[Tar, kamu di mana? toilet sudah beres? Ingat! MANDI!]
Lima huruf di akhir pesan membuat mataku mendadak buram. Perasaan aku nggak punya rabun dekat. Apa musti aku video call aja biar jelas? Aselole! Makin ngadi-ngadi.Aku masih tak menduga perkara mandi saja harus dia atur. Perasaan si Pak Bejo rekan kerjaku yang datang ke kantor tanpa mandi tiga hari nggak dia protes. Giliran aku nggak mandi sekali, repotnya udah kayak ngurusin nikah.Tiap menit dia ingetin tentang kebersihan sampai-sampai dia kirim hadis bahwa 'kebersihan sebagian dari iman'. Bener sih bener, tapi cara ingetinnya itu loh bikin orang ingin terjun payung. Kok, bisa-bisanya tuh bos galak tahu aja tentang aku yang belum mandi tadi? Dapat dari mana coba? Apa mungkin belek aku masih nyembul pas ketemu dia? "Ah, Bodohnya aku!"Aku membentur-benturkan kepala ke atas meja kantin sampai menimbulkan bunyi yang cukup keras.Menyadari harga diriku turun beberapa derajat, kupikir tak ada harapan lagi aku disangka gadis cantik yang rapi dan wangi di kantor ini. "Tarii! Eh, anak malang ada di sini, udah dihukumnya?" Seseorang tiba-tiba menepuk bahuku hingga aku mengangkat kepala. Dengan mata terpejam pun aku tahu hanya kedua kurcaci ini yang selalu tahu keberadaanku, siapa lagi kalau bukan Evi dan Igo."Udah Vi! Kenapa?" "Astaghfirullah! Siapa ini? Kenapa muka lu jadi jelek Tari? Lu diapain si Bos?" teriak si Evi ketika melihat mukaku yang layu, lemah dan lesu. Sementara si Igo hanya menatap iba. Waktu dua jam membersihkan toilet si bos ternyata mampu membuat wajahku yang buluk jadi super buluk. Dahlah malas. "Gue disuruh bersihin toilet si bos Vi, sadis kan dia?" "Hah? Seriously? Beruntung banget lu!""Beruntung pala buaya? Enak aja, capek tahu.""Yaelah lu gak tahu ya, nggak sembarang orang bisa masuk toilet itu. Dia kan tempat BAB-nya ja pakai sistem Jepang gitu yang kalau suara pelepasan hajatnya kekencengan bisa diredam apa ye namanya, oh ya flushing sound.""Wow beneran? Wah lu telat bilangnya lu! Kalau tahu gitu gue nyobain tadi," sesalku karena tidak mencoba toilet si bos saking terburu-buru ingin selesai.Padahal jika tahu tuh tempat buang hajat canggih, meski nggak sakit perut kan bisa dimusyawarahkan biar BAB. Kali aja ya kan, pas mencet flush eh yang keluar suara Afgan. Pantas saja tadi toiletnya unik banget kayak yang punya. Ada tombol speakernya."Iya, makanya kalau ada gosip didenger bukan ditelen. Eh, terus lo nyobain apa dong? Masa bersih-bersih doang?""Gue nyobain ....""Tar, ini handuk siapa?" Gawat! "Eh, ini handuk gue, lepasin Go!" Tanpa permisi, tiba-tiba si Igo mengambil handuk yang ada di atas meja.Kontan saja, seakan disengat listrik, aku langsung mengambil handuk Pak Leo dari tangan Igo. Kini rahasia terbesarku sedang dipertaruhkan. Aku tak akan membiarkan mereka tahu tentang kenyataan kalau aku mandi di toilet si bos.Kata Pak Leo, bisa-bisa dia disangka pilih kasih kalau orang kantor tahu tentang itu. Bisa jadi gosip dan SP dari HRD pun turun. Ngeri!"Beneran itu handuk lu? Bohong ah?" Igo duduk di depanku sembari melipat dahi. Curiga."Beneran gue, masa sih lu gak