Share

Bab 3

Author: Rapunzeela
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Baik apanya? Masih dalam batas wajar dilihat dari Hongkong? Yang dikatakan oleh Reno semuanya bullshit! Aku malah akan sujud syukur jika yang menjadi bosku sekarang bukan Pak Mahesa. Nasib beruntung memiliki bos seperti Pak Mahesa hanya kebohongan belaka.

Bagaimana tidak? Selama seminggu bekerja di bawah tangannya, aku dihajar habis-habisan! Lembur setiap hari, revisi tiada henti, deadline yang diluar nalar. Ah, rasanya hampir gila menghadapi bosku yang satu itu. Jangan lupa sarkasme yang selalu dilemparkan kepadaku ketika mengantar hasil revisi pekerjaan. Aku ingat sekali setiap gerakan tubuhnya ketika membaca hasil revisianku. Tangannya akan mengetuk-ngetuk pada meja sambil menggoyang-goyangkan kursi putarnya seirama dengan ketukan tangannya. Kakinya akan diangkat ke atas. Kemudian matanya menatap tajam ke arah kertas. Setelah selesai membaca, dia akan mendongak. Sambil tersenyum sinis mulutnya yang serasa garam dicabein akan berkata, “Cuma segini kompetensi yang kamu punya?”. Yang bisa kulakukan hanya menelan ludah sambil menahan sumpah serapah yang ingin tersangkut di tenggorokan.

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Hebat! Sepertinya aku harus mendapatkan predikat karyawan teladan bulan ini. Dedikasi yang sungguh luar biasa dari karyawan yang baru masuk satu minggu. Aku menatap jendela yang saat ini kacanya dipenuhi rintik-rintik air akibat hujan. Menghela napas panjang. Aku merenungi nasibku yang masih betah menjadi budak korporat. Di saat orang-orang sedang menikmati dinginnya kasur dan pelukan hangat bantal guling, aku malah sibuk terjebak bersama bosku di kantor. Sungguh menyesakkan!

Aku memutuskan untuk membuat kopi di pantry. Perpaduan antara hujan dan malam yang semakin larut, membuatku terbawa kantuk. Aku sengaja membuat kopi hitam tanpa gula agar kafein yang kuminum dapat bekerja dengan baik. Setelahnya, aku membawa cangkir berisi kopi ke meja kerjaku. Baru saja melangkah keluar dari pantry, kakiku seketika berhenti saat melihat bos keluar dari ruang kerjanya lengkap dengan tas yang digendongnya. Lah? Dia mau kemana?

Seperti aku yang terheran-heran melihatnya menggendong tasnya, bos juga menatapku sama herannya. Dengan langkah perlahan dia mendekatiku kemudian bertanya, “Loh? Kok, kamu masih ada di sini? Gak pulang?”

HELLO PERMISAAAAAA? Jadi siapa yang tadi menyuruhku untuk lembur? Makhluk gaib?

“Kan, Bapak tadi yang nyuruh saya selesein revisian hari ini,” ucapku sewot.

Pak Mahesa memandang jam di pergelangan tangannya, kemudian berkata dengan nada tanpa dosa. “Saya kira kamu sudah pulang dari jam sembilan tadi.”

Aku menahan kesal yang sudah sampai ubun-ubun. Apa dia tidak ingat, satu jam yang lalu aku memohon-mohon padanya agar revisi hari ini dikerjakan besok pagi saja? Bahkan aku masih ingat matanya yang melotot ketika aku merengek minta pulang. Sekarang dia dengan entengnya bilang begitu seolah lupa ingatan?

“Ya sudah, kamu pulang bareng saya saja. Saya tunggu kamu di lobi kantor.”

Aku buru-buru menolak ajakannya. “Gak perlu, Pak. Makasih.” Diakhiri dengan nada ketus untuk melampiaskan kekesalanku. Bodo amat soal kesantunan sebagai pegawai baru. Seminggu bekerja di sini sering membuat tensi darahku naik seketika. Apalagi kalau sudah berhadapan dengan Pak Bos.

