Bab 65 Rumah sakit besar di pusat kota terasa ramai siang itu. Di salah satu sudut ruang tunggu laboratorium, seorang wanita paruh baya duduk dengan gelisah. Wajahnya terlihat tegang, matanya menatap pintu ruangan yang tertutup rapat. Wanita itu adalah **Saraswati**, ibu dari Evan. Sudah tiga hari sejak ia menyerahkan sampel untuk tes DNA, dan hari ini adalah waktu yang ditunggu-tunggunya—hasil tes akan keluar. Ia mengerutkan kening, mengingat kembali momen ketika dirinya tanpa sengaja melihat Evan membawa seorang anak kecil ke dalam rumah Anya. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak saat itu. _"Kenapa bocah itu begitu mirip dengan Evan saat kecil?"_ pikirnya. Rasa penasaran yang membuncah membuat Saraswati nekat mengambil inisiatif. Dengan menggunakan koneksinya di rumah sakit, ia berhasil mendapatkan sampel rambut Kenzo saat Evan lengah. Jika benar firasatnya, maka bocah itu bukan sekadar anak Anya—melainkan cucu kandungnya sendiri. Pintu ruangan terbuka, memotong lamu
Bab 66 Saraswati berdiri kaku di ambang pintu setelah mendengar ucapan tajam Anya. Wajahnya memucat, tangannya terkepal di sisi tubuhnya menahan emosi yang meletup-letup di dadanya. Ia datang dengan keyakinan bisa menekan Anya, tetapi kini justru kata-kata gadis itu yang menusuk egonya dalam-dalam. "Apa kau lupa, Nyonya?" suara Anya terdengar dingin, tanpa sedikit pun gentar. "Lima tahun lalu, saat aku datang memohon tanggung jawab dari anakmu, kau malah mengusirku. Kau bahkan menyuruhku menggugurkan kandungan ini. Apa kau lupa bagaimana kau memperlakukan aku yang saat itu sedang mengandung darah daging keluargamu?" Saraswati terdiam, kedua bibirnya mengatup rapat. Ia tidak menduga Anya akan mengungkit luka lama itu. "Sekarang, setelah anakku lahir dan tumbuh sehat, kau tiba-tiba datang mengklaim Kenzo sebagai cucumu?" lanjut Anya. "Sungguh hebat sekali caramu memutar keadaan, Nyonya." Nafas Saraswati memburu, rasa malu dan amarah bercampur aduk di dadanya. "Aku hanya ingin ya
Bab 67 Jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari, ketika suara pintu utama berderit pelan, menandakan seseorang baru saja masuk ke dalam rumah. Evan yang masih terjaga di ruang kerjanya menoleh dengan kening berkerut. Ia melirik arlojinya, memastikan bahwa ia tidak salah lihat. Langkah tertatih-tatih terdengar jelas di lantai marmer. Evan menghela napas panjang sebelum bangkit dari kursinya dan melangkah menuju ruang tamu. Pandangannya langsung menangkap sosok Chintya yang berjalan sempoyongan. Wajah wanita itu memerah, matanya sayu, dan aroma alkohol menyengat dari tubuhnya. "Chintya," suara Evan terdengar dingin. "Kau baru pulang?" Chintya tersenyum miring, mencoba menyandarkan tubuhnya di dinding agar tidak jatuh. "Ya... aku pulang, sayang," ucapnya dengan suara yang terputus-putus. Evan mengepalkan tangannya, berusaha menahan kekecewaannya. "Kau mabuk?" Chintya terkikik pelan, seolah ucapan Evan adalah lelucon. "Hanya... sedikit. Aku butuh hiburan... Suamiku terlalu sibuk un
