“Bosse ...”
Yang dipanggil hanya melirik sebentar sebelum berkutat lagi pada layar laptop dengan serius.
“Bosse ...” panggil Violet lagi.
Tanpa berminat menatap lawan, Nolan menjawab dengan bergumam. Hal yang menarik Violet untuk berdiri tepat di samping Nolan, di sebuah ruangan khusus untuk Nolan jika berkunjung kemari.
“Coba lihat saya dulu, Bosse!” Violet mulai geram. Dia berkaca pinggang dengan bibir mengerucut.
Karena gemas, Nolan menarik lengan Violet hingga bokong padat wanita itu berada tepat di atas pahanya.
Violet terperanjat, pipinya pun memanas. Dia mencoba melepaskan diri dari lilitan lengan kokoh Nolan yang memutari pinggangnya.
“Bo-bosse ...” Violet terperanjat. Dia tidak percaya dengan posisinya sekarang ini. Rasanya dominan memalukan, itulah mengapa ia menyembunyikan wajahnya di sela rambut panjangnya. Tentu dia sangat gugup. Apalagi, ketika tangan Nolan sedikit mengusap
Nenek Glow bisa membaca situasi. Nolan dan Violet tidak banyak bicara. Mereka hanya sekadar menanggapi untuk menghargainya.Sejak tadi Violet juga lebih banyak melamun. Makanan yang nenek Glow hidangkan sama sekali tak menggugah selera. Berulang kali nenek Glow menyenggol lengan Nolan untuk menanyakan ada apa dengan Violet, tetapi Nolan hanya diam sembari mengangkat bahu. Padahal, jelas dialah sang penyebab situasi ini.“Aku ingin pulang, Bosse,” ucap Violet di sela makan.Nenek Glow yang sedang mengunyah makanan seketika terhenti. Dia menatap ke arah Violet. “Kenapa buru-buru?” tanyanya.Violet tersenyum tipis. “Pekerjaanku dan Nolan sudah menunggu, Nek. Kami harus kembali untuk bekerja.”Nenek Glow mengangguk mengerti. Lalu, beralih pada Nolan yang baru saja selesai mengelap bibirnya dengan tisu. “Padahal aku masih ingin melihatmu dan Violet di sini. Tapi, kalian memang harus bekerja,” ucapnya lesu.
Ini menginjak hari kedua Violet dan Nolan kembali ke rutinitas pekerjaan. Sungguh luar biasa ketika mereka sudah disambut dengan segudang tugas dan agenda. Kesibukan itu membuat mereka lebih banyak bertemu, tetapi justru kurang berkomunikasi.Setiap menitnya selalu ada rentetan pekerjaan yang harus mereka selesaikan. Untung saja Violet memaksa untuk pulang. Jika mereka bertahan lebih lama lagi di sana, entah sebanyak apa lagi tumpukan jadwal yang memaksa mereka berlari, berpacu dengan waktu.Bahkan, pagi ini Violet sudah disambut dengan omelan Nolan sebab klien mengirimkan komplain. Menurut Nolan itu adalah masalah besar, karena baginya klien adalah raja yang menuntut kepuasan.“Rubah semuanya. Mulai dari awal. Siang nanti saya harus sudah menerima berkas itu di meja saya,” perintah Nolan.Violet mengangguk sembari memungut lagi berkas yang Nolan lemparkan di atas sofa.“Baik, Pak. Saya akan revisi secepatnya.”&ldquo
Setahun penuh Violet menghabiskan waktu mengagumi dalam diam.Setahun penuh juga Violet sekadar menatap tanpa ingin mendekat.Kenapa ia betah sekali memendam perasaan? Sejauh ini ia bahkan tidak pernah mencoba berusaha. Kenapa memulainya saja ia enggan? Setidaknya cobalah dengan cara sederhana.Memang mudah untuk berucap, menasihati orang lain dan mendadak menjadi orang bijak. Violet paham bagaimana kalimat semacam itu sering kali tertuju padanya. Hanya saja, Violet cukup menanggapinya dengan senyuman, tentu sembari mengatur napas untuk mengendalikan diri.Alasannya, Violet tidak berminat mengungkapkan pendapat. Bukan berarti ia tidak peduli, tetapi ia sendiri yakin bahwa alasan yang terlontar darinya pasti akan selalu disanggah dengan kalimat yang terkesan menyudutkan. Sifat manusia kebanyakan seperti itu bukan?Dan dari sekian banyak manusia, sahabat paling ia percayai termasuk ke dalamnya, Grey, yang kini kembali melontarkan pertanyaan yang sama sepe
