Aku keluar dari ruang HRD dengan wajah sumringah. Setelah menandatangani beberapa berkas perjanjian kerja yang harus aku tandatangani, aku keluar bersama salah satu staf bagian personalia untuk diantar ke ruangan divisi accounting. Yash! Setelah enam bulan menganggur dan bertahan hidup dengan gaji terakhirku di kantor lama, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan juga. Hari ini dan seterusnya aku jamin tidak akan makan tahu-tempe-telur setiap hari. Penderitaanku akan berakhir. Aku akan melunasi hutangku pada Sera, membayar sewa apartemen yang nunggak satu bulan dan rencana-rencana tertunda lainnya yang tidak bisa aku bayangkan dulu sewaktu masih menganggur.
Kami sampai di lantai tiga tempat divisi accounting berada beberapa menit kemudian. Aku diperkenalkan dengan salah satu karyawan di sana yang kuketahui bernama Puspita. Setelah bersalaman dan memperkenalkan diri dengan Mbak Puspita, staf bagian personalia yang mengantarku yang kuketahui bernama Fatma meninggalkan aku agar bisa segera bergabung untuk bekerja.
“Gue titip ya, Pit,” ucap Mbak Fatma pada Mbak Puspita.
“Titap-titip, lo kira paket COD-an.” Mereka berdua tertawa, begitu juga dengan aku.
Setelahnya, Mbak Puspita mengajakku untuk masuk ke ruangan divisi accounting. Ruangan itu terdiri dari kubikel-kubikel yang bersekat-sekat. Kubikel-kubikel yang ada, disusun secara bergerombol menjadi tim-tim dengan jumlah anggota berbeda-beda. Di sudut ruangan, ada satu ruang tersendiri yang pintunya terbuat dari kaca. Aku membaca papan yang tertempel di depan pintu. Ternyata itu ruang manajer divisi accounting, yang artinya adalah ruangan dari bos baruku nanti.
“Mulai sekarang meja ini jadi meja kerja lo.” Mbak Puspita mengantarku ke sebuah kubikel yang akan menjadi meja kerjaku
“Makasih, Mbak Puspita.” Aku tersenyum.
Mbak Puspita tertawa. “Panggil Pita aja. Oh iya, btw gue mau ke ruangan bos dulu, lo nunggu di sini aja. Nanti bos yang bakal jelasin tugas dan tanggung jawab lo di sini. Kalo mau, lo bisa liat-liat dulu, tapi jangan sampe ganggu yang lain.”
Aku mengangguk paham dengan ucapan Mbak Pita. Alih-alih berdiam diri menunggu Mbak Pita kembali, aku memilih untuk menyapa orang yang kubikelnya berada persis di sampingku.
“Halo, Mas. Kenalin saya Anggun.”
Pria itu menoleh, kemudian tersenyum ke arahku. “Gak perlu pake Mas. Kayaknya kita seumuran, deh. Panggil aja Reno.”
Aku tersenyum canggung dan mengangguk menyetujui ucapannya. “Oke, Reno.”
“Halo, Mbak. Kenalin juga aku Rachel.” Perempuan yang kubikelnya berada tepat di depan Reno ikut menyapa.
“Salam kenal Mbak Rachel. Kenalin saya Anggun.”
Rachel mengibaskan tangannya. “Aduh, jangan panggil Mbak, aku juga anak baru di sini.”
Aku tidak terlalu terkejut dengan pengakuan yang dibeberkan Rachel. Dilihat dari wajahnya, perempuan itu memang terlihat masih muda. Mungkin saja umurnya tak jauh berbeda dengan umurku, atau bisa jadi malah lebih muda dariku.
Kami mengobrol sebentar sambil menunggu Mbak Pita kembali. Reno dan Rachel sempat menanyakan di mana aku bekerja sebelum ini. Aku menyebutkan kantor tempatku bekerja dulu dan menceritakan sedikit pengalaman kerja di kantor lamaku. Dari percakapan itu, kuketahui kalau Reno sudah bekerja di perusahaan ini selama kurang lebih tiga tahun sejak pria itu lulus kuliah sedangkan Rachel ternyata fresh graduate yang baru bergabung enam bulan lalu. Percapakan kami terhenti begitu Mbak Pita keluar dari ruangan Pak Bos dan berjalan menghampiriku. Dia menyapa Reno dan Rachel kemudian mengajakku untuk pergi menemui pak bos di ruangannya.