Bab 68 – Batas KesabaranPagi itu, suasana rumah terasa mencekam.Chintya masih duduk di ranjang dengan wajah kusut. Rambutnya berantakan, matanya sembab, dan rasa sakit di kepalanya semakin parah akibat mabuk semalam. Hatinya penuh dengan kemarahan dan frustrasi. Ia sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjadi istri Evan, tetapi pria itu tetap mengabaikannya. Baru saja ia ingin kembali berbaring, pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Saraswati masuk dengan wajah penuh amarah. "Bangun!" bentaknya tajam. Chintya mendesah lelah, menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Mama, aku masih pusing. Bisa tidak, nanti saja kita bicara?" Namun, Saraswati tidak peduli. Dengan langkah cepat, ia menarik selimut dari tubuh Chintya dan membuangnya ke lantai. "Dengar, Chintya. Aku tidak akan membiarkan kau menghancurkan pernikahan ini. Aku sudah cukup bersabar melihat Evan bersikap dingin padamu, dan sekarang kau malah semakin memperburuk keadaan dengan keluyuran dan mabuk-mabukan?!" Chintya men
Bab 69 – Di Ambang KehancuranJeritan itu memecah keheningan di ruangan. Anya sontak menutup mulutnya dengan kedua tangan, tubuhnya membeku di tempat. Sementara itu, Evan bergerak cepat, meraih pergelangan tangan Chintya sebelum pisau di tangannya benar-benar melukai dirinya sendiri. “Lepaskan aku!” Chintya meronta, matanya merah dipenuhi air mata dan emosi yang meledak-ledak. “Tidak akan!” Evan menggenggam erat pergelangan tangan istrinya, suaranya keras namun terdengar panik. “Apa kau sudah gila, Chintya?! Kau pikir membahayakan dirimu sendiri akan menyelesaikan semua ini?” Chintya terisak, tubuhnya bergetar hebat. “Aku tidak peduli lagi, Evan! Kau tidak pernah mencintaiku! Untuk apa aku hidup kalau aku hanya jadi beban dalam hidupmu?!” “Jangan bicara seperti itu!” Evan mengeratkan cengkeramannya hingga pisau di tangan Chintya akhirnya terlepas dan jatuh ke lantai dengan dentingan tajam. Ia menghela napas kasar sebelum menatap istrinya yang kini menangis tanpa kendali. Any
Bab 70 – Api Dalam Sekam Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Di ruang kerjanya, Evan duduk termenung di balik meja kayu besar, menatap kosong pada segelas whiskey yang belum ia sentuh. Pikirannya kacau—terlalu banyak hal yang berputar di kepalanya. Chintya, Anya, pernikahan yang diambang kehancuran. Pintu ruang kerja terbuka pelan. Anya melangkah masuk tanpa mengetuk, mengenakan blus hitam yang membalut tubuhnya dengan anggun. Ada ekspresi tenang di wajahnya, tetapi tatapan matanya menyimpan sesuatu yang jauh lebih gelap. "Aku pikir kau butuh teman bicara," ucap Anya lembut, menutup pintu di belakangnya. Evan mendesah, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, Anya. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tidak berakhir." Anya mendekat, berdiri di samping meja, lalu bersandar dengan santai. "Kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Evan. Kau bukan pria jahat. Kau hanya terjebak dalam pernikahan yang tidak kau inginkan." Kat
Bab 71 – Bara di Balik CintaAnya melangkah keluar dari ruang kerja Evan dengan hati yang dipenuhi kepuasan. Permainan baru saja dimulai, dan ia sudah berada di depan. Senyum sinis menghiasi wajahnya saat membayangkan betapa hancurnya Chintya di dalam sana. Perempuan itu terlalu lemah untuk menghadapi kenyataan. Dan kelemahan itulah yang akan ia manfaatkan. Namun, langkahnya terhenti di ujung koridor ketika seseorang tiba-tiba berdiri di hadapannya. Nathan. Pria itu bersandar di dinding dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Matanya menatap Anya tajam, penuh dengan ketidaksetujuan yang jelas. "Kita perlu bicara," ucap Nathan pelan, tapi nada suaranya tegas. Anya mendesah pelan, seolah enggan meladeni. "Kalau ini tentang Evan dan Chintya, aku tidak ingin mendengar ceramahmu, Nathan," jawabnya, melanjutkan langkah. Namun, Nathan dengan sigap meraih lengannya, menghentikannya. "Aku serius, Anya," suaranya lebih dalam, nyaris seperti peringatan. "Apa yang sedang kau