Kesempatan sedang terbentang luas.Sejak Nolan mengaku tentang tipe idealnya, Grey sibuk mencari referensi mengubah Violet untuk membantunya dalam strategi mendapatkan sang CEO. Grey sampai bertanya pada semua teman perempuannya bagaimana berpenampilan seksi dan menarik.Grey tidak mau Violet hanya terlihat seksi, dia juga menginginkan Violet mampu mengeluarkan daya pikatnya. Kemudian ia mendapat saran dari salah satu temannya bahwa untuk terlihat menarik, Violet harus menonjolkan kepribadiannya, dengan begitu otomatis aura alami nan kuat akan muncul dengan sendirinya. Namun, Violet juga dituntut untuk memperhatikan semua aspek penunjang dari mulai hal yang terkecil seperti cara bersikap maupun gaya pakaian.Mulai saat ini Violet tidak boleh asal memilih pakaian. Model pakaian yang membalut tubuhnya harus memenuhi kriteria Grey, tidak boleh ada bantahan. Pria itu bilang, jika usaha tanpa konsistensi itu ibarat sebuah lagu tanpa iringan musik.Perkataan Grey t
Violet pikir fakta yang ia dengar sendiri tentang Nolan akan mengubah perasaannya, atau paling tidak mengurangi persentase yang semula penuh.Namun, nyatanya tak ada yang berubah dari Violet. Perasaannya pada Nolan tidak berubah, masih sama, masih sangat menyukai pria yang sudah jelas-jelas tak menghargai seorang wanita.Masih menjalankan misinya dan masih menyimpan harapan untuk bisa menjadi bagian dalam hidup Nolan.Violet segila itu.Bagi Violet, Nolan tetap memukau, tetap mendominasi, bahkan tetap mampu membuat kinerja jantungnya berpacu kacau. Violet tidak mengerti mengapa pengaruh Nolan begitu besar. Terkadang, Violet juga berpikir, apa ketika Nolan menikah ia baru akan benar-benar berhenti?Violet mungkin sudah meletakkan seluruh hatinya pada Nolan, sekalipun Nolan tidak tahu bahwa Violet mencintainya sebesar itu. Hanya Violet yang mampu menyimpan rasa dalam waktu lama dan selama itu pula sibuk untuk berpura-pura.“Untuk bulan d
“Siapa Nolan yang kamu maksud? Saya?” Violet terbelalak ketika pria lain datang. “Bukan. Memang yang namanya Nolan cuma Anda.” Violet sengaja terlihat sinis. “Saya juga Nolan. Arnolan Bregi.” Sepertinya meladeni dua pria sinting sekaligus akan menyusahkan. Violet harus segera pergi dari kafe. Jangan sampai Nolan memergokinya di tempat ini. “Maaf, aku harus cepat-cepat pergi, permisi.” Violet melewati begitu saja dua pria yang mengganggunya. “Mau ke mana? Saya bisa jadi Nolan yang kamu maksud!” Violet mengabaikannya. Dia kesal setengah mati. *** Violet sebenarnya ingin menyembunyikan apa yang selama ini ia rasakan dari Grey. Namun, setelah berpikir ulang, Violet tidak bisa terus mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja saat Grey bertanya. Sejak semalam kepala Violet terus berkecamuk. Dia tidak mau membuat Grey kecewa, tetapi ia juga tidak bisa menjadikan itu semakin menambah b
