Hari ini weekend. Seperti yang kami rencanakan semalam, aku dan Sera berencana pergi ke mal untuk cuci mata. Walaupun belum gajian, tetapi hasrat untuk jalan-jalan ke mal sambil melihat-lihat produk keluaran terbaru sudah memuncak. Apalagi informasi dari Sera, katanya akan ada promo brand make up kesukaanku. Aku tanpa berpikir panjang langsung mengiyakan ajakannya. Maklum, wanita. Kalau weekend dan bingung mau pergi kemana, sudah pasti tujuan akhirnya adalah mal. Ditambah ada promo. Kesempatan seperti ini mungkin tidak akan datang dua kali. Maka dari itu, aku tidak akan menyia-nyiakannya.
Aku sudah siap sejak jam sepuluh lalu, tetapi seperti yang sudah kuduga, tuan putri Sera baru bangun ketika aku sampai di apartemennya. Alhasil, aku harus lebih dulu membangunkannya seperti seorang ibu yang membangunkan anaknya untuk pergi ke sekolah.
Asal kalian tahu. Membangunkan Sera itu tidak gampang. Butuh effort lebih dari bekerja dua belas jam hanya untuk membangunkannya. Kalau kataku, Sera itu seperti tidur mati. Setelah matanya terpejam, dia akan terlelap seakan hidup abadi di alam mimpi. Bahkan kalau terjadi gempa atau bencana alam lainnya, mungkin saja Sera tidak akan bangun saking lelapnya.
“Lo kemarin janji, kita berangkat jam sepuluh. Sekarang udah jam setengah sebelas dan lo masih mau tidur? Bangun Ser!” Aku mengguncang tubuhnya berkali-kali, membuat Sera menggeliat.
“Lima menit lagi, Nggun. Lima menit.”
“Gak! Gak ada lima menit, lima menitan. Lo bangun sekarang atau gue ambil air dari kamar mandi, nih.” Mendengar ancamanku yang terdengar tidak main-main membuat Sera buru-buru bangkit.
“Gue tuh, baru ganti seprei semalem. Enak aja mau lo siram!” sewotnya.
“Bodo amat. Gue gak peduli!”
“Jahat lo.” Sera akhirnya bangkit dan duduk di kasur sambil mengucek matanya. “Ya udah gue mau mandi dulu.”
“Cepetan!”
“Bawel!”
Aku memutuskan untuk menunggu Sera yang sedang mandi sambil menonton televisi. Butuh waktu lama hingga Sera siap mandi dan merias diri. Tau kalau aku akan marah padanya, perempuan itu segera merangkulku untuk keluar dari apartemen.
“Hari ini gue yang traktir makan, deh. Udah, gak usah manyun gitu bibirnya.” Sera ini tau saja apa yang menjadi kelemahanku. Barang gratisan. Makanya setelah mendengar kata traktir keluar dari mulutnya, aku langsung tersenyum sumringah.
“Dasar matre lo! Giliran ditraktir aja langsung naik bibir lo, senyam-senyum.”
“Salah siapa bikin gue nunggu lama.”
“Salah sendiri semalem ngajak gue nonton drakor sampe jam dua. Wajar lah, gue bangun siang.”
Aku melotot mendengarnya menuduhku. “Helow? Siapa yang semalem ngerengek minta gue jangan pulang dulu? Duh, dasar mulutnya ini minta gue tarik, ya.” Sera hanya tertawa-tawa mendengar ucapanku.
Kami sampai di parkiran basemen mal setengah jam kemudian, mengendarai mobilku. Aku dan Sera langsung naik ke lantai dua begitu keluar dari basemen. Tanpa ba-bi-bu, satu-satunya tempat yang ingin aku datangi sekarang hanyalah toko brand make up kesukaanku yang saat ini sedang mengadakan promo. Namun, sayangnya kami terlambat, karena promo yang dikatakan Sera sudah habis sejak sejam yang lalu karena terbatas. Aku tidak bisa untuk tidak marah pada Sera. Kalau saja kami berangkat lebih awal pasti aku masih bisa mendapatkannya.