caya?""Enggak! Itu kan handuk merek mahal Tar, lu nggak nyolong kan?" Kini Evi yang mulai memicingkan mata."Sembarangan! Enggaklah, ini beneran anduk gue. Gue nabung buat beli anduk ini sampai enggak beli k*ncut tiga bulan. Ciyus ...."Aku menunjukan wajah penuh keyakinan karena takut ketahuan. "Ah ... masa? Kita gak per--""Allahu akbar! Gawat! Tari!" Belum juga si Igo selesai ngomong si Evi udah teriak saja kayak lihat hantu. "Apaan sih, Vi?" "Rapat! Tar! Kata Pak Babun elu ditunggu rapat darurat tim khusus sama Pak Leo! Sekarang!""Sekarang?"Buset! Mau apa lagi si 'monster protein' ini? Mie ayam aja belum habis, udah main rapat aja. Hidupku kacau banget Ya Allah. (***)"Eh, Pak! Jangan ditutup! Tolong!" Aku berlari sekuat tenaga ketika melihat Pak Leo mau menutup pintu ruang meeting. Siapa pun tahu jika Pak Leo lebih dulu tiba dibanding anggota rapat alamat hancur dunia persilatan. Bye-bye gaji!Pak Leo menghentikan langkahnya, seperti yang kuduga telinganya Pak Leo itu mirip kelelawar, bunyi sedikit saja dia langsung awas, apalagi kalau ada yang ghibahin. Kualat mah udah. "Kamu baru datang?" tanyanya datar padaku. Matanya menyapu dari ujung rambut sampai ujung kaki. "I-iya Pak. Maaf tadi saya kan habis bersihin WC terus makan terus ...." "Stop! Saya lagi gak minta kamu buat bikin jadwal harian."Aku menunjukan cengiran garing. Terbiasa dislepet si bos ternyata membuat hatiku kebas dengan sendirinya. "Jadi, Pak apa saya boleh masuk?" tanyaku karena melihat Pak Leo masih memegang gagang pintu ruang meeting. Tubuhnya yang tegap dan berotot seakan sengaja menghalangiku untuk masuk. "Kamu mau masuk?" Dia memandang datar. "Iya, Pak. Bolehkah?" "Boleh."Aku bersorak dalam hati. Tak sia-sia aku shalat dhuha tadi rezeki emang enggak ke mana, ternyata Allah meluluhkan hati bosku yang biasanya kejam ini. Dengan langkah riang aku melenggang pasti tapi tragis baru saja aku tiba di ambang pintu tiba-tiba pintu terbanting keras di depan mukaku. BRAK! Aku nyaris saja mau jatuh jika tak segera menyeimbangkan diri, tapi tetap saja saking kerasnya bantingan wajahku yang burik ini berhasil bersilaturahim dengan pintu."Aww!" pekikku spontan. "Pak sakit tahu!""Eh, lupa masih ada orang." Tanpa kuduga Pak Leo kembali muncul dari balik pintu dengan senyuman jahilnya. Aku yakin dia sengaja menutup pintu itu. Lihat aja mukanya, iblis banget. "Ih Pak Leo, kira-kira dong kalau tutup pintu, hidung saya nih bertabrakan dengan pintu kan sakit," protesku berapi-api sambil memegang hidung. "Jadi, sekarang hidung kamu sakit?""Ya-iyalah." "Coba sini mana saya lihat ...." Tiba-tiba tangan Pak Leo terjulur ke arahku, aku sontak memajukan kepala karena bahagia mendapati si bos perhatian sama mukaku tapi ternyata itu tak lebih dari harapan palsu. Tinggal dua centi tangan si bos mau menyentuh hidungku eh, tangannya malah belok memegang pintu. Tentu saja itu membuatku seketika cengo bak orang bego. Seperti diajak terbang terus dijatuhkan dari helikopter. "Coba saya lihat pintunya. Hey, pintu kamu gak apa-apa kan?" tanya Pak Leo pada pintu. Si-al! Dia lebih sayang pintunya dibanding aku. "Astaghfirullah Pak! Pintu diperhatiin lah muka saya gimana? Ini muka manusia loh Pak, bukan gayung lope." Gedek banget, sumpah!