Bab 72 – Api yang Membakar BatasAnya masih berdiri di hadapan Nathan, hatinya berkecamuk di antara rasa sakit dan pengakuan cinta pria itu. Ia ingin mempercayai Nathan—ingin menyerahkan bebannya—tetapi luka masa lalu mengingatkannya bahwa tidak ada yang benar-benar tulus. Namun, lamunannya buyar ketika ponselnya bergetar di dalam genggaman. Nama *Mama* tertera di layar, membuat keningnya berkerut. Ia menjawab panggilan itu, tetapi yang menyambutnya adalah suara isakan panik. “Ada apa, Ma?” tanyanya, cemas. “Kenapa Mama menangis?” Nathan yang berdiri di sampingnya ikut khawatir, mencoba menangkap isi percakapan dari ekspresi tegang di wajah Anya. “Anya…,” suara Sarah bergetar di seberang sana. “Mamanya Evan… dia… dia membawa Kenzo. Mereka membawa pengacara dan… mengambil Kenzo begitu saja!” Dunia Anya seketika berhenti berputar. Dadanya terasa sesak, tangannya mengepal di sisi tubuh. “Apa?” suaranya melengking, penuh amarah. Nathan mendekat, meletakkan tangannya di bahu An
Bab 114Malam mulai larut. Di kamar yang cukup luas namun terasa asing, Anya duduk di sisi ranjang dengan tubuh kaku. Kenzo sudah tertidur di kamar sebelah setelah Nathan menidurkannya dengan penuh kasih sayang. Nathan kembali ke kamar dan menutup pintu perlahan. Lampu kamar redup. Anya tahu, malam ini mereka resmi menjadi suami istri — setidaknya di mata hukum dan masyarakat. Tapi hatinya belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan itu.Nathan duduk di sebelah Anya, lalu memegang tangan istrinya yang dingin. “Kamu kelihatan tegang, Anya.”Anya menoleh pelan dan tersenyum tipis. “Maaf, aku cuma... belum terbiasa.”Nathan mengangguk mengerti. “Aku ngerti kok. Kamu nggak perlu memaksakan diri.”Anya menghela napas. “Aku tahu kamu suamiku sekarang, dan aku juga tahu aku harus jadi istri yang baik. Tapi... untuk yang satu itu, aku belum siap, Nathan. Bukan karena aku nggak percaya kamu, tapi... hatiku belum sepenuhnya pulih.”Nathan memandang wajah Anya dengan tenang. Ia mengusap pipi wanita
Bab 113Evan pulang sebagai sosok yang kalah perang, sampai ia lesu dan tidak begitu bersemangat. sampai Chintya yang sedang bermain dengan ponselnya berdiri dan menghampiri Evan yang sedang membuka jas kerjanya. "Kamu kenapa, Evan? Apa terjadi sesuatu lagi pada mama?"Mata Evan langsung tidak suka dengan ucapan Chintya, yang seperti ingin terjadi sesuatu pada Saraswati, mamanya Evan. "Lah, kamu kok natap aku kayak gitu, Evan? Aku kan hanya sedang bertanya. Apa terjadi sesuatu lagi dengan mamamu, Evan?" Chintya mengulangi ucapannya, membuat Evan menepis badan Chintya dari hadapannya. Evan seperti malas melakukan perdebatan dengan Chintya, karena itu hanya akan menambah masalahnya saja. Alhasil Evan memutuskan untuk mengacuhkan Chintya. Sekalipun Evan tidak suka dengan ucapan Chintya. "Evan, Evan. Kamu kenapa sih?"Chintya mengejar Evan sampai ke dalam kamar. "Van, kamu kenapa?"Dengan bola mata melotot Evan berkata, "Bukan urusanmu!"Chintya jadi kesal, sebab Evan tidak menghargai
