Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikan keadaan antara aku dan Pak Mahesa. Mobil yang kami tumpangi, sepertinya lebih tepat disebut rumah hantu yang suasananya sepi dan mencekam. Bagaimana tidak? Salah satu dari kami tidak ada yang mau memulai percakapan untuk mencairkan suasana. Sampai akhirnya bunyi ponsel Pak Mahesa memecahkan keheningan di antara kami.
Aku melirik Pak Bos yang mengambil ponsel di saku jasnya, kemudian mengangkat panggilan telepon entah dari siapa.
“Ya, Ma?” Kini aku tau kalau yang menelpon Pak Bos adalah ibunya.
“Lagi di jalan. Kenapa, Ma?”
Aku mencoba untuk tidak peduli. Memilih untuk memperhatikan jalanan lewat kaca jendela mobil, walaupun dalam hati muncul juga sedikit rasa kepo tentang apa yang dibicarakan Pak Bos dan ibunya.
“Ma! Esa, kan, udah bilang kalo Esa gak mau dijodoh-jodohin kayak gitu. Berapa kali, sih, Esa harus bilang ke Mama?”
Sumpah demi apapun! Aku tidak berniat menguping sekalipun! Salah siapa bos harus menelpon di sampingku, mana bisa kupingku ini pura-pura budeg. Telinga, kan, memang di setting untuk mendengar. Jadi, bukan salahku kalau aku secara tidak sengaja mengetahui informasi pribadinya seperti ini.
“Udah dulu, ya, Ma. Esa lagi nyetir. Kita lanjutin obrolan ini nanti.” Pak Bos terlihat mematikan teleponnya secara sepihak. Aku bisa mendengar helaan napasnya yang panjang dan terdengar lelah.
“Bapak mau dijodohin?” Aku refleks menutup mulut sialanku dengan tangan. SIAL! Kenapa, sih, mulut sialanku ini suka sekali menceplos sembarangan.
“Kamu menguping pembicaraan saya?”
“Bukan saya sengaja menguping. Tapi, Bapak teleponnya di samping saya. Gak mungkin telinga saya gak denger. Telinga saya, kan, gak ada tombol on off-nya, yang bisa disetel hidup-mati sesuka hati.”
“Kamu itu pinter banget ngeles, ya.”
“Eh?” Aku tidak tau itu sindiran atau pujian, tapi memang kuakui kemampuan mengelesku tidak diragukan lagi. Mungkin itu adalah satu-satunya bakat terpendam yang aku miliki.
“Itu urusan pribadi saya. Kamu gak perlu ikut campur,” ucapnya.
“Iya, Pak. Saya, kan, cuma nanya doang.”
“Memangnya kalo iya, kenapa? Kamu mau membuat gosip baru dan membicarakannya dengan teman-teman kamu?”
Aku pura-pura terkejut mendengar tuduhannya. “Astagfirullah, Pak. Gak baik tau nuduh-nuduh orang kayak gitu. Saya itu bukan tipikal cewek yang suka menebar gosip. Memangnya muka saya keliatan kayak admin lambe turah, gitu? Jangan suuzan, Pak. Gak baik.”
Aku melihat sudut bibir Pak Bos tertarik ke atas. Hanya sedikit. Sedikit sekali.
“Sejak kapan kamu jadi secerewet ini? Saya baru tau kamu bisa secerewet ini di luar kantor.”
Memangnya dia kira selama seminggu ini, aku hanya diam-diam saja bekerja di bawah tekanannya? Oh, tentu saja tidak! Asal Bapak tau, selama ini saya selalu mengumpati Bapak! Tetapi hanya berani di dalam hati saja. Yang ada kalau aku mengeluh atau memprotes, pekerjaanku akan ditambah semakin banyak. Jadi aku terpaksa mengalah dan menurut.
“Kamu sudah makan?”
Aku menoleh menatap bosku yang bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari depan. “Belum, Pak.”
“Kalo gitu kita mampir ke drive thru dulu.”
