“Semalem lo lembur lagi, Nggun?” Aku baru saja mendudukan diri di atas kursi ketika Mbak Pita bertanya padaku.
“Iya, nih, Mbak.”
“Heran banget gue, kenapa Pak Mahesa demen banget ngajakin lo lembur.” Reno yang berada di sebelahku ikut menimpali.
“Udah ketahuan banget, nih, siapa yang bakal dapet bonus paling banyak akhir tahun ini. Jangan lupa traktir kita-kita ya, Nggun.” Mbak Pita berucap menggodaku.
“Percuma dapet bonusan banyak, kalo badan remuk semua. Gue, mah, gak peduli bonusan gede, Mbak. Sehari aja gue bisa tidur tepat waktu, udah bikin gue sujud syukur.”
Reno dan Mbak Pita tertawa mendengar keluhanku.
“Tapi, emang sih, akhir-akhir ini Pak Mahesa kayak lagi orang kesurupan kerja. Apesnya, yang jadi tumbal nemenin dia lembur, elo, Nggun. Gue kayaknya harus berterima kasih deh, sama lo, karena udah menyelematkan gue dari maut ini. Gak kebayang sih, kalo gue jadi lo.” Mbak Pita bergidik sendiri membayangkan. Lihat, kan, teman-teman kantorku saja ogah, apalagi aku.
“Ah, lo, Mbak. Mentang-mentang gue anak baru, enteng banget numbalin gue ke bos.”
Mbak Pita tertawa. “Tapi, serius, gue gak ikut andil kalo masalah lembur ginian. Ini murni keputusan Pak Mahesa ngajak lembur siapa.”
“Tapi kok, gue curiga, ya, kenapa yang diajak lembur Mbak Anggun mulu seminggu berturut-turut. Biasanya, kan, pak bos gak pernah gini. Kalo dulu biasanya kita itu ganti-gantian diajak lembur. Iya, gak, sih?” Rachel yang sedari tadi diam ikut menimpali.
“Lo curiga apa, Chel? Curiga kalo Pak Mahesa naksir si Anggun?” tebakan Reno membuat mataku otomatis membulat. Jangan sampai gara-gara omongan ngawur Reno, orang-orang kantor jadi berasumsi yang macam-macam. Bukan apa-apa, aku hanya tidak suka berada diposisi di mana aku digosipkan dekat dengan seseorang, apalagi orangnya adalah Pak Mahesa.
“Ngaco lo, Ren!” Aku segera menepis asumsi ngawur Reno.
“Eh, tapi masuk akal juga yang dibilang Rachel. Jangan-jangan Pak Mahesa modus aja ngajak lo lembur karena naksir sama lo, Nggun.”
“Gak usah ngomong yang aneh-aneh, deh, Mbak. Orang kalo suka itu gak mungkin bikin orang yang disukai sengsara. Kalo situasinya gini gue curiga justru pak bos punya dendam kesumat sama gue.”
“Tapi, bisa aja loh, Mbak, pak bos itu pengin lama-lama sama Mbak Anggun mulu, makanya ngajakin lembur.” Rachel berusaha memperkuat asumsinya.
Aku mengibaskan tangan. “Asumsi lo makin lama makin ngawur, Chel.”
“Gini, deh, gue tanya. Kalo semisal nih, semisal, ya, Pak Mahesa beneran naksir lo, Nggun. Reaksi lo bakal gimana?” Reno bertanya yang diangguki oleh Mbak Pita dan juga Rachel. Mereka bertiga menatapku dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. Ingin sekali mendengar jawaban yang keluar dari mulutku.
Pak Mahesa? Naksir aku? Kalo pernyataan semacam itu diucapkan lima tahun yang lalu, mungkin saja aku akan percaya. Namun, kini, setelah apa yang terjadi antara kami, aku sangsi Mahesa – yah, maksudku Pak Mahesa masih menyimpan rasa padaku.
“Gue justru takut kalo Pak Mahesa sekarang bener-bener naksir gue.”
Mereka kompak mengerutkan alis mendengar jawaban tak terduga dariku.
“Takut kenapa?” tanya Mbak Pita.
“Ya, takut. Bayangin aja, gue sama Pak Bos baru-baru ini kenal dan kerja bareng. Gimana bisa Pak Bos dengan mudahnya naksir sama gue secepet itu? Maksudnya, apa yang diliat dari gue coba? Sedangkan, kami aja ngobrol cuma masalah kerjaan. Dari sudut pandang mana yang bikin dia bisa naksir sama gue? Jangan-jangan gue mau dijadiin korban ke-playboy-annya lagi. Bisa jadi, kan?”