Bab 112Pagi itu, matahari seakan enggan bersinar. Langit mendung, seolah ikut merasakan beban di hati Evan. Dengan langkah berat, ia turun dari mobil yang diparkir di depan sebuah gedung megah — tempat pernikahan Anya dan Nathan digelar. Suasana di luar tampak meriah, karangan bunga berjejer, para tamu berdatangan dengan wajah bahagia. Tapi semua itu seperti kabut abu-abu bagi Evan.Roy yang berdiri di sampingnya melirik cemas. “Lo yakin mau masuk, Van?”Evan mengangguk pelan. “Gue harus lihat sendiri… harus pastiin kalau ini bukan kemauan dia.”Mereka melangkah masuk ke dalam gedung. Iringan musik pelaminan terdengar sendu di telinga Evan, seperti menertawakan luka di hatinya. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sosok yang selama ini memenuhi pikirannya.Dan di sanalah Anya.Berdiri di pelaminan, mengenakan kebaya putih yang indah… tapi wajahnya pucat, tatapannya kosong. Senyum yang seharusnya merekah di hari bahagia itu justru dipaksakan. Di sampingnya, Nathan tampak begitu perca
Bab 111 Angin malam yang berembus dari celah jendela rumah sakit membawa aroma antiseptik yang menyengat. Lampu-lampu redup di koridor membuat suasana semakin mencekam. Evan berdiri di depan ruangan ICU, menatap kosong ke arah ibunya yang terbaring lemah di balik kaca bening. Tubuh Saraswati dikelilingi alat medis, suara detak monitor jantung terdengar stabil, tapi wajah wanita itu tampak pucat, jauh dari sosok kuat dan angkuh yang selama ini ia kenal. Evan menghela napas berat. Setiap embusan napasnya terasa seperti beban, seolah ada batu besar yang menindih dadanya. Pikirannya kusut. Anya. Mamanya. Chintya. Reza. Nama-nama itu berputar dalam kepalanya bagai badai, memporak-porandakan ketenangannya yang tinggal serpihan. Roy duduk di kursi tunggu, memperhatikan Evan yang seperti kehilangan arah. "Van," panggilnya pelan, "kamu harus kuat, bro. Kita belum selesai di sini." Evan menoleh, mata merahnya menyiratkan kemarahan yang ditahan. "Gue gak habis pikir, Roy. Kenapa hidup gue kay
Bab 110"Saat-saat seperti ini kamu masih memikirkan wanita itu, Evan?'Saraswati yang mengalami stroke ringan menatap kasar ke Evan, dengan ucapannya yang juga terbata-bata dan tidak sejelas kemarin. "Ma, apa salah Anya? Kenapa kamu begitu membencinya, Ma."Saraswati ingin mengatakan kalau Anya tidak sepadan dengan keluarga mereka, tapi entah kenapa rasa sakit yang ia rasa semakin parah. Sampai ia merintih kesakitan, dan melihat hal itu Evan segera berlari untuk memanggil dokter. "Ma, Mama kenapa, Ma?" tanya Evan yang merasa kuatir, dilanjutkan dengan Evan yang berteriak memanggil sang dokter. "Dokter, tolong mama ku, Dok!"Seorang dokter berlari, disusul dengan kedatangan Roy yang tadi permisi keluar. "Ada apa ini, Evan? Apa yang terjadi pada Tante?""Aku dan mama tadi sempat selisih paham, Roy. Dan sekarang Mama kejang-kejang. Aku takut mama kenapa-kenapa, Roy.""Kenapa kamu lakukan itu, Evan? Kamu tahu kalau mamamu dalam keadaan kritis. Kamu malah membebani nya dengan pikiran E
Bab 109. Darah yang Sama, Luka yang SamaSaraswati masih terisak, air matanya mengalir deras. Evan memegang tangan ibunya erat-erat, dadanya sesak menunggu jawaban. Ruangan rumah sakit itu terasa lebih pengap dari biasanya. Hujan di luar belum juga reda, seolah ikut menangisi semua luka yang terbongkar malam itu.“Ma… katakan… apa benar?” suara Evan bergetar, matanya merah.Saraswati mencoba berbicara, namun suaranya masih lemah. “Maafkan Mama… Nak…”Roy berdiri di sisi Evan, ikut menahan emosi. “Bu Saraswati… kami butuh kejelasan.”Saraswati menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan tenaga. “Iya, Evan… Reza… dia ayah kandungmu.”Deg.Kalimat itu seakan menjatuhkan bom di hati Evan. Tangannya gemetar, seolah tidak mampu menopang beban rahasia itu.“Kenapa… Ma? Kenapa selama ini Mama bohong sama aku?”Saraswati menatap Evan dengan tatapan sayu. “Mama… terpaksa, Nak… saat itu Mama nggak punya pilihan. Mama hamil kamu… tapi Rendra… suami Mama, nggak tahu. Waktu itu Reza… dia kasar, di