“Eh, gak usah, Pak. Saya gak terlalu lapar, kok.” Aku buru-buru menolak ajakannya. Aku hanya ingin segera sampai dan merebahkan diri ke kasur. Kalau kami mampir makan dulu, akan semakin lama aku mewujudkan keinginanku yang sudah kunantikan sedari kami berada di kantor.
“Memangnya siapa yang nanya kamu lapar atau tidak? Saya yang lapar dan ingin makan. Jadi kita mampir ke drive thru dulu.”
WHAT THE??? Apa katanya tadi? Terus kenapa tadi dia harus menanyakan tentang aku, kalau pada akhirnya dia hanya memikirkan dirinya sendiri! Aku tidak menyangka kalau bosku bisa se-annoying ini. Dan aku lebih tidak menyangka kalau aku bisa bertahan menghadapi sikapnnya.
Mobil Pak Mahesa berbelok di drive thru McD yang buka dua puluh empat jam. Aku hanya bisa mengalah dan membiarkannya untuk mampir ke tempat yang dia mau.
“Kamu mau pesan apa?” Pak Mahesa bertanya padaku ketika dirinya ditanyai oleh karyawan McD.
“Saya gak pesan, Pak. Sudah kenyang.”
Aku bisa melihat pria itu mengernyitkan dahi mendengar jawabanku. “Kamu yakin?” tanyanya memastikan lagi.
“Iya, Pak,” jawabku.
“Ya sudah. Kalo gitu saya pesen menu cepatnya aja, ya, Mas.”
Setelah bertransaksi dengan karyawan McD, Pak Mahesa menepikan mobilnya untuk menunggu pesanannya selesai disiapkan. Seperti biasa, kami hanya diam-diaman sepanjang menunggu pesanannya datang. Hingga beberapa menit kemudian, seorang pramuniaga mengetuk kaca mobil dan menyerahkan pesanannya. Aku menyipit curiga ketika pesanan yang datang terlihat agak banyak untuk porsi satu orang.
“Kamu mau?” Pak Mahesa lagi-lagi menawarkan makanan yang dipesannya. Yang ternyata berisi tiga ayam, dua nasi dan juga dua menu eskrim McD, yaitu, McFlurry.
“Saya kan, sudah bilang, saya gak mau, Pak.” Aku membalas dengan nada sewot pada Pak Mahesa. Mungkin karena efek kelelahan dan rasa ingin merebahkan diri di atas kasur sudah sampai titik puncak, aku jadi agak sensitif. Padahal Pak Bos tidak bertanya aneh-aneh. Tapi, entah kenapa aku merasa kesal.
“Saya kan, cuma nanya. Ya sudah kalau tidak mau.”
“Saya juga udah bilang berkali-kali sama Bapak. Saya tidak lapar. Yang saya pengin sekarang cuma satu. Pulang."
Seperti tidak menghiraukan ungkapan kekesalanku tadi, kini Pak Mahesa justru menyodorkan McFlurry kepadaku.
“Pak, saya, sudah bil….”
“Ssstt …. Udah kamu makan aja. Saya tau kamu capek. Saya juga capek. Marah-marah juga butuh energi. Jadi, mending kamu makan es krim ini aja. Katanya makan es krim bisa menghilangkan mood yang jelek.”
Aku menatap tangan Pak Mahesa yang masih setia mengulurkan McFlurry ke arahku. Antara ragu ingin menerima atau tidak.
“Cepetan ambil! Tangan saya sudah pegal ini!”
“Ish! Ini Bapak yang maksa loh, bukan mau saya.”
"Iya, iya."
Mau tidak mau aku mengambil McFlurry dari tangannya daripada harus mendengarkan mulut bosku mengeluarkan ocehan lagi. Sudah cukup telingaku sabar mendengarkan ocehannya di kantor. Jangan sampai di luar kantor pun, telingaku harus bersabar juga.
Aku mengaduk McFlurry di tanganku. Kemudian menyendokkannya ke mulut, merasakan sensasi dingin es krim vanilla dengan taburan oreo memanjakan lidah. Benar apa kata Pak Mahesa tadi, makan es krim memang bisa membuat mood jadi lebih baik. Tanpa sadar aku sudah menghabiskan dua McFlurry milik Pak Mahesa yang tadi sengaja diberikan kepadaku karena Pak Mahesa melihatku terlihat menikmati es krimnya.
