Mirna tidak bisa banyak membantu. Wanita tua itu tak memiliki pilihan lain selain menjual cincin pernikahannya. Hanya cincin itulah yang mereka miliki."Ran, cincin ini cuma benda mati. Dibandingkan sama ayah kamu, tentu ayah kamu jauh lebih berharga dari cincin ini," tegas Mirna.Wanita paruh baya itu melepas cincin yang melingkar di jari manisnya, kemudian memberikannya pada Rania. "Cepat kamu jual cincin ini! Ibu akan coba cari pinjaman sama tetangga."Rania hampir menangis. Di situasi terjepit seperti ini Rania tak tahu lagi harus meminta bantuan pada siapa."Maafin aku, Bu," ucap Rania. Tanpa sadar, air mata mulai menetes membasahi pipi Rania."Buat apa minta maaf? Ini bukan salah kamu. Ini salah Ibu sama Ayah. Ibu sama Ayah yang sudah menyusahkan kamu," sahut Mirna.Ibu dan anak itu menangis. Di masa-masa sulit seperti ini, mereka harus saling menguatkan satu sama lain."Maaf, aku belum bisa membahagiakan Ayah sama Ibu," ungkap Rania sesenggukan."Ibu sama Ayah yang udah gagal,
"Ibu juga bingung. Siapa aja orang yang tahu kalau ayah kamu di rumah sakit? Cuma Paman sama bibi kamu aja yang tahu, ‘kan?"Rania mengangguk. Wanita itu tidak menceritakan kondisi ayahnya pada banyak orang. Rania hanya memberi kabar pada kerabat dan juga teman-temannya yang ia pinjami uang. Selain itu, tidak ada lagi orang yang tahu mengenai kondisi ayah Rania saat ini."Padahal biaya operasi Ayah kan lumayan mahal. Belum lagi orang itu juga udah nambah deposit untuk biaya rawat inap. Jumlahnya cukup besar kan, Bu? Kenapa ada orang yang mau merelakan uang sebanyak itu buat pengobatan Ayah?"Rania cukup lega karena masalah biaya rumah sakit dapat diselesaikan dengan baik. Wanita itu juga tidak perlu mencari pinjaman dan menjual cincin pernikahan milik orang tuanya, tapi tetap saja Rania tidak bisa tenang jika ia belum menemukan orang yang sudah membantunya. Bagaimanapun juga Rania akan menganggap bantuan ini sebagai pinjaman, dan akan mengembalikan uang tersebut pada sang pemilik."Ki
Secara tidak langsung, Vira dan Listy sedang berusaha membantu Bima untuk mencari tahu tentang pacar Rania. Rania yang tidak tahan karena terus digoda oleh teman-temannya itu pun akhirnya menyangkal dan menegaskan kalau dirinya tidak mempunyai pacar, apalagi calon suami."Kalian ngomong apa, sih? Siapa yang udah mau nikah coba? Aku belum punya pacar kok!" seru Rania terkekeh."Yang benar? Padahal kamu cantik loh, Ran. Nggak mungkin kamu belum punya pacar," sahut Listy."Buat apa juga aku bohong ke kalian? Kalau aku udah mau nikah, aku pasti udah nyebar undangan ke kalian," tukas Rania sembari menggelengkan kepalanya.Vira menoleh ke arah Bima, kemudian mengedipkan matanya. Kini, Bima sudah memastikan kalau Rania memang benar-benar jomblo. Setelah tahu kalau Rania ternyata tidak mempunyai kekasih, Bima makin membulatkan tekadnya untuk mengejar Rania dan menjadikan wanita itu sebagai calon istrinya."Ternyata Rania belum punya pacar. Itu artinya aku masih punya kesempatan, ‘kan?" batin
