Bab 56: Rahasia yang Terkuak Anya duduk di ruang tamunya dengan tatapan kosong. Pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai kejadian yang terjadi di kantor. Perlakuan buruk yang diterimanya, fitnah yang terus menyebar, dan tekanan yang semakin mencekik membuatnya merasa lelah secara emosional. Namun, ia tidak ingin membuat ibunya khawatir. Sarah, yang sedari tadi mengamati putrinya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Wajah Anya terlihat pucat, dan matanya terlihat kehilangan semangat. Ini bukan pertama kalinya Sarah melihat putrinya seperti ini, tetapi kali ini, ia merasa Anya menyembunyikan sesuatu yang lebih besar. "Anya, kamu kenapa? Apa ada masalah di tempat kerja?" tanya Sarah dengan lembut. Anya tersentak dari lamunannya dan segera menggeleng. "Tidak ada, Ma. Aku hanya sedikit lelah." Namun, jawaban itu tidak membuat Sarah tenang. Ia tahu putrinya terlalu sering menyembunyikan masalahnya sendiri. Setelah berpikir sejenak, Sarah diam-diam menghubungi Nathan, berharap pria itu
Bab 57 Segala niat jahat muncul di benak Anya, ketika setiap tuduhan dan kata-kata kasar terlontar padanya. Baru saja ia masuk kantor, tiba-tiba saja Saraswati datang ke ruangannya, di situ Saraswati yang ditemani oleh Chintya langsung membentak dan bersikap kasar ke Anya. Bahkan keduanya terang-terangan menghina Anya di hadapan orang banyak. "Kalian lihat wanita ini? Dia hanya seorang wanita yang berusaha untuk menggoda anakku, padahal ia tahu kalau anakku sudah jelas-jelas punya istri!" ujar Saraswati dengan nada suaranya yang cukup keras. Saraswati bisa melakukan semua itu, sebab Evan yang pagi ini ada meeting di luar kota. Sehingga ia dan Chintya mendapatkan kesempatan untuk menemui Anya dan memperlakukannya, tapi sayangnya. Tindakan yang dilakukan oleh Saraswati ini tidak seorangpun yang berani merespon. Di sebabkan oleh Evan yang semalam memecat beberapa karyawati hanya karena mengejek Anya, takut bernasib sama dengan yang lainnya. membuat beberapa orang yang ada di ruan
Bab 61 Anya berdiri mematung, air hangat yang tadi disiramkan ke wajahnya masih meninggalkan sensasi perih. Matanya berkilat marah, namun ia mencoba menahan emosinya. Dadanya bergemuruh, ingin sekali ia melawan, tapi kata-kata Evan tadi menusuknya lebih dalam daripada perlakuan keji Saraswati dan Chintya. "Panggil aku Bos! Ini masih jam kerja, Anya!"" Evan mengatakannya dengan nada tegas, seolah ingin menegaskan bahwa di hadapan semua orang, Anya tidak lebih dari bawahan yang bisa ia perlakukan semaunya. Saraswati dan Chintya saling bertukar pandang dengan tatapan penuh kemenangan. Mereka berhasil membuat Evan memihak mereka. "Ayo, cepat masuk ke ruangan!" Evan berkata lagi, nadanya terdengar dingin. Anya mengepalkan tangannya, berusaha menekan gejolak dalam dirinya. Ia mengangkat kepalanya, menatap Evan dengan penuh kebencian. "Baik, Bos," katanya dengan nada tajam, sebelum melangkah menuju ruangan Evan dengan tubuh tegak. Sementara itu, Saraswati dan Chintya tersenyum p
