Reynald menyerah. Pria itu tak mampu lagi mendengar ocehan Rania yang rak berhenti sejak tadi "Oke, saya ngaku! Ya, memang benar saya yang udah bayar tagihan rumah sakit ayah kamu. Saya nggak sengaja melihat kamu di rumah sakit dan saya nemuin kertas itu jatuh di lorong rumah sakit," ujar Reynald jujur.Rania menghela napas sejenak. "Akhirnya ngaku juga dia," batin Rania."Kenapa Bapak tidak berterus terang kepada saya? Kenapa Bapak nggak langsung ngasih tahu saya? Dan kenapa juga bapak lakukan hal itu? Bukankah Bapak tidak suka dengan saya? Lalu kenaoa Bapak mau menolong keluarga saya?” Rania mencecar Reynald dengan beberapa pertanyaan yang selama ini mengganjal di hatinya.“Karena rasa kemanusiaan,” jawab Reynald singkat padat dan jelas.“Apakah Bapak kenal dengan keluarga saya? Kenapa Bapak begitu peduli dengan keluarga saya? Kenapa Bapak mau mengeluarkan uang yang segitu banyaknya hanya untuk membantu keluarga saya?” tanya Rania lagi.“Kan sudah saya bilang, ATAS DASAR KEMANUSIAA
“Ya ampun gila! Itu cowok sengaja atau gimana, sih! Awas aja kalau dia macem-macem sama aku!” Rania terus mengoceh di dalam hati.Pandangan matanya tak berkedip menatap tubuh sixpack pria yang tak jauh darinya. Reynald tak peduli meskipun Rania melihat perut kotak-kotaknya itu. Reynald kemudian berjalan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, sedangkan Rania masih berada di tempat yang sama dengan mata yang terus tertuju pada Reynald.Beberapa saat kemudian Reynald keluar dari kamar mandi hanya dengan berbalut handuk yang dibelitkan di pinggangnya. Rania menoleh saat ia mendengar suara pintu terbuka. Lagi-lagi wanita itu disuguhkan dengan pemandangan yang menggoda. Rania bahkan tak sadar jika mata Reynald sempat melirik sekilas ke arah wanita itu. Pria itu tersenyum miring saat mengetahui Rania yang tengah memandangi tubuhnya. Dengan sengaja Reynald berjalan ke arah lemari untuk memilih pakaian yang akan ia kenakan. Setelah mendapatkan baju dan celana yang akan ia pak
Jantung Rania dan Reynald berdegup kencang begitu Bella, ibu dari Reynald itu mendekat ke arah Rania. Rania dan Reynald takut jika Bella akan memarahi Rania habis-habisan. Jika Reynald yang memarahinya, Rania bisa menerima atau bahkan melawannya, tetapi jika ibu Reynald yang memarahi dirinya dan mencaci makinya, Rania mungkin tidak akan mampu menahan rasa sakitnya, dan Rania pasti akan sulit melupakan rasa sakitnya.Namun, apa yang Rania khawatirkan ternyata tidak terjadi. Bella justru mengusap rambut Rania dengan lembut. "Kamu tidak di apa-apain sama Reynald, kan?" tanya Bella.Rania spontan mendongak secara perlahan. Wanita itu melihat wajah ibu dari bosnya yang tampak masih sangat cantik meski usianya tak lagi muda. Bella tersenyum tulus menatap Rania. Rania lantas menggeleng. "Enggak kok, Bu. Maaf," Rania kemudian kembali menundukkan kepalanya lagi."Maaf untuk apa?" tanya Bella."Maaf untuk kesalahpahaman ini. Sebenarnya saya yang salah karena tadi saya tidak sengaja tersandung