“Yuk, gue anter ke ruangan bos. Gue duluan ya, guys.” Mbak Pita melambai kepada Reno dan Rachel, sedangkan aku mengekorinya menuju ruangan bos. Dalam perjalanan menuju ruangan pak bos, aku gelisah bukan main. Entah mengapa jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang hanya memikirkan bahwa aku akan bertemu dengan bosku. Aku membayangkan bagaimana sosok bosku nanti. Bagaimana first impression-nya terhadapku. Aku berubah jadi seperti fresh graduate yang baru memulai pekerjaan pertamanya.
Seakan mengerti kegelisahaanku, Mbak Pita berucap menenangkan. “Selow aja, Nggun, Bos orangnya baik, kok. Cuma agak serem aja kalo nagih deadline. Tapi semua Bos, kan, emang nyebelin kalo lagi nagih deadline. Apalagi kalo lagi closing. Iya, kan?”
Aku mengangguk, membenarkan perkataan Mbak Pita. Itu memang tugas seorang bos untuk memaki-maki bawahannya ketika kita tidak bisa mencapai target atau belum menyelesaikan pekerjaannya sampai deadline yang ditentukan. Aku hanya perlu menghindari dua hal itu agar tidak kena ocehan panjang lebarnya, kan?
Nyatanya semua itu tak berlaku bagiku saat ini. Bullshit jika aku mengatakan akan terhindar dari omelan si bos jika menghindari dua hal yang sudah kusebutkan tadi, karena situasinya berbeda jika ternyata orang yang menjadi bosku adalah MANTANKU LIMA TAHUN LALU. Oh, jangan lupakan kenyataan bahwa kami berpisah karena aku yang mencampakkannya. See? Apakah aku akan aman jika kenyataan yang kuhadapi seberat ini? Jika ini adalah drama korea, penonton pasti akan mem-play back adegan saat di mana mataku dan mata bos bertemu saat pertama kali. Aku melotot saking terkejutnya ketika melihat mantanku duduk di kursi kebesarannya. Really? Ini bukan mimpi, kan? Baru pertama kali bekerja, aku sudah mendapatkan cobaan seberat ini. Ya Tuhan!
“Permisi Pak, ini karyawan divisi accounting yang baru. Namanya Anggun, dia orang yang akan menggantikan tugas Andre sementara sampai Andre selesai cuti.” Mbak Pita memperkenalkanku pada pak bos.
Aku sudah ketar-ketir ketika mata itu menatap ke arahku. Namun, tak kulihat reaksi berlebihan seperti apa yang ada dibayanganku di balik bola mata hitam legamnya. Justru yang kudapati adalah tatapan dan ekspresi yang datar menatapku.
“Duduk.” Pria itu menyuruhku untuk duduk yang kuturuti dengan segera. Setelahnya Mbak Pita izin keluar dan membiarkan kami berada dalam ruangan itu hanya berdua saja.
Pak bos berdeham kemudian mulai bertanya. “Nama kamu siapa?”
“Perkenalkan saya Anggun, Pak. Mohon bantuannya.” Walaupun sedikit heran, tetapi aku tetap menjawab pertanyaannya. Apa dia tidak mengenaliku? Atau aku salah orang?
Setelahnya, pria itu malah sibuk mengetikkan sesuatu di keyboard-nya dan mengabaikan. Sambil menyelam minum air, aku mencari-cari sesuatu yang bisa menguatkan dugaanku soal pria yang ada di depanku. Ketika melihat papan nama yang tergeletak di kabinet belakang kursinya aku membaca nama Mahesa Bagaswara tertulis di sana. Jadi dia benar Mahesa mantanku lima tahun lalu yang aku campakkan? Kenapa dia tidak mengenaliku.
“Maaf, maaf. Ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan dulu tadi. Oh iya, nama kamu siapa tadi?”