“Dari mana lo tahu kalo bos kita playboy?” tanya Reno.
“Itu asumsi gue aja. Lo bayangin aja, deh, mana ada cowok yang langsung naksir sama cewek yang baru aja dikenalnya, kalo bukan karena cowok itu playboy.”
“Tapi iya juga, sih, tampang Pak Mahesa mendukung banget kalo jadi cowok playboy gitu,” ucap Rachel.
“Tapi, kan, Pak Mahesa ganteng. Emangnya lo gak tergiur sama muka gantengnya itu?” tanya Mbak Pita.
“Duh, buat apa muka ganteng kalo cuma bisa nyakitin, Mbak.”
“Siapa yang suka nyakitin?” Aku terlonjak ketika mendapati Pak Mahesa sudah berdiri di belakangku. Kami kompak kembali ke kubikel masing-masing.
Sejak kapan bos ada di sini? Duh, jangan-jangan dia mendengar semua percakapan kami. Mati!
“I-ini, Pak, mantannya Anggun. Orangnya sih, ganteng, tapi suka nyakitin, jadi Anggun milih buat mutusin mantannya.” Reno mengarang cerita pada Pak Mahesa. Aku takut-takut melirik ke arah Pak Mahesa. Untungnya bosku percaya saja dengan apa yang diucapkan Reno. Selamat. Kami selamat!
“Oh, baguslah. Memang sudah seharusnya kamu memutuskan cowok brengsek seperti itu.”
Aku tersenyum canggung. Diam-diam bernapas lega karena Pak Mahesa tidak mendengar percakapan kami.
“Ya, sudah, kalian lanjutkan kerjanya, saya mau ke ruangan saya dulu.” Setelahnya Pak Mahesa pergi meninggalkan kami yang masing-masing mengusap dada lega karena berhasil mengibulinya. Maafkan kami, Pak.
“Cerdas lo, Ren. Emang cocok lo, jadi pendongeng handal.”
***
“Gue kayaknya beneran mau resign deh, Ser.”
Sera yang kini sedang duduk di sampingku otomatis menoleh. “Nah, kan, kan, mulai kumat lagi otak tumpul lo.”
“Kok lo malah ngatain gue, sih!” Aku sewot tidak terima.
“Ya, lo kalo ngomong resign enteng banget kayak beli gorengan di trotoar depan. Emangnya lo mau jadi gembel lagi, hah? Lontang-lantung gak jelas, gak punya kerjaan?”
“Tapi, gue beneran gak kuat.” Aku berakting seolah-olah terluka, melambaikan tangan ke kamera dan berekspresi sedih.
Sera berdecak. “Lo gak kuat kenapa, sih? Bos lo emang ngelakuin hal yang bikin lo pincang, gak bisa jalan lagi?”
Aku mengangguk mantap. “Dia bikin pinggang gue encok kelamaan duduk tiap hari.”
“Ya elah, kalo itu mah, lo tinggal ke tukang pijet weekend nanti. Dijamin sembuh deh, pinggang encok lo itu.”
“Tapi, kan ….”
“Tapi apa? Lo tuh, kalo dinasehatin cuma masuk kuping kanan, keluar kuping kiri, ya.” Sera yang gemas kepadaku hendak melempar bantal ke arahku, yang langsung kuhindari.
“Nih, ya, Nggun, dengerin gue. Lo tuh baru kerja belum ada sebulan, dan lo juga harus inget kalo tempat lo kerja sekarang itu perusahaan idaman orang-orang. Semua orang pengin punya kesempatan kerja disana. Sementara lo, yang udah pasti kerja di sana malah mau resign karena alasan bos lo. Lo gak mikir ya, lo mau hidup gimana kalo gak kerja sekarang?”
Aku diam. Meresapi perkataan Sera. Sebenarnya niat untuk resign itu tidak akan pernah ada kalau aku tidak bertemu dengan Pak Mahesa. Aku juga tidak akan masalah jika bosku menyuruhku lembur, asalkan bosku itu bukan Pak Mahesa. Aku merasa seperti sedang dipermainkan olehnya. Ada yang aneh dengan tingkahnya. Pria itu seolah tidak mengenalku di awal, tetapi sengaja menyiksaku ketika sudah bekerja dengannya. Sekarang aku merasa sedang ditertawakan oleh Pak Mahesa karena dia berhasil membalaskan dendamnya dengan menyiksaku di kantor. Ini benar-benar membuatku dongkol dan merasa dipermainkan.