“Violet sehari tidak berulah sepertinya mustahil. Ibarat peribahasa, kertas yang direndam di air pasti basah.” Flo terlihat menggebu-gebu. Setelah berpapasan dengan Nolan dan Violet tadi, Flo langsung berasumsi sendiri kemudian mendoktrin orang lain dengan asumsinya tersebut.“Sudah biasa kalau Violet menggoda Nolan. Buktinya mereka satu ruangan. Itu pasti ide Violet. Tapi, yang tadi bukan peribahasa, tapi perumpamaan.” Luna kali ini menyahut, mengoreksi di akhir.“Aku membaca peribahasa tahun 2021. Yang kau baca mungkin peribahasa yang sudah lama, jelas beda.” Flo ini memang tipikal yang tidak mau disalahkan meski jelas bersalah. Sudah hal yang biasa jika Luna hanya mengiyakan meski sebenarnya gatal untuk mengajak berdebat.Daripada memperdebatkan masalah peribahasa, Luna lebih tertarik untuk membahas Violet dan Nolan. “Apa Violet itu memakai pelet? Kalau iya, aku ingin tahu ia memakai pelet apa. Mungkin aku bisa mengik
Violet menyukai hujan. Sangat. Hujan memberikan Violet ruang untuk menciptakan kebahagiaannya sendiri, kebahagiaan dari mengekspresikan diri dengan bebas. Semenjak kecil, Violet selalu menantikan datangnya hujan. Saat-saat di mana Violet bisa tertawa lepas bersama anak-anak seusianya, bermain kubangan air di atas rerumputan, lalu berlari berkejar-kejaran. Hujan juga selalu mengingatkan Violet tentang sebuah pertemuan. Pertemuannya dengan anak lelaki yang umurnya sekitar dua atau tiga tahun lebih tua darinya. Waktu itu Violet masih duduk di bangku SMP. Ada seorang anak lelaki yang baru turun dari bus menarik lengan Violet. Anak lelaki yang tidak Violet kenal langsung memarahinya karena Violet menari di bawah guyuran hujan. Dia bilang, hanya orang gila yang bermain hujan. Dia juga bilang, hujan itu simbol kesialan. Saat itu juga Violet menentang dengan lantang. Sungguh bukan sebuah pertemuan mengesankan. Justru pertemuan itu adalah perta
Ini menginjak hari kedua Violet dan Nolan kembali ke rutinitas pekerjaan. Sungguh luar biasa ketika mereka sudah disambut dengan segudang tugas dan agenda. Kesibukan itu membuat mereka lebih banyak bertemu, tetapi justru kurang berkomunikasi.Setiap menitnya selalu ada rentetan pekerjaan yang harus mereka selesaikan. Untung saja Violet memaksa untuk pulang. Jika mereka bertahan lebih lama lagi di sana, entah sebanyak apa lagi tumpukan jadwal yang memaksa mereka berlari, berpacu dengan waktu.Bahkan, pagi ini Violet sudah disambut dengan omelan Nolan sebab klien mengirimkan komplain. Menurut Nolan itu adalah masalah besar, karena baginya klien adalah raja yang menuntut kepuasan.“Rubah semuanya. Mulai dari awal. Siang nanti saya harus sudah menerima berkas itu di meja saya,” perintah Nolan.Violet mengangguk sembari memungut lagi berkas yang Nolan lemparkan di atas sofa.“Baik, Pak. Saya akan revisi secepatnya.”&ldquo
Nenek Glow bisa membaca situasi. Nolan dan Violet tidak banyak bicara. Mereka hanya sekadar menanggapi untuk menghargainya.Sejak tadi Violet juga lebih banyak melamun. Makanan yang nenek Glow hidangkan sama sekali tak menggugah selera. Berulang kali nenek Glow menyenggol lengan Nolan untuk menanyakan ada apa dengan Violet, tetapi Nolan hanya diam sembari mengangkat bahu. Padahal, jelas dialah sang penyebab situasi ini.“Aku ingin pulang, Bosse,” ucap Violet di sela makan.Nenek Glow yang sedang mengunyah makanan seketika terhenti. Dia menatap ke arah Violet. “Kenapa buru-buru?” tanyanya.Violet tersenyum tipis. “Pekerjaanku dan Nolan sudah menunggu, Nek. Kami harus kembali untuk bekerja.”Nenek Glow mengangguk mengerti. Lalu, beralih pada Nolan yang baru saja selesai mengelap bibirnya dengan tisu. “Padahal aku masih ingin melihatmu dan Violet di sini. Tapi, kalian memang harus bekerja,” ucapnya lesu.