“Kamu doyan apa lapar? Tadi bilangnya gak mau. Tapi, udah habis dua. Sampai es krim saya juga dihabisin.”
“Bapak gak ikhlas ngasih ke saya? Mau saya muntahin lagi?”
“Sudah habis dua es krim masih saja belum menaikkan mood kamu? Apa perlu saya beli es krim yang ketiga?”
“Gak usah, Pak. Makasih. Saya cuma mau pulang.”
Pak Mahesa tertawa geli mendengar responku. Memangnya aku sedang melawak?
Setelah menghabiskan dua nasi ukuran medium dan tiga ayam yang dibelinya tadi, Pak Mahesa akhirnya melajukan mobilnya kembali untuk melanjutkan perjalanannya mengantarku.
Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, sampai aku merasakan tubuhku diguncang dengan paksa. Sayup-sayup kudengar suara Pak Mahesa berusaha membangunkanku.
“Sudah sampai, Pak?” Aku mengucek mataku yang terasa pekat.
“Sudah. Enak sekali kamu tidur. Kamu kira saya supir kamu?”
Aku mengabaikan ocehannya karena harus bersusah payah menahan kantukku. “Ya sudah, saya turun dulu, ya, Pak. Makasih udah mau nganter saya.”
“Eh, tunggu dulu. Kamu kok mau langsung turun gitu aja, sih.”
Aku yang hendak membuka pintu mobil, urung melakukannya karena ditahan oleh bosku. Apalagi, sih? “Lalu saya harus apa? Ngasih ongkos ke Bapak?”
“Kamu kira saya Gocar!” Dia terlihat sewot.
“Ya makanya. Bapak mau apa?”
“Minimal kamu tawarkan saya untuk mampir ke rumah kamu sebagai tanda terima kasih. Saya kan, udah capek-capek nganter kamu ke sini.”
Aku menganga mendengar jawabannya. Siapa yang menyangka kalau Pak Mahesa berpikir, aku akan mengajaknya mampir ke rumah selarut ini? Ayolah, ini sudah malam, lho! Bahkan jam hampir menunjukkan pukul dua belas malam! Tuan rumah mana yang mengajak seorang tamu mampir di jam dua belas malam! “Pak, ini sudah malam. Gak mungkin saya ngajak Bapak mampir ke rumah saya. Lagian mama sama papa saya juga sudah tidur jam segini. Gak mungkin bakal nerima tamu.”
“Setidaknya kamu bisa basa-basi.”
Aku makin tidak mengerti dengan jalan pikirnya. “Saya basa-basi juga tau waktu, Pak. Masa saya mau basa-basi nawarin Bapak mampir jam segini. Iya, kalau Bapak paham basa-basi, kalau Bapak justru nganggep itu serius. Saya harus gimana?”
Aku bisa melihat Pak Mahesa terdiam mendengarkan ocehanku. Pria itu memilih membuang muka karena tidak bisa membalas perkataanku. Dasar pria!
“Ya sudahlah. Saya mau masuk dulu. Bapak hati-hati nyetirnya. Sekali lagi terima kasih.” Tanpa menunggu balasan darinya, aku segera keluar dari mobil bosku dan masuk ke rumah.
Akhirnya aku terbebas juga dari jeratan bosku yang annoying itu. Hah, leganya!