(***)Pulang ke rumah di kala malam hampir mendekati jam kunti ngeronda adalah hal yang paling ingin dihindari oleh karyawan wanita di belahan bumi Indonesia. Percaya deh, hanya yang benar-benar bertekad kuat aja yang mau kerja malam di bawah bayang-bayang kejahatan ibu kota. Temasuk aku. Seandainya tadi si Doni gak bikin salah di rapat, pastinya jam segini aku sudah bercumbu dengan pulau iler yang ada di bantal."Hati-hati ya Tar, daerah apartemen lu banyak begal." "Ciyus, lu? Kalau gitu entar kalau gue dibegal, gue tawarin hati gue aja kali ya, Vi? Kali aja dia mau." Dan di saat itu kami tertawa mendengar jawabanku. Tapi, candaan nggak semanis kenyataan.Kini aku malah kena batunya. Benar kata si Evi, jalanan ke apartemenku ini meski dekat jalan raya tetap saja terasa horor apalagi kalau jam 11 malam begini jarang banget ada kendaraan yang lewat.Gelap. Panjang. Mencekam. Tiga kata yang mewakili suasana perjalanan pulang malam ini. Aku kadang kesal sama yang punya jalan. Kenapa sih lampu penerangan tidak diutamakan? Kan kasian anak perawan. Beribu doa kupanjatkan, sampai yang tadinya aku jarang ngaji mendadak hapal ayat qursi. Kalau begini ceritanya sih, boro mau nawarin hati yang ada mati berdiri. Krek!Di antara rasa kengerian yang melanda, tiba-tiba aku mendengar ada yang mengikutiku dari belakang. Sepertinya si penguntit tak sengaja menginjak ranting hingga menimbulkan bunyi. Ya Allah ... siapa yang ada di belakangku?Mulutku otomatis komat-kamit dan tanganku semakin kuat memegang tas. Aku bergegas mempercepat langkah ketika melewati rerimbunan semak-semak. Akibat mang ojol ogah narik malam-malam, alhasil aku harus mengalami kesusahan ini. Bibirku tersenyum lega ketika gedung apartemen mulai terlihat. Namun, tak disangka sosok di belakangku semakin mempercepat langkahnya dan ... grab!Dia memegang pundakku. Alamak!"Ciyaaat!" Aku sontak berbalik dan memukulkan tasku yang besar ke kepala si penguntit yang bermasker."Tari! Stop! Tari ini saya!" Suara lelaki yang kupukul terdengar teredam. Dia terus menutup wajahnya agar terlindung dari hantaman tasku. Karena gelap aku jadi tak bisa melihat dengan jelas yang penting bagiku sekarang ... bantai!"Saya siapa? Saya begal maksudnya? Denger ya! Jangan berani-berani ganggu hidup gue, gue belum nikah!""TARI! STOP! LIHAT! iNI SAYA LEO!" Untuk saat ini dia berhasil memegang tanganku yang memukulinya bertubi-tubi, untung saja aku tak mengeluarkan jurus taekwondo. Sebelum aku menonjok lagi, dia lekas membuka maskernya. Di situlah aku merasa ingin hilang ingatan. "Lah, beneran Pak Leo? Ngapain Pak, kelayapan malam-malam?" tanyaku tak dapat menyembunyikan keterkejutan. "Nih! Beli obat buat hidung kamu! Saya gak mau disangka kejam gara-gara hidung kamu lecet!" ringisnya sambil menyerahkan bungkusan yang berisi salep dan sebagainya. Aku bengong seraya menerima kresek putih itu. "I-ini buat saya, Pak?" "Bukan. Buat Kunti," kata Pak Leo sambil memegang dahinya yang benjol. Kemudian