Bab 62 Chintya berdiri mematung, ekspresinya membeku sejenak sebelum amarah perlahan memenuhi wajahnya. "Apa yang kamu katakan, Evan? Tidak memecatnya?!" suaranya meninggi, menggema di ruangan Evan. Evan menghela napas berat, jelas tidak ingin memperpanjang pembicaraan ini. Ia berdiri, menyilangkan tangan di dadanya. "Aku tidak memecat Anya, Chintya. Aku hanya ingin dia meninggalkan ruangan saat itu." "Jadi kamu membela wanita itu?" tanya Chintya, matanya menyala penuh tuduhan. Evan mendekatinya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. "Ini bukan soal membela atau tidak membela. Anya adalah karyawan di perusahaan ini, dan aku punya hak untuk memutuskan apakah dia tetap bekerja atau tidak. Bukan kamu." Chintya tertegun, tapi ia tidak menyerah begitu saja. "Sayang, dia adalah ancaman bagi kita! Kamu tahu dia selalu berusaha memanfaatkan situasi untuk mendekatimu!" Evan tersenyum sinis. "Kalau dia memang ingin mendekatiku, aku rasa dia punya kesempatan lebih baik lima tahun
Bab 63Evan masih berdiri di depan rumah Anya, memandangi pintu yang baru saja ditutup. Hatinya terasa berat. Kenzo memanggilnya "Om," seolah ia hanya orang asing yang kebetulan datang membawa hadiah. Ia menatap tangannya yang kosong, merasa kehilangan sesuatu yang tidak pernah benar-benar ia miliki. Kenzo adalah anaknya, darah dagingnya, tetapi bocah itu bahkan tidak mengenalnya. Sebuah kenyataan pahit yang harus ia terima. Dengan langkah lemah, Evan berjalan menuju mobilnya. Namun, sebelum ia sempat membuka pintu, ponselnya bergetar. Roy. Tanpa ragu, Evan mengangkatnya. "Ya?" "Bagaimana hasilnya, Evan?" suara Roy terdengar penuh rasa ingin tahu. Evan menghela napas panjang. "Kenzo senang dengan mainannya. Tapi dia memanggilku 'Om'." Di seberang telepon, Roy terdiam sejenak. "Aku mengerti. Itu pasti menyakitkan untukmu." Evan mengangguk meskipun Roy tidak bisa melihatnya. "Aku pantas mendapatkannya. Lima tahun aku meninggalkan dia dan Anya. Aku hanya berharap masih
Bab 64 Evan berjalan keluar dari rumah Anya dengan langkah berat. Udara malam terasa menusuk kulitnya, tetapi rasa sakit di hatinya jauh lebih menyiksa. Kata-kata Anya tadi terus terngiang di kepalanya. _"Aku tidak mau kau ada di sini sementara masih ada Chintya dalam hidupmu."_ Sebuah kalimat tajam yang seolah menegaskan betapa kecil peluangnya untuk kembali diterima dalam kehidupan Anya dan Kenzo. Ia menghela napas panjang, lalu masuk ke dalam mobil. Namun, baru saja ia menutup pintu, ponselnya kembali bergetar di dashboard. Nama Chintya kembali muncul di layar. Dengan geram, Evan mengangkatnya. "Apa maumu, Chintya?" "Aku hanya ingin tahu di mana kamu, Evan." Suara Chintya terdengar manja, tapi di balik nada lembutnya, ada nada menguasai yang membuat Evan muak. "Aku sedang tidak ingin berurusan denganmu," jawab Evan dingin. "Apa kau di rumah wanita itu lagi?" suara Chintya berubah tajam, penuh cemburu. Evan mendengus. "Bukan urusanmu." "Urusanku, Evan!" bentak Chin
Bab 65 Rumah sakit besar di pusat kota terasa ramai siang itu. Di salah satu sudut ruang tunggu laboratorium, seorang wanita paruh baya duduk dengan gelisah. Wajahnya terlihat tegang, matanya menatap pintu ruangan yang tertutup rapat. Wanita itu adalah **Saraswati**, ibu dari Evan. Sudah tiga hari sejak ia menyerahkan sampel untuk tes DNA, dan hari ini adalah waktu yang ditunggu-tunggunya—hasil tes akan keluar. Ia mengerutkan kening, mengingat kembali momen ketika dirinya tanpa sengaja melihat Evan membawa seorang anak kecil ke dalam rumah Anya. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak saat itu. _"Kenapa bocah itu begitu mirip dengan Evan saat kecil?"_ pikirnya. Rasa penasaran yang membuncah membuat Saraswati nekat mengambil inisiatif. Dengan menggunakan koneksinya di rumah sakit, ia berhasil mendapatkan sampel rambut Kenzo saat Evan lengah. Jika benar firasatnya, maka bocah itu bukan sekadar anak Anya—melainkan cucu kandungnya sendiri. Pintu ruangan terbuka, memotong lamu