Bab 108. Kamu anakku, Evan Beberapa hari berlalu, Saraswati masih belum sadarkan diri. Evan hampir tak pernah beranjak dari samping ranjang ibunya. Wajahnya kusut, matanya merah karena kurang tidur. Roy masih setia menemani, meski suasana di antara mereka sering diwarnai diam. Suatu malam, saat hujan deras mengguyur kota, seorang perawat datang menghampiri Evan. “Maaf, Pak Evan… ada seorang pria yang ingin bertemu. Katanya penting.” Evan mengernyit. “Siapa?” “Beliau menolak menyebutkan nama… tapi memaksa, katanya ini soal masa lalu Ibu Saraswati.” Evan saling pandang dengan Roy. “Suruh masuk.” Tak lama, seorang pria berusia sekitar 50-an dengan wajah asing, mata tajam, dan senyum licik masuk ke ruangan. Tubuhnya tegap, meski keriput sudah mulai terlihat di wajahnya. “Evan… akhirnya kita ketemu juga.” “Siapa lo?” bentak Evan, langsung berdiri. Pria itu menoleh sebentar ke Saraswati yang terbaring lemah. “Aku... orang yang pernah sangat dekat sama ibumu. Bahkan… lebih dari yan
Bab 107 Di rumah Evan, suasana begitu mencekam. Saraswati baru saja tiba dari perjalanan singkatnya, wajahnya masih penuh amarah dan kecewa. Evan yang sejak tadi duduk di ruang tamu langsung berdiri saat melihat ibunya datang. "Mama... kenapa nggak langsung ke bandara? Kan besok malam Mama harus berangkat!" ujar Evan, berusaha menahan nada suaranya. Saraswati menatap Evan dengan sorot tajam. "Kamu pikir Mama ini pengecut kayak yang kamu kira? Mama nggak akan pergi dari sini cuma karena kamu takut sama Nathan atau Anya itu!" Evan mengepalkan tangannya. "Mama, ini demi keselamatan Mama! Situasi sekarang kacau! Dan Mama harus tahu diri, selama ini Mama sudah hancurin hidup orang, bahkan nyakitin Anya!" "Anya! Anya! Anya! Dari dulu yang kamu bela cuma perempuan itu! Kamu lupa siapa yang besarin kamu, Evan?! Kamu tega ngomong kayak gitu ke Mama kamu sendiri?!" bentak Saraswati, suaranya meninggi. "Karena Mama keterlaluan! Mama maksa Nathan buat jauhin Anya, bikin dia tersiksa… M
Bab 106Di ruang tamu yang sepi, Roy duduk berhadapan dengan Evan. Keduanya sama-sama tegang, menyimpan beban masing-masing.“Bos,” ucap Roy pelan. “Gue tahu situasinya kacau… tapi gue punya saran.”Evan menoleh, matanya sayu tapi penuh waspada. “Apa?”Roy menarik napas. “Kirim Mama lo ke luar negeri, Van. Jauh, sementara waktu. Biar aman. Daripada dia ditahan di sini atau diserang orang. Lagian… lo juga gak bakal tega liat dia di balik jeruji, kan?”Evan terdiam. Wajahnya keras, tapi hatinya runtuh. Roy benar. Walau bagaimanapun, Saraswati tetap ibunya.“Tapi Anya… dia udah terlalu terluka, Roy. Gue gak mau Anya tahu… kalau gue malah lindungi Mama.”Roy mengangguk. “Justru itu. Lo harus pinter jaga sikap depan Anya. Biar seolah-olah Mama lo pergi karena lo usir… padahal lo selamatin dia.”Evan menghela napas berat. “Susah, Roy… tapi kayaknya itu satu-satunya jalan.”Belum sempat Evan mengambil keputusan, suara mobil berhenti di depan rumah Anya. Nathan keluar dengan langkah cepat d