Di antara se-abrek sifat negatif seorang Leo ternyata masih punya sifat kebaikan meski itu sebesar jarah. Tidak bisa ditampik, pemberian obat Pak Leo semalam cukup membuat aku mengakui kalau dari 100% watak yang dimiliki Pak Leo terdapat satu persen rasa empati. Wajar.
Yang nggak wajar itu satu yaitu fakta bahwa aku memukul bosku sendiri. Mau ditaruh di mana mukaku? Parahnya hari ini ada apel pagi yang mewajibkan semua orang berbaris rapi dengan name tag dan pakaian formal. Biasa mendekati weekend seperti ini saatnya evaluasi penampilan dan itu dipimpin oleh Pak Leo. "Kacau gue Vi, kacau!" Aku berdiri bak cacing kepanasan di samping Evi yang berdiri sejajar denganku. Bagaikan anak TK yang mau diperiksa kuku, kami baris satu-persatu. Tinggal nunggu gurunya muncul siapa lagi kalau bukan Pak Leo. "Emang kacau kenapa Tar? Lu bikin masalah lagi? Lu ngilangin laporan?" bisik Evi. Masih dengan mode berdiri tegap bak robot. "Lebih parah Vi gue mukul si Bos.""Apa?!" Teriakan Evi yang terlalu kencang membuat semua orang melihat ke arah kami. Aku sontak melotot ke arah Evi. "Bisa diam tidak!""Iye sorry. Kok, bisa Tar? Gimana ceritanya?""Ceritanya ....""Tes! Tes! Tolong semua berbaris yang rapi karena pemeriksaan akan dimulai!" Karena Pak Suparjo tiba-tiba memegang mic yang ada di podium, aku terpaksa menghentikan kalimatku dan melihat ke arah depan. "Ceritanya nanti aja, ya? Tuh si Dementor datang!" Evi mengangguk nggak rela. Sementara, hatiku ketar-ketir disebabkan kedatangan seorang lelaki dengan perban di jidatnya. Ya Allah! Bisa minta ganti muka sehari aja, nggak? Ditukar sama muka Kim Ji Won juga nggak apa-apa. Pak Leo datang dengan gagah memasuki aula. Masih enggak percaya kalau lelaki yang memakai jas itu kemarin telah aku pukuli di tengah malam pula. Sejujurnya, sampai sekarang aku masih tak habis pikir kenapa dia mau pindah ke samping apartemenku? Seharusnya kan dia pindah ke apartemen lebih elit dan kejadian semalam tak akan terjadi. "Selamat pagi semua?" sapa Pak Leo berwibawa. Meski benjol dia tetap ganteng tanpa operasi plastik. "Pagi Paaak!" jawab karyawan serempak. Demi asas profesionalitas aku mencoba untuk tetap bersikap normal dan tegar walau jantung udah jungkir balik. Takut surat peringatan melayang ke mejaku sekarang. "Sebagai penanggung jawab utama. Seperti yang kalian tahu, saya di sini untuk memastikan kondisi karyawan dalam segi kedisiplinan. Maka, tidak perlu banyak bicara yang merasa atributnya tidak lengkap dan penampilannya kurang silahkan maju!" Setelah mengatakan itu, bala tentara Pak Leo mulai menyidak satu-persatu karyawan. Mereka berpencar ke segala penjuru mata angin untuk mencari para pelanggar dan membawanya ke depan aula. Nahasnya dari puluhan penegak kedisiplinan hanya Pak Leo yang berjalan ke arahku dan berdiri tepat di depanku. AAAA! Tetiba aku merasa horor. Kenapa aku bisa satu planet sama orang ini? Kenapa dia nggak lahir di Mars saja? Dari dua ratus orang karyawan kenapa Pak Leo harus memeriksa divisiku? Why? "Kamu!" "Siap Pak!" jawabku spontan. Tanpa sengaja mata kami bertubrukan dan itu membuat sendiku serasa dipreteli. Lemas. "Bukan kamu Tar! Itu