“Duh, bukan salah gue dong, kalo promonya udah abis. Salahin aja tuh, orang-orang yang pada beli, kenapa pada borong, jadi cepet abis, kan.”
“Eh, ege, kalo lo udah siap waktu gue dateng ke apartemen, kita gak bakalan dateng telat dan gue masih bisa dapet promonya.” Aku menoyor kepala Sera. Bisa-bisanya dia malah menyalahkan pembeli, dibanding sadar diri akan kesalahannya dan mengakuinnya.
Sera hanya menyengir mendengar ucapanku. “Ya udah, kita makan aja yok, gue traktir mumpung lagi baik hati.”
“Mata lo baik hati. Ini tuh emang kewajiban lo buat nebus dosa-dosa lo sama gue!”
Kami memutuskan makan sushi di restoran jepang yang ada di mal tersebut. Saat itu keadaan restoran sedang ramai-ramainya. Bahkan meja yang kami tempati adalah meja terakhir yang kosong. Efek weekend mungkin, makanya pengunjung restoran lebih ramai dari hari-hari biasanya. Ditambah saat ini memang sedang jamnya makan siang. Tidak heran kalau restoran di mal akan seramai ini.
“Gue mau ke toilet dulu, deh. Jagain tas gue, nih, Nggun.” Sera pamit pergi ke kamar mandi, membuatku harus duduk sendirian menunggunya. Aku memutuskan untuk memilih-milih menu sembari menunggu Sera kembali dari kamar mandi.
Ketika sedang asyik berkutat dengan buku menu di depanku, bahuku tiba-tiba ditepuk dari belakang. Seorang wanita yang umurnya berkisar lima puluh tahunan ke atas yang kuyakini sebagai pelaku yang menepuk bahuku berdiri sambil tersenyum menatapku, yang kubalas dengan senyuman kaku.
“Permisi, ini kursinya ada yang nempatin, gak, ya? Kebetulan saya lagi nyari kursi kosong buat duduk.”
“Oh, maaf, Ibu, kebetulan ini kursi teman saya. Dia lagi ke toilet sekarang.”
“Oh, gitu. Ya sudah kalau begitu. Makasih, ya, Nak.” Ibu itu tersenyum yang kubalas dengan senyuman juga.
“Kita pindah restoran aja deh, Ma.” Aku mendengar suara yang tidak asing terdengar di belakangku. Rasa penasaran yang memenuhi hatiku membuatku menolehkan kepala.
Dan … DUARRR.
Aku mendapati bosku – Pak Mahesa – bersama perempuan yang tadi meminta kursi padaku sedang berdiri sambi berbincang.
“Anggun?”
“Pak Mahesa?” Kami sama-sama terkejut dengan kebetulan yang terjadi. Apalagi aku.
Coba kalian bayangkan. Dari Senin sampai Jumat, aku sudah muak melihatnya hampir lebih dari dua belas jam. Dan kini, saat weekend, hari di mana seharusnya aku bisa absen melihat wajahnya, kenapa semesta seolah tidak rela membuat diriku bernapas sejenak dari tekanannya, hingga aku harus melihat wajahnya lagi? Apakah dunia memang sesempit itu?
“Kamu kenal dia, Sa?” Ibu itu yang kutebak adalah ibu dari Pak Mahesa bertanya.
“Ah, iya, Ma, dia karyawan aku di kantor. Namanya Anggun.”
“Anggun?” Ibu itu terlihat terkejut mendengar namaku disebut. Entah apa alasannya. Aku hanya bisa tersenyum dan berinisiatif mendekati ibu pak Mahesa dan menyalaminya sebagai bentuk rasa hormat.
“Kalau gitu kita gabung di meja kamu aja gimana, Nggun? Nanti saya minta tambahan kursi ke pelayan. Kamu gak keberatan, kan?” Itu terdengar seperti bukan pertanyaan, tetapi lebih ke sebuah perintah yang mau tidak mau harus aku terima. Yang kulakukan selanjutnya tentu saja mengangguk mengiyakan permintaannya.