Irene dan Leon terkejut begitu pintu kamar hotelnya terbuka lebar dan memperlihatkan seseorang yang menatap tajam pada mereka dengan tangan terlepas. Sorot mata tajamnya terlihat penuh emosi. Dadanya naik turun, rahangnya mengeras hingga giginya bergemelutuk menahan amarah.Leon segera memakai celananya dan memaki Reynald dengan kata-kata kasar, sedangkan Irene menutupi tubuhnya dengan selimut tebal yang ada di ranjang kamar hotel itu.“Lo gak punya otak, ha! Masuk kamar orang sembarangan! Ngerusak acara orang aja!” bentak Leon.“Lo tuh yang nggak punya otak!! Dia cewek gua anj*ng!” balas Reynald menggebu.“Terus apa hubungannya sama lo? Cewek lo sendiri yang mau sama gua.” Leon tersenyum remeh mengejek Reynald.“Bangs*t!!”Bug!!Bug!!Reynald meninju wajah Leon hingga Leon tersungkur di lantai dengan mengeluarkan darah dari hidung dan ujung bibirnya.“Rey … stop, Rey!” Irene berlari ke arah Reynald sambil menangis, kemudian meminta Reynald menghentikan aksinya.Tak menggubris, Reynal
“Tunggu!” Rania spontan kembali berbalik menatap Reynald. “Iya, Pak? Ada apa lagi?” tanya Rania.“Besok ruangan kamu pindah di sini, ya. Jadi kalau ada apa-apa saya gak perlu repot-repot panggil kamu,” ujar Reynald sembari menunjuk tempat yang akan dipakai buat Rania.“Ta–tapi … nanti kalau karyawan lain mikir aneh-aneh gimana, Pak? Lebih baik saya di tempat biasa saja, Pak, biar gak ada gosip-gosip gak enak.”“Gak usah pikirin ucapan orang lain. Fokus ke kerjaan kita aja,” sahut Reynald.“Baiklah, tapi janji Bapak gak akan aneh-aneh sama saya, ya!”Reynald menaikkan satu alisnya, kemudian terkejut kecil. “Memangnya saya mau ngapain kamu, Rania? Saya hanya ingin agar pekerjaan kita lebih mudah, dan kalau saya butuh apa-apa saya tidak perlu teriak-teriak.”“Ya makanya jangan teriak-teriak, Pak! Kan ada telepon?” sahur Rania.“Sudahlah, kamu ikuti saja perintahku. Kamu besok kerjanya di situ. Nanti biar ditaruh kursi dan mejanya dulu.”“Baik, Pak.” Rania mengangguk pasrah. ***“Kayakn
“Hai, Ran? Pulang bareng, yuk! Udah selesai belum kerjaannya? Bima datang menghampiri Rania dan mengajak pulang bersama.Reynald menatap Bima tak berkedip. Pria itu nampak betul jika dia seperti sedikit terganggu dengan kedatangan Bima. Namun, Reynald berusaha untuk tetap bersikap biasa agar tak kentara jika dirinya terganggu.“Eh, Bapak. Ada di sini juga, Pak?” tanya Bima pada Reynald.“Iya. Lagi mantau pekerjaan Rania,” jawab Reynald.“Oh, iya, Pak.” Bima mengangguk.“Maaf, Bim, aku kayaknya gak bisa, deh! Kerjaan aku belum selesai. Kamu pulang duluan aja,” ujar Rania, sedangkan Reynald hanya melihat tanpa ekspresi.“Apa masih lama? Tidak apa-apa, biar aku tunggu.” Bima masih berusaha agar ia bisa pulang bersama Rania.“Kalau kamu nungguin aku, takutnya nanti malah kelamaan. Lebih baik kamu pulang duluan saja, Bim. Aku nggak apa-apa, kok!” Bima yang ingin kembali bersuara, harus kembali menutup mulutnya saat mendengar ucapan bosnya. “Lebih baik kamu pulang duluan saja. Rania masih
“Pilihlah baju yang kamu suka,” seru Reynald membuat Rania spontan menoleh menatap Reynald dengan tatapan terkejut. “M–maksud Bapak?” Rania yang takut pendengarannya salah pun mencoba bertanya pada Reynald.“Ambillah.” Reynald menaikkan dagunya menyuruh Rania pergi. “Pilih yang kamu suka,” lanjut Reynald.“Hah??” Rania tercengang mendengar ucapan Reynald.“Ambil apa pun yang kamu inginkan. Saya yang bayar.”“Ng–nggak usah, Pak! Baju saya masih banyak, kok!” tolak Rania. Wanita itu merasa tak enak hati jika dibelikan sesuatu olehnya bosnya.“Pilihlah sana. Ini perintah!” tegas Reynald yang tak ingin ditolak.“Tapi, Pak–”“Mbak!” Reynald segera memanggil pelayan saat Rania masih berusaha untuk menolak pemberiannya. “Pilihkan baju kerja yang bagus dan sesuai untuknya,” titah Reynald pada pelayan tersebut.“Baik, Tuan. Sebentar ya, Nona, saya carikan dulu.” Pelayan itu pun menjauh untuk memilihkan beberapa baju buat Rania.“Pak, saya rasa ini tidak perlu. Lagian saya takut nanti nggak bi