Bab 66 Saraswati berdiri kaku di ambang pintu setelah mendengar ucapan tajam Anya. Wajahnya memucat, tangannya terkepal di sisi tubuhnya menahan emosi yang meletup-letup di dadanya. Ia datang dengan keyakinan bisa menekan Anya, tetapi kini justru kata-kata gadis itu yang menusuk egonya dalam-dalam. "Apa kau lupa, Nyonya?" suara Anya terdengar dingin, tanpa sedikit pun gentar. "Lima tahun lalu, saat aku datang memohon tanggung jawab dari anakmu, kau malah mengusirku. Kau bahkan menyuruhku menggugurkan kandungan ini. Apa kau lupa bagaimana kau memperlakukan aku yang saat itu sedang mengandung darah daging keluargamu?" Saraswati terdiam, kedua bibirnya mengatup rapat. Ia tidak menduga Anya akan mengungkit luka lama itu. "Sekarang, setelah anakku lahir dan tumbuh sehat, kau tiba-tiba datang mengklaim Kenzo sebagai cucumu?" lanjut Anya. "Sungguh hebat sekali caramu memutar keadaan, Nyonya." Nafas Saraswati memburu, rasa malu dan amarah bercampur aduk di dadanya. "Aku hanya ingin ya
Bab 113Evan pulang sebagai sosok yang kalah perang, sampai ia lesu dan tidak begitu bersemangat. sampai Chintya yang sedang bermain dengan ponselnya berdiri dan menghampiri Evan yang sedang membuka jas kerjanya. "Kamu kenapa, Evan? Apa terjadi sesuatu lagi pada mama?"Mata Evan langsung tidak suka dengan ucapan Chintya, yang seperti ingin terjadi sesuatu pada Saraswati, mamanya Evan. "Lah, kamu kok natap aku kayak gitu, Evan? Aku kan hanya sedang bertanya. Apa terjadi sesuatu lagi dengan mamamu, Evan?" Chintya mengulangi ucapannya, membuat Evan menepis badan Chintya dari hadapannya. Evan seperti malas melakukan perdebatan dengan Chintya, karena itu hanya akan menambah masalahnya saja. Alhasil Evan memutuskan untuk mengacuhkan Chintya. Sekalipun Evan tidak suka dengan ucapan Chintya. "Evan, Evan. Kamu kenapa sih?"Chintya mengejar Evan sampai ke dalam kamar. "Van, kamu kenapa?"Dengan bola mata melotot Evan berkata, "Bukan urusanmu!"Chintya jadi kesal, sebab Evan tidak menghargai
Bab 112Pagi itu, matahari seakan enggan bersinar. Langit mendung, seolah ikut merasakan beban di hati Evan. Dengan langkah berat, ia turun dari mobil yang diparkir di depan sebuah gedung megah — tempat pernikahan Anya dan Nathan digelar. Suasana di luar tampak meriah, karangan bunga berjejer, para tamu berdatangan dengan wajah bahagia. Tapi semua itu seperti kabut abu-abu bagi Evan.Roy yang berdiri di sampingnya melirik cemas. “Lo yakin mau masuk, Van?”Evan mengangguk pelan. “Gue harus lihat sendiri… harus pastiin kalau ini bukan kemauan dia.”Mereka melangkah masuk ke dalam gedung. Iringan musik pelaminan terdengar sendu di telinga Evan, seperti menertawakan luka di hatinya. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sosok yang selama ini memenuhi pikirannya.Dan di sanalah Anya.Berdiri di pelaminan, mengenakan kebaya putih yang indah… tapi wajahnya pucat, tatapannya kosong. Senyum yang seharusnya merekah di hari bahagia itu justru dipaksakan. Di sampingnya, Nathan tampak begitu perca