berlalu melintasiku. Gawat! "Pak Leooo! Maaaf!" SEKAKMAT! Aku berlari mengejar Pak Leo karena takut dipecat. ==Di antara se-abrek sifat negatif seorang Leo ternyata masih punya sifat kebaikan meski itu sebesar jarah. Tidak bisa ditampik, pemberian obat Pak Leo semalam cukup membuat aku mengakui kalau dari 100% watak yang dimiliki Pak Leo terdapat satu persen rasa empati. Wajar.Yang nggak wajar itu satu yaitu fakta bahwa aku memukul bosku sendiri. Mau ditaruh di mana mukaku? Parahnya hari ini ada apel pagi yang mewajibkan semua orang berbaris rapi dengan name tag dan pakaian formal. Biasa mendekati weekend seperti ini saatnya evaluasi penampilan dan itu dipimpin oleh Pak Leo. "Kacau gue Vi, kacau!" Aku berdiri bak cacing kepanasan di samping Evi yang berdiri sejajar denganku. Bagaikan anak TK yang mau diperiksa kuku, kami baris satu-persatu. Tinggal nunggu gurunya muncul siapa lagi kalau bukan Pak Leo. "Emang kacau kenapa Tar? Lu bikin masalah lagi? Lu ngilangin laporan?" bisik Evi. Masih dengan mode berdiri tegap bak robot. "Lebih parah Vi gue mukul si Bos.""Apa?!" Teriakan Evi yang terla
Aku sangat salut sama guru TK. Bagaimana mungkin mereka bertahan sama banyak anak? Apalagi kalau bentukan anaknya macam si Doy sama Dio. Aku yakin nih, kalau ada pengasuh punya penyakit anemia otomatis sembuh, soalnya mengurus kedua bocah ini sama saja melakukan kegiatan yang menyebabkan darah naik seketika."Tante, pacarnya Om Leo, ya?" Di tengah jajan sore kami di salah satu kafe, tiba-tiba si Doy nyeletuk sambil memakan burgernya. "Pacar? Aku pacarnya Om kalian?" Aku mengerjapkan mata merasa tak percaya dengan yang diucapkan Dio. Moodku yang sudah jongkok berganti tiarap. Apa wajahku setua itu hingga bisa dianggap pantas berpacaran dengan pria yang seumur abangku tersebut?Padahal aku sudah maskeran pakai bengkoang, tomat sampai lumpur hitam. Biar apa? Biar mukaku kelihatan unyu-unyu dan bisa dijual terpisah. Dahlah. "Iya. Tante. Soalnya, kalau bukan pacar apa dong? Pembantu?" Dio terkekeh puas telah meledekku. Baiklah, sekarang aku tahu sepertinya keluarga Pak Leo itu emang
Jodoh?Aku mengulang satu kata itu dalam benakku untuk ke sekian kali. Mau dipikir berapa juta kali pun aku tetap tak habis pikir. Bagaimana bisa si bos galak nan gampang tertipu janda tersebut mengajakku masuk ke lubang neraka bersamanya? Berbohong demi menyelamatkan diri. Apa bukan neraka dipindah ke bumi namanya? Bukan masalah aku nggak mau bantu, tapi sejujurnya aku masih punya kekasih meski sekarang kena ghosting.Raka Farhandi namanya. Melihat si bos sama mantannya, otakku jadi teringat akan Raka yang bagiku sama seperti penipu persis Brigitta. Sudah dua tahun dia menghilang, menorehkan luka dan berjuta kenangan. Tanpa ada kata putus dan perpisahan. Dia hilang, seperti ditelan Anaconda. Itulah kenapa sampai sekarang aku sama sekali tak berniat berhubungan dengan siapa pun. Apalagi menjadi kekasih pura-pura Pak Leo.Aku trauma Bang Haji! Aku trauma!"Pak!""Hm?""Pak?""Hm?""Paaak!" "iya, Tari? Saya nggak budek," sembur Pak Leo sambil terus berjalan membawa barang belanjaan.
