mata seperti Boy. Pasti jika perempuan akan terlihat cantik, dan jika laki-laki akan terlihat sangat tampan.Pipi
Milly baru sampai di dalam apartmen Boy, lalu dia sedikit mengerutkan keningnya ketika mendapati Boy yang rupanya sudah pulang, pria itu bahkan sudah duduk di ruang tamu seolah-olah sedang menunggunya.Memang, tadi Boy pulang lebih dulu, namun Milly mengira jika Boy akan mengerjakan pekerjaan lain, atau mungkin memiliki jadwal lain hingga dia akan pulang terlambat seperti biasanya. Tapi rupanya, pria itu langsung pulang.Saat Boy pulang tadi, Boy bahkan sempat meninggalkan tatapan mata tajamnya pada Milly, membuat Milly dengan spontan menundukkan kepalanya. Namun, tatapan mata Boy yang tak biasa itu diketahui oleh Kirana, hingga membuat Kirana melemparkan pertanyaan pada Milly.“Kamu kenal Boy?”“Uum, Iya… kan, saya pernah jadi asisten pribadi Clara, mbak…” hanya itu yang bisa dijawab Milly pada saat itu. Kirana pun percaya dan dia tidak menanyakan hal lagi. Lagi pula, tidak akan mungkin ada yang curiga dengan hubunga
“Jadi, lo serius sudah nikah?” Andre masih saja tak percaya dengan pengakuan Boy.“Udah deh. Kita nggak usah bahas itu lagi. Toh, elo nggak percaya, kan?”“Sialan lo. Gue masih shock! Mikirin elo nikah sama perempuan biasa saja gue hampir nggak percaya, apalagi alasan elo nikah karena bunting duluan.”“Memangnya kenapa?”“Boy! Gue kenal elo, Man!” seru Andre. “Terus gimana sama nyokap bokap elo? Mereka setuju elo nikah gini?”“Kalau yang gue lihat sih, mereka kurang setuju. Tapi mau bagaimana lagi. Nyokap bokap juga nggak ngelarang, cuma ya itu, gue neglihat di raut wajah mereka, kayaknya sih mereka kecewa.”“Terus, lo sekarang tinggalin dia di rumah cuma sama orang tua elo? Lo nggak mikir gimana canggungnya dia?”“Gue sudah ajak dia pindah ke apartmen. Jadi sekarang dia di apartmen sendiri.”“Boy! Itu lebi
Menjelang Pagi…Milly masih mendesakkan tubuhnya pada sesuatu yang terasa bidang dan keras. Selama hidupnya, Milly baru merasakan tidur yang terasa sangat nyaman seperti ini. Seperti sedang dipeluk seseorang hingga membuat tubuhnya hangat.Dipeluk? Tunggu dulu… Milly membuka matanya seketika, dan benar saja, rupanya saat ini dirinya sedang berada dalam pelukan seseronga.Milly menjauh seketika, namun tubuhnya membentur dinding di belakangnya hingga dia mengerang dengan spontan.“Awww…”Mendengar erangan tersebut membuat Boy membuka matanya seketika “Sudah bangun?” tanya Boy kemudian.“Boy? Kenapa kamu… di sini?” tanya Milly dengan sedikit bingung.Bukannya menjawab pertanyaan Milly, dengan spontan Boy malah sudah membalikkan posisi tubuh mereka hinggga kini Boy sudah berada di atas tubuh Milly. Milly terkejut seketika dengan apa yang sedang dilakukan Boy saat ini.