“Nama saya Anggun, Pak. Anggun Prasesti,” ulangku, menyebut nama lengkapku.
Pria di depanku mengangguk-angguk kemudian matanya kembali bertemu dengan mataku. “Oke, Anggun, perkenalkan saya Mahesa, manajer divisi accounting. Nantinya kamu bakal bertanggung jawab menyelesaikan pekerjaanmu kepada saya. Jadi pertama-tama saya mau jelasin dulu, kalau di divisi accounting ini ada tiga sub bagian. Pertama ada bagian akuntansi, yang kedua bagian pajak, dan yang ketiga bagian cost. Jadi tugas kamu sekarang menggantikan tugas Andre yang sekarang lagi cuti.”
“Baik, Pak.”
“Sebelum ini kamu kerja di mana?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menyebutkan perusahaan tempatku bekerja dulu yang direspon dengan anggukan olehnya.
“Saya cuma berharap kalau kamu bisa bekerja dengan baik di kantor ini. Karena saya bukan tipikal orang yang mau bekerja dengan orang yang tidak becus dalam bekerja.”
Aku begitu tertohok mendengar perkataannya, tetapi tidak tersinggung. Yang dikatakan Pak Mahesa memang benar. Siapa pula yang ingin bekerja dengan orang yang tidak becus dalam menyelesaikan pekerjaan? Bukannya selesai malah pekerjaan akan bertambah lebih banyak.
Pak Mahesa berjalan ke arah meja yang berada di seberangnya, kemudian mengambil tumpukkan dokumen faktur dan menyerahkan kepadaku. “Ini dokumen-dokumen yang harus kamu kerjakan. Tolong jurnal dan kirim ke saya siang ini. Bisa?”
Aku mengangguk. “Baik, Pak.”
“Ada yang mau kamu tanyakan?”
Aku menggeleng. Sudah paham dengan apa yang diinstrusikan kepadaku. “Untuk saat ini belum, Pak.”
“Oke. Kalau gak ada yang mau kamu tanyakan. Kamu boleh kembali ke meja kamu.”
Aku permisi pamit keluar dari ruangannya. Walaupun merasa lega karena mungkin saja Pak Mahesa tidak mengenaliku, entah kenapa di sisi lain aku juga merasa kecewa. Egoku tersentil mengetahui bahwa hanya aku yang masih mengingat pria itu, tidak sebaliknya. Dimana-mana kan, orang yang dicampakkan lebih mengingat wajah orang yang mencampakkannya. Ini kenapa terbalik, sih?
Aku memutuskan untuk kembali ke meja kerjaku dan mulai mengerjakan apa yang diperintahkan Pak Mahesa.
“Gimana, Nggun? Bos orangnya baik, kan?” Mbak Pita bertanya padaku sekembalinya aku dari ruangan Pak Bos.
“Euummm, belum tahu sih, Mbak. Kan, baru ketemu sekali.”
“Pak Mahesa itu bos paling baik yang pernah gue temuin. Lo beruntung dapetin bos kayak dia. Cuma ya gitu, kalo lagi closingan, si bos berubah jadi ada serem-seremnya dikit. Tapi, wajar kan, namanya juga diteken deadline, pasti semua bos juga bakal lebih tegas sama anak buahnya.” Aku mendengarkan saja apa kata Reno. Semoga apa yang dikatakan Reno benar. Asalkan Pak Mahesa tidak pernah mengenaliku pasti kehidupanku di kantor akan sempurna.
Yah, semoga saja Pak Mahesa tidak akan pernah mengenali siapa diriku sebenarnya. Semoga.