yang di belakang kamu!" ujar Pak Leo berhasil mempermalukanku. Dia menunjuk pada Rani tapi matanya kepadaku. Maunya apa, coba?"Oh, iya Pak," jawab Rani dengan bibir gemetar. Rani itu bucin-nya Pak Leo jadi udah nggak aneh kalau dia lebih grogi. "Kamu kenapa gak pake nametag? Ayo, maju!" gertak Pak Leo membuat Rani langsung berlari dengan wajah pucat ke arah depan. Mau diakui atau tidak, cek kerapihan ala-ala Tentara di perusahaan kami ini emang berhasil membuat para karyawan memiliki etos kerja yang baik tapi kalau Pak Leo yang ngecek langsung, aku berasa ingin jadi Sun Go Kong meloncat ke sana- ke mari. "Terus ... kamu!" Lagi. Si bos memanggil entah siapa tapi matanya ke aku. Kali ini aku diam, aku tidak ingin terpacing dibanding turun gengsi. "Hey, saya bicara sama kamu Mentari Senja!""Siap, Pak!" Aku memberanikan diri untuk mengangkat kepala karena merasa rapi. Sayang kesempatan ini dimanfaatkan oleh Pak Leo untuk menunjuk perbannya yang jika dilihat sekilas efek tonjokanku lumayan parah juga. I am end. Tanpa perlu diingatkan juga, aku tahu itu kerjaan siapa. "Kamu tahu ini apa?" tanya Pak Leo garang. "Ta-tahu Pak."Ya iyalah. Kan aku sendiri yang ngasih perban tapi udahnya malah diusir. "Apa?""Perban.""Salah! Ini jidat! Ya ampun kamu ini udah gede gak tahu anggota tubuh, belajar lagi sana!" ledek Pak Leo sambil menyeringai iblis. Dengan pongahnya dia menyunggingkan senyum mengejek sambil melintasiku yang syok hingga aku ditertawakan satu barisan. PAK LEO DURHAKA!(***)"Lu harus minta maaf Tar, harus bin wajib! Pokoknya nggak mau tempe! Elu masih muda, jangan sampai lu stress dan nganggur! Pokoknya sekarang buruaaan!" Aku bergidik ngeri karena terngiang ucapan Evi yang lebih mirip pemaksaan dari pada nasehat sahabat. Akibat, si Evi yang rempong akhirnya dengan sangat berat hati sampailah aku di sini di depan ruangan Pak Leo untuk meminta maaf. Tok. Tok. Tok. "Assalammu'alaikum Pak." Kuketuk pintu Pak Leo dengan hati-hati, untuk masuk ke kandang singa. Aku perlu beberapa persiapan, seperti muka yang ramah dan senyum yang lebar. Demi terciptanya kedamaian dunia, aku harus sedikit mengalah. "W*'alaikumsalam. Siapa?"Tumben banget Pak Leo nanya. Perasaan sebelum-sebelumnya nggak kayak begini, dia kan tahu kalau aku langganan diceramahi. "Tari Pak. Mentari Senja yang cahayanya bersinar sepanjang hari," jawabku. "Bener?" Suara Pak Leo dari dalam ruangan terdengar menyangsikan. Aku terkekeh. "Enggak dong Pak kan saya manusia bukan tata surya. Oh ya, boleh saya masuk, Pak?" "Enggak."Buset! Gagal. Aku kira dia akan seperti sebelumnya meski jutek tapi masih bisa diajak bercanda tapi ini beda. Dia benar-benar marah hingga tak membiarkanku bertemu dengannya. "Pak, beneran saya mau minta maaf Pak, kemarin saya kira Bapak begal jadi saya pukul. Lagian Bapak sih kalau mau berinteraksi sama orang tuh manggil kek apa kek, ini mah malah pegang bahu kan saya kaget."Cklek! Bertepatan dengan permintaan maafku yang panjang dan lebih mirip curhatan akhirnya pintu ruangan Pak Leo terbuka. Sontak saja aku ceria dan menunjukan muka sok ramah. "Pak Leo? Bapak mau maafin saya, kan?" tanyaku antusias. "Kamu mau minta maaf, kan?"Aku mengangguk-anggukkan kepala berulang kali bagaikan boneka dashbord. "Iya Pak. Mau mau. Kenapa Pak? Mau nyuruh saya bersihin kamar mandi lagi ya, Pak?""Bukan!""Lalu apa, Pak?"Pak Leo bersedekap. Kali ini tatapan si bos tampan tapi galak ini sangat tak terbaca. Aku menelan ludah sembari membenahi diri. Waspada."Nanti kamu juga tahu."