“Udah deh, daripada lo kebanyakan mikir, mending besok kita nge-mall aja gimana? Lo emangnya gak kangen cuci mata liat barang-barang keluaran terbaru? Gue denger brand make up kesukaan lo lagi ngadain promo di GI.”
Mataku langsung melek begitu mendengar informasi berharga dari Sera.
“Seriusan lo? Dapet info dari mana?”
Sera mengangguk mantap. “Tadi pagi gue liat di story instagramnya. Gas gak, nih?”
Aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan ini. Daripada pusing memikirkan Pak Mahesa, lebih baik aku cuci mata di mall.
“Gas lah. Ya kali gue mau melewatkan kesempatan langka ini.”
“Nah, gitu, dong. That’s my girl.”
***
Hari ini weekend. Seperti yang kami rencanakan semalam, aku dan Sera berencana pergi ke mal untuk cuci mata. Walaupun belum gajian, tetapi hasrat untuk jalan-jalan ke mal sambil melihat-lihat produk keluaran terbaru sudah memuncak. Apalagi informasi dari Sera, katanya akan ada promo brand make up kesukaanku. Aku tanpa berpikir panjang langsung mengiyakan ajakannya. Maklum, wanita. Kalau weekend dan bingung mau pergi kemana, sudah pasti tujuan akhirnya adalah mal. Ditambah ada promo. Kesempatan seperti ini mungkin tidak akan datang dua kali. Maka dari itu, aku tidak akan menyia-nyiakannya. Aku sudah siap sejak jam sepuluh lalu, tetapi seperti yang sudah kuduga, tuan putri Sera baru bangun ketika aku sampai di apartemennya. Alhasil, aku harus lebih dulu membangunkannya seperti seorang ibu yang membangunkan anaknya untuk pergi ke sekolah.Asal kalian tahu. Membangunkan Sera itu tidak gampang. Butuh effort lebih dari bekerja dua belas jam hanya untuk membangunkannya. Kalau kataku, Sera
“Anggun ini udah lama kerja sama Esa?” Ibu Pak Mahesa memulai percakapan dengan kami setelah memesan menu pada pelayan restoran.“Belum lama ini kok, Bu. Anggun baru masuk semingguan yang lalu. Masih jadi anak baru,” jawbaku.“Oh, pantes aja, ibu gak pernah liat muka kamu di kantor. Soalnya ibu, tuh, biasanya ngajak anak bawahan Esa kalau lagi ada acara di rumah. Biar rame aja, gitu. Soalnya kan, Esa ini cuma dua bersaudara, ya. Adiknya di luar negeri. Jadi biar rame, ibu suruh dia ajak karyawannya aja ke rumah.” Aku mengangguk-angguk mendengarkan cerita ibu bos. Kalau dilihat sepertinya, ibu bos ini memang orang yang baik. Aku bisa melihat aura kebaikan memancar dari wajahnya. Bicaranya juga santun dan halus. Padahal ini pertama kali aku bertemu dan berbincang dengan beliau, tetapi aku bisa langsung nyaman dengannya.“Kalau Sera sendiri, satu kantor juga sama Anggun?” ibu bos gantian bertanya pada Sera.“Oh, gak Tante. Saya gak satu kantor sama Anggun. Kebetulan saya ini HR, tapi di p
“Lo habis ngomongin apaan sama bos lo tadi?” Sera bertanya ketika kami sudah duduk di mobil dan bersiap pulang.“Gak. Gak ada ngomong apa-apa.” Aku hanya malas bercerita dan tidak punya minat untuk membahas dengan siapapun, apa yang terjadi di antara kami tadi.“Lo yakin?” Aku mengangguk, yang membuat Sera akhirnya menyerah untuk mengorek informasi lebih lanjut dariku. Bukan tanpa alasan aku tidak ingin menceritakan apa yang terjadi antara aku dan pak Mahesa. Aku hanya ingin berhenti memikirkan terlalu berlebihan tentang bosku. Aku tidak ingin menganggap apa yang dikatakan bosku menjadi sesuatu yang penting. Aku ingin bersikap bodo amat. Dengan cara itu, aku bisa berhenti memikirkannya.“Gue kok, punya firasat negatif sama Bos lo, ya.”Hanya dipancing dengan pernyataan simpel dari Sera, hatiku dengan teganya berkhianat. Aku memberikan perhatian lebih pada Sera. Ingin mendengar lanjutan dari pernyataannya yang belum lengkap. Padahal tadi dengan tegas aku sudah meneguhkan hati untuk ber