***
“Jadi lo udah mulai kerja hari ini?” Aku mengangguk menjawab pertanyaan Sera yang kini tengah mengaduk cokelat panasnya.“Wah, berarti lo udah bisa mulai nyicil utang-utang lo sama gue, dong!” Sera berteriak semangat. Dia menyelipkan nada menggoda dibalik ucapannya.“Ya gitu, deh.” Aku menjawab tak semangat godaan Sera. Sera mengernyit. Dia membawa coklat panas yang baru saja dibuatnya kemudian mendekat ke arahku. Kami sekarang sedang berada di depan televisi di apartemen Sera. Aku sengaja langsung ke sini setelah pulang kerja. Aku merasa harus meluruhkan semua bebanku dengan bercerita pada orang lain.“Lo kenapa, sih? Kok malah kayak gak semangat gitu baru dapet kerja?” tanya Sera keheranan. Pasalnya selama enam bulan menganggur, aku pontang-panting mencari pekerjaan untuk menyambung hidupku di ibu kota ini. Sera sendiri yang melihat perjuanganku datang interview ke perusahaan-perusahaan, kemudian menggalau ketika dua minggu kemudian tidak ada tindak lanjut proses selanjutnya. Hingg
Baik apanya? Masih dalam batas wajar dilihat dari Hongkong? Yang dikatakan oleh Reno semuanya bullshit! Aku malah akan sujud syukur jika yang menjadi bosku sekarang bukan Pak Mahesa. Nasib beruntung memiliki bos seperti Pak Mahesa hanya kebohongan belaka.Bagaimana tidak? Selama seminggu bekerja di bawah tangannya, aku dihajar habis-habisan! Lembur setiap hari, revisi tiada henti, deadline yang diluar nalar. Ah, rasanya hampir gila menghadapi bosku yang satu itu. Jangan lupa sarkasme yang selalu dilemparkan kepadaku ketika mengantar hasil revisi pekerjaan. Aku ingat sekali setiap gerakan tubuhnya ketika membaca hasil revisianku. Tangannya akan mengetuk-ngetuk pada meja sambil menggoyang-goyangkan kursi putarnya seirama dengan ketukan tangannya. Kakinya akan diangkat ke atas. Kemudian matanya menatap tajam ke arah kertas. Setelah selesai membaca, dia akan mendongak. Sambil tersenyum sinis mulutnya yang serasa garam dicabein akan berkata, “Cuma segini kompetensi yang kamu punya?”. Yang
Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikan keadaan antara aku dan Pak Mahesa. Mobil yang kami tumpangi, sepertinya lebih tepat disebut rumah hantu yang suasananya sepi dan mencekam. Bagaimana tidak? Salah satu dari kami tidak ada yang mau memulai percakapan untuk mencairkan suasana. Sampai akhirnya bunyi ponsel Pak Mahesa memecahkan keheningan di antara kami. Aku melirik Pak Bos yang mengambil ponsel di saku jasnya, kemudian mengangkat panggilan telepon entah dari siapa. “Ya, Ma?” Kini aku tau kalau yang menelpon Pak Bos adalah ibunya. “Lagi di jalan. Kenapa, Ma?” Aku mencoba untuk tidak peduli. Memilih untuk memperhatikan jalanan lewat kaca jendela mobil, walaupun dalam hati muncul juga sedikit rasa kepo tentang apa yang dibicarakan Pak Bos dan ibunya. “Ma! Esa, kan, udah bilang kalo Esa gak mau dijodoh-jodohin kayak gitu. Berapa kali, sih, Esa harus bilang ke Mama?” Sumpah demi apapun! Aku tidak berniat menguping sekalipun! Salah siapa bos harus menelpon di sampingku, mana bisa