Rania benar-benar bingung kenapa bosnya malah justru masuk ke area hotel. Wanita itu terlihat berpikir, hingga beberapa detik kemudian Rania terlihat seperti orang yang baru mengingat sesuatu.”Oh iya, kita mau ketemu klien, ya. Hehe, lupa.” Rania cengengesan akibat malu kalau dirinya sempat lupa tujuan utamanya tadi. Mungkin karena Rania terlalu lama memilih baju saat di mall tadi.“Tapi saya belum ganti, Pak! Pakai baju kerja yang tadi gak apa-apa, Pak?”“Hmm. Pakai baju barumu buat ke kantor besok!” sahut Reynald yang kemudian ke luar dari mobil.Rania pun ikut menyusul keluar dari kendaraan roda empat itu. “Taruh saja tas kerjamu di mobil,” seru Reynald saat melihat Rania membawa tas kerjanya.“Baik, Pak.” Meski sedikit bingung, Rania tetap melakukan apa yang diperintahkan bosnya. Wanita itu lantas menaruh kembali tasnya di dalam mobil dan menutup pintu mobil tersebut. Rania berlari kecil mengejar Reynald, kemudian berjalan di samping Reynald. Keduanya berjalan beriringan memasu
Rania yang terkejut mendengar suara beling pecah pun lantas menoleh ke arah bosnya dan melihat telapak tangan Reynald yang mengeluarkan darah.Rania lantas bergegas mengambil sapu tangan di tasnya dan berlari ke meja Reynald. Mengelap telapak tangan Reynald yang penuh dengan darah. “Ya ampun, Pak! Kenapa bisa gini?” panik Rania. Namun, Reynald hanya diam membisu dengan tatapan kosongnya. Terlihat jelas mata pria itu yang tenah memancarkan emosi.Rania kemudian berlari mengambil betadine dan kain kasa guna membelitkan luka di tangan Reynald. Dengan pelan dan telaten, Rania mengobati luka itu. Setelah selesai mengobati tangan Reynald, Rania segera membersihkan beling-beling yang berceceran di lantai.Tatapan Reynald masih terpaku pada pikirannya. Pria itu bahkan tak sadar jika Rania sudah mengobati luka di tangannya, dan Rania juga yang membersihkan pecahan-pecahan beling itu.Rania lantas kembali ke mejanya setelah selesai membersihkan pecahan-pecahan gelas kaca itu. Namun, belum sampa
“Udah lama kerja sama Reynald?” tanya Irene seraya berdiri di samping Rania dan merapikan penampilannya.“Lumayan, Mbak!” jawab Rania. Wanita itu terpaksa harus berbohong sebab Rania melihat Irene ini agak sedikit sombong.“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulut Irene.“Mbaknya udah kenal sama Pak Reynald?” tanya Rania yang sengaja memancing Irene.“Ya. Kami sudah kenal cukup lama. Sangat lama, dan sangat kenal,” jawab Irene sombong.“Oh.” Rania mengangguk.“Reynald belum punya pacar, kan?” tanya Irene.“Kalau itu saya tidak tahu, Mbak. Karena itu bukan wewenang saya untuk mengurus hidup orang lain,” ujar Rania yang mampu merubah ekspresi wajah Irene.Wanita itu tampak kesal mendengar jawaban dari mulut Rania. Rania seolah seperti sedang menyindir Irene. Rania kemudian pamit untuk kembali ke ruangan Indira, sedangkan Irene justru mengepalkan tangannya seraya menatap punggung Rania yang semakin menjauh.***Setelah dari toilet Reynald memutuskan untuk kembali ke kantor bersama Rania. Pr