Aku menghentakkan kaki menuju pantry untuk meletakkan kopiku yang bahkan belum habis setengahnya. Tanpa ba-bi-bu, aku langsung membereskan meja kerjaku dan pergi meninggalkan kantor.

Sesampainya di lobi, seperti yang dikatakan oleh Pak Mahesa tadi, dia benar-benar menungguku. Rasa kesal yang masih bercokol dihati sedikit berkurang melihat Pak Bos yang ternyata masih memiliki rasa kemanusiaan. Namun, hal tersebut tidak semata-mata membuatku mau pulang bersama dengannya. Aku memilih untuk berpura-pura tidak melihat dia dan melewati pria itu sambil bermain ponsel. Aku tau kalau aksiku itu akan sia-sia, karena selanjutnya Pak Bos justru mengikutiku sampai keluar dari kantor.

“Kamu mau kemana?”

Masih ditanya kemana. Ya pulanglah!

Aku pura-pura tidak mendengar pertanyaannya dan terus melangkah sambil memainkan ponsel.

“Anggun. Saya bicara sama kamu.”

Barulah ketika tubuhku dipaksa untuk menghadapnya, mau tidak mau aku harus meladeninya.

“Eh, Bapak. Belum pulang, Pak?” tanyaku basa-basi.

Pak Mahesa memutar bola matanya mendengar basa-basiku yang memang terdengar basi. “Belum. Saya kan, tadi bilang, kita pulang bersama.”

“Memangnya saya mengiyakan?” Aduh! Kenapa sih, aku sulit sekali mengontrol sarkasme yang sudah mendarah daging. Bodo amatlah. Sudah terlanjur juga.

“Memangnya kamu mau pulang pakai apa?”

“Saya bisa pesan taksi.”

Seperti biasa, Pak Mahesa memperlihatkan ekspresi meremehkannya yang membuatku makin kesak. Aku tidak menyangka kalau Mahesa yang kukenal dulu bisa semenyebalkan ini sekarang.

“Kamu yakin mau pesen taksi jam segini?”

Aku menjawab lugas. “Yakin, kok.”

Walaupun sebenarnya di dalam hati aku juga kurang yakin bisa mendapatkan taksi di jam segini.

“Saya gak menjamin kalau kamu bisa dapat taksi jam segini. Apalagi sekarang hujan. Probabilitas kamu untuk dapat taksi itu kecil banget.”

Aku menggigit bibir, bingung dengan keadaannya. Antara ingin mempertahankan gengsi atau meluruhkan harga diri. Apa jadinya kalau aku menerima tumpangannya? Sementara tadi, aku dengan tegas menolaknya mentah-mentah.

“Saya pulang naik taksi aja, Pak. Makasih atas tawarannya.” Seperti kebanyakan sifat wanita yang lebih suka memakan gengsi daripada menggunakan akal sehatnya, begitulah aku dengan gengsi selangit yang lebih memilih menderita daripada harus menurunkan gengsi. Sepertinya menara Burj Khalifa kalah dengan gengsiku. Padahal aku sudah membayangkan bagaimana aku akan meraung-raung di pinggir jalan karena tidak kunjung mendapatkan taksi, selanjutnya mau tidak mau, aku mungkin akan menginap di kantor dan membuang jauh-jauh keinginanku untuk bergelung di kasur. Aku sudah membayangkan kemungkinan terburuknya dan menepis jauh-jauh tawaran yang sangat menggiurkan demi sebuah gengsi. Hebat! Sepertinya gengsi seorang wanita bisa menjadi salah satu keajaiban dunia kedelapan yang tidak bisa ditaklukan.

Pak Mahesa berdecak mendengar jawabanku. “Kamu ini keras kepala sekali, ya. Coba sekali-kali dengerin apa kata saya.” Setelahnya tanpa aba-aba dia malah menarik paksa tanganku menuju basemen kantor dan menyuruhku untuk masuk mobilnya.