“Semalem lo lembur lagi, Nggun?” Aku baru saja mendudukan diri di atas kursi ketika Mbak Pita bertanya padaku. “Iya, nih, Mbak.” “Heran banget gue, kenapa Pak Mahesa demen banget ngajakin lo lembur.” Reno yang berada di sebelahku ikut menimpali. “Udah ketahuan banget, nih, siapa yang bakal dapet bonus paling banyak akhir tahun ini. Jangan lupa traktir kita-kita ya, Nggun.” Mbak Pita berucap menggodaku. “Percuma dapet bonusan banyak, kalo badan remuk semua. Gue, mah, gak peduli bonusan gede, Mbak. Sehari aja gue bisa tidur tepat waktu, udah bikin gue sujud syukur.” Reno dan Mbak Pita tertawa mendengar keluhanku. “Tapi, emang sih, akhir-akhir ini Pak Mahesa kayak lagi orang kesurupan kerja. Apesnya, yang jadi tumbal nemenin dia lembur, elo, Nggun. Gue kayaknya harus berterima kasih deh, sama lo, karena udah menyelematkan gue dari maut ini. Gak kebayang sih, kalo gue jadi lo.” Mbak Pita bergidik sendiri membayangkan. Lihat, kan, teman-teman kantorku saja ogah, apalagi aku. “Ah, lo
Hari ini weekend. Seperti yang kami rencanakan semalam, aku dan Sera berencana pergi ke mal untuk cuci mata. Walaupun belum gajian, tetapi hasrat untuk jalan-jalan ke mal sambil melihat-lihat produk keluaran terbaru sudah memuncak. Apalagi informasi dari Sera, katanya akan ada promo brand make up kesukaanku. Aku tanpa berpikir panjang langsung mengiyakan ajakannya. Maklum, wanita. Kalau weekend dan bingung mau pergi kemana, sudah pasti tujuan akhirnya adalah mal. Ditambah ada promo. Kesempatan seperti ini mungkin tidak akan datang dua kali. Maka dari itu, aku tidak akan menyia-nyiakannya. Aku sudah siap sejak jam sepuluh lalu, tetapi seperti yang sudah kuduga, tuan putri Sera baru bangun ketika aku sampai di apartemennya. Alhasil, aku harus lebih dulu membangunkannya seperti seorang ibu yang membangunkan anaknya untuk pergi ke sekolah.Asal kalian tahu. Membangunkan Sera itu tidak gampang. Butuh effort lebih dari bekerja dua belas jam hanya untuk membangunkannya. Kalau kataku, Sera
“Anggun ini udah lama kerja sama Esa?” Ibu Pak Mahesa memulai percakapan dengan kami setelah memesan menu pada pelayan restoran.“Belum lama ini kok, Bu. Anggun baru masuk semingguan yang lalu. Masih jadi anak baru,” jawbaku.“Oh, pantes aja, ibu gak pernah liat muka kamu di kantor. Soalnya ibu, tuh, biasanya ngajak anak bawahan Esa kalau lagi ada acara di rumah. Biar rame aja, gitu. Soalnya kan, Esa ini cuma dua bersaudara, ya. Adiknya di luar negeri. Jadi biar rame, ibu suruh dia ajak karyawannya aja ke rumah.” Aku mengangguk-angguk mendengarkan cerita ibu bos. Kalau dilihat sepertinya, ibu bos ini memang orang yang baik. Aku bisa melihat aura kebaikan memancar dari wajahnya. Bicaranya juga santun dan halus. Padahal ini pertama kali aku bertemu dan berbincang dengan beliau, tetapi aku bisa langsung nyaman dengannya.“Kalau Sera sendiri, satu kantor juga sama Anggun?” ibu bos gantian bertanya pada Sera.“Oh, gak Tante. Saya gak satu kantor sama Anggun. Kebetulan saya ini HR, tapi di p
“Lo habis ngomongin apaan sama bos lo tadi?” Sera bertanya ketika kami sudah duduk di mobil dan bersiap pulang.“Gak. Gak ada ngomong apa-apa.” Aku hanya malas bercerita dan tidak punya minat untuk membahas dengan siapapun, apa yang terjadi di antara kami tadi.“Lo yakin?” Aku mengangguk, yang membuat Sera akhirnya menyerah untuk mengorek informasi lebih lanjut dariku. Bukan tanpa alasan aku tidak ingin menceritakan apa yang terjadi antara aku dan pak Mahesa. Aku hanya ingin berhenti memikirkan terlalu berlebihan tentang bosku. Aku tidak ingin menganggap apa yang dikatakan bosku menjadi sesuatu yang penting. Aku ingin bersikap bodo amat. Dengan cara itu, aku bisa berhenti memikirkannya.“Gue kok, punya firasat negatif sama Bos lo, ya.”Hanya dipancing dengan pernyataan simpel dari Sera, hatiku dengan teganya berkhianat. Aku memberikan perhatian lebih pada Sera. Ingin mendengar lanjutan dari pernyataannya yang belum lengkap. Padahal tadi dengan tegas aku sudah meneguhkan hati untuk ber
