Setahun penuh Violet menghabiskan waktu mengagumi dalam diam.
Setahun penuh juga Violet sekadar menatap tanpa ingin mendekat.
Kenapa ia betah sekali memendam perasaan? Sejauh ini ia bahkan tidak pernah mencoba berusaha. Kenapa memulainya saja ia enggan? Setidaknya cobalah dengan cara sederhana.
Memang mudah untuk berucap, menasihati orang lain dan mendadak menjadi orang bijak. Violet paham bagaimana kalimat semacam itu sering kali tertuju padanya. Hanya saja, Violet cukup menanggapinya dengan senyuman, tentu sembari mengatur napas untuk mengendalikan diri.
Alasannya, Violet tidak berminat mengungkapkan pendapat. Bukan berarti ia tidak peduli, tetapi ia sendiri yakin bahwa alasan yang terlontar darinya pasti akan selalu disanggah dengan kalimat yang terkesan menyudutkan. Sifat manusia kebanyakan seperti itu bukan?
Dan dari sekian banyak manusia, sahabat paling ia percayai termasuk ke dalamnya, Grey, yang kini kembali melontarkan pertanyaan yang sama seperti satu minggu lalu. Jadi, langkah terbaik yang Violet ambil adalah mengunci mulutnya rapat-rapat.
“Memangnya sekali-sekali mencoba tidak bisa?” Grey mulai kesal saat Violet terus menolak. Pria yang hari ini terlihat lebih maskulin dengan tatanan rambut klimis yang menampakkan dahi itu berhenti mengetik. Dia bangkit dari kursi kerjanya kemudian menyenderkan lengan kirinya di atas penyekat ruangan.
“Apa sebenarnya yang kau takutkan?” Grey masih ingin mendengar kepastiannya. Baginya, alasan Violet terkesan sepele dan tidak masuk akal.
“Haruskah aku mengulanginya? Aku merasa tidak sebanding dengannya.” Violet mematikan layar komputernya setelah menyimpan hasil pekerjaannya tepat ketika suara jam istirahat berbunyi. “Perbedaan kami sangat jauh. Sistem kasta.”
Itu sebenarnya hanya sebagian alasan kecil Violet, karena ia tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya, bisa dibilang terlalu pelik sampai mungkin pada akhirnya Grey tidak akan mengerti. Violet butuh waktu untuk siap berbagi dengan Grey, sekalipun memang Grey terbukti bisa dipercaya.
“Persetan!” Grey sedikit mengibaskan tangannya. “Keluargamu itu cukup terpandang, walau Pak Nolan memang berada di atas, tapi tidak jauh.”
Violet mendongak untuk menatap Grey. “Sangat jauh,” koreksinya.
Grey mengangkat kedua tangannya seperti mengaku kalah. “Oke, baiklah.” Lalu, pria itu melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. “Kita lanjutkan obrolan ini nanti. Sudah waktunya makan siang. Perutku juga sudah lapar. Dengar-dengar, perusahaan mengganti katering, sepertinya yang ini enak.”
“Aku tidak bisa, Grey,” tolak Violet.
“Kenapa? Diet lagi? Kau itu jelas-jelas sempurna—tidak perlu diet lagi. Aku tidak menerima penolakan. Sekarang juga kau ikut aku makan siang di kantin.” Grey kemudian berjalan menuju meja kerja Violet. Tanpa meminta persetujuan, ia langsung menyambar lengan Violet dan menyeretnya.
“Matikan komputermu dulu!” Violet memperingati yang sayangnya hanya dibalas dengan dengusan kecil dari Grey.
Dari ruang kerja mereka yang berada di lantai sebelas, untuk sampai di kantin, Grey dan Violet harus turun ke lantai dua menggunakan lift. Karena jam istirahat seluruh karyawan dibagi tiap divisi, kondisi di dalam lift tidak terlalu penuh, tetapi masih dibilang lumayan sesak. Grey menyuruh Violet untuk berdiri di belakangnya seolah dirinya rela menjadi tameng yang siap menjaga Violet dari desakan.
Tidak sampai memakan waktu lima menit, mereka sampai di lantai dua. Ramainya kantin hari ini selain karena antusiasme karyawan terhadap pergantian katering, juga disebabkan oleh para atasan yang sedang menilai kinerja katering baru. Bisa saja ada keluhan dari karyawan, perusahaan akan langsung menegur petugas katering dan mengevaluasinya.
Di antara para atasan yang tengah menyantap makan siang, Violet menemukan Nolan yang ikut di dalamnya, sangat tenang sambil sesekali tersenyum menanggapi obrolan. Wajah Violet seketika memanas saat menyaksikan bagaimana lengkungan bibir Nolan tertarik ke atas dengan matanya yang menyipit. Refleks, Violet mencengkeram kemeja bagian belakang Grey sampai pria itu menghentikan langkahnya.