“Pak. Saya kan, sudah bilang tidak mau!” Hebat! Bahkan di situasi paling menguntungkan, aku masih saja mempertahankan gengsiku! Aku melepaskan cekalan tangan Pak Mahesa dari pergelangan tanganku. Bak seorang ratu drama, aku melipat tangan di depan dada, memasang wajah kesal pada dewa penyelamatku malam ini.

“Kamu yakin gak mau pulang bareng saya?” tanya Pak Mahesa mulai jengah dengan sikapku.

“Yakin! Dari awal saya sudah bilang sama Bapak, kalau saya mau naik taksi.”

Pak Mahesa menghela napas panjang kemudian berkata, “Oke, kalau itu mau kamu.” Selanjutnya malah gantian aku yang ketar-ketir karena bosku sepertinya sudah menyerah untuk membujukku. Pria itu mulai masuk ke dalam mobil.

Aku sendiri mulai ketakutan. Membayangkan kalau aku harus menyusuri lorong basemen sendirian untuk kembali ke area kantor.

Tak lama kemudian, Pak Mahesa membuka kaca mobilnya, kemudian bertanya sekali lagi padaku. “Ini terakhir kalinya ya, saya tanya ke kamu. Kamu yakin gak mau pulang bareng saya?”

Aku hendak mengangguk lagi, tetapi Pak Mahesa kembali melanjutkan ucapannya. “Saya denger kalo di basemen ini sering muncul penampakan gitu. Saya cuma mau ngingetin kamu aja buat hati-hati. Nanti kalo semisal kamu papasan sama orang, pastiin dulu, kakinya menapak ke tanah atau tidak.”

“BAPAKKKKK! Jangan nakut-nakutin saya!”

“Saya gak nakut-nakutin. Cuma ngingetin doang. Kamu hati-hati, ya.”

Aku mulai merinding. Tanpa ba-bi-bu aku langsung berlari ke arah mobil Pak Mahesa dan masuk ke dalamnya. Aku tau kalau Pak Mahesa cuma mau mengerjaiku. Aku bisa melihat bibirnya yang sedikit tertarik ke atas ketika aku masih berteriak ketakutan karena mendengar suara aneh yang kuketahui berasal dari pojokan basemen.

Meskipun begitu, aku tidak kesal dengan kelakuan bosku. Setidaknya malam ini aku bisa dapat tumpangan dan pulang dengan selamat.

Bye-bye gengsi! Lu kalah sama setan!

***

Related chapters

  • Bosku, Mantanku!   Bab 4

    Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikan keadaan antara aku dan Pak Mahesa. Mobil yang kami tumpangi, sepertinya lebih tepat disebut rumah hantu yang suasananya sepi dan mencekam. Bagaimana tidak? Salah satu dari kami tidak ada yang mau memulai percakapan untuk mencairkan suasana. Sampai akhirnya bunyi ponsel Pak Mahesa memecahkan keheningan di antara kami. Aku melirik Pak Bos yang mengambil ponsel di saku jasnya, kemudian mengangkat panggilan telepon entah dari siapa. “Ya, Ma?” Kini aku tau kalau yang menelpon Pak Bos adalah ibunya. “Lagi di jalan. Kenapa, Ma?” Aku mencoba untuk tidak peduli. Memilih untuk memperhatikan jalanan lewat kaca jendela mobil, walaupun dalam hati muncul juga sedikit rasa kepo tentang apa yang dibicarakan Pak Bos dan ibunya. “Ma! Esa, kan, udah bilang kalo Esa gak mau dijodoh-jodohin kayak gitu. Berapa kali, sih, Esa harus bilang ke Mama?” Sumpah demi apapun! Aku tidak berniat menguping sekalipun! Salah siapa bos harus menelpon di sampingku, mana bisa