“Semalem lo lembur lagi, Nggun?” Aku baru saja mendudukan diri di atas kursi ketika Mbak Pita bertanya padaku. “Iya, nih, Mbak.” “Heran banget gue, kenapa Pak Mahesa demen banget ngajakin lo lembur.” Reno yang berada di sebelahku ikut menimpali. “Udah ketahuan banget, nih, siapa yang bakal dapet bonus paling banyak akhir tahun ini. Jangan lupa traktir kita-kita ya, Nggun.” Mbak Pita berucap menggodaku. “Percuma dapet bonusan banyak, kalo badan remuk semua. Gue, mah, gak peduli bonusan gede, Mbak. Sehari aja gue bisa tidur tepat waktu, udah bikin gue sujud syukur.” Reno dan Mbak Pita tertawa mendengar keluhanku. “Tapi, emang sih, akhir-akhir ini Pak Mahesa kayak lagi orang kesurupan kerja. Apesnya, yang jadi tumbal nemenin dia lembur, elo, Nggun. Gue kayaknya harus berterima kasih deh, sama lo, karena udah menyelematkan gue dari maut ini. Gak kebayang sih, kalo gue jadi lo.” Mbak Pita bergidik sendiri membayangkan. Lihat, kan, teman-teman kantorku saja ogah, apalagi aku. “Ah, lo
Hari ini weekend. Seperti yang kami rencanakan semalam, aku dan Sera berencana pergi ke mal untuk cuci mata. Walaupun belum gajian, tetapi hasrat untuk jalan-jalan ke mal sambil melihat-lihat produk keluaran terbaru sudah memuncak. Apalagi informasi dari Sera, katanya akan ada promo brand make up kesukaanku. Aku tanpa berpikir panjang langsung mengiyakan ajakannya. Maklum, wanita. Kalau weekend dan bingung mau pergi kemana, sudah pasti tujuan akhirnya adalah mal. Ditambah ada promo. Kesempatan seperti ini mungkin tidak akan datang dua kali. Maka dari itu, aku tidak akan menyia-nyiakannya. Aku sudah siap sejak jam sepuluh lalu, tetapi seperti yang sudah kuduga, tuan putri Sera baru bangun ketika aku sampai di apartemennya. Alhasil, aku harus lebih dulu membangunkannya seperti seorang ibu yang membangunkan anaknya untuk pergi ke sekolah.Asal kalian tahu. Membangunkan Sera itu tidak gampang. Butuh effort lebih dari bekerja dua belas jam hanya untuk membangunkannya. Kalau kataku, Sera
“Anggun ini udah lama kerja sama Esa?” Ibu Pak Mahesa memulai percakapan dengan kami setelah memesan menu pada pelayan restoran.“Belum lama ini kok, Bu. Anggun baru masuk semingguan yang lalu. Masih jadi anak baru,” jawbaku.“Oh, pantes aja, ibu gak pernah liat muka kamu di kantor. Soalnya ibu, tuh, biasanya ngajak anak bawahan Esa kalau lagi ada acara di rumah. Biar rame aja, gitu. Soalnya kan, Esa ini cuma dua bersaudara, ya. Adiknya di luar negeri. Jadi biar rame, ibu suruh dia ajak karyawannya aja ke rumah.” Aku mengangguk-angguk mendengarkan cerita ibu bos. Kalau dilihat sepertinya, ibu bos ini memang orang yang baik. Aku bisa melihat aura kebaikan memancar dari wajahnya. Bicaranya juga santun dan halus. Padahal ini pertama kali aku bertemu dan berbincang dengan beliau, tetapi aku bisa langsung nyaman dengannya.“Kalau Sera sendiri, satu kantor juga sama Anggun?” ibu bos gantian bertanya pada Sera.“Oh, gak Tante. Saya gak satu kantor sama Anggun. Kebetulan saya ini HR, tapi di p