“Ada apa?” tanya Grey setelah membalik badan.
Violet tidak lantas menjawab. Dia menggigit bibirnya beberapa saat. “Bi-bisakah kita tidak usah makan di sini? Kita pesan makanan di luar saja,” ucapnya ragu.
“Sudah sampai di sini terus tidak jadi? Kau bercanda, Let?” Grey tentu saja tidak terima.
“Aku benar-benar tidak bisa, Grey.” Violet memohon dengan nada merengek.
Sementara, Grey sama sekali tidak terpengaruh. Dia memilih tak menghiraukan Violet dan malah melanjutkan langkahnya. Namun, baru menginjak langkah ketiga, Grey tiba-tiba berhenti, ia tidak sengaja melihat Nolan yang duduk di meja depan, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Kini Grey mengerti kenapa Violet berubah pikiran. Bukan karena Violet ingin melanjutkan acara dietnya, tetapi karena Nolan berada di tempat ini.
Grey menoleh ke arah Violet. Dilihatnya wanita yang mengenakan setelan blazer dengan motif kotak itu sedang menunduk sambil mengulum bibir. Dia mengembuskan napas kesal sebelum benar-benar berbalik untuk menghampiri Violet.
“Tenang, Let. Bersikap seperti biasa saja. Nolan juga tidak tahu kau menyukainya. Selama ini kau sudah berhasil menyembunyikan perasaanmu. Tidak ada yang tahu kecuali aku.” Grey merendahkan nada suaranya. Dia bahkan sengaja memajukan tubuhnya untuk menjangkau sisi telinga Violet.
Meskipun Grey berusaha menenangkannya, nyatanya Violet masih sulit menghilangkan perasaan takut tiap kali bertemu Nolan. Entah bagaimana awal mula ketakutan itu muncul. Violet hanya terus memikirkan berbagai asumsi. Isi kepalanya terus berkecamuk.
Tentang reaksi Nolan ketika mengetahui perasaannya.
Tentang pandangan orang lain terhadapnya.
Tentang keluarganya yang dipastikan tidak akan setuju jika ia menjalin hubungan dengan pria yang tidak dijodohkan dengannya sejak awal.
Ya, masa depan Violet sudah ditentukan, tepatnya ia dijodohkan dengan anak dari rekan bisnis ayahnya. Atau kalaupun dari semua pemikiran itu bernilai positif, ia tetap menyimpan ketakutan yang disebabkan oleh rasa tidak percaya diri. Kembali lagi, strata sosial menjadi pemicunya.
“Di mana Violet yang aku kenal? Violet yang selama ini aku tahu adalah gadis berani tak kenal takut, hanya memikirkan hasil daripada konsekuensi.” Grey menepuk-nepuk pundak Violet pelan.
Sepertinya perkataan Grey sedikit demi sedikit memengaruhi Violet, memercikkan semangat meski belum penuh, tetapi mampu mengurangi apa yang Violet rasakan sebelumnya. Violet perlahan mengangkat wajah, menampakkan raut masam. “Ini tidak semudah apa yang kau bayangkan—”
“Dan apa yang kau pikirkan belum pasti terjadi,” sela Grey.
Kini Violet resmi terpojok, tidak ada rangkaian kalimat yang bisa ia gunakan untuk membalas Grey. Dan dari sekian banyak nasihat Grey yang sialnya selalu benar, Violet rasa kali ini ia tidak bisa selain menurutinya.
“Grey,” panggil Violet lirih. Ada jeda beberapa detik untuk Violet melanjutkan kalimatnya, seperti menimbang sebelum keluar seluruhnya. “Apa aku benar-benar harus mencobanya?”
Mendengar itu, Grey kontan terkejut, tetapi ada rasa senang dan lega. Akhirnya Violet mau menuruti nasihatnya. Matanya berbinar disertai senyuman lebar. Dengan penuh semangat, Grey menarik lengan Violet menuju salah satu meja di sana.
Violet sempat terbelalak, dia pikir Grey akan mengajaknya duduk bersama Nolan dan atasan lainnya yang kebetulan masih memiliki dua kursi kosong. Grey itu sedang dipromosikan naik jabatan. Jadi, tidak heran ia dekat dengan atasan, terkecuali Nolan, mustahil untuk bisa menjangkau sang pemilik perusahaan. Namun, duduk bersama sepertinya tidak menjadi masalah. Sedangkan, jelas bagi Violet berbeda urusannya, ia belum siap.