Reynald lantas bergegas meninggalkan gerombolan karyawannya yang masih menggosipkan dirinya itu."Dasar perempuan gak tau terima kasih! Memangnya siapa yang sering marah-marah nggak jelas? Aku marah sama dia juga ada alasannya. Kalau aja dia nggak bikin aku kehilangan project besar, aku juga nggak akan ngomelin dia tiap hari!" gerutu Reynald dalam hati."Dia bilang dia nggak suka sama aku? Lah emang dia pikir aku suka sama dia gitu? Dia bahkan sama sekali bukan tipe cewek yang aku suka!" Reynald terus mengoceh di dalam hati. Ketiga wanita itu benar-benar tidak tahu kalau Reynald mendengarkan pembicaraan mereka. Rania juga masih sibuk mengumpati Reynald dan mengungkapkan kebenciannya pada bosnya itu."Tapi Bos sekarang udah berubah, ‘kan? Kamu jangan terlalu benci sama si Bos, nanti kalau kamu sampai suka sama Bos, baru tahu rasa!" celetuk Vira terkekeh."Ngapain juga aku suka sama Pak Reynald? Aku masih waras, Vira! Meskipun aku nggak punya kriteria khusus soal laki-laki, tapi yang j
"Ini kan ... tagihan rumah sakit punya Ayah?" gumam Rania shock saat melihat kertas itu ada di ruangan bosnya. "Aku nyari-nyari kertas ini di rumah sakit gak ketemu. Kenapa kertasnya bisa sampai di sini?" Rania benar-benar bingung dan heran. Bagaimana kertas itu bisa sampai ke tempat kerjanya?Namun, saat Rania tengah memandangi kertas tersebut, tiba-tiba Reynald masuk dan mengejutkan Rania."Kamu ngapain di sini!" seru Reynald menegur Rania.Rania segera menyembunyikan kertas itu dari Reynald. "Katanya Bos manggil saya?"Reynald menatap Rania sembari memicingkan mata. "Rania nyembunyiin apa, tuh?" batin Reynald."Nggak jadi! Sana balik kerja!" seru Reynald kemudian."Nggak jadi? Maksudnya?" tanya Rania bingung."Saya udah nggak ada perlu lagi sama kamu! Buruan sana pergi!" usir Reynald dengan ketus.Rania tidak berani bertanya mengenai surat tagihan dari rumah sakit milik ayahnya yang bisa berada di ruangan Reynald. Wanita itu segera keluar dari ruangan Reynald. Rania mencoba membuat
Andre nampak gugup. Meski begitu, pria itu tetap menuruti keinginan Rania yang ingin berbicara empat mata."Mau ngomong apa, Bu?"Rania mengeluarkan kertas tagihan dari rumah sakit kemudian memperlihatkannya pada Andre. "Apa Pak Andre tahu apa ini?" tanya Rania.Andre membaca nama pasien yang tertera dalam kertas tersebut. Jelas sekali Andre tahu kertas apa itu, tapi Andre harus berpura-pura bodoh di depan Rania sesuai dengan permintaan Reynald."Kertas apa ini?" tanya Andre berpura-pura tak mengerti."Tolong jujur aja, Pak! Pak Andre tahu ‘kan, siapa orang yang namanya Bagas di kertas ini."Andre berusaha mengelak. Meskipun Rania sudah memojokkan pria itu, tapi Andre tetap terus berkilah.“Pak Reynald yang udah bayar tagihan rumah sakit ayah saya, kan? Tolong ngaku aja, Pak. Setiap hari saya mencari orang yang bayarin biaya rumah sakit ayah saya. Tolong jangan persulit saya, Pak!" pinta Rania."Saya kurang tahu soal itu, Bu Rania. Kalau Ibu mau tahu, Ibu bisa tanya sendiri sama Pak R
Reynald menghentikan langkahnya. Pria itu menoleh ke arah Rania sembari melempar tatapan tajam pada pria itu."Kamu bilang apa?""Tolong jujur, Pak! Bapak yang udah bayarin biaya rumah sakit ayah saya, kan? Dari mana Bapak tahu kalau ayah saya masuk rumah sakit? Apa Bapak kenal dengan ayah saya? Kenapa Bapak mau bayarin tagihan rumah sakit ayah saya?" Rania mencecar Reynald dengan banyak pertanyaan sekaligus.Reynald tentu saja akan mengelak semua perkataan dan pertanyaan yang ditujukan oleh Rania itu. Entah mengapa pria itu tidak ingin Rania tahu kalau dirinya menaruh perhatian lebih pada Rania. Mungkin rasa gengsi lah yang membuat Reynald memilih untuk menutupi semuanya."Saya nggak kenal sama ayah kamu. Buat apa juga saya bayarin tagihan rumah sakit ayah kamu?" sinis Reynald. "Jangan ganggu saya. Saya sedang sibuk! Mendingan kamu cari orang lain aja yang mau ladenin pertanyaan konyol darimu itu!""Kalau bukan Bapak yang membayar biaya tagihan rumah sakit pada keluarga saya, lalu ke
