Violet pikir fakta yang ia dengar sendiri tentang Nolan akan mengubah perasaannya, atau paling tidak mengurangi persentase yang semula penuh.
Namun, nyatanya tak ada yang berubah dari Violet. Perasaannya pada Nolan tidak berubah, masih sama, masih sangat menyukai pria yang sudah jelas-jelas tak menghargai seorang wanita.
Masih menjalankan misinya dan masih menyimpan harapan untuk bisa menjadi bagian dalam hidup Nolan.
Violet segila itu.
Bagi Violet, Nolan tetap memukau, tetap mendominasi, bahkan tetap mampu membuat kinerja jantungnya berpacu kacau. Violet tidak mengerti mengapa pengaruh Nolan begitu besar. Terkadang, Violet juga berpikir, apa ketika Nolan menikah ia baru akan benar-benar berhenti?
Violet mungkin sudah meletakkan seluruh hatinya pada Nolan, sekalipun Nolan tidak tahu bahwa Violet mencintainya sebesar itu. Hanya Violet yang mampu menyimpan rasa dalam waktu lama dan selama itu pula sibuk untuk berpura-pura.
“Untuk bulan depan, kamu bisa minta catatannya pada Pastel.”
Violet terperanjat. Dia lupa dirinya masih berada di ruangan Nolan. Untungnya Violet mendengar semua yang Nolan perintahkan meski selama beberapa menit Violet sibuk membayangkan beberapa kemungkinan. Perkara Nolan selalu berhasil merenggut kesadarannya.
Violet cepat mengontrol diri untuk kembali fokus pada pekerjaannya. Menjadi sekretaris ternyata membuat Violet tidak punya waktu luang. Jika biasanya ia masih bisa sesekali berdiskusi dengan Grey, kini Violet jelas tidak bisa melakukan itu, tidak bisa sesantai itu dalam bekerja, dia dituntut selalu fokus dan menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu.
“Baik, Bos. Setelah ini selesai saya akan langsung minta pada Kak Pastel.” Violet mengatakan itu sembari mengecek data.
“Pastel orangnya santai, ya? Dia melarang bawahannya memanggil dia dengan sebutan ‘ibu’.” Nolan mengalihkan pembicaraan, sengaja memperpanjang interaksi dengan membahas Pastel, manajer personalia. Membiarkan suasana hening lebih dari satu jam ternyata cukup menyiksa. Saat Cella masih bekerja menjadi sekretarisnya, Nolan sering kali mengobrol ringan, banyak juga selingan gurauan yang mereka ciptakan. Sesekali memang perlu, tetapi Nolan tipe orang yang serius, kalau ada kesalahan sedikit saja, Nolan akan membombardirnya tanpa ampun.
“Iya, Bos. Kak Pastel tidak mau terlalu kaku.” Violet setuju. Seketika ia jadi membayangkan ketika Pastel kesal dengannya yang dulu memanggilnya ‘ibu’. Wanita berusia 40 tahun itu selalu mengelak jika dirinya sudah tua, dan sebutan ‘ibu’ bagi Pastel merujuk pada usia, tetapi sebenarnya ‘ibu’ yang dimaksud merupakan bentuk penghormatan sebagai bawahan terhadap atasan.
“Bukan kaku, tapi dia tidak mau mengakui umurnya,” sanggah Nolan. Dua siku tangannya menyangga di atas meja, sementara bola mata Nolan terpusat pada Violet. Lelahnya sedikit berkurang saat memandang Violet. Ada energi baru yang mengalir, daripada segelas kopi ternyata kehadiran Violet lebih berpengaruh.
“Benar, Bos. Kak Pastel lucu.”
“Bukan lucu, tapi tidak tahu diri saja,” koreksi Nolan.
Tawa tipis Violet cukup menjadi pertanda untuk menyudahi obrolan. Violet sadar saat ini Nolan sedang membangun hubungan baik dengannya, tetapi dengan itu ia merasa seperti diberi harapan. Satu sisi Violet memang senang, tetapi satu sisi lainnya ada kekhawatiran. Violet tidak bisa menjelaskan kekhawatiran dalam hal yang mana, ia sendiri pun bingung.
Di detik berikutnya suasana kembali hening. Violet tidak lagi menanggapi Nolan. Dia cukup memproteksi diri untuk tidak terlalu dekat untuk sekarang, ada jarak yang sengaja ia ciptakan untuk mengingatkan posisinya. Selain itu, alasan pelik yang masih Violet pendam menjadi pertimbangannya akhir-akhir ini. Namun, Violet tidak mundur dari rencananya, hanya perlu waktu sampai dirinya siap.
Mungkin Grey akan memarahinya jika Violet mengatakan bahwa sampai sekarang ia belum benar-benar siap harus mendekati Nolan secara terang-terangan. Grey sudah membantu sejauh ini, dan Violet tidak ingin mengecewakannya. Violet masih mempersiapkan diri untuk memantapkan tekadnya.
Jadi, adakah yang lebih aneh dari Violet?