  • Bosku, Mantanku!   Bab 5

    “Semalem lo lembur lagi, Nggun?” Aku baru saja mendudukan diri di atas kursi ketika Mbak Pita bertanya padaku. “Iya, nih, Mbak.” “Heran banget gue, kenapa Pak Mahesa demen banget ngajakin lo lembur.” Reno yang berada di sebelahku ikut menimpali. “Udah ketahuan banget, nih, siapa yang bakal dapet bonus paling banyak akhir tahun ini. Jangan lupa traktir kita-kita ya, Nggun.” Mbak Pita berucap menggodaku. “Percuma dapet bonusan banyak, kalo badan remuk semua. Gue, mah, gak peduli bonusan gede, Mbak. Sehari aja gue bisa tidur tepat waktu, udah bikin gue sujud syukur.” Reno dan Mbak Pita tertawa mendengar keluhanku. “Tapi, emang sih, akhir-akhir ini Pak Mahesa kayak lagi orang kesurupan kerja. Apesnya, yang jadi tumbal nemenin dia lembur, elo, Nggun. Gue kayaknya harus berterima kasih deh, sama lo, karena udah menyelematkan gue dari maut ini. Gak kebayang sih, kalo gue jadi lo.” Mbak Pita bergidik sendiri membayangkan. Lihat, kan, teman-teman kantorku saja ogah, apalagi aku. “Ah, lo

  • Bosku, Mantanku!   Bab 6

    Hari ini weekend. Seperti yang kami rencanakan semalam, aku dan Sera berencana pergi ke mal untuk cuci mata. Walaupun belum gajian, tetapi hasrat untuk jalan-jalan ke mal sambil melihat-lihat produk keluaran terbaru sudah memuncak. Apalagi informasi dari Sera, katanya akan ada promo brand make up kesukaanku. Aku tanpa berpikir panjang langsung mengiyakan ajakannya. Maklum, wanita. Kalau weekend dan bingung mau pergi kemana, sudah pasti tujuan akhirnya adalah mal. Ditambah ada promo. Kesempatan seperti ini mungkin tidak akan datang dua kali. Maka dari itu, aku tidak akan menyia-nyiakannya. Aku sudah siap sejak jam sepuluh lalu, tetapi seperti yang sudah kuduga, tuan putri Sera baru bangun ketika aku sampai di apartemennya. Alhasil, aku harus lebih dulu membangunkannya seperti seorang ibu yang membangunkan anaknya untuk pergi ke sekolah.Asal kalian tahu. Membangunkan Sera itu tidak gampang. Butuh effort lebih dari bekerja dua belas jam hanya untuk membangunkannya. Kalau kataku, Sera

  • Bosku, Mantanku!   Bab 7

    “Anggun ini udah lama kerja sama Esa?” Ibu Pak Mahesa memulai percakapan dengan kami setelah memesan menu pada pelayan restoran.“Belum lama ini kok, Bu. Anggun baru masuk semingguan yang lalu. Masih jadi anak baru,” jawbaku.“Oh, pantes aja, ibu gak pernah liat muka kamu di kantor. Soalnya ibu, tuh, biasanya ngajak anak bawahan Esa kalau lagi ada acara di rumah. Biar rame aja, gitu. Soalnya kan, Esa ini cuma dua bersaudara, ya. Adiknya di luar negeri. Jadi biar rame, ibu suruh dia ajak karyawannya aja ke rumah.” Aku mengangguk-angguk mendengarkan cerita ibu bos. Kalau dilihat sepertinya, ibu bos ini memang orang yang baik. Aku bisa melihat aura kebaikan memancar dari wajahnya. Bicaranya juga santun dan halus. Padahal ini pertama kali aku bertemu dan berbincang dengan beliau, tetapi aku bisa langsung nyaman dengannya.“Kalau Sera sendiri, satu kantor juga sama Anggun?” ibu bos gantian bertanya pada Sera.“Oh, gak Tante. Saya gak satu kantor sama Anggun. Kebetulan saya ini HR, tapi di p