Bab 111 Angin malam yang berembus dari celah jendela rumah sakit membawa aroma antiseptik yang menyengat. Lampu-lampu redup di koridor membuat suasana semakin mencekam. Evan berdiri di depan ruangan ICU, menatap kosong ke arah ibunya yang terbaring lemah di balik kaca bening. Tubuh Saraswati dikelilingi alat medis, suara detak monitor jantung terdengar stabil, tapi wajah wanita itu tampak pucat, jauh dari sosok kuat dan angkuh yang selama ini ia kenal. Evan menghela napas berat. Setiap embusan napasnya terasa seperti beban, seolah ada batu besar yang menindih dadanya. Pikirannya kusut. Anya. Mamanya. Chintya. Reza. Nama-nama itu berputar dalam kepalanya bagai badai, memporak-porandakan ketenangannya yang tinggal serpihan. Roy duduk di kursi tunggu, memperhatikan Evan yang seperti kehilangan arah. "Van," panggilnya pelan, "kamu harus kuat, bro. Kita belum selesai di sini." Evan menoleh, mata merahnya menyiratkan kemarahan yang ditahan. "Gue gak habis pikir, Roy. Kenapa hidup gue kay
Bab 110"Saat-saat seperti ini kamu masih memikirkan wanita itu, Evan?'Saraswati yang mengalami stroke ringan menatap kasar ke Evan, dengan ucapannya yang juga terbata-bata dan tidak sejelas kemarin. "Ma, apa salah Anya? Kenapa kamu begitu membencinya, Ma."Saraswati ingin mengatakan kalau Anya tidak sepadan dengan keluarga mereka, tapi entah kenapa rasa sakit yang ia rasa semakin parah. Sampai ia merintih kesakitan, dan melihat hal itu Evan segera berlari untuk memanggil dokter. "Ma, Mama kenapa, Ma?" tanya Evan yang merasa kuatir, dilanjutkan dengan Evan yang berteriak memanggil sang dokter. "Dokter, tolong mama ku, Dok!"Seorang dokter berlari, disusul dengan kedatangan Roy yang tadi permisi keluar. "Ada apa ini, Evan? Apa yang terjadi pada Tante?""Aku dan mama tadi sempat selisih paham, Roy. Dan sekarang Mama kejang-kejang. Aku takut mama kenapa-kenapa, Roy.""Kenapa kamu lakukan itu, Evan? Kamu tahu kalau mamamu dalam keadaan kritis. Kamu malah membebani nya dengan pikiran E
Bab 109. Darah yang Sama, Luka yang SamaSaraswati masih terisak, air matanya mengalir deras. Evan memegang tangan ibunya erat-erat, dadanya sesak menunggu jawaban. Ruangan rumah sakit itu terasa lebih pengap dari biasanya. Hujan di luar belum juga reda, seolah ikut menangisi semua luka yang terbongkar malam itu.“Ma… katakan… apa benar?” suara Evan bergetar, matanya merah.Saraswati mencoba berbicara, namun suaranya masih lemah. “Maafkan Mama… Nak…”Roy berdiri di sisi Evan, ikut menahan emosi. “Bu Saraswati… kami butuh kejelasan.”Saraswati menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan tenaga. “Iya, Evan… Reza… dia ayah kandungmu.”Deg.Kalimat itu seakan menjatuhkan bom di hati Evan. Tangannya gemetar, seolah tidak mampu menopang beban rahasia itu.“Kenapa… Ma? Kenapa selama ini Mama bohong sama aku?”Saraswati menatap Evan dengan tatapan sayu. “Mama… terpaksa, Nak… saat itu Mama nggak punya pilihan. Mama hamil kamu… tapi Rendra… suami Mama, nggak tahu. Waktu itu Reza… dia kasar, di
Bab 108. Kamu anakku, Evan Beberapa hari berlalu, Saraswati masih belum sadarkan diri. Evan hampir tak pernah beranjak dari samping ranjang ibunya. Wajahnya kusut, matanya merah karena kurang tidur. Roy masih setia menemani, meski suasana di antara mereka sering diwarnai diam. Suatu malam, saat hujan deras mengguyur kota, seorang perawat datang menghampiri Evan. “Maaf, Pak Evan… ada seorang pria yang ingin bertemu. Katanya penting.” Evan mengernyit. “Siapa?” “Beliau menolak menyebutkan nama… tapi memaksa, katanya ini soal masa lalu Ibu Saraswati.” Evan saling pandang dengan Roy. “Suruh masuk.” Tak lama, seorang pria berusia sekitar 50-an dengan wajah asing, mata tajam, dan senyum licik masuk ke ruangan. Tubuhnya tegap, meski keriput sudah mulai terlihat di wajahnya. “Evan… akhirnya kita ketemu juga.” “Siapa lo?” bentak Evan, langsung berdiri. Pria itu menoleh sebentar ke Saraswati yang terbaring lemah. “Aku... orang yang pernah sangat dekat sama ibumu. Bahkan… lebih dari yan