Aku sampai di kantor lima belas menit lebih awal. Mbak Pita dan juga Rachel sudah duduk di kubikelnya. Mengobrol sesuatu yang aku tidak tahu apa.“Pagi semua. Ngomongin apa, nih? Seru banget keliatannya.” Aku sudah tidak canggung lagi mengobrol atau berbaur dengan mereka. Walaupun anak baru, aku cepat sekali beradaptasi. Berkat orang-orang kantor yang selalu merangkulku dan tidak membedakan walaupun aku anak baru, membuatku terbantu untuk akrab dengan mereka.“Gue abis war skincare kemarin. Ada promo gede-gedean. Kayaknya cuci gudang, deh.” Mbak Pita yang menjawab.“Gue juga kemaren ke sana, tapi udah keabisan,” ucapku sedih. “Lo war juga, Chel?” tanyaku pada Angel.“Iya dong!” ucapnya dengan bangga. Memang salah satu kebanggan bagi seorang wanita adalah ketika bisa mendapatkan barang dengan harga diskon. Apalagi ini skincare, surganya para wanita.“Anjir, iri banget gue. Padahal gue juga lagi kehabisan stok.” Aku menyayangkan kenapa kemarin tidak berangkat lebih pagi. Ini semua gara-g
Aku menghampiri pak Mahesa yang sudah lebih dulu turun dan menungguku di lobi kantor. Hal pertama yang aku dapatkan ketika sampai dihadapannya adalah tatapan intimidasinya yang seakan sedang menilai penampilanku dari atas sampai bawah. Merasa diperhatikan secara berlebihan seperti itu, tentu saja membuatku risih dan err … salah tingkah. Aku memberanikan diri bertanya padanya.“Ada apa ya, Pak? Apa ada yang salah sama penampilan saya?”Pak Mahesa yang seakan mengerti arah pembicaraanku, segera melepaskan pandangannya. Dia tiba-tiba fokus dengan ponselnya, kemudian mengajakku untuk segera pergi ke basemen tempatnya memarkir mobil. Tingkahnya itu membuatku berpikir dia sedang menghindari pertanyaan yang tadi kulempar padanya. Aku mencoba untuk tidak peduli dan memilih mengekorinya menuju basemen.“Data-data yang saya message tadi sudah kamu bawa?” Pak Mahesa bertanya padaku setelah kami duduk di mobil.“Sudah, Pak,” jawabku.Semuanya berjalan baik-baik saja. Dalam perjalanan menuju kanto
“Sumpah! Gue kesel banget! Masa parfum Dior gue dibilang bau sama dia.” Aku misuh-misuh menceritakan kejadian tadi siang pada Sera. Setelah jam pulang kantor, aku sengaja mengajak Sera untuk pulang bersama sekalian mampir makan malam. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya aku mencaci maki bosku sembari mengucapkan sumpah serapah yang tak bisa kukeluarkan saat ada dihadapannya. Tak hanya sampai situ. Seakan belum puas mengata-ngatai bosku, aku melanjutkannya ketika makan malam bersama Sera. Sahabatku itu hanya diam mendengarkan sambil menyantap makan malamnya.“Hidung Bos lo sensitif kali, sama bau parfum mahal.” Sera menanggapi ocehanku ketika aku selesai mengeluarkan unek-unekku yang tidak berhenti sejak kami bertemu. Sepertinya sejak hari pertama bekerja, bagiku tiada hari di mana aku tidak menceritakan kelakuan bosku yang terlampau menyebalkan pada Sera. Bahkan Sera langsung paham ketika aku tiba-tiba sudah berada di apartemennya atau mengajaknya pulang bersama, sudah pasti aku