  • Bosku, Mantanku!   Bab 8

    “Lo habis ngomongin apaan sama bos lo tadi?” Sera bertanya ketika kami sudah duduk di mobil dan bersiap pulang.“Gak. Gak ada ngomong apa-apa.” Aku hanya malas bercerita dan tidak punya minat untuk membahas dengan siapapun, apa yang terjadi di antara kami tadi.“Lo yakin?” Aku mengangguk, yang membuat Sera akhirnya menyerah untuk mengorek informasi lebih lanjut dariku. Bukan tanpa alasan aku tidak ingin menceritakan apa yang terjadi antara aku dan pak Mahesa. Aku hanya ingin berhenti memikirkan terlalu berlebihan tentang bosku. Aku tidak ingin menganggap apa yang dikatakan bosku menjadi sesuatu yang penting. Aku ingin bersikap bodo amat. Dengan cara itu, aku bisa berhenti memikirkannya.“Gue kok, punya firasat negatif sama Bos lo, ya.”Hanya dipancing dengan pernyataan simpel dari Sera, hatiku dengan teganya berkhianat. Aku memberikan perhatian lebih pada Sera. Ingin mendengar lanjutan dari pernyataannya yang belum lengkap. Padahal tadi dengan tegas aku sudah meneguhkan hati untuk ber

  • Bosku, Mantanku!   Bab 9

    Aku sampai di kantor lima belas menit lebih awal. Mbak Pita dan juga Rachel sudah duduk di kubikelnya. Mengobrol sesuatu yang aku tidak tahu apa.“Pagi semua. Ngomongin apa, nih? Seru banget keliatannya.” Aku sudah tidak canggung lagi mengobrol atau berbaur dengan mereka. Walaupun anak baru, aku cepat sekali beradaptasi. Berkat orang-orang kantor yang selalu merangkulku dan tidak membedakan walaupun aku anak baru, membuatku terbantu untuk akrab dengan mereka.“Gue abis war skincare kemarin. Ada promo gede-gedean. Kayaknya cuci gudang, deh.” Mbak Pita yang menjawab.“Gue juga kemaren ke sana, tapi udah keabisan,” ucapku sedih. “Lo war juga, Chel?” tanyaku pada Angel.“Iya dong!” ucapnya dengan bangga. Memang salah satu kebanggan bagi seorang wanita adalah ketika bisa mendapatkan barang dengan harga diskon. Apalagi ini skincare, surganya para wanita.“Anjir, iri banget gue. Padahal gue juga lagi kehabisan stok.” Aku menyayangkan kenapa kemarin tidak berangkat lebih pagi. Ini semua gara-g

  • Bosku, Mantanku!   Bab 10

    Aku menghampiri pak Mahesa yang sudah lebih dulu turun dan menungguku di lobi kantor. Hal pertama yang aku dapatkan ketika sampai dihadapannya adalah tatapan intimidasinya yang seakan sedang menilai penampilanku dari atas sampai bawah. Merasa diperhatikan secara berlebihan seperti itu, tentu saja membuatku risih dan err … salah tingkah. Aku memberanikan diri bertanya padanya.“Ada apa ya, Pak? Apa ada yang salah sama penampilan saya?”Pak Mahesa yang seakan mengerti arah pembicaraanku, segera melepaskan pandangannya. Dia tiba-tiba fokus dengan ponselnya, kemudian mengajakku untuk segera pergi ke basemen tempatnya memarkir mobil. Tingkahnya itu membuatku berpikir dia sedang menghindari pertanyaan yang tadi kulempar padanya. Aku mencoba untuk tidak peduli dan memilih mengekorinya menuju basemen.“Data-data yang saya message tadi sudah kamu bawa?” Pak Mahesa bertanya padaku setelah kami duduk di mobil.“Sudah, Pak,” jawabku.Semuanya berjalan baik-baik saja. Dalam perjalanan menuju kanto

  • Bosku, Mantanku!   Bab 11

    “Sumpah! Gue kesel banget! Masa parfum Dior gue dibilang bau sama dia.” Aku misuh-misuh menceritakan kejadian tadi siang pada Sera. Setelah jam pulang kantor, aku sengaja mengajak Sera untuk pulang bersama sekalian mampir makan malam. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya aku mencaci maki bosku sembari mengucapkan sumpah serapah yang tak bisa kukeluarkan saat ada dihadapannya. Tak hanya sampai situ. Seakan belum puas mengata-ngatai bosku, aku melanjutkannya ketika makan malam bersama Sera. Sahabatku itu hanya diam mendengarkan sambil menyantap makan malamnya.“Hidung Bos lo sensitif kali, sama bau parfum mahal.” Sera menanggapi ocehanku ketika aku selesai mengeluarkan unek-unekku yang tidak berhenti sejak kami bertemu. Sepertinya sejak hari pertama bekerja, bagiku tiada hari di mana aku tidak menceritakan kelakuan bosku yang terlampau menyebalkan pada Sera. Bahkan Sera langsung paham ketika aku tiba-tiba sudah berada di apartemennya atau mengajaknya pulang bersama, sudah pasti aku