Kenapa sih, waktu libur berasa cepat banget berlalunya? Cuman sehari aku berleha-leha terlepas dari perintah Pak Leo dan ternyata itu tak berlangsung lama. Siapa yang menduga kalau subuh ini, aku baru mendapat kabar kalau video yang kurekam viral sampai semua orang mengghibah online.Dari manajer sampai office girl semua menggosipkan Pak Leo dan janda. Sebagian besar ada yang membela si bos dan sebagian lagi mengucap hamdalah karena nggak jadi patah hati.Ya Tuhan!Kenapa aku bisa seceroboh ini, sih? Perasaan aku sudah mendelet video itu dari grup eh ternyata masih ada saja kutukupret yang menyebarkannya.Untungnya video itu hanya tersimpan sebagian karena ponselku keburu lowbath, coba kalau full sampai bagian si bos menunjukku sebagai jodohnya.Astaga-dragon! Mati aku, mati! Bisa dimutilasi hidup-hidup aku sama si bos dan orang sekantor. "Tari, kamu sekarang mau masuk kantor, kan?" tanya Mamah yang tiba-tiba muncul dengan susunan rantang beserta isinya. Aku mendelik curiga. Inst
"Saya berumur tiga puluh satu tahun dan saya dipaksa menikah, Tari." "Iya, Pak. Saya paham tapi Bapak janji kan di antara kita jangan ada skinship? Terus kenapa harus pakai cincin segala?""Biar dia percaya. Udahlah, kamu itu bawel banget sih, ayo pake!" paksanya sambil terus melangkah panjang diikuti aku yang berjalan terengah-engah di belakangnya. Sumpah, ya! Ini orang kebiasaan main sama Tarzan kali, ya? Sekali jalan seakan dua sampai tiga meter terlampaui saking cepatnya. Sesuai intruksi si bos, tanpa banyak protes lagi aku langsung memakai cincin yang diberikannya sebelum sampai ke ruang privat lounge tempat Bianca menunggu. Aku terpaksa memakai cincin itu meski agak longgar. Heran. Ini cincin apa karet gelang? Licin banget. "Kamu udah siap?" tanya Pak Leo ketika kami berdua telah sampai di depan ruang privat tersebut.Sangat mengherankan, kenapa Pak Leo meminta Bianca menunggu di sini? Apa segitu spesialnya Bianca sehingga dia berikan service terbaik? Di Mahatma Corp, priv
Terlepas dari sikap kecerobohanku yang mengundang kesialan. Aku akhirnya kembali menjadi karyawan wanita biasa. Bernapas biasa, makan biasa, kentut biasa sampai pulang pergi bagai kuli pun teramat ... BIASALAH.Hanya yang berbeda adalah, sekarang aku punya cincin berlian hasil jadi pacar jadi-jadian. Lumayanlah, jika butuh bisa dijual kali aja bisa seharga rumah.Lucu sekali. Jika mengingat bagaimana aku berbohong pada geng kutukupret demi si Dementor. Kukatakan cincin itu kudapatkan dari hasil warisan nenek moyang yang sengaja aku pakai demi menangkal virus iblis Pak Leo."Baik, jadi iklannya sekarang sudah stabil, ya? Jangkauannya udah ratusan ribu perjam? Oke, terima kasih infonya." Klik.Aku menghembuskan napas panjang setelah menerima telepon dari tim evaluasi digital. Perkembangan e-commerce yang begitu cepat mau tak mau membuat setiap perusahaan untuk berinovasi dan itu menyebabkan kerjaanku tak habis-habis.Di perusahaan ini, kinerja anggota tim khusus berada di bawah langsun