Langkah mereka searah dengan meja Nolan, hanya sedikit lagi sampai, tetapi Violet ternyata salah besar. Grey menarik lengan Violet untuk berbelok sampai wanita itu sedikit terhuyung. Meja panjang yang dimaksud Grey tepat berada di samping Nolan.
Violet cukup bersyukur, tetapi hanya sesaat sebelum Nolan tiba-tiba menghampiri mereka. CEO perusahaan itu dikenal sebagai pria arogan. Pembawaannya yang dingin dan keras jika menyangkut pekerjaan sering memunculkan penilaian buruk lainnya, cenderung dilebih-lebihkan. Nolan memang jarang sekali berbaur dengan bawahannya. Saat ini kehadirannya di tengah-tengah karyawan merupakan sesuatu yang langka.
Nolan banyak menjadi perbincangan, terutama rumor yang menyatakan bahwa ia memiliki banyak wanita. Sekalipun benar, rasanya bukanlah suatu masalah, mengingat dalam segi paras maupun materi, Nolan jauh di atas normal. Wajahnya yang tampan dengan tambahan nilai karismatik sepertinya cukup untuk membuat para wanita jatuh hati. Terlebih, kesuksesan Nolan di usia muda mampu menjerat wanita-wanita itu sampai bertekuk lutut.
Sayangnya, selama ini Nolan menganggap wanita-wanita yang dekat dengannya tidak lebih dari sekadar hiburan. Dalam artian, Nolan sekadar bermain-main.
“Pak,” sapa Grey sembari membungkuk badan kemudian disusul dengan Violet yang semakin gugup oleh kehadiran Nolan.
“Boleh saya ikut bergabung?” izin Nolan, seperti basa-basi sebab kenyataannya ia sudah duduk lebih dulu.
“Silakan, Pak.” Grey dengan senang hati memperbolehkan Nolan ikut bergabung.
Berbeda dengan Grey, bagi Violet kehadiran Nolan merupakan malapetaka. Terdengar berlebihan memang, tetapi Violet mampu memprediksikan dirinya tidak bisa menikmati makan siang. Memandang Nolan dari kejauhan saja sudah membuat Violet berdebar, sekarang dengan sosok Nolan yang ada di dekatnya, di depan matanya, rasanya sulit untuk Violet menikmati udara dengan bebas. Tubuhnya pun mulai panas dingin. Astaga, sebesar itu pengaruh Nolan baginya.
“Mari makan, Pak.” Grey bersikap hormat.
“Iya, teruskan. Saya sudah makan tadi,” tolak Nolan. Memang pembawaan Nolan ini kerap kali berubah. Terkadang, ia bisa menjadi atasan paling tegas tanpa toleransi. Terkadang juga ia bisa sangat ramah, tetapi hanya dalam waktu tertentu. Grey sebenarnya bertanya-tanya dengan sikap Nolan saat ini. Dia justru merasa waswas.
“Kau sudah siap dengan kenaikan jabatan bulan depan?” tanya Nolan tiba-tiba.
Grey yang hendak memasukkan sendok ke dalam mulut seketika mengurungkannya, meletakkan kembali sendok ke atas piring. Pasalnya, Nolan sebelumnya tidak pernah membahas hal itu, ia cenderung abai terhadap masalah apa pun kecuali mengenai perkembangan perusahaan. Bahkan, kemungkinan besar Nolan tidak tahu tentang Grey. Yang menunjuk Grey juga bukan Nolan, melainkan bawahannya. Selaku CEO, Nolan tidak ikut campur dalam struktur kecil pimpinan perusahaan.
Grey terdiam sesaat. Dia melirik Violet di sampingnya yang sibuk meremas kedua jemari.
“Saya siap, Pak,” jawab Grey. “Tapi, kenapa Bapak bisa tahu? Maksud saya, Bapak mungkin tidak mengurusi masalah seperti ini.”
“Benar. Saya baru tahu tadi saat mereka membicarakanmu.”
Grey mengangguk mengerti. Pertanyaannya terjawab perihal Nolan yang tahu tentang dirinya. Nolan yang biasanya dingin, tetapi sekarang bersikap perhatian yang sewajarnya membuat Grey waspada.
Dibuka pertanyaan tak terduga, obrolan mereka menjadi sangat serius. Ini terkait perusahaan yang hendak melakukan ekspansi, merambah ke berbagai produk. Ternyata Grey memiliki andil besar, sebagai pencetus ide dalam proyek kali ini. Pantas saja ia dipromosikan naik jabatan. Violet yang mendengar itu diam-diam bangga dengan sahabatnya.
“Saya setuju dengan ide yang kamu ajukan. Saya sudah mendengarnya. Itu makanya saya tertarik untuk melihatmu secara langsung,” jelas Nolan jujur.