“Iya, Pak. Boleh kok,” jawabku pasrah.
“Bener gak apa-apa, Nak Anggun? Nanti kami malah ganggu waktu kamu sama temen kamu.” Ibu Pak Mahesa terlihat tidak enak dengan permintaan putranya.
“Anggun gak apa-apa kok, Ma. Lagian, kan, meja mereka juga masih muat kalo kita berdua gabung. Iya gak, Nggun?”
GAK, PAK! BAPAK ITU MENGGANGGU BANGET! Ingin sekali aku berteriak seperti itu di depannya. Namun, apalah dayaku yang hanya bisa tersenyum dan mengangguk. “Iya, Bu. Gak apa-apa kok. Lagian mejanya masih muat buat kita berempat.” Aku bisa melihat Pak Mahesa tersenyum senang mendengar jawabanku. PUAS BAPAK SEKARANG?!
“Makasih banyak, ya, nanti biar kami yang bayarin bill kalian sebagai ucapan terima kasih.”
Aku menggeleng mendengar niat baik dari ibu Pak Mahesa. “Gak usah, Ibu. Ini gak seberapa, kok.”
“Gak apa-apa. Ibu juga pengin berbuat baik, jadi tolong terima, ya, Nak.” Aku yang tidak bisa menolak akhirnya hanya bisa menerima.
Setelahnya, Pak Mahesa meminta tambahan kursi kepada pelayan restoran kemudian memesan makan bersama ibunya setelah diberikan kursi.
Sera datang dengan raut keheranan ketika melihat dua wajah asing yang menempati salah satu tempat duduk di meja kami. Aku segera mengenalkan Pak Mahesa dan juga ibunya pada Sera agar sahabatku itu tidak merasa kebingungan.
“Itu Bos lo?” Sera menyenggolku yang sedang asyik menikmati sushi.
“Hmmm,” jawabku tak minat.
“Bos lo yang Mahesa itu, kan? Mantan lo dulu?” Kini gantian aku yang menyenggol Sera supaya mengontrol bicaranya. Jangan sampai Pak Mahesa mendengar percakapan kami. Kalau itu terjadi aku pasti akan dicap sebagai orang yang suka membicarakan orang lain di belakang, walaupun spesies manusia seperti bosku ini layak untuk dijadikan bahan gosip.
“Lo ngomongnya jangan kenceng-kenceng. Nanti kalo dia denger gimana?” bisikku pada Sera.
“Gila, ganteng banget, Nggun! Lo kok gak bilang kalau Mahesa bakal berubah seganteng ini? Kalau kerja ditemenin cowok seganteng dia, gue mah, betah-betah aja, Nggun.”
“Sssttt. Lo bisa diem gak, sih?” Aku kini tak segan-segan mencubit lengannya, membuat Sera kesakitan dan memilih diam.
“Sakit bego!” umpatnya sambil meringis kesakitan.
“Makanya diem bego!” bisikku kepadanya.