“Lo habis ngomongin apaan sama bos lo tadi?” Sera bertanya ketika kami sudah duduk di mobil dan bersiap pulang.“Gak. Gak ada ngomong apa-apa.” Aku hanya malas bercerita dan tidak punya minat untuk membahas dengan siapapun, apa yang terjadi di antara kami tadi.“Lo yakin?” Aku mengangguk, yang membuat Sera akhirnya menyerah untuk mengorek informasi lebih lanjut dariku. Bukan tanpa alasan aku tidak ingin menceritakan apa yang terjadi antara aku dan pak Mahesa. Aku hanya ingin berhenti memikirkan terlalu berlebihan tentang bosku. Aku tidak ingin menganggap apa yang dikatakan bosku menjadi sesuatu yang penting. Aku ingin bersikap bodo amat. Dengan cara itu, aku bisa berhenti memikirkannya.“Gue kok, punya firasat negatif sama Bos lo, ya.”Hanya dipancing dengan pernyataan simpel dari Sera, hatiku dengan teganya berkhianat. Aku memberikan perhatian lebih pada Sera. Ingin mendengar lanjutan dari pernyataannya yang belum lengkap. Padahal tadi dengan tegas aku sudah meneguhkan hati untuk ber
Aku sampai di kantor lima belas menit lebih awal. Mbak Pita dan juga Rachel sudah duduk di kubikelnya. Mengobrol sesuatu yang aku tidak tahu apa.“Pagi semua. Ngomongin apa, nih? Seru banget keliatannya.” Aku sudah tidak canggung lagi mengobrol atau berbaur dengan mereka. Walaupun anak baru, aku cepat sekali beradaptasi. Berkat orang-orang kantor yang selalu merangkulku dan tidak membedakan walaupun aku anak baru, membuatku terbantu untuk akrab dengan mereka.“Gue abis war skincare kemarin. Ada promo gede-gedean. Kayaknya cuci gudang, deh.” Mbak Pita yang menjawab.“Gue juga kemaren ke sana, tapi udah keabisan,” ucapku sedih. “Lo war juga, Chel?” tanyaku pada Angel.“Iya dong!” ucapnya dengan bangga. Memang salah satu kebanggan bagi seorang wanita adalah ketika bisa mendapatkan barang dengan harga diskon. Apalagi ini skincare, surganya para wanita.“Anjir, iri banget gue. Padahal gue juga lagi kehabisan stok.” Aku menyayangkan kenapa kemarin tidak berangkat lebih pagi. Ini semua gara-g
Aku menghampiri pak Mahesa yang sudah lebih dulu turun dan menungguku di lobi kantor. Hal pertama yang aku dapatkan ketika sampai dihadapannya adalah tatapan intimidasinya yang seakan sedang menilai penampilanku dari atas sampai bawah. Merasa diperhatikan secara berlebihan seperti itu, tentu saja membuatku risih dan err … salah tingkah. Aku memberanikan diri bertanya padanya.“Ada apa ya, Pak? Apa ada yang salah sama penampilan saya?”Pak Mahesa yang seakan mengerti arah pembicaraanku, segera melepaskan pandangannya. Dia tiba-tiba fokus dengan ponselnya, kemudian mengajakku untuk segera pergi ke basemen tempatnya memarkir mobil. Tingkahnya itu membuatku berpikir dia sedang menghindari pertanyaan yang tadi kulempar padanya. Aku mencoba untuk tidak peduli dan memilih mengekorinya menuju basemen.“Data-data yang saya message tadi sudah kamu bawa?” Pak Mahesa bertanya padaku setelah kami duduk di mobil.“Sudah, Pak,” jawabku.Semuanya berjalan baik-baik saja. Dalam perjalanan menuju kanto
“Sumpah! Gue kesel banget! Masa parfum Dior gue dibilang bau sama dia.” Aku misuh-misuh menceritakan kejadian tadi siang pada Sera. Setelah jam pulang kantor, aku sengaja mengajak Sera untuk pulang bersama sekalian mampir makan malam. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya aku mencaci maki bosku sembari mengucapkan sumpah serapah yang tak bisa kukeluarkan saat ada dihadapannya. Tak hanya sampai situ. Seakan belum puas mengata-ngatai bosku, aku melanjutkannya ketika makan malam bersama Sera. Sahabatku itu hanya diam mendengarkan sambil menyantap makan malamnya.“Hidung Bos lo sensitif kali, sama bau parfum mahal.” Sera menanggapi ocehanku ketika aku selesai mengeluarkan unek-unekku yang tidak berhenti sejak kami bertemu. Sepertinya sejak hari pertama bekerja, bagiku tiada hari di mana aku tidak menceritakan kelakuan bosku yang terlampau menyebalkan pada Sera. Bahkan Sera langsung paham ketika aku tiba-tiba sudah berada di apartemennya atau mengajaknya pulang bersama, sudah pasti aku