Seketika itu pula Grey mengembuskan napas lega. Rasa waswas yang tadi ia terapkan berangsur-angsur menghilang. Namun, sekarang muncul satu rasa baru—gugup. Bukan hanya Violet yang merasa terintimidasi dengan Nolan, tetapi Grey pun merasakan hal yang sama. Betapa Nollan memiliki aura memikat yang mudah membuat lawan bicara terlihat kecil.
Grey mengerti mengapa Violet dan para wanita di perusahaan ini menyukai Nolan.
Nolan itu sempurna.
Grey menjadi orang nomor sekian yang akan menyetujuinya, yang pertama tentu saja, Violet. Sejak masa kuliah dulu Violet sudah terpikat dengan Nolan, Casanova kampus. Nolan selalu menjadi bahan perbincangan menarik. Nolan yang memiliki pacar baru, atau Nolan yang baru putus, Nolan yang berprestasi, bahkan Nolan yang mengganti mobil baru. Seolah dunia terpusat pada Nolan.
“Terima kasih, Pak. Suatu kehormatan bagi saya bisa berbicara langsung dengan Bapak.”
“Apa saya terlihat sudah tua?”
Violet yang hendak berpura-pura sibuk dengan ponselnya kini ikut menengok. Dia ingin sekali menjawab, tetapi sepertinya pertanyaan itu bukan ditujukan untuknya, sehingga ia memilih untuk diam dan lagi-lagi sibuk dengan ponselnya.
“Ti-tidak. Sama sekali tidak, Pak. Bapak terlihat masih muda.” Grey gelagapan.
“Kalau begitu, jangan panggil saya bapak. Panggil saya Bos,” tekan Nolan. Raut wajahnya sangat serius. Grey mengangguk patuh, begitu pun dengan Violet meski wanita itu sendiri bukan lawan bicara Nolan.
Obrolan itu berlanjut sampai jam istirahat hampir selesai. Selama itu pula Violet merasa keberadaannya tak dianggap. Namun, ia mengerti, ranah Nolan sangat berbeda. Senior kampus yang ia kagumi dulu sekarang adalah atasannya.
Kenapa sangat sulit menjangkau Nolan bagi Violet?
“Saya harap semuanya selesai sebelum ulang tahun perusahaan nanti,” pungkas Nolan kemudian beranjak dari duduknya.
Namun, sebelum Nolan sempat berbalik, Grey memanggilnya lagi. “Pak, maaf—Bos. Apa di pesta ulang tahun perusahaan diharuskan membawa pasangan?”
“Benar. Peraturannya memang wajib membawa pasangan. Tujuannya agar orang terdekat juga tahu tempat kerja kita.”
Dari penjelasan Nolan, Grey kontan berpikir untuk memilah wanita mana yang akan ia ajak ke pesta, yang pasti bukan Violet. Namun, jika ia membawa wanita lain, bagaimana dengan Violet?
“Baik, Bos. Terima kasih banyak.”
“Masih ada waktu kalau kamu belum memiliki kekasih. Tapi—“ Nolan memandang Violet. “Sepertinya kamu tidak memikirkan hal itu, ya.”
Ketika pandangan Nolan menuju Violet, Grey juga mengarahkan pada titik yang sama. Senyuman Nolan bisa bermakna lain. “Jangan terlalu memikirkannya. Padahal saya sendiri juga belum tahu akan membawa siapa.”
Grey tidak percaya dengan Nolan. Grey yakin bahwa Nolan sudah memiliki kandidat wanita yang akan menemaninya. Pertanyaannya, siapa yang akan Nolan pilih?
“Kriteria wanita yang Bos suka seperti apa memang?” Grey agak menyesal setelah menanyakan pertanyaan yang barangkali terlalu jauh, menjurus masalah pribadi yang terlalu lancang.
Nolan berpikir beberapa saat. Raut wajahnya seperti berpikir. “Saya suka dengan wanita seksi,” ucapnya. Setelahnya Nolan tertawa kecil.
Baiklah, mulai detik ini Grey akan menyulap Violet seperti tipe ideal Nolan. Terlepas Nolan hanya membual atau memang berbicara kenyataan.