***
“Anggun ini udah lama kerja sama Esa?” Ibu Pak Mahesa memulai percakapan dengan kami setelah memesan menu pada pelayan restoran.“Belum lama ini kok, Bu. Anggun baru masuk semingguan yang lalu. Masih jadi anak baru,” jawbaku.“Oh, pantes aja, ibu gak pernah liat muka kamu di kantor. Soalnya ibu, tuh, biasanya ngajak anak bawahan Esa kalau lagi ada acara di rumah. Biar rame aja, gitu. Soalnya kan, Esa ini cuma dua bersaudara, ya. Adiknya di luar negeri. Jadi biar rame, ibu suruh dia ajak karyawannya aja ke rumah.” Aku mengangguk-angguk mendengarkan cerita ibu bos. Kalau dilihat sepertinya, ibu bos ini memang orang yang baik. Aku bisa melihat aura kebaikan memancar dari wajahnya. Bicaranya juga santun dan halus. Padahal ini pertama kali aku bertemu dan berbincang dengan beliau, tetapi aku bisa langsung nyaman dengannya.“Kalau Sera sendiri, satu kantor juga sama Anggun?” ibu bos gantian bertanya pada Sera.“Oh, gak Tante. Saya gak satu kantor sama Anggun. Kebetulan saya ini HR, tapi di p
“Lo habis ngomongin apaan sama bos lo tadi?” Sera bertanya ketika kami sudah duduk di mobil dan bersiap pulang.“Gak. Gak ada ngomong apa-apa.” Aku hanya malas bercerita dan tidak punya minat untuk membahas dengan siapapun, apa yang terjadi di antara kami tadi.“Lo yakin?” Aku mengangguk, yang membuat Sera akhirnya menyerah untuk mengorek informasi lebih lanjut dariku. Bukan tanpa alasan aku tidak ingin menceritakan apa yang terjadi antara aku dan pak Mahesa. Aku hanya ingin berhenti memikirkan terlalu berlebihan tentang bosku. Aku tidak ingin menganggap apa yang dikatakan bosku menjadi sesuatu yang penting. Aku ingin bersikap bodo amat. Dengan cara itu, aku bisa berhenti memikirkannya.“Gue kok, punya firasat negatif sama Bos lo, ya.”Hanya dipancing dengan pernyataan simpel dari Sera, hatiku dengan teganya berkhianat. Aku memberikan perhatian lebih pada Sera. Ingin mendengar lanjutan dari pernyataannya yang belum lengkap. Padahal tadi dengan tegas aku sudah meneguhkan hati untuk ber
Aku sampai di kantor lima belas menit lebih awal. Mbak Pita dan juga Rachel sudah duduk di kubikelnya. Mengobrol sesuatu yang aku tidak tahu apa.“Pagi semua. Ngomongin apa, nih? Seru banget keliatannya.” Aku sudah tidak canggung lagi mengobrol atau berbaur dengan mereka. Walaupun anak baru, aku cepat sekali beradaptasi. Berkat orang-orang kantor yang selalu merangkulku dan tidak membedakan walaupun aku anak baru, membuatku terbantu untuk akrab dengan mereka.“Gue abis war skincare kemarin. Ada promo gede-gedean. Kayaknya cuci gudang, deh.” Mbak Pita yang menjawab.“Gue juga kemaren ke sana, tapi udah keabisan,” ucapku sedih. “Lo war juga, Chel?” tanyaku pada Angel.“Iya dong!” ucapnya dengan bangga. Memang salah satu kebanggan bagi seorang wanita adalah ketika bisa mendapatkan barang dengan harga diskon. Apalagi ini skincare, surganya para wanita.“Anjir, iri banget gue. Padahal gue juga lagi kehabisan stok.” Aku menyayangkan kenapa kemarin tidak berangkat lebih pagi. Ini semua gara-g