(***)Kiyaaaa! Aku melotot kaget ketika mengetahui ke mana Pak Leo mengajakku. Apa-apaan ini? Masa aku diajak ke taman bermain? Emang dia kira aku siapa? Atau dia sengaja mau melamarku di sini? Kali aja kan dia tiba-tiba bawa cincin terus bilang, "Will you marry me?" Ah, gak mungkin! Aku benci pikiranku. Emangnya ini reality show! NGIMPI!"Tari! Ke mari!" ajaknya. Dia memintaku mendekat ke salah satu kursi yang ada di taman bermain itu. Meski firasatku jelek, terpaksa aku menurut. Aku sudah berjanji pada Evi untuk menjadi gadis yang lebih sopan dan patuh biar nggak dikatakan cewek yang kelakuannya persis roh halus. "Ada apa, Pak?" tanyaku setelah tiba di dekatnya."Kamu lihat dua anak kembar itu?' Dia menunjuk ke dua orang bocah yang sedang aktif bermain dengan Joni-asistennya. "I-iya Pak. Saya lihat.""Nah, untuk menebus kesalahan kamu. Selama saya meeting sama Joni, kamu jaga mereka ya?""Apa? Jaga mereka, Pak?" "Iya. Jaga mereka. Hati-hati loh mereka nakal," bisik Pak Leo tersenyum penuh ancaman. Sedangkan aku bersiap berubah wujud jadi cicak biar diam-diam merayap.Jujur. Aku tidak suka anak kecil bahkan membencinya. Bagaimana mungkin aku mengurus mereka? Aku kan karyawan bukan baby sitter.Oh, sebentar! Apa dia sengaja mengerjaiku? Karena tahu aku ini alergi anak kecil?"Pak Leo!" panggilku sambil menahan emosi."Apa?""Mau gak saya ajak ngopi sama seseorang?""Sama siapa?""Mbak Jessica, penemu kopi sianida.""Mau, asal kamu ikut minum kopinya," jawab Pak Leo santai sambil mengerling padaku. Mengejek dengan elegan.Dasar Bos sableng! Ngomong-ngomong bos nyebelin kayak gini bisa ditukar tambah sama sendal jepit nggak, sih?NextAku sangat salut sama guru TK. Bagaimana mungkin mereka bertahan sama banyak anak? Apalagi kalau bentukan anaknya macam si Doy sama Dio. Aku yakin nih, kalau ada pengasuh punya penyakit anemia otomatis sembuh, soalnya mengurus kedua bocah ini sama saja melakukan kegiatan yang menyebabkan darah naik seketika."Tante, pacarnya Om Leo, ya?" Di tengah jajan sore kami di salah satu kafe, tiba-tiba si Doy nyeletuk sambil memakan burgernya. "Pacar? Aku pacarnya Om kalian?" Aku mengerjapkan mata merasa tak percaya dengan yang diucapkan Dio. Moodku yang sudah jongkok berganti tiarap. Apa wajahku setua itu hingga bisa dianggap pantas berpacaran dengan pria yang seumur abangku tersebut?Padahal aku sudah maskeran pakai bengkoang, tomat sampai lumpur hitam. Biar apa? Biar mukaku kelihatan unyu-unyu dan bisa dijual terpisah. Dahlah. "Iya. Tante. Soalnya, kalau bukan pacar apa dong? Pembantu?" Dio terkekeh puas telah meledekku. Baiklah, sekarang aku tahu sepertinya keluarga Pak Leo itu emang