Hari ini Kak Rangga mengirim pesan padaku yang berisi ajakan makan siang bersama. Aku sengaja meneruskan pesan itu pada Sera agar sahabatku itu mau menemaniku makan siang bersama Kak Rangga. Namun, Sera menolak mentah-mentah ajakanku dan seperti yang dibilangnya kemarin, dia tidak ingin menjadi obat nyamuk atas usaha CLBK yang sedang dijalankan oleh Kak Rangga. Itu asumsi Sera. Padahal niatku sebelumnya ingin mengenalkan Sera pada Kak Rangga, tetapi sepertinya sahabatku itu memang sudah bertekad untuk tidak membiarkan dirinya berada diposisi yang sulit. Pada akhirnya, karena terlanjur mengiyakan ajakan Kak Rangga, aku menyuruh Kak Rangga untuk datang ke kantorku dan makan siang bersama di kantin bawah dengan alasan bahwa aku masih punya banyak kerjaan dan tidak bisa lama-lama pergi ke luar. Jadi beginilah keadaannya sekarang. Aku sedang membereskan barang-barangku dan bersiap untuk turun menemui Kak Rangga yang sudah berada di kantin. Sementara aku sedang bersiap, Mbak Pita tiba-tiba m
“Ada yang mau ketemu sama lo, Nggun.” Aku yang masih merasakan pusing akibat lemparan bola voli yang mengenaiku ketika aku menonton pertandingan voli yang diadakan oleh himpunan jurusan, meringis sambil bertanya pada Rani – teman sekelasku yang saat ini menemaniku di klinik kampus.“Gue juga gak tau. Asing banget mukanya.”“Ya udah suruh masuk aja.” Lagian siapa sih, orang yang masih mencariku disaat aku masih dalam keadaan sekarat seperti ini. Bukannya berlebihan, tetapi keadaanku memang cukup parah walau hanya terkena lemparan bola voli. Dahiku berdarah dan tadi aku juga sempat terhuyung jatuh sampai pingsan karena tidak kuat menahan nyeri kepala yang terasa seperti dihantam palu Thor. Itulah kenapa aku sampai dibawa ke klinik kampus dan disuruh istirahat.Tiba-tiba seorang laki-laki datang bersama Rani masuk ke ruanganku. Laki-laki itu bertubuh jangkung, dengan setelan meja kotak-kotak berwarna navy dan menenteng paper bag ditangannya. Aku mengernyit, merasa asing dengan wajahnya. R
Pak Mahesa meninggalkanku dengan sebuah tanda tanya besar yang kini masih memenuhi isi kepalaku. Sementara, kepalaku dipenuhi tanda tanya besar tentang maksud dari ucapannya yang terdengar jahat, suara dari pengeras studio yang mengumumkan bahwa film yang akan kutonton sudah dibuka teaternya, membuat fokusku menjadi pecah. Suara dari dalam dan suara dari luar kepalaku seakan bertabrakan membuat sebuah gelombang-gelombang rumit yang membuat kepalaku semakin pusing.Daripada terjebak dengan suara-suara yang membuat kepalaku pening, aku memutuskan untuk mengikuti Pak Mahesa yang sudah lebih dulu masuk ke dalam studio dan meninggalkanku bersama dengan pertanyaan-pertanyaan yang sengaja tidak dijawabnya. Aku bertekad menanyakan hal itu padanya sepulang menonton bioskop, tetapi kenyataannya, Pak Mahesa berhasil menghindariku dan pulang lebih dahulu. Aku yang tidak bisa mencegahnya hanya diam sambil menatap punggungnya yang kian menjauhi bioskop. Aku bahkan hampir dibuat frustasi olehya kare