“Setelah ruangan kerja Cella selesai dibereskan, kamu akan langsung menempatinya. Untuk sekarang, kamu satu ruangan dengan saya. Mungkin tiga hari lagi kamu sudah bisa punya ruangan sendiri. Jadi, bersabar sedikit lagi.” Nolan mengatakan itu karena ia menangkap dari gelagat Violet yang kurang nyaman. Tidak hanya sekali Violet menghindari tatapannya. Bahkan, Violet sengaja memutus obrolan lebih dulu, seperti enggan berbicara lama dengannya.
Nolan menunggu reaksi Violet. Ibu jarinya tak henti memainkan bibir bawahnya yang tebal dengan raut wajah yang tampak tidak sabar.
Violet yang awalnya mengira Nolan kembali berbicara basa-basi, selang beberapa detik tersadar bahwa ada maksud lain dari ucapan Nolan.
“Iya, Bos. Tidak masalah.” Jawaban Violet jelas tidak seperti kenyataannya. Pun Nolan mengerti jika Violet tidak berani berkata jujur.
Satu desahan kasar Nolan mengudara.
Dia merasa kalau mereka terlalu kaku. Apa kesan Nolan selama ini seburuk itu?
Nolan tidak sempat menjelaskan karena ponselnya yang berbunyi sudah mengambil atensinya lebih dulu. Dia melirik Violet sebentar sebelum berjalan ke arah kaca besar yang memperlihatkan pemandangan gedung tinggi lain.
“Halo, sayang.”
Kalimat singkat itu kontan membuat Violet sigap. Dia langsung memutuskan fokusnya yang semula pada data yang terpampang di layar komputer untuk memasang daun telinga lebar-lebar. Menguping pembicaraan Nolan diam-diam menurutnya tidak masalah.
“Maaf, saya sibuk belakangan ini. Ada apa?”
Tangan Violet bergerak untuk membuka berkas, tetapi bola matanya memutar arah menuju Nolan yang berdiri di depan kaca besar, membelakanginya.
“Benarkah? Kita bertemu di mana? Hotel?”
Refleks, Violet meremas berkas penting yang ia pegang. Hatinya memanas. Entah mengapa Violet yakin jika yang sedang menghubungi Nolan adalah kekasihnya.
Violet memindahkan arah pandangnya tepat ketika Nolan hendak berbalik. Secepat mungkin Violet berpura-pura fokus dengan pekerjaannya meski telinga Violet masih bekerja dengan baik untuk mendengar apa yang Nolan katakan.
“Kafe Winter Snow? Baiklah. Sekarang juga saya ke sana.”
Tidak banyak yang Nolan ucapkan lewat ponsel. Namun, Violet tentu paham dari apa yang ia dengar. Ini menyangkut kerinduan sepasang kekasih yang memutuskan untuk bertemu.
Pembicaraan singkat itu bahkan diakhiri oleh senyuman ranum yang terbit dari bibir Nolan. Singkat, sesingkat perubahan padanan emosi Violet. Dia penasaran bagaimana sosok perempuan yang mampu menjerat seorang Nolan.
Rasa penasaran Violet yang begitu tinggi mendorongnya untuk melakukan sebuah rencana gila—membuntuti ke mana Nolan bertemu dengan kekasihnya. Ditemani keyakinan, Violet sudah bertekad untuk merealisasikannya.
Nolan kemudian berjalan ke arah meja kerjanya lagi untuk mengambil jas dan tas jinjing. “Saya ada urusan sebentar. Setelah pekerjaan kamu selesai, taruh saja di meja saya. Kalau sempat saya akan mengeceknya nanti. Atau besok pagi baru saya cek,” ucap Nolan sembari menyampirkan jas hitamnya di lengan sebelah kiri.
“Baik, Bos.” Violet sebisa mungkin menahan diri.
Baru setelah Nolan meninggalkan ruangan, Violet mengembuskan napas kasar beberapa kali. Ditutupnya semua berkas, mematikan layar komputer dan memasukkan ponsel miliknya ke dalam tas. Violet harus mengikuti ke mana Nolan pergi. Maka, ia bergegas menyambar kunci mobil agar tidak kehilangan jejak.
***
Persis seperti detektif atau mungkin lebih tepat disebut penguntit. Violet berjalan mengendap-endap di belakang Nolan. Tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak terlalu jauh. Violet memastikan bahwa Nolan tidak sadar ia sedang mengikutinya.
Violet berdebar, ia tentu takut akan ketahuan. Apa yang ia lakukan jelas berisiko, tetapi Violet masih mengedepankan rasa penasaran.
Saat ini Nolan memasuki area parkir, sementara Violet masih mengikuti di belakang dengan tetap menjaga jarak. Suara sepatu hak tingginya sampai tidak terdengar karena memang Violet melangkah sangat hati-hati. Tiang besar menjadi pilihan Violet selanjutnya untuk bersembunyi, karena tidak mungkin ia langsung mengikuti Nolan menuju mobil.
Dari kejauhan alarm mobil Nolan sudah berbunyi. Mobil hitam metalik itu sangat mengagumkan seperti pemiliknya. Porsche memang tidak main-main, sepadan dengan harganya yang menjulang. Apalagi, mobil mewah itu dinaiki oleh seorang pria tampan seperti Nolan. Violet bertaruh, hanya dengan sekali kedipan mata, Nolan akan mudah menarik wanita mana pun untuk duduk di kursi penumpang.