Jodoh?Aku mengulang satu kata itu dalam benakku untuk ke sekian kali. Mau dipikir berapa juta kali pun aku tetap tak habis pikir. Bagaimana bisa si bos galak nan gampang tertipu janda tersebut mengajakku masuk ke lubang neraka bersamanya? Berbohong demi menyelamatkan diri. Apa bukan neraka dipindah ke bumi namanya? Bukan masalah aku nggak mau bantu, tapi sejujurnya aku masih punya kekasih meski sekarang kena ghosting.Raka Farhandi namanya. Melihat si bos sama mantannya, otakku jadi teringat akan Raka yang bagiku sama seperti penipu persis Brigitta. Sudah dua tahun dia menghilang, menorehkan luka dan berjuta kenangan. Tanpa ada kata putus dan perpisahan. Dia hilang, seperti ditelan Anaconda. Itulah kenapa sampai sekarang aku sama sekali tak berniat berhubungan dengan siapa pun. Apalagi menjadi kekasih pura-pura Pak Leo.Aku trauma Bang Haji! Aku trauma!"Pak!""Hm?""Pak?""Hm?""Paaak!" "iya, Tari? Saya nggak budek," sembur Pak Leo sambil terus berjalan membawa barang belanjaan.
Kenapa sih, waktu libur berasa cepat banget berlalunya? Cuman sehari aku berleha-leha terlepas dari perintah Pak Leo dan ternyata itu tak berlangsung lama. Siapa yang menduga kalau subuh ini, aku baru mendapat kabar kalau video yang kurekam viral sampai semua orang mengghibah online.Dari manajer sampai office girl semua menggosipkan Pak Leo dan janda. Sebagian besar ada yang membela si bos dan sebagian lagi mengucap hamdalah karena nggak jadi patah hati.Ya Tuhan!Kenapa aku bisa seceroboh ini, sih? Perasaan aku sudah mendelet video itu dari grup eh ternyata masih ada saja kutukupret yang menyebarkannya.Untungnya video itu hanya tersimpan sebagian karena ponselku keburu lowbath, coba kalau full sampai bagian si bos menunjukku sebagai jodohnya.Astaga-dragon! Mati aku, mati! Bisa dimutilasi hidup-hidup aku sama si bos dan orang sekantor. "Tari, kamu sekarang mau masuk kantor, kan?" tanya Mamah yang tiba-tiba muncul dengan susunan rantang beserta isinya. Aku mendelik curiga. Inst
"Saya berumur tiga puluh satu tahun dan saya dipaksa menikah, Tari." "Iya, Pak. Saya paham tapi Bapak janji kan di antara kita jangan ada skinship? Terus kenapa harus pakai cincin segala?""Biar dia percaya. Udahlah, kamu itu bawel banget sih, ayo pake!" paksanya sambil terus melangkah panjang diikuti aku yang berjalan terengah-engah di belakangnya. Sumpah, ya! Ini orang kebiasaan main sama Tarzan kali, ya? Sekali jalan seakan dua sampai tiga meter terlampaui saking cepatnya. Sesuai intruksi si bos, tanpa banyak protes lagi aku langsung memakai cincin yang diberikannya sebelum sampai ke ruang privat lounge tempat Bianca menunggu. Aku terpaksa memakai cincin itu meski agak longgar. Heran. Ini cincin apa karet gelang? Licin banget. "Kamu udah siap?" tanya Pak Leo ketika kami berdua telah sampai di depan ruang privat tersebut.Sangat mengherankan, kenapa Pak Leo meminta Bianca menunggu di sini? Apa segitu spesialnya Bianca sehingga dia berikan service terbaik? Di Mahatma Corp, priv