Aku menghampiri pak Mahesa yang sudah lebih dulu turun dan menungguku di lobi kantor. Hal pertama yang aku dapatkan ketika sampai dihadapannya adalah tatapan intimidasinya yang seakan sedang menilai penampilanku dari atas sampai bawah. Merasa diperhatikan secara berlebihan seperti itu, tentu saja membuatku risih dan err … salah tingkah. Aku memberanikan diri bertanya padanya.“Ada apa ya, Pak? Apa ada yang salah sama penampilan saya?”Pak Mahesa yang seakan mengerti arah pembicaraanku, segera melepaskan pandangannya. Dia tiba-tiba fokus dengan ponselnya, kemudian mengajakku untuk segera pergi ke basemen tempatnya memarkir mobil. Tingkahnya itu membuatku berpikir dia sedang menghindari pertanyaan yang tadi kulempar padanya. Aku mencoba untuk tidak peduli dan memilih mengekorinya menuju basemen.“Data-data yang saya message tadi sudah kamu bawa?” Pak Mahesa bertanya padaku setelah kami duduk di mobil.“Sudah, Pak,” jawabku.Semuanya berjalan baik-baik saja. Dalam perjalanan menuju kanto
“Sumpah! Gue kesel banget! Masa parfum Dior gue dibilang bau sama dia.” Aku misuh-misuh menceritakan kejadian tadi siang pada Sera. Setelah jam pulang kantor, aku sengaja mengajak Sera untuk pulang bersama sekalian mampir makan malam. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya aku mencaci maki bosku sembari mengucapkan sumpah serapah yang tak bisa kukeluarkan saat ada dihadapannya. Tak hanya sampai situ. Seakan belum puas mengata-ngatai bosku, aku melanjutkannya ketika makan malam bersama Sera. Sahabatku itu hanya diam mendengarkan sambil menyantap makan malamnya.“Hidung Bos lo sensitif kali, sama bau parfum mahal.” Sera menanggapi ocehanku ketika aku selesai mengeluarkan unek-unekku yang tidak berhenti sejak kami bertemu. Sepertinya sejak hari pertama bekerja, bagiku tiada hari di mana aku tidak menceritakan kelakuan bosku yang terlampau menyebalkan pada Sera. Bahkan Sera langsung paham ketika aku tiba-tiba sudah berada di apartemennya atau mengajaknya pulang bersama, sudah pasti aku
Hari ini Kak Rangga mengirim pesan padaku yang berisi ajakan makan siang bersama. Aku sengaja meneruskan pesan itu pada Sera agar sahabatku itu mau menemaniku makan siang bersama Kak Rangga. Namun, Sera menolak mentah-mentah ajakanku dan seperti yang dibilangnya kemarin, dia tidak ingin menjadi obat nyamuk atas usaha CLBK yang sedang dijalankan oleh Kak Rangga. Itu asumsi Sera. Padahal niatku sebelumnya ingin mengenalkan Sera pada Kak Rangga, tetapi sepertinya sahabatku itu memang sudah bertekad untuk tidak membiarkan dirinya berada diposisi yang sulit. Pada akhirnya, karena terlanjur mengiyakan ajakan Kak Rangga, aku menyuruh Kak Rangga untuk datang ke kantorku dan makan siang bersama di kantin bawah dengan alasan bahwa aku masih punya banyak kerjaan dan tidak bisa lama-lama pergi ke luar. Jadi beginilah keadaannya sekarang. Aku sedang membereskan barang-barangku dan bersiap untuk turun menemui Kak Rangga yang sudah berada di kantin. Sementara aku sedang bersiap, Mbak Pita tiba-tiba m
“Lo itu deket banget, ya, sama bos lo?” Setelah makan siang bersama di kantorku tadi siang, Kak Rangga lanjut menawariku untuk pulang bersama sekalian makan malam. Kali ini aku tidak menyia-nyaiakan kesempatan untuk mempertemukan Sera dan Kak Rangga, sehingga aku mengiyakan ajakan Kak Rangga untuk makan malam bersama. Tidak lupa, aku juga menghubungi Sera untuk menyusulku makan malam di restoran tempat tujuan aku dan Kak Rangga. Aku tahu kalau Sera akan menolak kalau aku bilang bahwa aku sedang makan malam berdua dengan Kak Rangga dan menyuruhnya untuk menyusul. Makanya aku berbohong padanya dan mengatakan bahwa aku makan malam sendirian dan butuh teman makan malam. Sehingga aku menyuruhnya untuk segera menyusul ke restoran tempat tujuanku dan Kak Rangga.“Gak juga, sih, Kak. Emangnya kenapa?” Aku menatap bingung ke arah Kak Rangga yang tiba-tiba membahas Pak Mahesa ditengah-tengah makan malam kami.“Gak apa-apa. Cuma nanya aja. Gue kok, ngeliatnya Bos lo itu agak ngebedain perilaku k