“Bosse ...”Yang dipanggil hanya melirik sebentar sebelum berkutat lagi pada layar laptop dengan serius.“Bosse ...” panggil Violet lagi.Tanpa berminat menatap lawan, Nolan menjawab dengan bergumam. Hal yang menarik Violet untuk berdiri tepat di samping Nolan, di sebuah ruangan khusus untuk Nolan jika berkunjung kemari.“Coba lihat saya dulu, Bosse!” Violet mulai geram. Dia berkaca pinggang dengan bibir mengerucut.Karena gemas, Nolan menarik lengan Violet hingga bokong padat wanita itu berada tepat di atas pahanya.Violet terperanjat, pipinya pun memanas. Dia mencoba melepaskan diri dari lilitan lengan kokoh Nolan yang memutari pinggangnya.“Bo-bosse ...” Violet terperanjat. Dia tidak percaya dengan posisinya sekarang ini. Rasanya dominan memalukan, itulah mengapa ia menyembunyikan wajahnya di sela rambut panjangnya. Tentu dia sangat gugup. Apalagi, ketika tangan Nolan sedikit mengusap
Setidaknya, setelah menjalani akting pura-pura ini, Violet merasakan perubahan besar dari Nolan.Terlihat bagaimana Nolan memperlakukannya dengan sangat baik, benar-benar seperti sepasang kekasih.Binar tetulusan yang Nolan pancarkan bukan hanya untuk sang nenek. Bahkan, Violet tidak bisa melihat Nolan yang dulu. Seperti memang ia sedang menghadapi Nolan yang baru, atau mungkin inilah wajah Nolan yang sebenarnya. Entahlah, Violet tidak ingin mencari tahunya. Tidak untuk saat ini.Nenek Glow banyak bercerita tentang Nolan. Setidaknya, Violet kini mulai mengetahui lebih banyak. Dan ada sebuah fakta mengejutkan.“Aku menemukannya di hutan. Kau bayangkan, bocah berusia enam tahun ada di hutan.” Raut wajah nenek sangat serius. Kerutan di keningnya bertambah banyak ketika ia mencoba mengingat-ingat memori. “Dia ketakutan. Aku kasihan, akhirnya aku bawa dia ke rumah. Butuh waktu lama untuknya mau menceritakan semuanya. Tapi, aku sabar menunggu
Nolan mengajak Violet ke suatu tempat di daerah pegunungan sebagai upaya menebus semua kesalahannya pada Violet. Jalannya menikung, sedikit membuat Violet mual, untungnya pemandangan sekitarnya bisa dengan mudah mengalihkan pikirannya. Pepohonan besar tumbuh di sepanjang jalan, banyak bunga azalea yang mulai bermekaran, menjadi indikasi mereka memasuki area puncak.Ada segelintir rumah, jaraknya begitu jauh dengan rumah-rumah lainnya. Tampak biasa, tetapi Violet menemukan satu rumah yang akhirnya mencuri perhatiannya, terhalang banyak pepohonan besar. Dia terpaku pada lentera yang menggantung di kanan dan kiri pintu. Atapnya hanya dibalut jerami usang. Lalu, seorang anak kecil tengah bermain di halaman yang tidak terlalu luas. Violet memicing untuk mengetahui apa yang sedang anak kecil itu mainkan di tangannya. Bahkan, sampai mobil terus melaju dan rumah itu sudah terlihat jauh, Violet masih berusaha memutar kepalanya.Guncangan akibat jalanan yang tidak rata