Karena tak melihat Milly akan menjawab pertanyaannya. Boy akhirnya memutuskan menuruti perintah Milly. Dia berjalan menuju ke meja makan dan duduk di sana sembari menunggu makanan yang akan disiapkan oleh Milly.Jujur saja, Boy merasa serba salah. Dan dia juga merasa salah tingkah. Kecanggungan benar-benar terasa menyebalkan. Membuat Boy mencoba untuk bersikap biasa-biasa saja seolah-olah apa yang mereka lakukan sepanjang pagi tadi di kamar Milly adalah sebuah hal yang wajar. Padahal, dika dilihat dari hubungan mereka, hal itu tak wajar dilakukan.Memang. Mereka adalah suami istri. Sudah sepatutnya mereka melakukan hal itu. namun ingat, mereka memiliki kontrak. Dan sial! Boy menikahi Milly hanya karena sebatas tanggung jawab. Kenapa dia meniduri Milly lagi? Haruskah Boy menanyakan hal ini pada Andre?Sikap Milly yang berubah menjadi pendiam memperburuk semuanya. Membuat kecanggungan terasa mencekiknya. Sialan…Boy lalu melihat Milly mulai menyuguhk
Milly sudah menunggu kedatangan Boy cukup lama di ruang tunggu. Sebenarnya, dia sudah dipanggil sejak tadi, namun dia mengundur jadwalnya dan membiarkan ibu hamil lainnya lebih dulu karena dia masih menunggu kedatangan Boy.Kini, ibu hamil di ruang tunggu hanya tinggal dirinya saja. Namun, Boy belum juga menampakkan batang hidungnya. Tiba-tiba saja Milly merasa sedih. Setidaknya, jika Boy tak berencana hadir, pria itu tidak perlu mengatakan bahwa akan hadir.Milly menghela napas panjang. Ibu hamil di dalam ruangan dokter sudah keluar, bersamaan dengan itu, nama Milly dipanggil. Dengan sedikit lelah dan sedih, Milly bangkit dan akan masuk ke dalam ruangan tersebut. Pada saat bersamaan, seorang datang menghampirinya dengan setengah berlari. Itu adalah Boy.Ekspresi wajah Milly menjadi ceria seketika, dia sangat senang ketika mendapati Boy datang.“Boy, kamu benar-benar datang?”“Iya, memangnya kamu kira aku nggak datang?”
Milly masih menunggu di dalam mobil Boy yang terparkir di depan sebuah apotik. Boy yang turun karena pria itu bersikeras melakukannya. Dia mengatakan bahwa Milly lebih baik tak banyak berjalan. Pada akhirnya Milly mengalah.Sungguh, Milly benar-benar tidak tahu kenapa Boy bisa berubah begitu banyak. Tak lama, Boy kembali. Boy memberikan bingkisan obat dan vitamin itu pada Milly. Milly menyimpan kembali ke dalam tasnya.Pada saat itu, Boy melemparkan pertanyaannya “Jadi, kamu mengalami mual muntah?” tanya Boy kemudian.“Uum, pas awal-awal kehamilan saja.”“Sekarang gimana?” tanya Boy lagi.“Sudah enggak.”Boy lalu menghela napas panjang. “Maaf, kalau selama ini ku egois.”“Eehh? Engak kok. Kamu nggak egois. Bagaimana pun juga, semua ini juga salahku.” Mily tersenyum sedih. “Malam itu, aku kan yang lebih duulu menyerang kamu.” Milly berkata sembari berus
Bab 16 – Mencari MillyMilly menghabiskan mangkuk kedua dari Bakso yang dia pesan. Rasanya memang tak begitu sesuai seperti Bakso langganannya, namun Milly tetap senang karena hari ini dia bisa makan Bakso, meski tanpa Boy di sekitarnya.Milly tidak tahu, apa yang dilakukan Boy setelah mengantar Clara hingga tak segera menjemputnya di taman kota. Sudah satu jam lebih Milly menunggu, tapi pria itu tak kunjung datang. Sedangkan hari mulai gelap dan Jakarta mulai diguyur hujan. Akhirnya Milly memutuskan meninggalkan taman kota.Dia berjalan menelusuri trotoar, lalu berhenti pada sebuah warung yang menjual Bakso seperti yang dia idamkan sejak siang tadi.Dan kini, berakhirlah Milly di sana. Hujan semakin lebat, membuat Milly belum bisa beranjak dari warung tersebut. Karena masih lapar, Milly memesan semangkok lagi hingga kini Milly sudah menghabiskan dua mangkuk bakso pesanannya.Milly mengamati jalanan di sekitarny