Latest chapter

  • Bosku, Mantanku!   Bab 16

    “Ada yang mau ketemu sama lo, Nggun.” Aku yang masih merasakan pusing akibat lemparan bola voli yang mengenaiku ketika aku menonton pertandingan voli yang diadakan oleh himpunan jurusan, meringis sambil bertanya pada Rani – teman sekelasku yang saat ini menemaniku di klinik kampus.“Gue juga gak tau. Asing banget mukanya.”“Ya udah suruh masuk aja.” Lagian siapa sih, orang yang masih mencariku disaat aku masih dalam keadaan sekarat seperti ini. Bukannya berlebihan, tetapi keadaanku memang cukup parah walau hanya terkena lemparan bola voli. Dahiku berdarah dan tadi aku juga sempat terhuyung jatuh sampai pingsan karena tidak kuat menahan nyeri kepala yang terasa seperti dihantam palu Thor. Itulah kenapa aku sampai dibawa ke klinik kampus dan disuruh istirahat.Tiba-tiba seorang laki-laki datang bersama Rani masuk ke ruanganku. Laki-laki itu bertubuh jangkung, dengan setelan meja kotak-kotak berwarna navy dan menenteng paper bag ditangannya. Aku mengernyit, merasa asing dengan wajahnya. R

  • Bosku, Mantanku!   Bab 15

    Pak Mahesa meninggalkanku dengan sebuah tanda tanya besar yang kini masih memenuhi isi kepalaku. Sementara, kepalaku dipenuhi tanda tanya besar tentang maksud dari ucapannya yang terdengar jahat, suara dari pengeras studio yang mengumumkan bahwa film yang akan kutonton sudah dibuka teaternya, membuat fokusku menjadi pecah. Suara dari dalam dan suara dari luar kepalaku seakan bertabrakan membuat sebuah gelombang-gelombang rumit yang membuat kepalaku semakin pusing.Daripada terjebak dengan suara-suara yang membuat kepalaku pening, aku memutuskan untuk mengikuti Pak Mahesa yang sudah lebih dulu masuk ke dalam studio dan meninggalkanku bersama dengan pertanyaan-pertanyaan yang sengaja tidak dijawabnya. Aku bertekad menanyakan hal itu padanya sepulang menonton bioskop, tetapi kenyataannya, Pak Mahesa berhasil menghindariku dan pulang lebih dahulu. Aku yang tidak bisa mencegahnya hanya diam sambil menatap punggungnya yang kian menjauhi bioskop. Aku bahkan hampir dibuat frustasi olehya kare

  • Bosku, Mantanku!   Bab 14

    Sepertinya yang namanya karma itu memang benar nyata adanya. Aku berbohong kepada Sera dan Kak Rangga dengan alasan bahwa Pak Mahesa tiba-tiba memanggilku sehingga aku harus segera pergi untuk menemui bosku. Tak kusangka semesta mengabulkan kebohonganku. Dan di sinilah kini aku berada. Duduk berdua bersama bosku di kursi tunggu bioskop untuk menunggu film yang akan kami tonton bersama diputar. Kalian pasti terkejut, kan? Aku yang mengalami sendiri lebih terkejut. Saat perjalanan pulang dari restoran tempatku makan dengan Kak Rangga dan juga Sera, aku sengaja tidak langsung pulang ke apartemen dan berpikir untuk jalan-jalan sebentar. Entah dapat ide dari mana, mobil yang kukendarai berbelok ke arah mal. Awalnya, aku berniat untuk keliling mal saja untuk mengusir rasa bosan, tetapi ketika lewat di depan bioskop entah kenapa kakiku tiba-tiba berbelok masuk ke sana. Aku membeli popcorn dan es milo kemudian berjalan untuk mengantri tiket di loket. Tanpa kuketahui, bosku juga sedang menga