"Aw!" Berjuta kali pun aku mencubit pipi, pasti hasilnya tetap akan sama yaitu ... SAKIT. Pak Leo mengajakku ke pertemuan keluarganya.Is he crazy? Aku yakin di muka bumi tidak ada bos segila dia. Dia yang pemaksa, dia yang suka seenaknya dan dia yang selalu membuatku kehilangan kata-kata. Pokoknya Leo adalah lelaki kejam yang galaknya nggak ada lawan."Ingat di dalam nanti, kamu hanya perlu mengangguk dan tidak perlu berkata macam-macam. Mengerti?""Ya, Pak." Lagi-lagi dia mengulang nasehatnya sebelum kami memasuki rumah Pak Pram. Pak Pram adalah ayahnya Pak Leo, siapa pun tahu kalau Pak Pram itu memiliki sifat yang nggak beda jauh dari Pak Leo, bijak sih tapi menakutkan. Orangnya tegas dan disiplin, jadi nggak usah dijelaskan betapa ngerinya aku memasuki rumah ini. Salah-salah ngomong, bisa-bisa aku cari mati. Sungguh, kalau bukan karena iming-iming gaji dan bonus. Aku lebih memilih berlayar ke pulau indah dibanding jadi kambing congek di sini."Oh ya, satu lagi saya lupa. Di da
[Kamu di mana Tari? Ingat ya, kamu harus ikut saya fitting kalau gak mau bonus di tanggal muda buat kamu saya hapuskan. ]Semprul! Bonus tanggal mudaku malah jadi taruhan. Maunya apa sih si monster protein ini? Aku menggertakan gigi kesal setelah membaca chat ke sekian di pagi ini dari Pak Leo. Gara-gara chat Pak Leo tersebut, terpaksa aku harus berangkat sejam lebih awal dari apartemen dibanding hari biasanya. Semua itu kulakukan demi hadir tepat waktu di butik Amora--tempat dia dan Bianca melakukan fitting baju pengantin. Aku menghembuskan napas kasar ketika tubuh ini sampai di depan butik 'Amora'. Baru juga jam 9.00 entah kenapa tubuhku berasa sudah kerja seharian, mungkin ini karena aku capek ngejar waktu sehabis mencuci sepatu si bos yang aku pakai semalam. Sumpah ya, kalau boleh jujur itu sepatu rempong banget. Udah mah besar, nggak bisa diajak jalan dan kalau aku mau pakai pun udah kayak pake sepatu Aladdin. Kebaikan si bos berasa gak guna jadinya. "Tari semangat! Ayo, kita
Beberapa bulan kemudian. Pagi-pagi sekali aku sudah menangis sambil menatap wajahku yang jelek di cermin.Huwaaa! Kali ini kami gagal lagi. Walau sudah telat seminggu dari jadwal haidku tapi hasil tespek tetap garis satu.Padahal waktu yang diberikan Bu mertua sudah batasnya. Bagaimana ini?Aku menatap hampa ke arah kebun yang ada di belakang rumah. Usai beres-beres dan mengerjakan kewajibanku sebagai istri aku memutuskan untuk merenungi dan memikirkan cara menghadapi Bu mertua.Sudah kuduga, bulan ini pun sama seperti bulan sebelumnya yaitu hasilnya negatif. Bisa jadi terlambat haid ini bukan karena positif tapi hormon dan ah ... entah. Yang pastinya mungkin Allah belum percaya untuk saat ini dan kami masih harus berjuang.Sebenarnya, aku tidak masalah karena selain kami pasti banyak di luar sana yang mengharapkan baby. Namun, terlepas dari itu semua aku teringat syarat mertuaku.Bagaimana pun sampai bulan yang ditentukan, dia memenuhi janjinya untuk tak mengganggu kami. Tapi, kami-l
Sambil duduk bersandar ke kursi kantin yang ada di dalam rumah sakit, aku mengetuk-ngetukan ponsel ke meja.Hamil? Dalam tiga bulan?Buset. Bu mertua kira bayi bisa dibikin dari terigu?Ampun. Ampun!Aku kembali menggelengkan kepala ketika teringat apa yang kudengar tadi saat menguping di samping ruang rawat ibunya suamiku.Seharusnya, ketika mendengar permintaan Bu mertua itu aku masuk saja dan secara dramatis menolak."Tidak! Aku tidak setuju! Emangnya anak kita yang bikin? Allah Bu, Allah!"Ceileh ... andai aku bisa begitu. Nyatanya? Nyaliku ciut bahkan tiarap.Hati ini terlampau sakit ketika mendengar Bu Pram menghina bapakku.Nasib oh, nasib. Apa salah menjadi anak mantan napi? Apa itu aib?"Ah, sial. Dasar bod--""Bod? Bod apa?"Sebuah suara yang berasal dari depan meja membuat kepalaku terangkat. Lelaki yang telah lama aku nanti akhirnya datang juga. Sayangnya, aku bingung berekspresi ketika dia menangkap basah aku yang sedang mengumpat."Tari ... kok malah bengong? Bod apa?" M