Aku sampai di kantor lima belas menit lebih awal. Mbak Pita dan juga Rachel sudah duduk di kubikelnya. Mengobrol sesuatu yang aku tidak tahu apa.“Pagi semua. Ngomongin apa, nih? Seru banget keliatannya.” Aku sudah tidak canggung lagi mengobrol atau berbaur dengan mereka. Walaupun anak baru, aku cepat sekali beradaptasi. Berkat orang-orang kantor yang selalu merangkulku dan tidak membedakan walaupun aku anak baru, membuatku terbantu untuk akrab dengan mereka.“Gue abis war skincare kemarin. Ada promo gede-gedean. Kayaknya cuci gudang, deh.” Mbak Pita yang menjawab.“Gue juga kemaren ke sana, tapi udah keabisan,” ucapku sedih. “Lo war juga, Chel?” tanyaku pada Angel.“Iya dong!” ucapnya dengan bangga. Memang salah satu kebanggan bagi seorang wanita adalah ketika bisa mendapatkan barang dengan harga diskon. Apalagi ini skincare, surganya para wanita.“Anjir, iri banget gue. Padahal gue juga lagi kehabisan stok.” Aku menyayangkan kenapa kemarin tidak berangkat lebih pagi. Ini semua gara-g
“Ada yang mau ketemu sama lo, Nggun.” Aku yang masih merasakan pusing akibat lemparan bola voli yang mengenaiku ketika aku menonton pertandingan voli yang diadakan oleh himpunan jurusan, meringis sambil bertanya pada Rani – teman sekelasku yang saat ini menemaniku di klinik kampus.“Gue juga gak tau. Asing banget mukanya.”“Ya udah suruh masuk aja.” Lagian siapa sih, orang yang masih mencariku disaat aku masih dalam keadaan sekarat seperti ini. Bukannya berlebihan, tetapi keadaanku memang cukup parah walau hanya terkena lemparan bola voli. Dahiku berdarah dan tadi aku juga sempat terhuyung jatuh sampai pingsan karena tidak kuat menahan nyeri kepala yang terasa seperti dihantam palu Thor. Itulah kenapa aku sampai dibawa ke klinik kampus dan disuruh istirahat.Tiba-tiba seorang laki-laki datang bersama Rani masuk ke ruanganku. Laki-laki itu bertubuh jangkung, dengan setelan meja kotak-kotak berwarna navy dan menenteng paper bag ditangannya. Aku mengernyit, merasa asing dengan wajahnya. R
Pak Mahesa meninggalkanku dengan sebuah tanda tanya besar yang kini masih memenuhi isi kepalaku. Sementara, kepalaku dipenuhi tanda tanya besar tentang maksud dari ucapannya yang terdengar jahat, suara dari pengeras studio yang mengumumkan bahwa film yang akan kutonton sudah dibuka teaternya, membuat fokusku menjadi pecah. Suara dari dalam dan suara dari luar kepalaku seakan bertabrakan membuat sebuah gelombang-gelombang rumit yang membuat kepalaku semakin pusing.Daripada terjebak dengan suara-suara yang membuat kepalaku pening, aku memutuskan untuk mengikuti Pak Mahesa yang sudah lebih dulu masuk ke dalam studio dan meninggalkanku bersama dengan pertanyaan-pertanyaan yang sengaja tidak dijawabnya. Aku bertekad menanyakan hal itu padanya sepulang menonton bioskop, tetapi kenyataannya, Pak Mahesa berhasil menghindariku dan pulang lebih dahulu. Aku yang tidak bisa mencegahnya hanya diam sambil menatap punggungnya yang kian menjauhi bioskop. Aku bahkan hampir dibuat frustasi olehya kare