Usai Nolan memasuki mobilnya, Violet yang bersembunyi di belakang tiang besar sedikit mengintip. Nolan tidak langsung melajukan mobilnya, ia menghubungi seseorang sebentar. Violet bertahan sampai Nolan menutup panggilan dan melajukan mobilnya meninggalkan area itu.
Baru sepeninggal mobil Nolan, Violet berlari menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari mobil Nolan tadi. Buru-buru ia mengikuti mobil Nolan yang sudah pergi lebih dulu, berharap tidak tertinggal jauh.
Namun, untuk mengantisipasi kehilangan jejak, Violet mengambil ponselnya di dalam tas, satu tangannya masih memegang kemudi.
“Winter Snow tadi Nolan bilangnya.” Tangan Violet lincah memencet layar ponsel untuk masuk ke dalam aplikasi peta kemudian memasukkan alamat yang ia cari.
“Ini tidak jauh dari sini.” Violet semakin menginjak gas untuk melajukan mobilnya lebih cepat setelah memasukkan ponselnya ke dalam tas lagi.
Seperti dugaannya, mobil Nolan sudah tidak terlihat. Namun karena Violet sudah mengetahui ke mana tujuannya, ia sedikit lega.
Hanya butuh waktu kurang lebih lima belas menit Violet sampai di kafe yang dimaksud. Mobil Nolan juga sudah terparkir di sana, di antara deretan mobil lain. Violet memilih memarkirkan mobilnya di deretan yang berbeda, agak jauh dari mobil Nolan.
Ini terlalu gila bagi Violet. Baru kali ini Violet sampai melakukan hal sejauh ini demi seorang pria. Nolan lebih istimewa dari hadiah ulang tahun Violet. Tidak, bahkan Nolan jauh lebih istimewa dari apa pun.
Langkah Violet yang sempat ragu kini lebih mantap, tegas dan berkelas. Bokongnya yang dibalut rok ketat menjadi pusat perhatian kaum pria. Violet sadar, tetapi sengaja mengabaikan, membiarkan dirinya menjadi objek menarik.
Bola mata Violet yang berwarna cokelat terang memindai ke seluruh penjuru kafe. Tidak sulit menemukan Nolan dengan seorang wanita. Mereka duduk di sudut kanan, dekat jendela. Namun, sebelum mendekat ke sana, Violet memakai kacamata hitam, mungkin dengan itu bisa menjadi alat penyamaran.
Tadinya Violet menargetkan meja di samping Nolan, tetapi karena risiko ketahuannya lebih besar, akhirnya Violet memilih posisi yang tidak terlalu dekat, tetapi diperkirakan masih bisa mendengar pembicaraan Nolan. Violet berharap long coat yang ia kenakan pun tidak terlihat mencurigakan. Semoga Nolan tidak ingat Violet sempat mengenakannya ketika datang ke perusahaan pagi ini.
Baru saja duduk beberapa detik, salah satu pelayan pria menghampirinya. “Mau pesan apa, Lady?”
Lady? Violet baru tahu jika ada kafe yang memanggil pelanggannya dengan sebutan itu.
“Hot matcha, please,” ucapnya lirih.
“Baik, tunggu Lady.”
Setelah pelayan pria pergi, Violet yang duduk terhalang satu meja di belakang dari Nolan mulai memusatkan telinganya untuk mendengar obrolan Nolan dengan kekasihnya. Wanita seksi yang saat ini menggenggam tangan Nolan itu terasa familier bagi Violet. Rasanya Violet pernah bertemu atau pernah melihatnya sebelum ini.
Violet ingin mengamati lebih lama lagi, tetapi terjeda dengan kehadiran pelayan pria yang sudah membawakan pesanannya. Waw, cepat sekali datangnya.
“Selamat menikmati, Lady. Tapi, mohon maaf, ada yang menitipkan ini untuk Lady.” Sang pelayan menyerahkan kertas kecil. “Dari pria tampan di sana,” tunjuknya ke arah pria yang duduk tidak jauh dari Violet. Violet kontan mengikuti arah jari telunjuk pelayan. Memang benar tampan, tetapi Violet tidak menyukai tipe pria yang mendekati wanita dengan cara klasik seperti ini.
Violet memilih mengabaikannya. Dia juga tidak tertarik membaca isi kertas, malah kembali mengamati Nolan dan kekasihnya.
“Aku merasa lebih bahagia dengan hubungan kita yang seperti ini.” Kalimat itu terucap dengan nada lembut. Tatapan yang wanita itu berikan pada Nolan juga teduh.
Namun, reaksi yang Nolan berikan justru berupa dengusan. “Tidak jelas seperti ini yang kamu maksud? Runa, apa kamu tidak mau melihat saya setiap hari?”
“Bukan—“ Wanita yang bernama Aruna lantas mengelus pipi Nolan. “Bukan begitu, Nolan. Aku hanya ingin bebas, itu saja. Lagi pula, kita masih bisa bertemu kapan pun kau mau.”
Nolan menghela napas. “Kamu memang keras kepala, sayang.”
“Hm, kau tahu bagaimana aku, Nolan.” Satu senyuman manis Aruna suguhkan untuk Nolan. Mereka saling menatap intens.