  • Bosku, Mantanku!   Bab 13

    “Lo itu deket banget, ya, sama bos lo?” Setelah makan siang bersama di kantorku tadi siang, Kak Rangga lanjut menawariku untuk pulang bersama sekalian makan malam. Kali ini aku tidak menyia-nyaiakan kesempatan untuk mempertemukan Sera dan Kak Rangga, sehingga aku mengiyakan ajakan Kak Rangga untuk makan malam bersama. Tidak lupa, aku juga menghubungi Sera untuk menyusulku makan malam di restoran tempat tujuan aku dan Kak Rangga. Aku tahu kalau Sera akan menolak kalau aku bilang bahwa aku sedang makan malam berdua dengan Kak Rangga dan menyuruhnya untuk menyusul. Makanya aku berbohong padanya dan mengatakan bahwa aku makan malam sendirian dan butuh teman makan malam. Sehingga aku menyuruhnya untuk segera menyusul ke restoran tempat tujuanku dan Kak Rangga.“Gak juga, sih, Kak. Emangnya kenapa?” Aku menatap bingung ke arah Kak Rangga yang tiba-tiba membahas Pak Mahesa ditengah-tengah makan malam kami.“Gak apa-apa. Cuma nanya aja. Gue kok, ngeliatnya Bos lo itu agak ngebedain perilaku k

  • Bosku, Mantanku!   Bab 12

    Hari ini Kak Rangga mengirim pesan padaku yang berisi ajakan makan siang bersama. Aku sengaja meneruskan pesan itu pada Sera agar sahabatku itu mau menemaniku makan siang bersama Kak Rangga. Namun, Sera menolak mentah-mentah ajakanku dan seperti yang dibilangnya kemarin, dia tidak ingin menjadi obat nyamuk atas usaha CLBK yang sedang dijalankan oleh Kak Rangga. Itu asumsi Sera. Padahal niatku sebelumnya ingin mengenalkan Sera pada Kak Rangga, tetapi sepertinya sahabatku itu memang sudah bertekad untuk tidak membiarkan dirinya berada diposisi yang sulit. Pada akhirnya, karena terlanjur mengiyakan ajakan Kak Rangga, aku menyuruh Kak Rangga untuk datang ke kantorku dan makan siang bersama di kantin bawah dengan alasan bahwa aku masih punya banyak kerjaan dan tidak bisa lama-lama pergi ke luar. Jadi beginilah keadaannya sekarang. Aku sedang membereskan barang-barangku dan bersiap untuk turun menemui Kak Rangga yang sudah berada di kantin. Sementara aku sedang bersiap, Mbak Pita tiba-tiba m

  • Bosku, Mantanku!   Bab 11

    “Sumpah! Gue kesel banget! Masa parfum Dior gue dibilang bau sama dia.” Aku misuh-misuh menceritakan kejadian tadi siang pada Sera. Setelah jam pulang kantor, aku sengaja mengajak Sera untuk pulang bersama sekalian mampir makan malam. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya aku mencaci maki bosku sembari mengucapkan sumpah serapah yang tak bisa kukeluarkan saat ada dihadapannya. Tak hanya sampai situ. Seakan belum puas mengata-ngatai bosku, aku melanjutkannya ketika makan malam bersama Sera. Sahabatku itu hanya diam mendengarkan sambil menyantap makan malamnya.“Hidung Bos lo sensitif kali, sama bau parfum mahal.” Sera menanggapi ocehanku ketika aku selesai mengeluarkan unek-unekku yang tidak berhenti sejak kami bertemu. Sepertinya sejak hari pertama bekerja, bagiku tiada hari di mana aku tidak menceritakan kelakuan bosku yang terlampau menyebalkan pada Sera. Bahkan Sera langsung paham ketika aku tiba-tiba sudah berada di apartemennya atau mengajaknya pulang bersama, sudah pasti aku