Saat ketiga orang itu sedang fokus membicarakan perkembangan bisnis kain di perusahaan Reynald, tiba-tiba seorang wanita misterius datang dan mengetuk pintu ruangan Indira.“Masuk!” seru Indira mempersilakan.Wanita misterius itu pun masuk ke dalam ruangan Indira dengan langkah percaya dirinya bersama dengan seorang office girl yang kebetulan juga berada di depan pintu ruangan Indira. Rania menoleh sesaat untuk melihat orang yang datang tersebut, kemudian kembali fokus pada percakapan antara Reynald dan Indira.Wanita misterius itu tampak berjalan beriringan bersama dengan office girl tersebut, kemudian office girl itu meletakkan kopi yang ia buat di meja yang ada di depan ketiga orang itu, sedangkan Irene berdiri di samping office girl itu.Pembicaraan spontan terhenti saat office girl tersebut mempersilakan para tamu untuk meminum kopi yang telah ia buat. “Silakan diminum, Pak, Bu!” ucap office girl itu dengan ramah.Reynold menoleh menatap depan. Di mana office girl itu berdiri dan
Sesampainya di tempat yang telah ditentukan, Reynald dan Rania segera turun dari mobil. Keduanya berjalan beriringan menuju meja tempat bertemu dengan klien. Baru saja keduanya duduk di bangku yang telah dipesan oleh Reynald, klien itu datang. Reynald dan Rania sontak kembali berdiri dan menyambut klien mereka. “Selamat pagi, Pak Reynald. Bagaimana kabarnya?” sapa klien Reynald.“Baik. Sangat baik. Silakan duduk, Pak.” “Ini sekretaris barunya atau calon Pak Reynald, nih?” tanya klien itu saat bersalaman dengan Rania.Rania yang mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh klien itu pun mencoba menyanggahnya. Takut jika Reynald tersinggung. “Ah, saya–” Belum selesai Rania berbicara, Reynald lebih dulu memotongnya. “Dia sekretaris pribadi saya,” ucap Reynald tersenyum.“Oh, pantes. Hahahaha. Ya ya ya, saya mengerti.” Klien itu spontan tertawa. Mengerti maksud dari ucapan Reynald, sedangkan Rania justru mengerutkan keningnya merasa bingung kenapa orang itu tertawa.****“Udah dari tadi
Tak lama mobil Reynald berhenti di sebuah toko. Reynald segera keluar dari mobilnya, sedangkan Rania yang bingung pun hanya diam membeku di dalam mobil. Reynald yang melihat Rania hanya diam pun memberikan kode lewat gerakan kepalanya agar Rania keluar dari kendaraan itu.“Pilihkan sepatu yang bagus untuk dia,” titah Reynald seraya menunjuk Rania yang masih berada di belakangnya. “Baik, Pak!” patuh pelayan itu.“Ukuran sepatunya nomor berapa, Kak?” tanya pelayan itu pada Rania yang kini menatapnya bingung.“Hah? Saya?” tanya Rania bingung.“Iya, Kak. Ukuran kaki kakak nomor berapa?” “Tiga puluh delapan. Kenapa, Mbak?”“Tidak apa-apa, Kak. Sebentar ya, saya carikan dulu,” ujar pelayan itu yang kemudian mengambil beberapa wedges dan high heels yang bagus dan cocok untuk Rania.Rania hanya diam berdiri menatap bos dan pelayan toko itu dengan bingung. Beberapa saat kemudian pelayan toko itu pun datang dengan membawa beberapa kardus yang isi di dalamnya adalah model sandal dan sepatu yan
“Pagi, Pak!” sapa Rania pada satpam penjaga kantor.“Pagi juga, Bu Rania,” balas satpam tersebut.Rania melangkah masuk ke dalam kantor. Tak lama disusul oleh seorang pria berbadan tegap yang juga baru datang.“Pagi, Pak!” siapa para satpam pada Reynald.“Pagi,” jawab Reynald.Rania yang sedang menatap layar teleponnya sedikit terkejut saat tiba-tiba ada seseorang yang berjalan di sampingnya. Wanita itu sontak menoleh dan melihat siapa orang yang berada di sampingnya. Ternyata orang itu adalah bosnya.“Eh, Bapak,” nyengir Rania. “Pagi, Pak!” sambung wanita itu.“Segera bersiap. Sebentar lagi kita berangkat,” ujar Reynald tanpa menjawab sapaan dari Rania.“Baik, Pak.” Keduanya lantas menuju ke meja kerja mereka masing-masing. Namun, tiba-tiba Reynald memanggil Rania.***Seorang wanita memasuki gedung perusahaan besar dengan langkah anggun bak model ternama papan atas. Kacamata yang bertengger di hidungnya ia naikkan hingga di atas kepala. Semua mata tertuju padanya. Dengan angkuhnya