Terlepas dari sikap kecerobohanku yang mengundang kesialan. Aku akhirnya kembali menjadi karyawan wanita biasa. Bernapas biasa, makan biasa, kentut biasa sampai pulang pergi bagai kuli pun teramat ... BIASALAH.Hanya yang berbeda adalah, sekarang aku punya cincin berlian hasil jadi pacar jadi-jadian. Lumayanlah, jika butuh bisa dijual kali aja bisa seharga rumah.Lucu sekali. Jika mengingat bagaimana aku berbohong pada geng kutukupret demi si Dementor. Kukatakan cincin itu kudapatkan dari hasil warisan nenek moyang yang sengaja aku pakai demi menangkal virus iblis Pak Leo."Baik, jadi iklannya sekarang sudah stabil, ya? Jangkauannya udah ratusan ribu perjam? Oke, terima kasih infonya." Klik.Aku menghembuskan napas panjang setelah menerima telepon dari tim evaluasi digital. Perkembangan e-commerce yang begitu cepat mau tak mau membuat setiap perusahaan untuk berinovasi dan itu menyebabkan kerjaanku tak habis-habis.Di perusahaan ini, kinerja anggota tim khusus berada di bawah langsun
"Aw!" Berjuta kali pun aku mencubit pipi, pasti hasilnya tetap akan sama yaitu ... SAKIT. Pak Leo mengajakku ke pertemuan keluarganya.Is he crazy? Aku yakin di muka bumi tidak ada bos segila dia. Dia yang pemaksa, dia yang suka seenaknya dan dia yang selalu membuatku kehilangan kata-kata. Pokoknya Leo adalah lelaki kejam yang galaknya nggak ada lawan."Ingat di dalam nanti, kamu hanya perlu mengangguk dan tidak perlu berkata macam-macam. Mengerti?""Ya, Pak." Lagi-lagi dia mengulang nasehatnya sebelum kami memasuki rumah Pak Pram. Pak Pram adalah ayahnya Pak Leo, siapa pun tahu kalau Pak Pram itu memiliki sifat yang nggak beda jauh dari Pak Leo, bijak sih tapi menakutkan. Orangnya tegas dan disiplin, jadi nggak usah dijelaskan betapa ngerinya aku memasuki rumah ini. Salah-salah ngomong, bisa-bisa aku cari mati. Sungguh, kalau bukan karena iming-iming gaji dan bonus. Aku lebih memilih berlayar ke pulau indah dibanding jadi kambing congek di sini."Oh ya, satu lagi saya lupa. Di da
[Kamu di mana Tari? Ingat ya, kamu harus ikut saya fitting kalau gak mau bonus di tanggal muda buat kamu saya hapuskan. ]Semprul! Bonus tanggal mudaku malah jadi taruhan. Maunya apa sih si monster protein ini? Aku menggertakan gigi kesal setelah membaca chat ke sekian di pagi ini dari Pak Leo. Gara-gara chat Pak Leo tersebut, terpaksa aku harus berangkat sejam lebih awal dari apartemen dibanding hari biasanya. Semua itu kulakukan demi hadir tepat waktu di butik Amora--tempat dia dan Bianca melakukan fitting baju pengantin. Aku menghembuskan napas kasar ketika tubuh ini sampai di depan butik 'Amora'. Baru juga jam 9.00 entah kenapa tubuhku berasa sudah kerja seharian, mungkin ini karena aku capek ngejar waktu sehabis mencuci sepatu si bos yang aku pakai semalam. Sumpah ya, kalau boleh jujur itu sepatu rempong banget. Udah mah besar, nggak bisa diajak jalan dan kalau aku mau pakai pun udah kayak pake sepatu Aladdin. Kebaikan si bos berasa gak guna jadinya. "Tari semangat! Ayo, kita
POV AUTHOR Kesal. Satu kata yang bercokol di benak Leo, ia tak menyangka melihat sekretarisnya didekati lelaki lain mendorongnya melakukan hal-hal yang tak masuk di akal. Seumur-umur dia tak pernah sekonyol ini menyikapi wanita. Leo yang arogan mendadak berhati Hello Kitty. Leo mulai mempertanyakan hal-hal sensitif seperti jika Tari menjadi Bianca--calon istrinya plus tunangan yang dipaksakan. Untuk apa coba? Tentu saja ini bukan style-nya. Jika Rega dan Yulizar tahu dia sereceh