Sepertinya yang namanya karma itu memang benar nyata adanya. Aku berbohong kepada Sera dan Kak Rangga dengan alasan bahwa Pak Mahesa tiba-tiba memanggilku sehingga aku harus segera pergi untuk menemui bosku. Tak kusangka semesta mengabulkan kebohonganku. Dan di sinilah kini aku berada. Duduk berdua bersama bosku di kursi tunggu bioskop untuk menunggu film yang akan kami tonton bersama diputar. Kalian pasti terkejut, kan? Aku yang mengalami sendiri lebih terkejut. Saat perjalanan pulang dari restoran tempatku makan dengan Kak Rangga dan juga Sera, aku sengaja tidak langsung pulang ke apartemen dan berpikir untuk jalan-jalan sebentar. Entah dapat ide dari mana, mobil yang kukendarai berbelok ke arah mal. Awalnya, aku berniat untuk keliling mal saja untuk mengusir rasa bosan, tetapi ketika lewat di depan bioskop entah kenapa kakiku tiba-tiba berbelok masuk ke sana. Aku membeli popcorn dan es milo kemudian berjalan untuk mengantri tiket di loket. Tanpa kuketahui, bosku juga sedang menga
“Ada yang mau ketemu sama lo, Nggun.” Aku yang masih merasakan pusing akibat lemparan bola voli yang mengenaiku ketika aku menonton pertandingan voli yang diadakan oleh himpunan jurusan, meringis sambil bertanya pada Rani – teman sekelasku yang saat ini menemaniku di klinik kampus.“Gue juga gak tau. Asing banget mukanya.”“Ya udah suruh masuk aja.” Lagian siapa sih, orang yang masih mencariku disaat aku masih dalam keadaan sekarat seperti ini. Bukannya berlebihan, tetapi keadaanku memang cukup parah walau hanya terkena lemparan bola voli. Dahiku berdarah dan tadi aku juga sempat terhuyung jatuh sampai pingsan karena tidak kuat menahan nyeri kepala yang terasa seperti dihantam palu Thor. Itulah kenapa aku sampai dibawa ke klinik kampus dan disuruh istirahat.Tiba-tiba seorang laki-laki datang bersama Rani masuk ke ruanganku. Laki-laki itu bertubuh jangkung, dengan setelan meja kotak-kotak berwarna navy dan menenteng paper bag ditangannya. Aku mengernyit, merasa asing dengan wajahnya. R
Pak Mahesa meninggalkanku dengan sebuah tanda tanya besar yang kini masih memenuhi isi kepalaku. Sementara, kepalaku dipenuhi tanda tanya besar tentang maksud dari ucapannya yang terdengar jahat, suara dari pengeras studio yang mengumumkan bahwa film yang akan kutonton sudah dibuka teaternya, membuat fokusku menjadi pecah. Suara dari dalam dan suara dari luar kepalaku seakan bertabrakan membuat sebuah gelombang-gelombang rumit yang membuat kepalaku semakin pusing.Daripada terjebak dengan suara-suara yang membuat kepalaku pening, aku memutuskan untuk mengikuti Pak Mahesa yang sudah lebih dulu masuk ke dalam studio dan meninggalkanku bersama dengan pertanyaan-pertanyaan yang sengaja tidak dijawabnya. Aku bertekad menanyakan hal itu padanya sepulang menonton bioskop, tetapi kenyataannya, Pak Mahesa berhasil menghindariku dan pulang lebih dahulu. Aku yang tidak bisa mencegahnya hanya diam sambil menatap punggungnya yang kian menjauhi bioskop. Aku bahkan hampir dibuat frustasi olehya kare