Kesempatan sedang terbentang luas.Sejak Nolan mengaku tentang tipe idealnya, Grey sibuk mencari referensi mengubah Violet untuk membantunya dalam strategi mendapatkan sang CEO. Grey sampai bertanya pada semua teman perempuannya bagaimana berpenampilan seksi dan menarik.Grey tidak mau Violet hanya terlihat seksi, dia juga menginginkan Violet mampu mengeluarkan daya pikatnya. Kemudian ia mendapat saran dari salah satu temannya bahwa untuk terlihat menarik, Violet harus menonjolkan kepribadiannya, dengan begitu otomatis aura alami nan kuat akan muncul dengan sendirinya. Namun, Violet juga dituntut untuk memperhatikan semua aspek penunjang dari mulai hal yang terkecil seperti cara bersikap maupun gaya pakaian.Mulai saat ini Violet tidak boleh asal memilih pakaian. Model pakaian yang membalut tubuhnya harus memenuhi kriteria Grey, tidak boleh ada bantahan. Pria itu bilang, jika usaha tanpa konsistensi itu ibarat sebuah lagu tanpa iringan musik.Perkataan Grey t
Violet pikir fakta yang ia dengar sendiri tentang Nolan akan mengubah perasaannya, atau paling tidak mengurangi persentase yang semula penuh.Namun, nyatanya tak ada yang berubah dari Violet. Perasaannya pada Nolan tidak berubah, masih sama, masih sangat menyukai pria yang sudah jelas-jelas tak menghargai seorang wanita.Masih menjalankan misinya dan masih menyimpan harapan untuk bisa menjadi bagian dalam hidup Nolan.Violet segila itu.Bagi Violet, Nolan tetap memukau, tetap mendominasi, bahkan tetap mampu membuat kinerja jantungnya berpacu kacau. Violet tidak mengerti mengapa pengaruh Nolan begitu besar. Terkadang, Violet juga berpikir, apa ketika Nolan menikah ia baru akan benar-benar berhenti?Violet mungkin sudah meletakkan seluruh hatinya pada Nolan, sekalipun Nolan tidak tahu bahwa Violet mencintainya sebesar itu. Hanya Violet yang mampu menyimpan rasa dalam waktu lama dan selama itu pula sibuk untuk berpura-pura.“Untuk bulan d
“Siapa Nolan yang kamu maksud? Saya?” Violet terbelalak ketika pria lain datang. “Bukan. Memang yang namanya Nolan cuma Anda.” Violet sengaja terlihat sinis. “Saya juga Nolan. Arnolan Bregi.” Sepertinya meladeni dua pria sinting sekaligus akan menyusahkan. Violet harus segera pergi dari kafe. Jangan sampai Nolan memergokinya di tempat ini. “Maaf, aku harus cepat-cepat pergi, permisi.” Violet melewati begitu saja dua pria yang mengganggunya. “Mau ke mana? Saya bisa jadi Nolan yang kamu maksud!” Violet mengabaikannya. Dia kesal setengah mati. *** Violet sebenarnya ingin menyembunyikan apa yang selama ini ia rasakan dari Grey. Namun, setelah berpikir ulang, Violet tidak bisa terus mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja saat Grey bertanya. Sejak semalam kepala Violet terus berkecamuk. Dia tidak mau membuat Grey kecewa, tetapi ia juga tidak bisa menjadikan itu semakin menambah b
“Violet sehari tidak berulah sepertinya mustahil. Ibarat peribahasa, kertas yang direndam di air pasti basah.” Flo terlihat menggebu-gebu. Setelah berpapasan dengan Nolan dan Violet tadi, Flo langsung berasumsi sendiri kemudian mendoktrin orang lain dengan asumsinya tersebut.“Sudah biasa kalau Violet menggoda Nolan. Buktinya mereka satu ruangan. Itu pasti ide Violet. Tapi, yang tadi bukan peribahasa, tapi perumpamaan.” Luna kali ini menyahut, mengoreksi di akhir.“Aku membaca peribahasa tahun 2021. Yang kau baca mungkin peribahasa yang sudah lama, jelas beda.” Flo ini memang tipikal yang tidak mau disalahkan meski jelas bersalah. Sudah hal yang biasa jika Luna hanya mengiyakan meski sebenarnya gatal untuk mengajak berdebat.Daripada memperdebatkan masalah peribahasa, Luna lebih tertarik untuk membahas Violet dan Nolan. “Apa Violet itu memakai pelet? Kalau iya, aku ingin tahu ia memakai pelet apa. Mungkin aku bisa mengik
Violet menyukai hujan. Sangat. Hujan memberikan Violet ruang untuk menciptakan kebahagiaannya sendiri, kebahagiaan dari mengekspresikan diri dengan bebas. Semenjak kecil, Violet selalu menantikan datangnya hujan. Saat-saat di mana Violet bisa tertawa lepas bersama anak-anak seusianya, bermain kubangan air di atas rerumputan, lalu berlari berkejar-kejaran. Hujan juga selalu mengingatkan Violet tentang sebuah pertemuan. Pertemuannya dengan anak lelaki yang umurnya sekitar dua atau tiga tahun lebih tua darinya. Waktu itu Violet masih duduk di bangku SMP. Ada seorang anak lelaki yang baru turun dari bus menarik lengan Violet. Anak lelaki yang tidak Violet kenal langsung memarahinya karena Violet menari di bawah guyuran hujan. Dia bilang, hanya orang gila yang bermain hujan. Dia juga bilang, hujan itu simbol kesialan. Saat itu juga Violet menentang dengan lantang. Sungguh bukan sebuah pertemuan mengesankan. Justru pertemuan itu adalah perta