Reynald menoleh menatap ibunya yang ternyata juga sedang menatapnya dengan senyum yang begitu manis. Pria berusia 30 tahun itu mengerutkan keningnya melihat sikap sang ibu yang tampaknya sangat menyukai Rania. Padahal mereka baru bertemu satu kali.“Tidak. Dia dekil. Nyebelin. Keras kepala, dan–,” ucap Reynald menggantung.“Dan?” tuntut Bella agar Reynald melanjutkan ucapannya.“Ngangenin.” ***Rania berjalan ke ruang makan dengan langkah yang dihentakkan. Wanita itu kesal karena penampilannya selalu dinilai buruk oleh orang lain. Padahal menurutnya penampilan dirinya sudah kece dan cukup cantik, tetapi kenapa orang lain selalu tak suka melihatnya? Entahlah, Rania bingung.Wanita itu melahap sarapannya dengan diam. Tak ada percakapan antara dirinya dengan orang tuanya. Bagas yang melihat anak dan istrinya hanya diam membisu pun menatap mereka satu per satu. Keduanya tampak sedang fokus menyantap sarapannya. Terlihat jelas raut kesal di wajah Rania, sedangkan wajah Mirna tampak acuh
"Sudah siap!" Rania menatap pantulan dirinya di depan cermin besar yang ada di dalam kamarnya. Pagi-pagi sekali wanita itu sudah mandi dan bersiap dengan pakaian yang rapi dan cantik. Namun, sayangnya tampak seoerti ada yang kurang. Baju pemberian Reynald yang telah Rania pakai memang sudah menunjang penampilannya, tapi sayangnya wajah Rania tanpa polesan make up. Wanita itu hanya memakai lip tint berwarna merah di bibirnya. Ditambah lagi Rania tetap mengenakan sepatu kumal yang selalu ia pakai setiap harinya. Benar-benar tak habis pikir.Mirna, ibu dari Rania itu sontak menoleh saat melihat putrinya sudah keluar dengan berpakaian rapi, lalu menghampiri putrinya."Kamu udah mau berangkat, Ran?" tanya Mirna."Iya, Ma. Rania mau berangkat lebih awal," jawab Rania.Mirna memandang putrinya dari ujung kaki hingga sampai kepala Rania dengan dahi yang berkerut. Wanita paruh baya itu benar-benar tak habis pikir dengan penampilan putrinya yang terlihat aneh. Bagaimana tidak? Pasalnya Rania
“Sebenarnya dia itu orang yang juga sudah membantu membiayai pengobatan Ayah saat operasi kemarin,” ungkap Rania.Dengan terpaksa gadis itu harus berkata jujur pada orang tuanya, siapa orang yang telah membelikan baju-baju mahal pada dirinya agar kedua orang tuanya tidak salah paham.“Hah? Serius kamu, Ran? Kamu udah nemuin orang yang bantu biaya pengobatan Ayah?” Mirna terkejut setengah mati saat mendengar ucapan anaknya.“Iya, Bu. Rania udah tahu siapa orangnya.”“Siapa itu, Ran? Ayah mau ketemu sama dia, dong!” Bagas benar-benar penasaran dengan orang yang telah membantu menolong dirinya untuk biaya operasi di rumah sakit.“Jadi, ternyata orang yang udah bantu bayarin pengobatan Ayah itu adalah Bos di kantor Rania. Mungkin karena dia kasihan ngelihat Rania kesusahan cari pinjaman atau gimana, akhirnya dia mau bantuin Rania buat bayar biata tagihan rumah sakit kita.”“Oh jadi yang bayarin biaya rumah sakit Ayah itu bos kamu?” Mirna benar-benar tidak menyangka jika bos di tempat kerj