Hari ini Kak Rangga mengirim pesan padaku yang berisi ajakan makan siang bersama. Aku sengaja meneruskan pesan itu pada Sera agar sahabatku itu mau menemaniku makan siang bersama Kak Rangga. Namun, Sera menolak mentah-mentah ajakanku dan seperti yang dibilangnya kemarin, dia tidak ingin menjadi obat nyamuk atas usaha CLBK yang sedang dijalankan oleh Kak Rangga. Itu asumsi Sera. Padahal niatku sebelumnya ingin mengenalkan Sera pada Kak Rangga, tetapi sepertinya sahabatku itu memang sudah bertekad untuk tidak membiarkan dirinya berada diposisi yang sulit. Pada akhirnya, karena terlanjur mengiyakan ajakan Kak Rangga, aku menyuruh Kak Rangga untuk datang ke kantorku dan makan siang bersama di kantin bawah dengan alasan bahwa aku masih punya banyak kerjaan dan tidak bisa lama-lama pergi ke luar. Jadi beginilah keadaannya sekarang. Aku sedang membereskan barang-barangku dan bersiap untuk turun menemui Kak Rangga yang sudah berada di kantin. Sementara aku sedang bersiap, Mbak Pita tiba-tiba m
“Lo itu deket banget, ya, sama bos lo?” Setelah makan siang bersama di kantorku tadi siang, Kak Rangga lanjut menawariku untuk pulang bersama sekalian makan malam. Kali ini aku tidak menyia-nyaiakan kesempatan untuk mempertemukan Sera dan Kak Rangga, sehingga aku mengiyakan ajakan Kak Rangga untuk makan malam bersama. Tidak lupa, aku juga menghubungi Sera untuk menyusulku makan malam di restoran tempat tujuan aku dan Kak Rangga. Aku tahu kalau Sera akan menolak kalau aku bilang bahwa aku sedang makan malam berdua dengan Kak Rangga dan menyuruhnya untuk menyusul. Makanya aku berbohong padanya dan mengatakan bahwa aku makan malam sendirian dan butuh teman makan malam. Sehingga aku menyuruhnya untuk segera menyusul ke restoran tempat tujuanku dan Kak Rangga.“Gak juga, sih, Kak. Emangnya kenapa?” Aku menatap bingung ke arah Kak Rangga yang tiba-tiba membahas Pak Mahesa ditengah-tengah makan malam kami.“Gak apa-apa. Cuma nanya aja. Gue kok, ngeliatnya Bos lo itu agak ngebedain perilaku k
“Ada yang mau ketemu sama lo, Nggun.” Aku yang masih merasakan pusing akibat lemparan bola voli yang mengenaiku ketika aku menonton pertandingan voli yang diadakan oleh himpunan jurusan, meringis sambil bertanya pada Rani – teman sekelasku yang saat ini menemaniku di klinik kampus.“Gue juga gak tau. Asing banget mukanya.”“Ya udah suruh masuk aja.” Lagian siapa sih, orang yang masih mencariku disaat aku masih dalam keadaan sekarat seperti ini. Bukannya berlebihan, tetapi keadaanku memang cukup parah walau hanya terkena lemparan bola voli. Dahiku berdarah dan tadi aku juga sempat terhuyung jatuh sampai pingsan karena tidak kuat menahan nyeri kepala yang terasa seperti dihantam palu Thor. Itulah kenapa aku sampai dibawa ke klinik kampus dan disuruh istirahat.Tiba-tiba seorang laki-laki datang bersama Rani masuk ke ruanganku. Laki-laki itu bertubuh jangkung, dengan setelan meja kotak-kotak berwarna navy dan menenteng paper bag ditangannya. Aku mengernyit, merasa asing dengan wajahnya. R
Pak Mahesa meninggalkanku dengan sebuah tanda tanya besar yang kini masih memenuhi isi kepalaku. Sementara, kepalaku dipenuhi tanda tanya besar tentang maksud dari ucapannya yang terdengar jahat, suara dari pengeras studio yang mengumumkan bahwa film yang akan kutonton sudah dibuka teaternya, membuat fokusku menjadi pecah. Suara dari dalam dan suara dari luar kepalaku seakan bertabrakan membuat sebuah gelombang-gelombang rumit yang membuat kepalaku semakin pusing.Daripada terjebak dengan suara-suara yang membuat kepalaku pening, aku memutuskan untuk mengikuti Pak Mahesa yang sudah lebih dulu masuk ke dalam studio dan meninggalkanku bersama dengan pertanyaan-pertanyaan yang sengaja tidak dijawabnya. Aku bertekad menanyakan hal itu padanya sepulang menonton bioskop, tetapi kenyataannya, Pak Mahesa berhasil menghindariku dan pulang lebih dahulu. Aku yang tidak bisa mencegahnya hanya diam sambil menatap punggungnya yang kian menjauhi bioskop. Aku bahkan hampir dibuat frustasi olehya kare