“Bos—Bos ke sini?” Violet terkejut dengan kedatangan Nolan.“Bos kenapa ke sini? Ada masalah di perusahaan? Atau ada pekerjaan yang harus saya selesaikan?” cerca Violet.“Tidak ada apa-apa. Saya datang kemari cuma ingin memastikan.”“Memastikan apa Bosse?”Keberanian Nolan luntur seketika. Berhadapan dengan Violet secara langsung bisa begitu sulit. Nolan kehilangan kata-kata di depan Violet.“Bosse?” Violet heran, karena Nolan hanya diam di tempatnya.“Bosse?” Violet memanggil sekali lagi.“Ah, iya.” Nolan seperti baru sadar. “Saya ingin melihat kamu apakah baik-baik saja atau tidak.”Jujur, Violet semakin bertambah bingung. Dia merasa Nolan menjadi aneh, datang ke rumah sakit hanya untuk memastikan Violet baik-baik saja, terdengar tidak biasa. Wajar karena Nolan atasannya langsung, tetapi Nolan juga seorang CEO, meskipun Viole
Violet meminta izin pada Nolan untuk tidak masuk kerja dulu, ia masih ingin menemani Easton di rumah sakit. Meskipun Easton sudah sadar sejak kemarin, tepat setelah Nolan pulang. Bahkan kabar baiknya, kondisi Easton sudah jauh lebih baik sekarang.“Bosse, boleh tidak?” Violet mencoba bernegosiasi dengan Nolan. Selama lima menit ia menghubungi Nolan hanya ada perdebatan di antara mereka.“Empat hari itu terlalu lama, Violet.” Dari nada suaranya Nolan jelas kesal.“Cuma sampai Ayah pulih, Bosse.” Violet masih saja gigih. Dia ingin merawat ayahnya meski sang ayah sudah dinyatakan boleh pulang dari rumah sakit. Kekhawatirannya terhadap Easton disebabkan karena penyakit jantung yang diderita Easton masih sering kali kambuh, meski Easton ditangani dengan baik oleh dokter, Violet belum sepenuhnya puas.“Bosse.” Kali ini Violet merengek.Nolan mendengus kesal. “Sekalian saja seminggu kamu tidak masuk ke
Menerima kenyataan bahwa dirinya telah dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal berhasil mengurangi rasa kepercayaan Violet terhadap sang ayah.Lebih tepatnya, Violet kecewa dengan Easton.Violet tidak pernah membantah perintah Easton selama ini. Violet sudah menjadi gadis penurut kesayangan Easton. Bahkan, sekalipun Easton selalu menekan Violet untuk terus berprestasi, terus membanggakan orang tuanya, tetapi Violet tidak pernah protes dan selalu berusaha mewujudkan keinginan Easton.Hanya satu waktu Violet merasa lelah, dia tidak sanggup menuruti permintaan Easton, itu terjadi ketika Easton memintanya menerima perjodohan dengan anak dari rekan bisnis sang ayah.Satu waktu dan pertama kalinya Violet menentang Easton.Violet menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang bebas. Dia tidak mau terikat perjodohan yang membatasi ruang geraknya, mengikat masa depannya dengan pria yang belum tentu ia cintai, terlebih terjebak dalam ruangan penga
Ini menginjak hari kedua Violet dan Nolan kembali ke rutinitas pekerjaan. Sungguh luar biasa ketika mereka sudah disambut dengan segudang tugas dan agenda. Kesibukan itu membuat mereka lebih banyak bertemu, tetapi justru kurang berkomunikasi.Setiap menitnya selalu ada rentetan pekerjaan yang harus mereka selesaikan. Untung saja Violet memaksa untuk pulang. Jika mereka bertahan lebih lama lagi di sana, entah sebanyak apa lagi tumpukan jadwal yang memaksa mereka berlari, berpacu dengan waktu.Bahkan, pagi ini Violet sudah disambut dengan omelan Nolan sebab klien mengirimkan komplain. Menurut Nolan itu adalah masalah besar, karena baginya klien adalah raja yang menuntut kepuasan.“Rubah semuanya. Mulai dari awal. Siang nanti saya harus sudah menerima berkas itu di meja saya,” perintah Nolan.Violet mengangguk sembari memungut lagi berkas yang Nolan lemparkan di atas sofa.“Baik, Pak. Saya akan revisi secepatnya.”&ldquo
Nenek Glow bisa membaca situasi. Nolan dan Violet tidak banyak bicara. Mereka hanya sekadar menanggapi untuk menghargainya.Sejak tadi Violet juga lebih banyak melamun. Makanan yang nenek Glow hidangkan sama sekali tak menggugah selera. Berulang kali nenek Glow menyenggol lengan Nolan untuk menanyakan ada apa dengan Violet, tetapi Nolan hanya diam sembari mengangkat bahu. Padahal, jelas dialah sang penyebab situasi ini.“Aku ingin pulang, Bosse,” ucap Violet di sela makan.Nenek Glow yang sedang mengunyah makanan seketika terhenti. Dia menatap ke arah Violet. “Kenapa buru-buru?” tanyanya.Violet tersenyum tipis. “Pekerjaanku dan Nolan sudah menunggu, Nek. Kami harus kembali untuk bekerja.”Nenek Glow mengangguk mengerti. Lalu, beralih pada Nolan yang baru saja selesai mengelap bibirnya dengan tisu. “Padahal aku masih ingin melihatmu dan Violet di sini. Tapi, kalian memang harus bekerja,” ucapnya lesu.