Setelah itu, apa yang terjadi selanjutnya bukan suatu hal yang ingin Violet lihat. Dia tahu itu akan menyakitinya, tetapi bodohnya Violet justru bertahan di sana, menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Nolan dan Aruna saling bercumbu.
Hal lumrah yang dilakukan oleh sepasang kekasih, tetapi tidak etis dilakukan di tempat umum. Namun, daripada menyorot tentang etika, Violet lebih mementingkan kondisi hatinya. Adapun yang membuat hatinya sesakit itu ada di depan sana.
Apalagi, satu kalimat yang meluncur dari bibir Nolan sudah cukup membuatnya sakit bertubi-tubi, seperti dadanya terus ditikam berkali-kali.
“Saya mencintai kamu, Aruna.”
Detik itu, Violet memegang dadanya. Violet tidak bisa menyalahkan Nolan. Semuanya jelas—antara ia dan Nolan tidak ada hubungan khusus—hanya sebatas atasan dan bawahan. Namun, rasanya masih saja sakit, sekalipun Violet mencoba menyadarkan dirinya.
Violet tidak tahu apakah yang ia lakukan sudah benar atau malah salah besar. Dia berusaha untuk mengejar Nolan, tidak lagi berdiam dengan terus memendam perasaan meski tidak yakin juga sebesar apa kadar perasaannya. Hal itu yang selama ini membuatnya ragu. Namun, Violet yang pada dasarnya tidak bisa tegas mengambil keputusan harus berkomitmen dengan Grey untuk mendapatkan Nolan.
Bukankah Violet terlalu jahat jika mengambil Nolan dari wanita yang mencintainya?
“Nolan, cukup. Kau mau mempermalukan aku di tempat umum?” Aruna menjauh saat salah satu tangan Nolan menyentuh bagian tubuhnya.
Nolan hanya tertawa singkat seperti tidak merasa bersalah. “Kamu yang mengajak saya ke sini. Sejak kapan selera kamu jadi kafe begini? Biasanya juga di hotel, kalau tidak di apartemen.”
“Sejak memilih bebas dari Nolan.” Aruna menanggapinya dengan gurauan.
Sementara Violet yang sudah kacau pada akhirnya tak bisa menahan diri lebih lama. Air matanya sudah luruh, menetes melewati kacamata hitam yang menggantung di hidungnya. Namun, sebelum beranjak dari duduknya, Violet mendengar namanya disebut di antara pembicaraan Nolan dan Aruna, alhasil Violet menunda kepergiannya.
“Kau bilang, sekretarismu sekarang bernama Violet. Ceritakan padaku bagaimana dia.” Aruna terdengar menuntut. Sejatinya, Aruna dan Nolan itu sama. Sama-sama posesif, sama-sama ingin menjadi dominan, dan sama-sama tidak mau diatur. Karena kesamaan itulah yang justru membuat mereka tak bisa bersatu. Tidak ada yang mau mengalah di antara keduanya.
“Dia masih belajar menggantikan Cella. Dia belum bisa beradaptasi dengan pekerjaan barunya,” jelas Nolan.
“Kau masih mempertahankannya? Come on, Nolan. Kau tidak biasanya begini. Sekali karyawanmu melakukan kesalahan, kau pasti sudah memecatnya. Apalagi sekretarismu. Kau hanya memilih yang sempurna.”
Violet mendengarnya. Dia mendadak ikut menerka-nerka mengapa Nolan masih mempertahankannya sebagai sekretaris. Violet mengingat-ingat lagi, ia juga baru sadar selama ini Nolan belum pernah memarahinya, seperti para karyawan sering katakan bahwa Nolan tak ragu untuk memaki. Violet hanya sekadar mendapat peringatan tegas.
Namun, Violet yakin alasan Nolan karena belum ada pengganti Cella. Statusnya memang hanya sementara, pengganti dalam batas waktu tertentu sampai mungkin perusahaan sudah menemukan sekretaris baru yang lebih kompeten.
“Saya rasa dia cepat belajar. Menemukan pengganti Cella itu susah, sayang.”
Aruna tahu jika itu hanya alasan yang dibuat-buat. Ada sesuatu lain, alasan sebenarnya yang membuat Nolan mempertahankan Violet. Aruna akan mencari tahu itu sendiri.
“Aku jadi penasaran bagaimana Violet itu.”
Nolan seketika menegang. Dia kenal betul bagaimana perangai Aruna. Bisa saja Aruna akan mengusik Violet jika merasa Violet berbahaya. Berbahaya dalam artian berpeluang mengambil hati Nolan.
Tidak. Nolan tidak bisa membiarkan Aruna berulah lagi.
“Dia hanya karyawan biasa, sayang. Sekretaris sementara sampai perusahaan mendapatkan sekretaris baru. Yang pasti, dia tidak lebih seksi dari kamu.”
“Jangan membual. Kau sengaja melindunginya, ‘kan?” sindir Aruna.
“Tidak, sayang.”
Pertanyaan Violet sudah terjawab dan itu membuatnya tidak punya alasan untuk menunda lagi niatnya untuk pergi. Perlahan, Violet melangkah untuk meninggalkan Nolan dan kekasihnya.