Sepertinya yang namanya karma itu memang benar nyata adanya. Aku berbohong kepada Sera dan Kak Rangga dengan alasan bahwa Pak Mahesa tiba-tiba memanggilku sehingga aku harus segera pergi untuk menemui bosku. Tak kusangka semesta mengabulkan kebohonganku. Dan di sinilah kini aku berada. Duduk berdua bersama bosku di kursi tunggu bioskop untuk menunggu film yang akan kami tonton bersama diputar. Kalian pasti terkejut, kan? Aku yang mengalami sendiri lebih terkejut. Saat perjalanan pulang dari restoran tempatku makan dengan Kak Rangga dan juga Sera, aku sengaja tidak langsung pulang ke apartemen dan berpikir untuk jalan-jalan sebentar. Entah dapat ide dari mana, mobil yang kukendarai berbelok ke arah mal. Awalnya, aku berniat untuk keliling mal saja untuk mengusir rasa bosan, tetapi ketika lewat di depan bioskop entah kenapa kakiku tiba-tiba berbelok masuk ke sana. Aku membeli popcorn dan es milo kemudian berjalan untuk mengantri tiket di loket. Tanpa kuketahui, bosku juga sedang menga
“Lo itu deket banget, ya, sama bos lo?” Setelah makan siang bersama di kantorku tadi siang, Kak Rangga lanjut menawariku untuk pulang bersama sekalian makan malam. Kali ini aku tidak menyia-nyaiakan kesempatan untuk mempertemukan Sera dan Kak Rangga, sehingga aku mengiyakan ajakan Kak Rangga untuk makan malam bersama. Tidak lupa, aku juga menghubungi Sera untuk menyusulku makan malam di restoran tempat tujuan aku dan Kak Rangga. Aku tahu kalau Sera akan menolak kalau aku bilang bahwa aku sedang makan malam berdua dengan Kak Rangga dan menyuruhnya untuk menyusul. Makanya aku berbohong padanya dan mengatakan bahwa aku makan malam sendirian dan butuh teman makan malam. Sehingga aku menyuruhnya untuk segera menyusul ke restoran tempat tujuanku dan Kak Rangga.“Gak juga, sih, Kak. Emangnya kenapa?” Aku menatap bingung ke arah Kak Rangga yang tiba-tiba membahas Pak Mahesa ditengah-tengah makan malam kami.“Gak apa-apa. Cuma nanya aja. Gue kok, ngeliatnya Bos lo itu agak ngebedain perilaku k
Hari ini Kak Rangga mengirim pesan padaku yang berisi ajakan makan siang bersama. Aku sengaja meneruskan pesan itu pada Sera agar sahabatku itu mau menemaniku makan siang bersama Kak Rangga. Namun, Sera menolak mentah-mentah ajakanku dan seperti yang dibilangnya kemarin, dia tidak ingin menjadi obat nyamuk atas usaha CLBK yang sedang dijalankan oleh Kak Rangga. Itu asumsi Sera. Padahal niatku sebelumnya ingin mengenalkan Sera pada Kak Rangga, tetapi sepertinya sahabatku itu memang sudah bertekad untuk tidak membiarkan dirinya berada diposisi yang sulit. Pada akhirnya, karena terlanjur mengiyakan ajakan Kak Rangga, aku menyuruh Kak Rangga untuk datang ke kantorku dan makan siang bersama di kantin bawah dengan alasan bahwa aku masih punya banyak kerjaan dan tidak bisa lama-lama pergi ke luar. Jadi beginilah keadaannya sekarang. Aku sedang membereskan barang-barangku dan bersiap untuk turun menemui Kak Rangga yang sudah berada di kantin. Sementara aku sedang bersiap, Mbak Pita tiba-tiba m
“Sumpah! Gue kesel banget! Masa parfum Dior gue dibilang bau sama dia.” Aku misuh-misuh menceritakan kejadian tadi siang pada Sera. Setelah jam pulang kantor, aku sengaja mengajak Sera untuk pulang bersama sekalian mampir makan malam. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya aku mencaci maki bosku sembari mengucapkan sumpah serapah yang tak bisa kukeluarkan saat ada dihadapannya. Tak hanya sampai situ. Seakan belum puas mengata-ngatai bosku, aku melanjutkannya ketika makan malam bersama Sera. Sahabatku itu hanya diam mendengarkan sambil menyantap makan malamnya.“Hidung Bos lo sensitif kali, sama bau parfum mahal.” Sera menanggapi ocehanku ketika aku selesai mengeluarkan unek-unekku yang tidak berhenti sejak kami bertemu. Sepertinya sejak hari pertama bekerja, bagiku tiada hari di mana aku tidak menceritakan kelakuan bosku yang terlampau menyebalkan pada Sera. Bahkan Sera langsung paham ketika aku tiba-tiba sudah berada di apartemennya atau mengajaknya pulang bersama, sudah pasti aku