“Bosse ...”Yang dipanggil hanya melirik sebentar sebelum berkutat lagi pada layar laptop dengan serius.“Bosse ...” panggil Violet lagi.Tanpa berminat menatap lawan, Nolan menjawab dengan bergumam. Hal yang menarik Violet untuk berdiri tepat di samping Nolan, di sebuah ruangan khusus untuk Nolan jika berkunjung kemari.“Coba lihat saya dulu, Bosse!” Violet mulai geram. Dia berkaca pinggang dengan bibir mengerucut.Karena gemas, Nolan menarik lengan Violet hingga bokong padat wanita itu berada tepat di atas pahanya.Violet terperanjat, pipinya pun memanas. Dia mencoba melepaskan diri dari lilitan lengan kokoh Nolan yang memutari pinggangnya.“Bo-bosse ...” Violet terperanjat. Dia tidak percaya dengan posisinya sekarang ini. Rasanya dominan memalukan, itulah mengapa ia menyembunyikan wajahnya di sela rambut panjangnya. Tentu dia sangat gugup. Apalagi, ketika tangan Nolan sedikit mengusap
Setidaknya, setelah menjalani akting pura-pura ini, Violet merasakan perubahan besar dari Nolan.Terlihat bagaimana Nolan memperlakukannya dengan sangat baik, benar-benar seperti sepasang kekasih.Binar tetulusan yang Nolan pancarkan bukan hanya untuk sang nenek. Bahkan, Violet tidak bisa melihat Nolan yang dulu. Seperti memang ia sedang menghadapi Nolan yang baru, atau mungkin inilah wajah Nolan yang sebenarnya. Entahlah, Violet tidak ingin mencari tahunya. Tidak untuk saat ini.Nenek Glow banyak bercerita tentang Nolan. Setidaknya, Violet kini mulai mengetahui lebih banyak. Dan ada sebuah fakta mengejutkan.“Aku menemukannya di hutan. Kau bayangkan, bocah berusia enam tahun ada di hutan.” Raut wajah nenek sangat serius. Kerutan di keningnya bertambah banyak ketika ia mencoba mengingat-ingat memori. “Dia ketakutan. Aku kasihan, akhirnya aku bawa dia ke rumah. Butuh waktu lama untuknya mau menceritakan semuanya. Tapi, aku sabar menunggu
Nolan mengajak Violet ke suatu tempat di daerah pegunungan sebagai upaya menebus semua kesalahannya pada Violet. Jalannya menikung, sedikit membuat Violet mual, untungnya pemandangan sekitarnya bisa dengan mudah mengalihkan pikirannya. Pepohonan besar tumbuh di sepanjang jalan, banyak bunga azalea yang mulai bermekaran, menjadi indikasi mereka memasuki area puncak.Ada segelintir rumah, jaraknya begitu jauh dengan rumah-rumah lainnya. Tampak biasa, tetapi Violet menemukan satu rumah yang akhirnya mencuri perhatiannya, terhalang banyak pepohonan besar. Dia terpaku pada lentera yang menggantung di kanan dan kiri pintu. Atapnya hanya dibalut jerami usang. Lalu, seorang anak kecil tengah bermain di halaman yang tidak terlalu luas. Violet memicing untuk mengetahui apa yang sedang anak kecil itu mainkan di tangannya. Bahkan, sampai mobil terus melaju dan rumah itu sudah terlihat jauh, Violet masih berusaha memutar kepalanya.Guncangan akibat jalanan yang tidak rata