Bab 107 Di rumah Evan, suasana begitu mencekam. Saraswati baru saja tiba dari perjalanan singkatnya, wajahnya masih penuh amarah dan kecewa. Evan yang sejak tadi duduk di ruang tamu langsung berdiri saat melihat ibunya datang. "Mama... kenapa nggak langsung ke bandara? Kan besok malam Mama harus berangkat!" ujar Evan, berusaha menahan nada suaranya. Saraswati menatap Evan dengan sorot tajam. "Kamu pikir Mama ini pengecut kayak yang kamu kira? Mama nggak akan pergi dari sini cuma karena kamu takut sama Nathan atau Anya itu!" Evan mengepalkan tangannya. "Mama, ini demi keselamatan Mama! Situasi sekarang kacau! Dan Mama harus tahu diri, selama ini Mama sudah hancurin hidup orang, bahkan nyakitin Anya!" "Anya! Anya! Anya! Dari dulu yang kamu bela cuma perempuan itu! Kamu lupa siapa yang besarin kamu, Evan?! Kamu tega ngomong kayak gitu ke Mama kamu sendiri?!" bentak Saraswati, suaranya meninggi. "Karena Mama keterlaluan! Mama maksa Nathan buat jauhin Anya, bikin dia tersiksa… M
Bab 106Di ruang tamu yang sepi, Roy duduk berhadapan dengan Evan. Keduanya sama-sama tegang, menyimpan beban masing-masing.“Bos,” ucap Roy pelan. “Gue tahu situasinya kacau… tapi gue punya saran.”Evan menoleh, matanya sayu tapi penuh waspada. “Apa?”Roy menarik napas. “Kirim Mama lo ke luar negeri, Van. Jauh, sementara waktu. Biar aman. Daripada dia ditahan di sini atau diserang orang. Lagian… lo juga gak bakal tega liat dia di balik jeruji, kan?”Evan terdiam. Wajahnya keras, tapi hatinya runtuh. Roy benar. Walau bagaimanapun, Saraswati tetap ibunya.“Tapi Anya… dia udah terlalu terluka, Roy. Gue gak mau Anya tahu… kalau gue malah lindungi Mama.”Roy mengangguk. “Justru itu. Lo harus pinter jaga sikap depan Anya. Biar seolah-olah Mama lo pergi karena lo usir… padahal lo selamatin dia.”Evan menghela napas berat. “Susah, Roy… tapi kayaknya itu satu-satunya jalan.”Belum sempat Evan mengambil keputusan, suara mobil berhenti di depan rumah Anya. Nathan keluar dengan langkah cepat d
Bab 105 — Bara Dendam dan Air Mata.Malam mulai larut ketika Evan tiba di rumahnya. Wajahnya masih muram, kepalanya penuh amarah yang belum sempat dia lampiaskan. Di tangannya, Evan menggendong Kenzo yang mulai mengantuk. Bocah itu memeluk leher ayahnya erat-erat, seolah ikut merasakan guncangan hati sang ayah.Evan baru saja meletakkan Kenzo di kamar ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Roy, asistennya yang paling dia percaya. "Bos, saya harus bicara. Ini penting, soal kebakaran rumah Anya.”Evan langsung menekan tombol telepon. “Roy, apa maksudnya? Katakan sekarang.”Di seberang, suara Roy terdengar hati-hati. “Maaf, Bos… saya baru dapat informasi dari orang dalam. Kebakaran di rumah Anya… itu bukan kecelakaan.”Evan mengernyit, jantungnya berdetak lebih cepat. “Apa maksudmu?”Roy menarik napas. “Itu… ulah Ibu Saraswati, Bos. Saya dapat rekaman suara orang suruhannya… dia diperintah buat bakar rumah itu. Supaya Anya kapok… supaya Anya pergi dari hidup Bos.”Evan te