Meskipun hatinya masih berdenyut ngilu, entah mengapa Violet belum sepenuhnya ingin menyerah. Ada sesuatu hal yang menarik Violet lagi ketika hendak mundur. Ada keyakinan bahwa sebenarnya Nolan sudah tertarik dengannya. Terbukti dengan Nolan yang secara tidak langsung ingin menghindarkan Aruna darinya.
Violet sedikit menarik senyumnya.
Kesimpulan yang ia dapat setelah mendengar apa yang Nolan dan Aruna bicarakan adalah mereka memiliki celah. Celah itulah yang mungkin saja bisa membuat Violet perlahan masuk. Violet tidak asal menebak, ia bisa menilai seperti apa Aruna. Dan dari hasil pengamatannya, Aruna itu wanita bebas, lebih bebas dibanding dengannya, sedangkan Nolan adalah pria yang cenderung mengatur pasangannya. Jadi, Nolan dan Aruna tidak akan bertahan lama menurut perspektif Violet.
Dengan begitu, Violet lagi-lagi tetap akan menjalankan misinya.
“Sombong sekali. Pesanku tidak dibaca?” Sosok pria yang memberinya kertas kecil tadi ternyata mengikutinya sampai keluar dari kafe.
“Maaf, aku sudah punya kekasih.” Violet semakin mempercepat langkahnya.
“Mana? Kau saja sendirian.”
Menghadapi pria sinting ternyata sangat melelahkan. Violet mengembuskan napas kasar. Dia membalik badan. “Dengar, kekasihku itu namanya Nolan. Orangnya tampan dan posesif. Dia akan membunuhmu kalau sampai tahu kau mendekati kekasihnya.”
“Siapa Nolan yang kamu maksud? Saya?”
Violet terbelalak ketika pria lain datang.
“Siapa Nolan yang kamu maksud? Saya?” Violet terbelalak ketika pria lain datang. “Bukan. Memang yang namanya Nolan cuma Anda.” Violet sengaja terlihat sinis. “Saya juga Nolan. Arnolan Bregi.” Sepertinya meladeni dua pria sinting sekaligus akan menyusahkan. Violet harus segera pergi dari kafe. Jangan sampai Nolan memergokinya di tempat ini. “Maaf, aku harus cepat-cepat pergi, permisi.” Violet melewati begitu saja dua pria yang mengganggunya. “Mau ke mana? Saya bisa jadi Nolan yang kamu maksud!” Violet mengabaikannya. Dia kesal setengah mati. *** Violet sebenarnya ingin menyembunyikan apa yang selama ini ia rasakan dari Grey. Namun, setelah berpikir ulang, Violet tidak bisa terus mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja saat Grey bertanya. Sejak semalam kepala Violet terus berkecamuk. Dia tidak mau membuat Grey kecewa, tetapi ia juga tidak bisa menjadikan itu semakin menambah b
“Violet sehari tidak berulah sepertinya mustahil. Ibarat peribahasa, kertas yang direndam di air pasti basah.” Flo terlihat menggebu-gebu. Setelah berpapasan dengan Nolan dan Violet tadi, Flo langsung berasumsi sendiri kemudian mendoktrin orang lain dengan asumsinya tersebut.“Sudah biasa kalau Violet menggoda Nolan. Buktinya mereka satu ruangan. Itu pasti ide Violet. Tapi, yang tadi bukan peribahasa, tapi perumpamaan.” Luna kali ini menyahut, mengoreksi di akhir.“Aku membaca peribahasa tahun 2021. Yang kau baca mungkin peribahasa yang sudah lama, jelas beda.” Flo ini memang tipikal yang tidak mau disalahkan meski jelas bersalah. Sudah hal yang biasa jika Luna hanya mengiyakan meski sebenarnya gatal untuk mengajak berdebat.Daripada memperdebatkan masalah peribahasa, Luna lebih tertarik untuk membahas Violet dan Nolan. “Apa Violet itu memakai pelet? Kalau iya, aku ingin tahu ia memakai pelet apa. Mungkin aku bisa mengik
Violet menyukai hujan. Sangat. Hujan memberikan Violet ruang untuk menciptakan kebahagiaannya sendiri, kebahagiaan dari mengekspresikan diri dengan bebas. Semenjak kecil, Violet selalu menantikan datangnya hujan. Saat-saat di mana Violet bisa tertawa lepas bersama anak-anak seusianya, bermain kubangan air di atas rerumputan, lalu berlari berkejar-kejaran. Hujan juga selalu mengingatkan Violet tentang sebuah pertemuan. Pertemuannya dengan anak lelaki yang umurnya sekitar dua atau tiga tahun lebih tua darinya. Waktu itu Violet masih duduk di bangku SMP. Ada seorang anak lelaki yang baru turun dari bus menarik lengan Violet. Anak lelaki yang tidak Violet kenal langsung memarahinya karena Violet menari di bawah guyuran hujan. Dia bilang, hanya orang gila yang bermain hujan. Dia juga bilang, hujan itu simbol kesialan. Saat itu juga Violet menentang dengan lantang. Sungguh bukan sebuah pertemuan mengesankan. Justru pertemuan itu adalah perta