Entah bagaimana Violet berakhir di tangan Nolan. Perlakuan Nolan dan suara serak yang terdengar begitu seksi berhasil membuatnya takluk. Semuanya mengalir sampai Violet tidak ingat komitmen untuk tidak terjerumus, dia justru sudah kalah telak.Malam ini, Violet menyerahkan diri. Dia dituntun ke sebuah perasaan asing yang menghasilkan sensasi luar biasa bagi tubuhnya. Sentuhan Nolan yang lembut membuat Violet tidak ingin menyudahinya.“Kamu cantik, Sayang.”Seharusnya Violet tidak terpengaruh dengan rayuan yang pasti sudah sering Nolan lantunkan pada wanita lain. Namun, Violet masih saja berdebar, wajahnya memanas, dan jemarinya seperti disihir untuk mengusap rahang tegas Nolan.“Biarkan saya memilikimu, ya?”Itu bukan pertanyaan, karena Nolan tidak meminta persetujuan, dia tidak ingin mendengar jawaban Violet. Bibirnya yang bengkak akibat ciuman panas mendarat di perpotongan leher Violet, menyesap dengan kuat sampai mungkin
Wajah yang memanas, tatapan sarat akan cinta, serta debaran gila, Violet bisa merasakan Nolan juga sama sepertinya.Cara bagaimana Nolan menatapnya, Violet bisa melihat itu. Meletakkan jemarinya di dada Nolan membuatnya tahu jika detak jantung Nolan seirama dengannya, begitu kencang.Jadi, bolehkah Violet mengartikan itu sebagai bentuk ketertarikan yang sama?Violet seperti tidak mau menyudahinya. Dia ingin terus merasakannya. Nolan membuatnya bergairah, tetapi bukan menjurus pada hal-hal berbau ranjang, meski sempat terlintas.“Kau sangat cantik,” ucap Nolan di sela ciumannya, sebelum ia kembali menautkan bibirnya lagi, untuk sekian kalinya.Jika saja Helium tidak menyela dengan sebuah gebrakan meja, Nolan masih ingin menikmatinya lebih lama.Lagi dan lagi.“Cukup!” Helium terengah karena menahan emosi. “Aku tidak mau melihatnya.”Nolan menarik lembut lengan Violet untuk duduk di sebelahnya.
Setelah Helium mengutarakan niatnya, Violet masih mengingat betul kalimat Nolan yang di luar dugaan.‘Violet sudah menjadi kekasih saya’.Seharusnya saat itu ia langsung saja memukul kepala Nolan sekalian, tidak perlu menunggu sampai hari ini, setelah mereka kembali lagi ke Atlanta. Violet sengaja menarik lengan Nolan menuju ke sebuah ruangan kosong yang belum ditentukan diperuntukkan untuk apa nantinya. Nolan mengikuti Violet tanpa protes atau bertanya apa pun.“Kenapa Bosse melakukannya?”Violet yakin Nolan mengerti apa maksud dari pertanyaannya. Mengatakan pada Helium kalau mereka menjalin hubungan membuat tidur Violet tidak nyenyak. Dia tidak mengerti kenapa Nolan melakukannya. Bola matanya tidak bergulir ke mana pun selain wajah Nolan dengan penuh tuntutan.Karena tidak kunjung mendapat jawaban, Violet memajukan tubuhnya satu langkah. “Apa maksud Bosse mengatakan kita ini berpacaran? Kenapa harus?”No
“Masih pusing?” Nolan memastikan keadaan Violet.Sementara, Violet masih memejam, karena kepalanya masih berdenyut hebat. Ini bukan pertama kalinya ia naik pesawat, tetapi ini pertama kalinya ia mengalami bagaimana rasanya turbulensi. Hingga saat ini pun, sisa-sisa ketakutan itu masih ada.Meskipun kemungkinan terjadinya turbulensi tergolong besar, Violet masih tidak menduga ia akan benar-benar mengalaminya.Dia masih ingat bagaimana suasana tegang di dalam pesawat. Semua penumpang saling memanjatkan doa sesuai agama masing-masing. Para kru pesawat juga tidak henti menenangkan para penumpang, tidak boleh panik.Namun, mustahil untuk tidak panik. Merasakan guncangan hebat itu sampai melemparkan beberapa penumpang yang tidak memakai sabuk pengaman, beberapa koper berjatuhan di atas laci kabin, dan salah satu penumpang merasakan imbas dari jatuhnya koper yang menimpa kepalanya.Karena turbulensi adalah hal yang tidak bisa diprediksi, pramu