ini di depan perempuan mungkin mereka akan tertawa sampai mampus. Lagi pula, Leo masih tak habis pikir. Apa sih spesialnya Tari? Dia hanya wanita ceroboh yang terkadang polos. Hanya karena Leo pernah melihat Tari di waktu kecil bukan berarti itu akan membuatnya memiliki empati. "Pak Leo? Maaf, boleh saya masuk?"Leo mengangkat kepalanya ketika sebuah ketukan dan suara tak asing ijin masuk ke ruangannya. Dia bisa melihat kalau Tari muncul dengan senyuman tak ikhlas seperti biasa. Leo tahu, kalau sekretari
Beberapa bulan kemudian. Pagi-pagi sekali aku sudah menangis sambil menatap wajahku yang jelek di cermin.Huwaaa! Kali ini kami gagal lagi. Walau sudah telat seminggu dari jadwal haidku tapi hasil tespek tetap garis satu.Padahal waktu yang diberikan Bu mertua sudah batasnya. Bagaimana ini?Aku menatap hampa ke arah kebun yang ada di belakang rumah. Usai beres-beres dan mengerjakan kewajibanku sebagai istri aku memutuskan untuk merenungi dan memikirkan cara menghadapi Bu mertua.Sudah kuduga, bulan ini pun sama seperti bulan sebelumnya yaitu hasilnya negatif. Bisa jadi terlambat haid ini bukan karena positif tapi hormon dan ah ... entah. Yang pastinya mungkin Allah belum percaya untuk saat ini dan kami masih harus berjuang.Sebenarnya, aku tidak masalah karena selain kami pasti banyak di luar sana yang mengharapkan baby. Namun, terlepas dari itu semua aku teringat syarat mertuaku.Bagaimana pun sampai bulan yang ditentukan, dia memenuhi janjinya untuk tak mengganggu kami. Tapi, kami-l
Sambil duduk bersandar ke kursi kantin yang ada di dalam rumah sakit, aku mengetuk-ngetukan ponsel ke meja.Hamil? Dalam tiga bulan?Buset. Bu mertua kira bayi bisa dibikin dari terigu?Ampun. Ampun!Aku kembali menggelengkan kepala ketika teringat apa yang kudengar tadi saat menguping di samping ruang rawat ibunya suamiku.Seharusnya, ketika mendengar permintaan Bu mertua itu aku masuk saja dan secara dramatis menolak."Tidak! Aku tidak setuju! Emangnya anak kita yang bikin? Allah Bu, Allah!"Ceileh ... andai aku bisa begitu. Nyatanya? Nyaliku ciut bahkan tiarap.Hati ini terlampau sakit ketika mendengar Bu Pram menghina bapakku.Nasib oh, nasib. Apa salah menjadi anak mantan napi? Apa itu aib?"Ah, sial. Dasar bod--""Bod? Bod apa?"Sebuah suara yang berasal dari depan meja membuat kepalaku terangkat. Lelaki yang telah lama aku nanti akhirnya datang juga. Sayangnya, aku bingung berekspresi ketika dia menangkap basah aku yang sedang mengumpat."Tari ... kok malah bengong? Bod apa?" M
Semenjak diinfokan oleh Mas Leo kalau dia resign pikiranku langsung terasa buntu dan kakiku serasa tak menapak ke tanah.Untuk ukuran seorang Leo yang memiliki jabatan tinggi, hal ini tentu saja sangat mengejutkan.Namun, yang masih menjadi misteri sampai sekarang yaitu satu.Apa alasan dia resign? Kenapa setelah rapat itu dia jadi berubah? Ini sangat membingungkan."Kenapa Mas keluar? Apa alasannya Mas?" tanyaku setelah lama diam dalam keterkejutan. "Apa karena Mas diminta meninggalkan aku, ya?"Aku menatap ragu Mas Leo yang terhenyak. Saat ini kami masih tetap berada di ruangannya. Saling bertatapan dengan posisi duduk berhadapan.Diam-diam, aku teringat kembali obrolan Bu Pram--mertuaku dan ayahnya Sandra di ruang meeting sebelum ini.Entahlah, firasatku mengatakan keluarnya Mas Leo ada hubungannya dengan itu semua.Setengah bulan lagi kami akan resepsi. Kenapa harus ini yang terjadi?"Enggak gitu Tari, saya memang sudah berencana untuk keluar." Mas Leo kini beranjak dari tempatnya