Reynald menyerah. Pria itu tak mampu lagi mendengar ocehan Rania yang rak berhenti sejak tadi "Oke, saya ngaku! Ya, memang benar saya yang udah bayar tagihan rumah sakit ayah kamu. Saya nggak sengaja melihat kamu di rumah sakit dan saya nemuin kertas itu jatuh di lorong rumah sakit," ujar Reynald jujur.Rania menghela napas sejenak. "Akhirnya ngaku juga dia," batin Rania."Kenapa Bapak tidak berterus terang kepada saya? Kenapa Bapak nggak langsung ngasih tahu saya? Dan kenapa juga bapak lakukan hal itu? Bukankah Bapak tidak suka dengan saya? Lalu kenaoa Bapak mau menolong keluarga saya?” Rania mencecar Reynald dengan beberapa pertanyaan yang selama ini mengganjal di hatinya.“Karena rasa kemanusiaan,” jawab Reynald singkat padat dan jelas.“Apakah Bapak kenal dengan keluarga saya? Kenapa Bapak begitu peduli dengan keluarga saya? Kenapa Bapak mau mengeluarkan uang yang segitu banyaknya hanya untuk membantu keluarga saya?” tanya Rania lagi.“Kan sudah saya bilang, ATAS DASAR KEMANUSIAA
Rania yang terkejut mendengar suara beling pecah pun lantas menoleh ke arah bosnya dan melihat telapak tangan Reynald yang mengeluarkan darah.Rania lantas bergegas mengambil sapu tangan di tasnya dan berlari ke meja Reynald. Mengelap telapak tangan Reynald yang penuh dengan darah. “Ya ampun, Pak! Kenapa bisa gini?” panik Rania. Namun, Reynald hanya diam membisu dengan tatapan kosongnya. Terlihat jelas mata pria itu yang tenah memancarkan emosi.Rania kemudian berlari mengambil betadine dan kain kasa guna membelitkan luka di tangan Reynald. Dengan pelan dan telaten, Rania mengobati luka itu. Setelah selesai mengobati tangan Reynald, Rania segera membersihkan beling-beling yang berceceran di lantai.Tatapan Reynald masih terpaku pada pikirannya. Pria itu bahkan tak sadar jika Rania sudah mengobati luka di tangannya, dan Rania juga yang membersihkan pecahan-pecahan beling itu.Rania lantas kembali ke mejanya setelah selesai membersihkan pecahan-pecahan gelas kaca itu. Namun, belum sampa
“Udah lama kerja sama Reynald?” tanya Irene seraya berdiri di samping Rania dan merapikan penampilannya.“Lumayan, Mbak!” jawab Rania. Wanita itu terpaksa harus berbohong sebab Rania melihat Irene ini agak sedikit sombong.“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulut Irene.“Mbaknya udah kenal sama Pak Reynald?” tanya Rania yang sengaja memancing Irene.“Ya. Kami sudah kenal cukup lama. Sangat lama, dan sangat kenal,” jawab Irene sombong.“Oh.” Rania mengangguk.“Reynald belum punya pacar, kan?” tanya Irene.“Kalau itu saya tidak tahu, Mbak. Karena itu bukan wewenang saya untuk mengurus hidup orang lain,” ujar Rania yang mampu merubah ekspresi wajah Irene.Wanita itu tampak kesal mendengar jawaban dari mulut Rania. Rania seolah seperti sedang menyindir Irene. Rania kemudian pamit untuk kembali ke ruangan Indira, sedangkan Irene justru mengepalkan tangannya seraya menatap punggung Rania yang semakin menjauh.***Setelah dari toilet Reynald memutuskan untuk kembali ke kantor bersama Rania. Pr