Semenjak diinfokan oleh Mas Leo kalau dia resign pikiranku langsung terasa buntu dan kakiku serasa tak menapak ke tanah.Untuk ukuran seorang Leo yang memiliki jabatan tinggi, hal ini tentu saja sangat mengejutkan.Namun, yang masih menjadi misteri sampai sekarang yaitu satu.Apa alasan dia resign? Kenapa setelah rapat itu dia jadi berubah? Ini sangat membingungkan."Kenapa Mas keluar? Apa alasannya Mas?" tanyaku setelah lama diam dalam keterkejutan. "Apa karena Mas diminta meninggalkan aku, ya?"Aku menatap ragu Mas Leo yang terhenyak. Saat ini kami masih tetap berada di ruangannya. Saling bertatapan dengan posisi duduk berhadapan.Diam-diam, aku teringat kembali obrolan Bu Pram--mertuaku dan ayahnya Sandra di ruang meeting sebelum ini.Entahlah, firasatku mengatakan keluarnya Mas Leo ada hubungannya dengan itu semua.Setengah bulan lagi kami akan resepsi. Kenapa harus ini yang terjadi?"Enggak gitu Tari, saya memang sudah berencana untuk keluar." Mas Leo kini beranjak dari tempatnya
"Jadi Bos sama Tari beneran udah nikah, ya?" tanya Evi tanpa basa-basi. Nada suaranya terdengar syok. Usai kami dipergoki dalam keadaan yang sangat mengenaskan dan bisa dibilang ... memalukan. Akhirnya Pak Leo meminta kami berbicara di ruangannya. Awalnya bertiga tapi si Evi minta Igor dilibatkan karena bagaimana pun Evi sama Igor bagaikan pinang dibelah kampak, jadilah kami berempat."Bukannya Pak Leo katanya ada affair sama Bu Sandra?" lanjut Igor. Alisnya naik-turun gak terima. Aku hanya menghela napas seraya memandang Mas Leo yang menatap datar dari balik meja kerjanya. Entahlah harus bagaimana kami menjelaskan pada mereka.Jujur, aku masih nggak nyangka bisa ketahuan secepat ini. Tapi, anehnya Mas Leo terlalu santai tidak seperti aku yang berulang kali menggigit bibir.Diam-diam aku merutuki diri yang terlena dan mau dicium begitu saja di pantry sama suamiku.Ini kantor Bosque! Kantor!"Tarii! Jawab! Kok lo malah diem aja?" tuding Evi lagi gemas. Sahabatku menatap aku dan Mas
Dia mendekat? Lelaki yang bertitel bapaknya Sandra itu mendekat? Ya Allah! Selamatkan aku ....Drrrt. Aku menahan napas ketika langkah itu terhenti di samping meja tempatku bersembunyi. Beruntung kali ini doaku makbul karena tiba-tiba saja getaran ponsel si bapak yang bersekutu dengan mertuaku itu bergetar berulang kali tanda ada panggilan masuk. Itu berarti ... alhamdullilah i am save. Selamat ... selamat!"Halo? Siapa ini? Halo?""Apa? Siapa kamu?"Terdengar hardikan dari mulut pria paruh baya tersebut hingga membuat tubuhku bergetar. Namun, semesta seakan berpihak padaku setelah mendengar panggilan tersebut langkah si bapak perlahan menjauh hingga kudengar pintu ditutup. Aku tidak tahu siapa yang menelepon tapi aku sangat berterima kasih. Pokoknya bagiku dia bagaikan Spiderman yang tengah menyelamatkan Gwen Stacy dari serangan monster kadal.Tak membuang waktu, setelah tidak terdengar lagi kasak-kusuk di ruangan, aku bergerak mengintip. Jaga-jaga kalau tuh bapak menyebalkan bal