Sepertinya yang namanya karma itu memang benar nyata adanya. Aku berbohong kepada Sera dan Kak Rangga dengan alasan bahwa Pak Mahesa tiba-tiba memanggilku sehingga aku harus segera pergi untuk menemui bosku. Tak kusangka semesta mengabulkan kebohonganku. Dan di sinilah kini aku berada. Duduk berdua bersama bosku di kursi tunggu bioskop untuk menunggu film yang akan kami tonton bersama diputar. Kalian pasti terkejut, kan? Aku yang mengalami sendiri lebih terkejut. Saat perjalanan pulang dari restoran tempatku makan dengan Kak Rangga dan juga Sera, aku sengaja tidak langsung pulang ke apartemen dan berpikir untuk jalan-jalan sebentar. Entah dapat ide dari mana, mobil yang kukendarai berbelok ke arah mal. Awalnya, aku berniat untuk keliling mal saja untuk mengusir rasa bosan, tetapi ketika lewat di depan bioskop entah kenapa kakiku tiba-tiba berbelok masuk ke sana. Aku membeli popcorn dan es milo kemudian berjalan untuk mengantri tiket di loket. Tanpa kuketahui, bosku juga sedang menga
“Lo itu deket banget, ya, sama bos lo?” Setelah makan siang bersama di kantorku tadi siang, Kak Rangga lanjut menawariku untuk pulang bersama sekalian makan malam. Kali ini aku tidak menyia-nyaiakan kesempatan untuk mempertemukan Sera dan Kak Rangga, sehingga aku mengiyakan ajakan Kak Rangga untuk makan malam bersama. Tidak lupa, aku juga menghubungi Sera untuk menyusulku makan malam di restoran tempat tujuan aku dan Kak Rangga. Aku tahu kalau Sera akan menolak kalau aku bilang bahwa aku sedang makan malam berdua dengan Kak Rangga dan menyuruhnya untuk menyusul. Makanya aku berbohong padanya dan mengatakan bahwa aku makan malam sendirian dan butuh teman makan malam. Sehingga aku menyuruhnya untuk segera menyusul ke restoran tempat tujuanku dan Kak Rangga.“Gak juga, sih, Kak. Emangnya kenapa?” Aku menatap bingung ke arah Kak Rangga yang tiba-tiba membahas Pak Mahesa ditengah-tengah makan malam kami.“Gak apa-apa. Cuma nanya aja. Gue kok, ngeliatnya Bos lo itu agak ngebedain perilaku k
Hari ini Kak Rangga mengirim pesan padaku yang berisi ajakan makan siang bersama. Aku sengaja meneruskan pesan itu pada Sera agar sahabatku itu mau menemaniku makan siang bersama Kak Rangga. Namun, Sera menolak mentah-mentah ajakanku dan seperti yang dibilangnya kemarin, dia tidak ingin menjadi obat nyamuk atas usaha CLBK yang sedang dijalankan oleh Kak Rangga. Itu asumsi Sera. Padahal niatku sebelumnya ingin mengenalkan Sera pada Kak Rangga, tetapi sepertinya sahabatku itu memang sudah bertekad untuk tidak membiarkan dirinya berada diposisi yang sulit. Pada akhirnya, karena terlanjur mengiyakan ajakan Kak Rangga, aku menyuruh Kak Rangga untuk datang ke kantorku dan makan siang bersama di kantin bawah dengan alasan bahwa aku masih punya banyak kerjaan dan tidak bisa lama-lama pergi ke luar. Jadi beginilah keadaannya sekarang. Aku sedang membereskan barang-barangku dan bersiap untuk turun menemui Kak Rangga yang sudah berada di kantin. Sementara aku sedang bersiap, Mbak Pita tiba-tiba m
“Sumpah! Gue kesel banget! Masa parfum Dior gue dibilang bau sama dia.” Aku misuh-misuh menceritakan kejadian tadi siang pada Sera. Setelah jam pulang kantor, aku sengaja mengajak Sera untuk pulang bersama sekalian mampir makan malam. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya aku mencaci maki bosku sembari mengucapkan sumpah serapah yang tak bisa kukeluarkan saat ada dihadapannya. Tak hanya sampai situ. Seakan belum puas mengata-ngatai bosku, aku melanjutkannya ketika makan malam bersama Sera. Sahabatku itu hanya diam mendengarkan sambil menyantap makan malamnya.“Hidung Bos lo sensitif kali, sama bau parfum mahal.” Sera menanggapi ocehanku ketika aku selesai mengeluarkan unek-unekku yang tidak berhenti sejak kami bertemu. Sepertinya sejak hari pertama bekerja, bagiku tiada hari di mana aku tidak menceritakan kelakuan bosku yang terlampau menyebalkan pada Sera. Bahkan Sera langsung paham ketika aku tiba-tiba sudah berada di apartemennya atau mengajaknya pulang bersama, sudah pasti aku