Saat ketiga orang itu sedang fokus membicarakan perkembangan bisnis kain di perusahaan Reynald, tiba-tiba seorang wanita misterius datang dan mengetuk pintu ruangan Indira.“Masuk!” seru Indira mempersilakan.Wanita misterius itu pun masuk ke dalam ruangan Indira dengan langkah percaya dirinya bersama dengan seorang office girl yang kebetulan juga berada di depan pintu ruangan Indira. Rania menoleh sesaat untuk melihat orang yang datang tersebut, kemudian kembali fokus pada percakapan antara Reynald dan Indira.Wanita misterius itu tampak berjalan beriringan bersama dengan office girl tersebut, kemudian office girl itu meletakkan kopi yang ia buat di meja yang ada di depan ketiga orang itu, sedangkan Irene berdiri di samping office girl itu.Pembicaraan spontan terhenti saat office girl tersebut mempersilakan para tamu untuk meminum kopi yang telah ia buat. “Silakan diminum, Pak, Bu!” ucap office girl itu dengan ramah.Reynold menoleh menatap depan. Di mana office girl itu berdiri dan
Sesampainya di tempat yang telah ditentukan, Reynald dan Rania segera turun dari mobil. Keduanya berjalan beriringan menuju meja tempat bertemu dengan klien. Baru saja keduanya duduk di bangku yang telah dipesan oleh Reynald, klien itu datang. Reynald dan Rania sontak kembali berdiri dan menyambut klien mereka. “Selamat pagi, Pak Reynald. Bagaimana kabarnya?” sapa klien Reynald.“Baik. Sangat baik. Silakan duduk, Pak.” “Ini sekretaris barunya atau calon Pak Reynald, nih?” tanya klien itu saat bersalaman dengan Rania.Rania yang mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh klien itu pun mencoba menyanggahnya. Takut jika Reynald tersinggung. “Ah, saya–” Belum selesai Rania berbicara, Reynald lebih dulu memotongnya. “Dia sekretaris pribadi saya,” ucap Reynald tersenyum.“Oh, pantes. Hahahaha. Ya ya ya, saya mengerti.” Klien itu spontan tertawa. Mengerti maksud dari ucapan Reynald, sedangkan Rania justru mengerutkan keningnya merasa bingung kenapa orang itu tertawa.****“Udah dari tadi
Tak lama mobil Reynald berhenti di sebuah toko. Reynald segera keluar dari mobilnya, sedangkan Rania yang bingung pun hanya diam membeku di dalam mobil. Reynald yang melihat Rania hanya diam pun memberikan kode lewat gerakan kepalanya agar Rania keluar dari kendaraan itu.“Pilihkan sepatu yang bagus untuk dia,” titah Reynald seraya menunjuk Rania yang masih berada di belakangnya. “Baik, Pak!” patuh pelayan itu.“Ukuran sepatunya nomor berapa, Kak?” tanya pelayan itu pada Rania yang kini menatapnya bingung.“Hah? Saya?” tanya Rania bingung.“Iya, Kak. Ukuran kaki kakak nomor berapa?” “Tiga puluh delapan. Kenapa, Mbak?”“Tidak apa-apa, Kak. Sebentar ya, saya carikan dulu,” ujar pelayan itu yang kemudian mengambil beberapa wedges dan high heels yang bagus dan cocok untuk Rania.Rania hanya diam berdiri menatap bos dan pelayan toko itu dengan bingung. Beberapa saat kemudian pelayan toko itu pun datang dengan membawa beberapa kardus yang isi di dalamnya adalah model sandal dan sepatu yan
“Pagi, Pak!” sapa Rania pada satpam penjaga kantor.“Pagi juga, Bu Rania,” balas satpam tersebut.Rania melangkah masuk ke dalam kantor. Tak lama disusul oleh seorang pria berbadan tegap yang juga baru datang.“Pagi, Pak!” siapa para satpam pada Reynald.“Pagi,” jawab Reynald.Rania yang sedang menatap layar teleponnya sedikit terkejut saat tiba-tiba ada seseorang yang berjalan di sampingnya. Wanita itu sontak menoleh dan melihat siapa orang yang berada di sampingnya. Ternyata orang itu adalah bosnya.“Eh, Bapak,” nyengir Rania. “Pagi, Pak!” sambung wanita itu.“Segera bersiap. Sebentar lagi kita berangkat,” ujar Reynald tanpa menjawab sapaan dari Rania.“Baik, Pak.” Keduanya lantas menuju ke meja kerja mereka masing-masing. Namun, tiba-tiba Reynald memanggil Rania.***Seorang wanita memasuki gedung perusahaan besar dengan langkah anggun bak model ternama papan atas. Kacamata yang bertengger di hidungnya ia naikkan hingga di atas kepala. Semua mata tertuju padanya. Dengan angkuhnya