Jantungku berhenti berdetak, kali ini kurasakan kepalaku mulai memberat dan otakku terasa buntu. Rasanya ini masih seperti mimpi, tapi kenapa napasku seolah tersendat dan kelopak mataku bahkan tak berkedip melihat banyaknya gosip fitnahan yang tersebar di grup kantor.[Pak Leo ngehamilin sekretarisnya gaes.] Evi membuka chat obrolan gang kutukupret pagi ini dengan gambar poster yang disebarkan oleh orang yang kuduga merupakan anteknya Elvira. [Gue sih udah nyangka, dia ada main itu pasti! Ganteng-ganteng bener-bener srigala ya Beb] Samber Yayuk yang membuat dadaku terasa panas seketika. Ganteng-ganteng srigala pale lo! Suami gue emang ganteng kali tapi bukan srigala![Tari, untung lo pindah jadi sekretaris Raka. Coba kalau nggak, lo kena juga kali] Kini giliran Igor yang bersuara. [Lah, iya bisa-bisa si Tari hamil juga. Hahahaha][Eh, si Tari ke mana nih? Biasanya dia yang paling heboh ngehina si Bos kalau si devil ada kesalahan? Ke mana dia? Tari woy! Munculah!][Paling dia tel
"Raka! Lepas! Jangan sentuh aku! Lepas!" Aku memberontak sekuat tenaga ketika tanpa kuduga si Raka--mantan yang kelakuannya persis setan itu memelukku tanpa permisi. "Raka! Please! Nanti orang salah paham!" teriakku sembari mendorongnya tapi Raka malah merekatkan pelukannya di tubuhku."Raka, please jangan begini! Kenapa sih kamu? Bukannya baru saja kita udah sepakat untuk tak mengungkit masa lalu!""Sebentar saja Tari, sebentar! Anggaplah ini pelukan terakhir!" "Raka!" Bentakanku membuat pelukan Raka seketika terlepas dan dia memandangku dengan raut kecewa."Apa kamu mencintai Bang Leo?" tanya Raka setelah mengambil jarak dariku.Sekarang aku tahu, pantas saja dia meminta para stafnya untuk ikut seminar ternyata dia ingin menjebakku dalam situasi sulit.Raka memang tidak ber-prikekacungan dan berpri-kemantanan."Itu bukan urusanmu! Tapi aku ingatkan jangan dekati aku lagi! Aku wanita bersuami!" ancamku sambil berbalik berniat pergi.Namun, alangkah terkejutnya aku ketika berbalik
"Raka! Lepas! Jangan sentuh aku! Lepas!" Aku memberontak sekuat tenaga ketika tanpa kuduga si Raka--mantan yang kelakuannya persis setan itu memelukku tanpa permisi. "Raka! Please! Nanti orang salah paham!" teriakku sembari mendorongnya tapi Raka malah merekatkan pelukannya di tubuhku."Raka, please jangan begini! Kenapa sih kamu? Bukannya baru saja kita udah sepakat untuk tak mengungkit masa lalu!""Sebentar saja Tari, sebentar! Anggaplah ini pelukan terakhir!" "Raka!" Bentakanku membuat pelukan Raka seketika terlepas dan dia memandangku dengan raut kecewa."Apa kamu mencintai Bang Leo?" tanya Raka setelah mengambil jarak dariku.Sekarang aku tahu, pantas saja dia meminta para stafnya untuk ikut seminar ternyata dia ingin menjebakku dalam situasi sulit.Raka memang tidak ber-prikekacungan dan berpri-kemantanan."Itu bukan urusanmu! Tapi aku ingatkan jangan dekati aku lagi! Aku wanita bersuami!" ancamku sambil berbalik berniat pergi.Namun, alangkah terkejutnya aku ketika berbalik
POV Leo.Aku paham Ibu masih tidak bisa menerima Tari sepenuhnya. Dia bahkan mendatangkan asistennya untuk mengganggu malam pertamaku.Rencana yang sangat ... mengada-ngada. Bisakah aku menyebutnya mengada-ngada? Tentu bisa. Karena sebenarnya rencanaku pun tak jauh beda, hanya tujuanku satu, aku ingin melindungi Tari sementara Ibu, beliau hanya terlalu obsesi untuk mendapat menantu sesuai impiannya.Sebenarnya, sebelum kedatangan Mbok Nah aku pernah berpikir bahwa Ibu akan melakukan apa saja demi memisahkan kami. Dan ternyata tebakanku benar, dia mengajukan syarat kalau kami harus tinggal dengan Mbok Nah.Aku tahu Ibu sengaja berbuat ini agar aku dan Tari merasa terganggu lalu menggagalkan rencana pernikahan ini sebelum diresmikan.Semua itu dikarenakan Raka Farhandi--adikku.Pemuda itu mempengaruhi ibu untuk tak menerima Tari sebagai menantu karena dia tak setuju atas pernikahan kami.Oh, shit!Kenapa coba Raka berbuat sejauh ini? Apa dia berpikir aku tidak tahu dia mengejar kembali