“Bos—Bos ke sini?” Violet terkejut dengan kedatangan Nolan.“Bos kenapa ke sini? Ada masalah di perusahaan? Atau ada pekerjaan yang harus saya selesaikan?” cerca Violet.“Tidak ada apa-apa. Saya datang kemari cuma ingin memastikan.”“Memastikan apa Bosse?”Keberanian Nolan luntur seketika. Berhadapan dengan Violet secara langsung bisa begitu sulit. Nolan kehilangan kata-kata di depan Violet.“Bosse?” Violet heran, karena Nolan hanya diam di tempatnya.“Bosse?” Violet memanggil sekali lagi.“Ah, iya.” Nolan seperti baru sadar. “Saya ingin melihat kamu apakah baik-baik saja atau tidak.”Jujur, Violet semakin bertambah bingung. Dia merasa Nolan menjadi aneh, datang ke rumah sakit hanya untuk memastikan Violet baik-baik saja, terdengar tidak biasa. Wajar karena Nolan atasannya langsung, tetapi Nolan juga seorang CEO, meskipun Viole
Violet meminta izin pada Nolan untuk tidak masuk kerja dulu, ia masih ingin menemani Easton di rumah sakit. Meskipun Easton sudah sadar sejak kemarin, tepat setelah Nolan pulang. Bahkan kabar baiknya, kondisi Easton sudah jauh lebih baik sekarang.“Bosse, boleh tidak?” Violet mencoba bernegosiasi dengan Nolan. Selama lima menit ia menghubungi Nolan hanya ada perdebatan di antara mereka.“Empat hari itu terlalu lama, Violet.” Dari nada suaranya Nolan jelas kesal.“Cuma sampai Ayah pulih, Bosse.” Violet masih saja gigih. Dia ingin merawat ayahnya meski sang ayah sudah dinyatakan boleh pulang dari rumah sakit. Kekhawatirannya terhadap Easton disebabkan karena penyakit jantung yang diderita Easton masih sering kali kambuh, meski Easton ditangani dengan baik oleh dokter, Violet belum sepenuhnya puas.“Bosse.” Kali ini Violet merengek.Nolan mendengus kesal. “Sekalian saja seminggu kamu tidak masuk ke
Menerima kenyataan bahwa dirinya telah dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal berhasil mengurangi rasa kepercayaan Violet terhadap sang ayah.Lebih tepatnya, Violet kecewa dengan Easton.Violet tidak pernah membantah perintah Easton selama ini. Violet sudah menjadi gadis penurut kesayangan Easton. Bahkan, sekalipun Easton selalu menekan Violet untuk terus berprestasi, terus membanggakan orang tuanya, tetapi Violet tidak pernah protes dan selalu berusaha mewujudkan keinginan Easton.Hanya satu waktu Violet merasa lelah, dia tidak sanggup menuruti permintaan Easton, itu terjadi ketika Easton memintanya menerima perjodohan dengan anak dari rekan bisnis sang ayah.Satu waktu dan pertama kalinya Violet menentang Easton.Violet menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang bebas. Dia tidak mau terikat perjodohan yang membatasi ruang geraknya, mengikat masa depannya dengan pria yang belum tentu ia cintai, terlebih terjebak dalam ruangan penga
Langit cerah hari ini berbanding terbalik dengan wajah suram Violet.Aura Violet seperti tertutup kabut awan.Tidak biasanya Violet menunjukkan terang-terangan suasana hatinya. Paling tidak, Violet akan membuatnya terlihat tidak kentara, tidak seperti sekarang yang sangat mudah ditangkap. Grey bahkan sudah mampu menebak ada sesuatu yang terjadi dengan Violet meski jarak wanita itu masih terpaut lima meter darinya.Grey menebak jika itu mengenai ayahnya.“Bagaimana keadaan ayahmu?” tanya Grey saat Violet mulai dekat.Violet menghentikan langkahnya ketika jaraknya dengan Grey hanya satu meter. Dia sempat menghela napasnya. “Ayah sudah sembuh,” jawabnya tidak bersemangat.Dari sana Grey mengira itu bukan lagi soal ayahnya, ada masalah lain yang Violet pikirkan sekarang. “Jika ayahmu sudah sembuh, lalu apa yang membuatmu lesu?”Violet menatap Grey sekilas sebelum menjatuhkan pandangan ke sisi yang lain
Kafe besar yang Grey dan Violet datangi ini adalah milik Qiuncy. Sejak SMA, Grey memang sudah sering menceritakan tentang Quincy kepada Violet. Bahkan, Violet bisa mengira-ngira bagaimana karakter dari Quincy.Sebagai seorang wanita, Qiuncy terlalu posesif. Dia melarang Grey untuk dekat dengannya. Pernah satu kali Quincy menghubungi Violet untuk menyuruhnya menjauhi Grey. Quincy bilang, tidak ada persahabatan di antara laki-laki dan perempuan. Saat itu, Violet hanya membual dengan mengatakan akan menuruti kemauan Quincy, dia tidak ingin membuat keadaan semakin runyam.Karena itulah Violet enggan bertemu dengan Quincy, ini adalah pertama kalinya mereka bertemu. Maka, tidak heran jika suasananya jadi agak canggung. Baik Violet maupun Quincy seperti menahan diri untuk memulai menyapa. Hanya Grey yang sejak tadi sengaja berceloteh panjang lebar untuk mencairkan suasana.“Let, kafe ini terkenal dengan kopinya. Bagaimana jika kau memesan cappucino