Reynald menoleh menatap ibunya yang ternyata juga sedang menatapnya dengan senyum yang begitu manis. Pria berusia 30 tahun itu mengerutkan keningnya melihat sikap sang ibu yang tampaknya sangat menyukai Rania. Padahal mereka baru bertemu satu kali.“Tidak. Dia dekil. Nyebelin. Keras kepala, dan–,” ucap Reynald menggantung.“Dan?” tuntut Bella agar Reynald melanjutkan ucapannya.“Ngangenin.” ***Rania berjalan ke ruang makan dengan langkah yang dihentakkan. Wanita itu kesal karena penampilannya selalu dinilai buruk oleh orang lain. Padahal menurutnya penampilan dirinya sudah kece dan cukup cantik, tetapi kenapa orang lain selalu tak suka melihatnya? Entahlah, Rania bingung.Wanita itu melahap sarapannya dengan diam. Tak ada percakapan antara dirinya dengan orang tuanya. Bagas yang melihat anak dan istrinya hanya diam membisu pun menatap mereka satu per satu. Keduanya tampak sedang fokus menyantap sarapannya. Terlihat jelas raut kesal di wajah Rania, sedangkan wajah Mirna tampak acuh
"Sudah siap!" Rania menatap pantulan dirinya di depan cermin besar yang ada di dalam kamarnya. Pagi-pagi sekali wanita itu sudah mandi dan bersiap dengan pakaian yang rapi dan cantik. Namun, sayangnya tampak seoerti ada yang kurang. Baju pemberian Reynald yang telah Rania pakai memang sudah menunjang penampilannya, tapi sayangnya wajah Rania tanpa polesan make up. Wanita itu hanya memakai lip tint berwarna merah di bibirnya. Ditambah lagi Rania tetap mengenakan sepatu kumal yang selalu ia pakai setiap harinya. Benar-benar tak habis pikir.Mirna, ibu dari Rania itu sontak menoleh saat melihat putrinya sudah keluar dengan berpakaian rapi, lalu menghampiri putrinya."Kamu udah mau berangkat, Ran?" tanya Mirna."Iya, Ma. Rania mau berangkat lebih awal," jawab Rania.Mirna memandang putrinya dari ujung kaki hingga sampai kepala Rania dengan dahi yang berkerut. Wanita paruh baya itu benar-benar tak habis pikir dengan penampilan putrinya yang terlihat aneh. Bagaimana tidak? Pasalnya Rania
“Sebenarnya dia itu orang yang juga sudah membantu membiayai pengobatan Ayah saat operasi kemarin,” ungkap Rania.Dengan terpaksa gadis itu harus berkata jujur pada orang tuanya, siapa orang yang telah membelikan baju-baju mahal pada dirinya agar kedua orang tuanya tidak salah paham.“Hah? Serius kamu, Ran? Kamu udah nemuin orang yang bantu biaya pengobatan Ayah?” Mirna terkejut setengah mati saat mendengar ucapan anaknya.“Iya, Bu. Rania udah tahu siapa orangnya.”“Siapa itu, Ran? Ayah mau ketemu sama dia, dong!” Bagas benar-benar penasaran dengan orang yang telah membantu menolong dirinya untuk biaya operasi di rumah sakit.“Jadi, ternyata orang yang udah bantu bayarin pengobatan Ayah itu adalah Bos di kantor Rania. Mungkin karena dia kasihan ngelihat Rania kesusahan cari pinjaman atau gimana, akhirnya dia mau bantuin Rania buat bayar biata tagihan rumah sakit kita.”“Oh jadi yang bayarin biaya rumah sakit Ayah itu bos kamu?” Mirna benar-benar tidak menyangka jika bos di tempat kerj