Entah bagaimana Violet berakhir di tangan Nolan. Perlakuan Nolan dan suara serak yang terdengar begitu seksi berhasil membuatnya takluk. Semuanya mengalir sampai Violet tidak ingat komitmen untuk tidak terjerumus, dia justru sudah kalah telak.Malam ini, Violet menyerahkan diri. Dia dituntun ke sebuah perasaan asing yang menghasilkan sensasi luar biasa bagi tubuhnya. Sentuhan Nolan yang lembut membuat Violet tidak ingin menyudahinya.“Kamu cantik, Sayang.”Seharusnya Violet tidak terpengaruh dengan rayuan yang pasti sudah sering Nolan lantunkan pada wanita lain. Namun, Violet masih saja berdebar, wajahnya memanas, dan jemarinya seperti disihir untuk mengusap rahang tegas Nolan.“Biarkan saya memilikimu, ya?”Itu bukan pertanyaan, karena Nolan tidak meminta persetujuan, dia tidak ingin mendengar jawaban Violet. Bibirnya yang bengkak akibat ciuman panas mendarat di perpotongan leher Violet, menyesap dengan kuat sampai mungkin
Wajah yang memanas, tatapan sarat akan cinta, serta debaran gila, Violet bisa merasakan Nolan juga sama sepertinya.Cara bagaimana Nolan menatapnya, Violet bisa melihat itu. Meletakkan jemarinya di dada Nolan membuatnya tahu jika detak jantung Nolan seirama dengannya, begitu kencang.Jadi, bolehkah Violet mengartikan itu sebagai bentuk ketertarikan yang sama?Violet seperti tidak mau menyudahinya. Dia ingin terus merasakannya. Nolan membuatnya bergairah, tetapi bukan menjurus pada hal-hal berbau ranjang, meski sempat terlintas.“Kau sangat cantik,” ucap Nolan di sela ciumannya, sebelum ia kembali menautkan bibirnya lagi, untuk sekian kalinya.Jika saja Helium tidak menyela dengan sebuah gebrakan meja, Nolan masih ingin menikmatinya lebih lama.Lagi dan lagi.“Cukup!” Helium terengah karena menahan emosi. “Aku tidak mau melihatnya.”Nolan menarik lembut lengan Violet untuk duduk di sebelahnya.
Setelah Helium mengutarakan niatnya, Violet masih mengingat betul kalimat Nolan yang di luar dugaan.‘Violet sudah menjadi kekasih saya’.Seharusnya saat itu ia langsung saja memukul kepala Nolan sekalian, tidak perlu menunggu sampai hari ini, setelah mereka kembali lagi ke Atlanta. Violet sengaja menarik lengan Nolan menuju ke sebuah ruangan kosong yang belum ditentukan diperuntukkan untuk apa nantinya. Nolan mengikuti Violet tanpa protes atau bertanya apa pun.“Kenapa Bosse melakukannya?”Violet yakin Nolan mengerti apa maksud dari pertanyaannya. Mengatakan pada Helium kalau mereka menjalin hubungan membuat tidur Violet tidak nyenyak. Dia tidak mengerti kenapa Nolan melakukannya. Bola matanya tidak bergulir ke mana pun selain wajah Nolan dengan penuh tuntutan.Karena tidak kunjung mendapat jawaban, Violet memajukan tubuhnya satu langkah. “Apa maksud Bosse mengatakan kita ini berpacaran? Kenapa harus?”No
“Masih pusing?” Nolan memastikan keadaan Violet.Sementara, Violet masih memejam, karena kepalanya masih berdenyut hebat. Ini bukan pertama kalinya ia naik pesawat, tetapi ini pertama kalinya ia mengalami bagaimana rasanya turbulensi. Hingga saat ini pun, sisa-sisa ketakutan itu masih ada.Meskipun kemungkinan terjadinya turbulensi tergolong besar, Violet masih tidak menduga ia akan benar-benar mengalaminya.Dia masih ingat bagaimana suasana tegang di dalam pesawat. Semua penumpang saling memanjatkan doa sesuai agama masing-masing. Para kru pesawat juga tidak henti menenangkan para penumpang, tidak boleh panik.Namun, mustahil untuk tidak panik. Merasakan guncangan hebat itu sampai melemparkan beberapa penumpang yang tidak memakai sabuk pengaman, beberapa koper berjatuhan di atas laci kabin, dan salah satu penumpang merasakan imbas dari jatuhnya koper yang menimpa kepalanya.Karena turbulensi adalah hal yang tidak bisa diprediksi, pramu