"Jadi Bos sama Tari beneran udah nikah, ya?" tanya Evi tanpa basa-basi. Nada suaranya terdengar syok. Usai kami dipergoki dalam keadaan yang sangat mengenaskan dan bisa dibilang ... memalukan. Akhirnya Pak Leo meminta kami berbicara di ruangannya. Awalnya bertiga tapi si Evi minta Igor dilibatkan karena bagaimana pun Evi sama Igor bagaikan pinang dibelah kampak, jadilah kami berempat."Bukannya Pak Leo katanya ada affair sama Bu Sandra?" lanjut Igor. Alisnya naik-turun gak terima. Aku hanya menghela napas seraya memandang Mas Leo yang menatap datar dari balik meja kerjanya. Entahlah harus bagaimana kami menjelaskan pada mereka.Jujur, aku masih nggak nyangka bisa ketahuan secepat ini. Tapi, anehnya Mas Leo terlalu santai tidak seperti aku yang berulang kali menggigit bibir.Diam-diam aku merutuki diri yang terlena dan mau dicium begitu saja di pantry sama suamiku.Ini kantor Bosque! Kantor!"Tarii! Jawab! Kok lo malah diem aja?" tuding Evi lagi gemas. Sahabatku menatap aku dan Mas
Dia mendekat? Lelaki yang bertitel bapaknya Sandra itu mendekat? Ya Allah! Selamatkan aku ....Drrrt. Aku menahan napas ketika langkah itu terhenti di samping meja tempatku bersembunyi. Beruntung kali ini doaku makbul karena tiba-tiba saja getaran ponsel si bapak yang bersekutu dengan mertuaku itu bergetar berulang kali tanda ada panggilan masuk. Itu berarti ... alhamdullilah i am save. Selamat ... selamat!"Halo? Siapa ini? Halo?""Apa? Siapa kamu?"Terdengar hardikan dari mulut pria paruh baya tersebut hingga membuat tubuhku bergetar. Namun, semesta seakan berpihak padaku setelah mendengar panggilan tersebut langkah si bapak perlahan menjauh hingga kudengar pintu ditutup. Aku tidak tahu siapa yang menelepon tapi aku sangat berterima kasih. Pokoknya bagiku dia bagaikan Spiderman yang tengah menyelamatkan Gwen Stacy dari serangan monster kadal.Tak membuang waktu, setelah tidak terdengar lagi kasak-kusuk di ruangan, aku bergerak mengintip. Jaga-jaga kalau tuh bapak menyebalkan bal
Jantungku berhenti berdetak, kali ini kurasakan kepalaku mulai memberat dan otakku terasa buntu. Rasanya ini masih seperti mimpi, tapi kenapa napasku seolah tersendat dan kelopak mataku bahkan tak berkedip melihat banyaknya gosip fitnahan yang tersebar di grup kantor.[Pak Leo ngehamilin sekretarisnya gaes.] Evi membuka chat obrolan gang kutukupret pagi ini dengan gambar poster yang disebarkan oleh orang yang kuduga merupakan anteknya Elvira. [Gue sih udah nyangka, dia ada main itu pasti! Ganteng-ganteng bener-bener srigala ya Beb] Samber Yayuk yang membuat dadaku terasa panas seketika. Ganteng-ganteng srigala pale lo! Suami gue emang ganteng kali tapi bukan srigala![Tari, untung lo pindah jadi sekretaris Raka. Coba kalau nggak, lo kena juga kali] Kini giliran Igor yang bersuara. [Lah, iya bisa-bisa si Tari hamil juga. Hahahaha][Eh, si Tari ke mana nih? Biasanya dia yang paling heboh ngehina si Bos kalau si devil ada kesalahan? Ke mana dia? Tari woy! Munculah!][Paling dia tel