Sepertinya yang namanya karma itu memang benar nyata adanya. Aku berbohong kepada Sera dan Kak Rangga dengan alasan bahwa Pak Mahesa tiba-tiba memanggilku sehingga aku harus segera pergi untuk menemui bosku. Tak kusangka semesta mengabulkan kebohonganku. Dan di sinilah kini aku berada. Duduk berdua bersama bosku di kursi tunggu bioskop untuk menunggu film yang akan kami tonton bersama diputar. Kalian pasti terkejut, kan? Aku yang mengalami sendiri lebih terkejut. Saat perjalanan pulang dari restoran tempatku makan dengan Kak Rangga dan juga Sera, aku sengaja tidak langsung pulang ke apartemen dan berpikir untuk jalan-jalan sebentar. Entah dapat ide dari mana, mobil yang kukendarai berbelok ke arah mal. Awalnya, aku berniat untuk keliling mal saja untuk mengusir rasa bosan, tetapi ketika lewat di depan bioskop entah kenapa kakiku tiba-tiba berbelok masuk ke sana. Aku membeli popcorn dan es milo kemudian berjalan untuk mengantri tiket di loket. Tanpa kuketahui, bosku juga sedang menga
“Lo itu deket banget, ya, sama bos lo?” Setelah makan siang bersama di kantorku tadi siang, Kak Rangga lanjut menawariku untuk pulang bersama sekalian makan malam. Kali ini aku tidak menyia-nyaiakan kesempatan untuk mempertemukan Sera dan Kak Rangga, sehingga aku mengiyakan ajakan Kak Rangga untuk makan malam bersama. Tidak lupa, aku juga menghubungi Sera untuk menyusulku makan malam di restoran tempat tujuan aku dan Kak Rangga. Aku tahu kalau Sera akan menolak kalau aku bilang bahwa aku sedang makan malam berdua dengan Kak Rangga dan menyuruhnya untuk menyusul. Makanya aku berbohong padanya dan mengatakan bahwa aku makan malam sendirian dan butuh teman makan malam. Sehingga aku menyuruhnya untuk segera menyusul ke restoran tempat tujuanku dan Kak Rangga.“Gak juga, sih, Kak. Emangnya kenapa?” Aku menatap bingung ke arah Kak Rangga yang tiba-tiba membahas Pak Mahesa ditengah-tengah makan malam kami.“Gak apa-apa. Cuma nanya aja. Gue kok, ngeliatnya Bos lo itu agak ngebedain perilaku k
Hari ini Kak Rangga mengirim pesan padaku yang berisi ajakan makan siang bersama. Aku sengaja meneruskan pesan itu pada Sera agar sahabatku itu mau menemaniku makan siang bersama Kak Rangga. Namun, Sera menolak mentah-mentah ajakanku dan seperti yang dibilangnya kemarin, dia tidak ingin menjadi obat nyamuk atas usaha CLBK yang sedang dijalankan oleh Kak Rangga. Itu asumsi Sera. Padahal niatku sebelumnya ingin mengenalkan Sera pada Kak Rangga, tetapi sepertinya sahabatku itu memang sudah bertekad untuk tidak membiarkan dirinya berada diposisi yang sulit. Pada akhirnya, karena terlanjur mengiyakan ajakan Kak Rangga, aku menyuruh Kak Rangga untuk datang ke kantorku dan makan siang bersama di kantin bawah dengan alasan bahwa aku masih punya banyak kerjaan dan tidak bisa lama-lama pergi ke luar. Jadi beginilah keadaannya sekarang. Aku sedang membereskan barang-barangku dan bersiap untuk turun menemui Kak Rangga yang sudah berada di kantin. Sementara aku sedang bersiap, Mbak Pita tiba-tiba m
“Sumpah! Gue kesel banget! Masa parfum Dior gue dibilang bau sama dia.” Aku misuh-misuh menceritakan kejadian tadi siang pada Sera. Setelah jam pulang kantor, aku sengaja mengajak Sera untuk pulang bersama sekalian mampir makan malam. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya aku mencaci maki bosku sembari mengucapkan sumpah serapah yang tak bisa kukeluarkan saat ada dihadapannya. Tak hanya sampai situ. Seakan belum puas mengata-ngatai bosku, aku melanjutkannya ketika makan malam bersama Sera. Sahabatku itu hanya diam mendengarkan sambil menyantap makan malamnya.“Hidung Bos lo sensitif kali, sama bau parfum mahal.” Sera menanggapi ocehanku ketika aku selesai mengeluarkan unek-unekku yang tidak berhenti sejak kami bertemu. Sepertinya sejak hari pertama bekerja, bagiku tiada hari di mana aku tidak menceritakan kelakuan bosku yang terlampau menyebalkan pada Sera. Bahkan Sera langsung paham ketika aku tiba-tiba sudah berada di apartemennya atau mengajaknya pulang bersama, sudah pasti aku