Ini menginjak hari kedua Violet dan Nolan kembali ke rutinitas pekerjaan. Sungguh luar biasa ketika mereka sudah disambut dengan segudang tugas dan agenda. Kesibukan itu membuat mereka lebih banyak bertemu, tetapi justru kurang berkomunikasi.Setiap menitnya selalu ada rentetan pekerjaan yang harus mereka selesaikan. Untung saja Violet memaksa untuk pulang. Jika mereka bertahan lebih lama lagi di sana, entah sebanyak apa lagi tumpukan jadwal yang memaksa mereka berlari, berpacu dengan waktu.Bahkan, pagi ini Violet sudah disambut dengan omelan Nolan sebab klien mengirimkan komplain. Menurut Nolan itu adalah masalah besar, karena baginya klien adalah raja yang menuntut kepuasan.“Rubah semuanya. Mulai dari awal. Siang nanti saya harus sudah menerima berkas itu di meja saya,” perintah Nolan.Violet mengangguk sembari memungut lagi berkas yang Nolan lemparkan di atas sofa.“Baik, Pak. Saya akan revisi secepatnya.”&ldquo
Nenek Glow bisa membaca situasi. Nolan dan Violet tidak banyak bicara. Mereka hanya sekadar menanggapi untuk menghargainya.Sejak tadi Violet juga lebih banyak melamun. Makanan yang nenek Glow hidangkan sama sekali tak menggugah selera. Berulang kali nenek Glow menyenggol lengan Nolan untuk menanyakan ada apa dengan Violet, tetapi Nolan hanya diam sembari mengangkat bahu. Padahal, jelas dialah sang penyebab situasi ini.“Aku ingin pulang, Bosse,” ucap Violet di sela makan.Nenek Glow yang sedang mengunyah makanan seketika terhenti. Dia menatap ke arah Violet. “Kenapa buru-buru?” tanyanya.Violet tersenyum tipis. “Pekerjaanku dan Nolan sudah menunggu, Nek. Kami harus kembali untuk bekerja.”Nenek Glow mengangguk mengerti. Lalu, beralih pada Nolan yang baru saja selesai mengelap bibirnya dengan tisu. “Padahal aku masih ingin melihatmu dan Violet di sini. Tapi, kalian memang harus bekerja,” ucapnya lesu.
“Bosse ...”Yang dipanggil hanya melirik sebentar sebelum berkutat lagi pada layar laptop dengan serius.“Bosse ...” panggil Violet lagi.Tanpa berminat menatap lawan, Nolan menjawab dengan bergumam. Hal yang menarik Violet untuk berdiri tepat di samping Nolan, di sebuah ruangan khusus untuk Nolan jika berkunjung kemari.“Coba lihat saya dulu, Bosse!” Violet mulai geram. Dia berkaca pinggang dengan bibir mengerucut.Karena gemas, Nolan menarik lengan Violet hingga bokong padat wanita itu berada tepat di atas pahanya.Violet terperanjat, pipinya pun memanas. Dia mencoba melepaskan diri dari lilitan lengan kokoh Nolan yang memutari pinggangnya.“Bo-bosse ...” Violet terperanjat. Dia tidak percaya dengan posisinya sekarang ini. Rasanya dominan memalukan, itulah mengapa ia menyembunyikan wajahnya di sela rambut panjangnya. Tentu dia sangat gugup. Apalagi, ketika tangan Nolan sedikit mengusap
Setidaknya, setelah menjalani akting pura-pura ini, Violet merasakan perubahan besar dari Nolan.Terlihat bagaimana Nolan memperlakukannya dengan sangat baik, benar-benar seperti sepasang kekasih.Binar tetulusan yang Nolan pancarkan bukan hanya untuk sang nenek. Bahkan, Violet tidak bisa melihat Nolan yang dulu. Seperti memang ia sedang menghadapi Nolan yang baru, atau mungkin inilah wajah Nolan yang sebenarnya. Entahlah, Violet tidak ingin mencari tahunya. Tidak untuk saat ini.Nenek Glow banyak bercerita tentang Nolan. Setidaknya, Violet kini mulai mengetahui lebih banyak. Dan ada sebuah fakta mengejutkan.“Aku menemukannya di hutan. Kau bayangkan, bocah berusia enam tahun ada di hutan.” Raut wajah nenek sangat serius. Kerutan di keningnya bertambah banyak ketika ia mencoba mengingat-ingat memori. “Dia ketakutan. Aku kasihan, akhirnya aku bawa dia ke rumah. Butuh waktu lama untuknya mau menceritakan semuanya. Tapi, aku sabar menunggu