Aku menghampiri pak Mahesa yang sudah lebih dulu turun dan menungguku di lobi kantor. Hal pertama yang aku dapatkan ketika sampai dihadapannya adalah tatapan intimidasinya yang seakan sedang menilai penampilanku dari atas sampai bawah. Merasa diperhatikan secara berlebihan seperti itu, tentu saja membuatku risih dan err … salah tingkah. Aku memberanikan diri bertanya padanya.“Ada apa ya, Pak? Apa ada yang salah sama penampilan saya?”Pak Mahesa yang seakan mengerti arah pembicaraanku, segera melepaskan pandangannya. Dia tiba-tiba fokus dengan ponselnya, kemudian mengajakku untuk segera pergi ke basemen tempatnya memarkir mobil. Tingkahnya itu membuatku berpikir dia sedang menghindari pertanyaan yang tadi kulempar padanya. Aku mencoba untuk tidak peduli dan memilih mengekorinya menuju basemen.“Data-data yang saya message tadi sudah kamu bawa?” Pak Mahesa bertanya padaku setelah kami duduk di mobil.“Sudah, Pak,” jawabku.Semuanya berjalan baik-baik saja. Dalam perjalanan menuju kanto
Aku sampai di kantor lima belas menit lebih awal. Mbak Pita dan juga Rachel sudah duduk di kubikelnya. Mengobrol sesuatu yang aku tidak tahu apa.“Pagi semua. Ngomongin apa, nih? Seru banget keliatannya.” Aku sudah tidak canggung lagi mengobrol atau berbaur dengan mereka. Walaupun anak baru, aku cepat sekali beradaptasi. Berkat orang-orang kantor yang selalu merangkulku dan tidak membedakan walaupun aku anak baru, membuatku terbantu untuk akrab dengan mereka.“Gue abis war skincare kemarin. Ada promo gede-gedean. Kayaknya cuci gudang, deh.” Mbak Pita yang menjawab.“Gue juga kemaren ke sana, tapi udah keabisan,” ucapku sedih. “Lo war juga, Chel?” tanyaku pada Angel.“Iya dong!” ucapnya dengan bangga. Memang salah satu kebanggan bagi seorang wanita adalah ketika bisa mendapatkan barang dengan harga diskon. Apalagi ini skincare, surganya para wanita.“Anjir, iri banget gue. Padahal gue juga lagi kehabisan stok.” Aku menyayangkan kenapa kemarin tidak berangkat lebih pagi. Ini semua gara-g
“Lo habis ngomongin apaan sama bos lo tadi?” Sera bertanya ketika kami sudah duduk di mobil dan bersiap pulang.“Gak. Gak ada ngomong apa-apa.” Aku hanya malas bercerita dan tidak punya minat untuk membahas dengan siapapun, apa yang terjadi di antara kami tadi.“Lo yakin?” Aku mengangguk, yang membuat Sera akhirnya menyerah untuk mengorek informasi lebih lanjut dariku. Bukan tanpa alasan aku tidak ingin menceritakan apa yang terjadi antara aku dan pak Mahesa. Aku hanya ingin berhenti memikirkan terlalu berlebihan tentang bosku. Aku tidak ingin menganggap apa yang dikatakan bosku menjadi sesuatu yang penting. Aku ingin bersikap bodo amat. Dengan cara itu, aku bisa berhenti memikirkannya.“Gue kok, punya firasat negatif sama Bos lo, ya.”Hanya dipancing dengan pernyataan simpel dari Sera, hatiku dengan teganya berkhianat. Aku memberikan perhatian lebih pada Sera. Ingin mendengar lanjutan dari pernyataannya yang belum lengkap. Padahal tadi dengan tegas aku sudah meneguhkan hati untuk ber