Aku menghampiri pak Mahesa yang sudah lebih dulu turun dan menungguku di lobi kantor. Hal pertama yang aku dapatkan ketika sampai dihadapannya adalah tatapan intimidasinya yang seakan sedang menilai penampilanku dari atas sampai bawah. Merasa diperhatikan secara berlebihan seperti itu, tentu saja membuatku risih dan err … salah tingkah. Aku memberanikan diri bertanya padanya.“Ada apa ya, Pak? Apa ada yang salah sama penampilan saya?”Pak Mahesa yang seakan mengerti arah pembicaraanku, segera melepaskan pandangannya. Dia tiba-tiba fokus dengan ponselnya, kemudian mengajakku untuk segera pergi ke basemen tempatnya memarkir mobil. Tingkahnya itu membuatku berpikir dia sedang menghindari pertanyaan yang tadi kulempar padanya. Aku mencoba untuk tidak peduli dan memilih mengekorinya menuju basemen.“Data-data yang saya message tadi sudah kamu bawa?” Pak Mahesa bertanya padaku setelah kami duduk di mobil.“Sudah, Pak,” jawabku.Semuanya berjalan baik-baik saja. Dalam perjalanan menuju kanto
Aku sampai di kantor lima belas menit lebih awal. Mbak Pita dan juga Rachel sudah duduk di kubikelnya. Mengobrol sesuatu yang aku tidak tahu apa.“Pagi semua. Ngomongin apa, nih? Seru banget keliatannya.” Aku sudah tidak canggung lagi mengobrol atau berbaur dengan mereka. Walaupun anak baru, aku cepat sekali beradaptasi. Berkat orang-orang kantor yang selalu merangkulku dan tidak membedakan walaupun aku anak baru, membuatku terbantu untuk akrab dengan mereka.“Gue abis war skincare kemarin. Ada promo gede-gedean. Kayaknya cuci gudang, deh.” Mbak Pita yang menjawab.“Gue juga kemaren ke sana, tapi udah keabisan,” ucapku sedih. “Lo war juga, Chel?” tanyaku pada Angel.“Iya dong!” ucapnya dengan bangga. Memang salah satu kebanggan bagi seorang wanita adalah ketika bisa mendapatkan barang dengan harga diskon. Apalagi ini skincare, surganya para wanita.“Anjir, iri banget gue. Padahal gue juga lagi kehabisan stok.” Aku menyayangkan kenapa kemarin tidak berangkat lebih pagi. Ini semua gara-g
“Lo habis ngomongin apaan sama bos lo tadi?” Sera bertanya ketika kami sudah duduk di mobil dan bersiap pulang.“Gak. Gak ada ngomong apa-apa.” Aku hanya malas bercerita dan tidak punya minat untuk membahas dengan siapapun, apa yang terjadi di antara kami tadi.“Lo yakin?” Aku mengangguk, yang membuat Sera akhirnya menyerah untuk mengorek informasi lebih lanjut dariku. Bukan tanpa alasan aku tidak ingin menceritakan apa yang terjadi antara aku dan pak Mahesa. Aku hanya ingin berhenti memikirkan terlalu berlebihan tentang bosku. Aku tidak ingin menganggap apa yang dikatakan bosku menjadi sesuatu yang penting. Aku ingin bersikap bodo amat. Dengan cara itu, aku bisa berhenti memikirkannya.“Gue kok, punya firasat negatif sama Bos lo, ya.”Hanya dipancing dengan pernyataan simpel dari Sera, hatiku dengan teganya berkhianat. Aku memberikan perhatian lebih pada Sera. Ingin mendengar lanjutan dari pernyataannya yang belum lengkap. Padahal tadi dengan tegas aku sudah meneguhkan hati untuk ber