Sepertinya yang namanya karma itu memang benar nyata adanya. Aku berbohong kepada Sera dan Kak Rangga dengan alasan bahwa Pak Mahesa tiba-tiba memanggilku sehingga aku harus segera pergi untuk menemui bosku. Tak kusangka semesta mengabulkan kebohonganku. Dan di sinilah kini aku berada. Duduk berdua bersama bosku di kursi tunggu bioskop untuk menunggu film yang akan kami tonton bersama diputar. Kalian pasti terkejut, kan? Aku yang mengalami sendiri lebih terkejut. Saat perjalanan pulang dari restoran tempatku makan dengan Kak Rangga dan juga Sera, aku sengaja tidak langsung pulang ke apartemen dan berpikir untuk jalan-jalan sebentar. Entah dapat ide dari mana, mobil yang kukendarai berbelok ke arah mal. Awalnya, aku berniat untuk keliling mal saja untuk mengusir rasa bosan, tetapi ketika lewat di depan bioskop entah kenapa kakiku tiba-tiba berbelok masuk ke sana. Aku membeli popcorn dan es milo kemudian berjalan untuk mengantri tiket di loket. Tanpa kuketahui, bosku juga sedang menga
“Lo itu deket banget, ya, sama bos lo?” Setelah makan siang bersama di kantorku tadi siang, Kak Rangga lanjut menawariku untuk pulang bersama sekalian makan malam. Kali ini aku tidak menyia-nyaiakan kesempatan untuk mempertemukan Sera dan Kak Rangga, sehingga aku mengiyakan ajakan Kak Rangga untuk makan malam bersama. Tidak lupa, aku juga menghubungi Sera untuk menyusulku makan malam di restoran tempat tujuan aku dan Kak Rangga. Aku tahu kalau Sera akan menolak kalau aku bilang bahwa aku sedang makan malam berdua dengan Kak Rangga dan menyuruhnya untuk menyusul. Makanya aku berbohong padanya dan mengatakan bahwa aku makan malam sendirian dan butuh teman makan malam. Sehingga aku menyuruhnya untuk segera menyusul ke restoran tempat tujuanku dan Kak Rangga.“Gak juga, sih, Kak. Emangnya kenapa?” Aku menatap bingung ke arah Kak Rangga yang tiba-tiba membahas Pak Mahesa ditengah-tengah makan malam kami.“Gak apa-apa. Cuma nanya aja. Gue kok, ngeliatnya Bos lo itu agak ngebedain perilaku k
Hari ini Kak Rangga mengirim pesan padaku yang berisi ajakan makan siang bersama. Aku sengaja meneruskan pesan itu pada Sera agar sahabatku itu mau menemaniku makan siang bersama Kak Rangga. Namun, Sera menolak mentah-mentah ajakanku dan seperti yang dibilangnya kemarin, dia tidak ingin menjadi obat nyamuk atas usaha CLBK yang sedang dijalankan oleh Kak Rangga. Itu asumsi Sera. Padahal niatku sebelumnya ingin mengenalkan Sera pada Kak Rangga, tetapi sepertinya sahabatku itu memang sudah bertekad untuk tidak membiarkan dirinya berada diposisi yang sulit. Pada akhirnya, karena terlanjur mengiyakan ajakan Kak Rangga, aku menyuruh Kak Rangga untuk datang ke kantorku dan makan siang bersama di kantin bawah dengan alasan bahwa aku masih punya banyak kerjaan dan tidak bisa lama-lama pergi ke luar. Jadi beginilah keadaannya sekarang. Aku sedang membereskan barang-barangku dan bersiap untuk turun menemui Kak Rangga yang sudah berada di kantin. Sementara aku sedang bersiap, Mbak Pita tiba-tiba m