Aku menghampiri pak Mahesa yang sudah lebih dulu turun dan menungguku di lobi kantor. Hal pertama yang aku dapatkan ketika sampai dihadapannya adalah tatapan intimidasinya yang seakan sedang menilai penampilanku dari atas sampai bawah. Merasa diperhatikan secara berlebihan seperti itu, tentu saja membuatku risih dan err … salah tingkah. Aku memberanikan diri bertanya padanya.“Ada apa ya, Pak? Apa ada yang salah sama penampilan saya?”Pak Mahesa yang seakan mengerti arah pembicaraanku, segera melepaskan pandangannya. Dia tiba-tiba fokus dengan ponselnya, kemudian mengajakku untuk segera pergi ke basemen tempatnya memarkir mobil. Tingkahnya itu membuatku berpikir dia sedang menghindari pertanyaan yang tadi kulempar padanya. Aku mencoba untuk tidak peduli dan memilih mengekorinya menuju basemen.“Data-data yang saya message tadi sudah kamu bawa?” Pak Mahesa bertanya padaku setelah kami duduk di mobil.“Sudah, Pak,” jawabku.Semuanya berjalan baik-baik saja. Dalam perjalanan menuju kanto
Aku sampai di kantor lima belas menit lebih awal. Mbak Pita dan juga Rachel sudah duduk di kubikelnya. Mengobrol sesuatu yang aku tidak tahu apa.“Pagi semua. Ngomongin apa, nih? Seru banget keliatannya.” Aku sudah tidak canggung lagi mengobrol atau berbaur dengan mereka. Walaupun anak baru, aku cepat sekali beradaptasi. Berkat orang-orang kantor yang selalu merangkulku dan tidak membedakan walaupun aku anak baru, membuatku terbantu untuk akrab dengan mereka.“Gue abis war skincare kemarin. Ada promo gede-gedean. Kayaknya cuci gudang, deh.” Mbak Pita yang menjawab.“Gue juga kemaren ke sana, tapi udah keabisan,” ucapku sedih. “Lo war juga, Chel?” tanyaku pada Angel.“Iya dong!” ucapnya dengan bangga. Memang salah satu kebanggan bagi seorang wanita adalah ketika bisa mendapatkan barang dengan harga diskon. Apalagi ini skincare, surganya para wanita.“Anjir, iri banget gue. Padahal gue juga lagi kehabisan stok.” Aku menyayangkan kenapa kemarin tidak berangkat lebih pagi. Ini semua gara-g
“Lo habis ngomongin apaan sama bos lo tadi?” Sera bertanya ketika kami sudah duduk di mobil dan bersiap pulang.“Gak. Gak ada ngomong apa-apa.” Aku hanya malas bercerita dan tidak punya minat untuk membahas dengan siapapun, apa yang terjadi di antara kami tadi.“Lo yakin?” Aku mengangguk, yang membuat Sera akhirnya menyerah untuk mengorek informasi lebih lanjut dariku. Bukan tanpa alasan aku tidak ingin menceritakan apa yang terjadi antara aku dan pak Mahesa. Aku hanya ingin berhenti memikirkan terlalu berlebihan tentang bosku. Aku tidak ingin menganggap apa yang dikatakan bosku menjadi sesuatu yang penting. Aku ingin bersikap bodo amat. Dengan cara itu, aku bisa berhenti memikirkannya.“Gue kok, punya firasat negatif sama Bos lo, ya.”Hanya dipancing dengan pernyataan simpel dari Sera, hatiku dengan teganya berkhianat. Aku memberikan perhatian lebih pada Sera. Ingin mendengar lanjutan dari pernyataannya yang belum lengkap. Padahal tadi dengan tegas aku sudah meneguhkan hati untuk ber