"Raka! Lepas! Jangan sentuh aku! Lepas!" Aku memberontak sekuat tenaga ketika tanpa kuduga si Raka--mantan yang kelakuannya persis setan itu memelukku tanpa permisi. "Raka! Please! Nanti orang salah paham!" teriakku sembari mendorongnya tapi Raka malah merekatkan pelukannya di tubuhku."Raka, please jangan begini! Kenapa sih kamu? Bukannya baru saja kita udah sepakat untuk tak mengungkit masa lalu!""Sebentar saja Tari, sebentar! Anggaplah ini pelukan terakhir!" "Raka!" Bentakanku membuat pelukan Raka seketika terlepas dan dia memandangku dengan raut kecewa."Apa kamu mencintai Bang Leo?" tanya Raka setelah mengambil jarak dariku.Sekarang aku tahu, pantas saja dia meminta para stafnya untuk ikut seminar ternyata dia ingin menjebakku dalam situasi sulit.Raka memang tidak ber-prikekacungan dan berpri-kemantanan."Itu bukan urusanmu! Tapi aku ingatkan jangan dekati aku lagi! Aku wanita bersuami!" ancamku sambil berbalik berniat pergi.Namun, alangkah terkejutnya aku ketika berbalik
"Raka! Lepas! Jangan sentuh aku! Lepas!" Aku memberontak sekuat tenaga ketika tanpa kuduga si Raka--mantan yang kelakuannya persis setan itu memelukku tanpa permisi. "Raka! Please! Nanti orang salah paham!" teriakku sembari mendorongnya tapi Raka malah merekatkan pelukannya di tubuhku."Raka, please jangan begini! Kenapa sih kamu? Bukannya baru saja kita udah sepakat untuk tak mengungkit masa lalu!""Sebentar saja Tari, sebentar! Anggaplah ini pelukan terakhir!" "Raka!" Bentakanku membuat pelukan Raka seketika terlepas dan dia memandangku dengan raut kecewa."Apa kamu mencintai Bang Leo?" tanya Raka setelah mengambil jarak dariku.Sekarang aku tahu, pantas saja dia meminta para stafnya untuk ikut seminar ternyata dia ingin menjebakku dalam situasi sulit.Raka memang tidak ber-prikekacungan dan berpri-kemantanan."Itu bukan urusanmu! Tapi aku ingatkan jangan dekati aku lagi! Aku wanita bersuami!" ancamku sambil berbalik berniat pergi.Namun, alangkah terkejutnya aku ketika berbalik
POV Leo.Aku paham Ibu masih tidak bisa menerima Tari sepenuhnya. Dia bahkan mendatangkan asistennya untuk mengganggu malam pertamaku.Rencana yang sangat ... mengada-ngada. Bisakah aku menyebutnya mengada-ngada? Tentu bisa. Karena sebenarnya rencanaku pun tak jauh beda, hanya tujuanku satu, aku ingin melindungi Tari sementara Ibu, beliau hanya terlalu obsesi untuk mendapat menantu sesuai impiannya.Sebenarnya, sebelum kedatangan Mbok Nah aku pernah berpikir bahwa Ibu akan melakukan apa saja demi memisahkan kami. Dan ternyata tebakanku benar, dia mengajukan syarat kalau kami harus tinggal dengan Mbok Nah.Aku tahu Ibu sengaja berbuat ini agar aku dan Tari merasa terganggu lalu menggagalkan rencana pernikahan ini sebelum diresmikan.Semua itu dikarenakan Raka Farhandi--adikku.Pemuda itu mempengaruhi ibu untuk tak menerima Tari sebagai menantu karena dia tak setuju atas pernikahan kami.Oh, shit!Kenapa coba Raka berbuat sejauh ini? Apa dia berpikir aku tidak tahu dia mengejar kembali