Nolan mengajak Violet ke suatu tempat di daerah pegunungan sebagai upaya menebus semua kesalahannya pada Violet. Jalannya menikung, sedikit membuat Violet mual, untungnya pemandangan sekitarnya bisa dengan mudah mengalihkan pikirannya. Pepohonan besar tumbuh di sepanjang jalan, banyak bunga azalea yang mulai bermekaran, menjadi indikasi mereka memasuki area puncak.Ada segelintir rumah, jaraknya begitu jauh dengan rumah-rumah lainnya. Tampak biasa, tetapi Violet menemukan satu rumah yang akhirnya mencuri perhatiannya, terhalang banyak pepohonan besar. Dia terpaku pada lentera yang menggantung di kanan dan kiri pintu. Atapnya hanya dibalut jerami usang. Lalu, seorang anak kecil tengah bermain di halaman yang tidak terlalu luas. Violet memicing untuk mengetahui apa yang sedang anak kecil itu mainkan di tangannya. Bahkan, sampai mobil terus melaju dan rumah itu sudah terlihat jauh, Violet masih berusaha memutar kepalanya.Guncangan akibat jalanan yang tidak rata
Entah bagaimana Violet berakhir di tangan Nolan. Perlakuan Nolan dan suara serak yang terdengar begitu seksi berhasil membuatnya takluk. Semuanya mengalir sampai Violet tidak ingat komitmen untuk tidak terjerumus, dia justru sudah kalah telak.Malam ini, Violet menyerahkan diri. Dia dituntun ke sebuah perasaan asing yang menghasilkan sensasi luar biasa bagi tubuhnya. Sentuhan Nolan yang lembut membuat Violet tidak ingin menyudahinya.“Kamu cantik, Sayang.”Seharusnya Violet tidak terpengaruh dengan rayuan yang pasti sudah sering Nolan lantunkan pada wanita lain. Namun, Violet masih saja berdebar, wajahnya memanas, dan jemarinya seperti disihir untuk mengusap rahang tegas Nolan.“Biarkan saya memilikimu, ya?”Itu bukan pertanyaan, karena Nolan tidak meminta persetujuan, dia tidak ingin mendengar jawaban Violet. Bibirnya yang bengkak akibat ciuman panas mendarat di perpotongan leher Violet, menyesap dengan kuat sampai mungkin
Wajah yang memanas, tatapan sarat akan cinta, serta debaran gila, Violet bisa merasakan Nolan juga sama sepertinya.Cara bagaimana Nolan menatapnya, Violet bisa melihat itu. Meletakkan jemarinya di dada Nolan membuatnya tahu jika detak jantung Nolan seirama dengannya, begitu kencang.Jadi, bolehkah Violet mengartikan itu sebagai bentuk ketertarikan yang sama?Violet seperti tidak mau menyudahinya. Dia ingin terus merasakannya. Nolan membuatnya bergairah, tetapi bukan menjurus pada hal-hal berbau ranjang, meski sempat terlintas.“Kau sangat cantik,” ucap Nolan di sela ciumannya, sebelum ia kembali menautkan bibirnya lagi, untuk sekian kalinya.Jika saja Helium tidak menyela dengan sebuah gebrakan meja, Nolan masih ingin menikmatinya lebih lama.Lagi dan lagi.“Cukup!” Helium terengah karena menahan emosi. “Aku tidak mau melihatnya.”Nolan menarik lembut lengan Violet untuk duduk di sebelahnya.
Setelah Helium mengutarakan niatnya, Violet masih mengingat betul kalimat Nolan yang di luar dugaan.‘Violet sudah menjadi kekasih saya’.Seharusnya saat itu ia langsung saja memukul kepala Nolan sekalian, tidak perlu menunggu sampai hari ini, setelah mereka kembali lagi ke Atlanta. Violet sengaja menarik lengan Nolan menuju ke sebuah ruangan kosong yang belum ditentukan diperuntukkan untuk apa nantinya. Nolan mengikuti Violet tanpa protes atau bertanya apa pun.“Kenapa Bosse melakukannya?”Violet yakin Nolan mengerti apa maksud dari pertanyaannya. Mengatakan pada Helium kalau mereka menjalin hubungan membuat tidur Violet tidak nyenyak. Dia tidak mengerti kenapa Nolan melakukannya. Bola matanya tidak bergulir ke mana pun selain wajah Nolan dengan penuh tuntutan.Karena tidak kunjung mendapat jawaban, Violet memajukan tubuhnya satu langkah. “Apa maksud Bosse mengatakan kita ini berpacaran? Kenapa harus?”No
“Masih pusing?” Nolan memastikan keadaan Violet.Sementara, Violet masih memejam, karena kepalanya masih berdenyut hebat. Ini bukan pertama kalinya ia naik pesawat, tetapi ini pertama kalinya ia mengalami bagaimana rasanya turbulensi. Hingga saat ini pun, sisa-sisa ketakutan itu masih ada.Meskipun kemungkinan terjadinya turbulensi tergolong besar, Violet masih tidak menduga ia akan benar-benar mengalaminya.Dia masih ingat bagaimana suasana tegang di dalam pesawat. Semua penumpang saling memanjatkan doa sesuai agama masing-masing. Para kru pesawat juga tidak henti menenangkan para penumpang, tidak boleh panik.Namun, mustahil untuk tidak panik. Merasakan guncangan hebat itu sampai melemparkan beberapa penumpang yang tidak memakai sabuk pengaman, beberapa koper berjatuhan di atas laci kabin, dan salah satu penumpang merasakan imbas dari jatuhnya koper yang menimpa kepalanya.Karena turbulensi adalah hal yang tidak bisa diprediksi, pramu