  • Bosku, Mantanku!   Bab 10

    Aku menghampiri pak Mahesa yang sudah lebih dulu turun dan menungguku di lobi kantor. Hal pertama yang aku dapatkan ketika sampai dihadapannya adalah tatapan intimidasinya yang seakan sedang menilai penampilanku dari atas sampai bawah. Merasa diperhatikan secara berlebihan seperti itu, tentu saja membuatku risih dan err … salah tingkah. Aku memberanikan diri bertanya padanya.“Ada apa ya, Pak? Apa ada yang salah sama penampilan saya?”Pak Mahesa yang seakan mengerti arah pembicaraanku, segera melepaskan pandangannya. Dia tiba-tiba fokus dengan ponselnya, kemudian mengajakku untuk segera pergi ke basemen tempatnya memarkir mobil. Tingkahnya itu membuatku berpikir dia sedang menghindari pertanyaan yang tadi kulempar padanya. Aku mencoba untuk tidak peduli dan memilih mengekorinya menuju basemen.“Data-data yang saya message tadi sudah kamu bawa?” Pak Mahesa bertanya padaku setelah kami duduk di mobil.“Sudah, Pak,” jawabku.Semuanya berjalan baik-baik saja. Dalam perjalanan menuju kanto

  • Bosku, Mantanku!   Bab 9

    Aku sampai di kantor lima belas menit lebih awal. Mbak Pita dan juga Rachel sudah duduk di kubikelnya. Mengobrol sesuatu yang aku tidak tahu apa.“Pagi semua. Ngomongin apa, nih? Seru banget keliatannya.” Aku sudah tidak canggung lagi mengobrol atau berbaur dengan mereka. Walaupun anak baru, aku cepat sekali beradaptasi. Berkat orang-orang kantor yang selalu merangkulku dan tidak membedakan walaupun aku anak baru, membuatku terbantu untuk akrab dengan mereka.“Gue abis war skincare kemarin. Ada promo gede-gedean. Kayaknya cuci gudang, deh.” Mbak Pita yang menjawab.“Gue juga kemaren ke sana, tapi udah keabisan,” ucapku sedih. “Lo war juga, Chel?” tanyaku pada Angel.“Iya dong!” ucapnya dengan bangga. Memang salah satu kebanggan bagi seorang wanita adalah ketika bisa mendapatkan barang dengan harga diskon. Apalagi ini skincare, surganya para wanita.“Anjir, iri banget gue. Padahal gue juga lagi kehabisan stok.” Aku menyayangkan kenapa kemarin tidak berangkat lebih pagi. Ini semua gara-g

  • Bosku, Mantanku!   Bab 8

    “Lo habis ngomongin apaan sama bos lo tadi?” Sera bertanya ketika kami sudah duduk di mobil dan bersiap pulang.“Gak. Gak ada ngomong apa-apa.” Aku hanya malas bercerita dan tidak punya minat untuk membahas dengan siapapun, apa yang terjadi di antara kami tadi.“Lo yakin?” Aku mengangguk, yang membuat Sera akhirnya menyerah untuk mengorek informasi lebih lanjut dariku. Bukan tanpa alasan aku tidak ingin menceritakan apa yang terjadi antara aku dan pak Mahesa. Aku hanya ingin berhenti memikirkan terlalu berlebihan tentang bosku. Aku tidak ingin menganggap apa yang dikatakan bosku menjadi sesuatu yang penting. Aku ingin bersikap bodo amat. Dengan cara itu, aku bisa berhenti memikirkannya.“Gue kok, punya firasat negatif sama Bos lo, ya.”Hanya dipancing dengan pernyataan simpel dari Sera, hatiku dengan teganya berkhianat. Aku memberikan perhatian lebih pada Sera. Ingin mendengar lanjutan dari pernyataannya yang belum lengkap. Padahal tadi dengan tegas aku sudah meneguhkan hati untuk ber

DMCA.com Protection Status