“Sumpah! Gue kesel banget! Masa parfum Dior gue dibilang bau sama dia.” Aku misuh-misuh menceritakan kejadian tadi siang pada Sera. Setelah jam pulang kantor, aku sengaja mengajak Sera untuk pulang bersama sekalian mampir makan malam. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya aku mencaci maki bosku sembari mengucapkan sumpah serapah yang tak bisa kukeluarkan saat ada dihadapannya. Tak hanya sampai situ. Seakan belum puas mengata-ngatai bosku, aku melanjutkannya ketika makan malam bersama Sera. Sahabatku itu hanya diam mendengarkan sambil menyantap makan malamnya.“Hidung Bos lo sensitif kali, sama bau parfum mahal.” Sera menanggapi ocehanku ketika aku selesai mengeluarkan unek-unekku yang tidak berhenti sejak kami bertemu. Sepertinya sejak hari pertama bekerja, bagiku tiada hari di mana aku tidak menceritakan kelakuan bosku yang terlampau menyebalkan pada Sera. Bahkan Sera langsung paham ketika aku tiba-tiba sudah berada di apartemennya atau mengajaknya pulang bersama, sudah pasti aku
Aku menghampiri pak Mahesa yang sudah lebih dulu turun dan menungguku di lobi kantor. Hal pertama yang aku dapatkan ketika sampai dihadapannya adalah tatapan intimidasinya yang seakan sedang menilai penampilanku dari atas sampai bawah. Merasa diperhatikan secara berlebihan seperti itu, tentu saja membuatku risih dan err … salah tingkah. Aku memberanikan diri bertanya padanya.“Ada apa ya, Pak? Apa ada yang salah sama penampilan saya?”Pak Mahesa yang seakan mengerti arah pembicaraanku, segera melepaskan pandangannya. Dia tiba-tiba fokus dengan ponselnya, kemudian mengajakku untuk segera pergi ke basemen tempatnya memarkir mobil. Tingkahnya itu membuatku berpikir dia sedang menghindari pertanyaan yang tadi kulempar padanya. Aku mencoba untuk tidak peduli dan memilih mengekorinya menuju basemen.“Data-data yang saya message tadi sudah kamu bawa?” Pak Mahesa bertanya padaku setelah kami duduk di mobil.“Sudah, Pak,” jawabku.Semuanya berjalan baik-baik saja. Dalam perjalanan menuju kanto
Aku sampai di kantor lima belas menit lebih awal. Mbak Pita dan juga Rachel sudah duduk di kubikelnya. Mengobrol sesuatu yang aku tidak tahu apa.“Pagi semua. Ngomongin apa, nih? Seru banget keliatannya.” Aku sudah tidak canggung lagi mengobrol atau berbaur dengan mereka. Walaupun anak baru, aku cepat sekali beradaptasi. Berkat orang-orang kantor yang selalu merangkulku dan tidak membedakan walaupun aku anak baru, membuatku terbantu untuk akrab dengan mereka.“Gue abis war skincare kemarin. Ada promo gede-gedean. Kayaknya cuci gudang, deh.” Mbak Pita yang menjawab.“Gue juga kemaren ke sana, tapi udah keabisan,” ucapku sedih. “Lo war juga, Chel?” tanyaku pada Angel.“Iya dong!” ucapnya dengan bangga. Memang salah satu kebanggan bagi seorang wanita adalah ketika bisa mendapatkan barang dengan harga diskon. Apalagi ini skincare, surganya para wanita.“Anjir, iri banget gue. Padahal gue juga lagi kehabisan stok.” Aku menyayangkan kenapa kemarin tidak berangkat lebih pagi. Ini semua gara-g
“Lo habis ngomongin apaan sama bos lo tadi?” Sera bertanya ketika kami sudah duduk di mobil dan bersiap pulang.“Gak. Gak ada ngomong apa-apa.” Aku hanya malas bercerita dan tidak punya minat untuk membahas dengan siapapun, apa yang terjadi di antara kami tadi.“Lo yakin?” Aku mengangguk, yang membuat Sera akhirnya menyerah untuk mengorek informasi lebih lanjut dariku. Bukan tanpa alasan aku tidak ingin menceritakan apa yang terjadi antara aku dan pak Mahesa. Aku hanya ingin berhenti memikirkan terlalu berlebihan tentang bosku. Aku tidak ingin menganggap apa yang dikatakan bosku menjadi sesuatu yang penting. Aku ingin bersikap bodo amat. Dengan cara itu, aku bisa berhenti memikirkannya.“Gue kok, punya firasat negatif sama Bos lo, ya.”Hanya dipancing dengan pernyataan simpel dari Sera, hatiku dengan teganya berkhianat. Aku memberikan perhatian lebih pada Sera. Ingin mendengar lanjutan dari pernyataannya yang belum lengkap. Padahal tadi dengan tegas aku sudah meneguhkan hati untuk ber