"Ha?!" Novira terkejut. Dia mundur beberapa langkah sambil menatap Kevan."Aku ... aku mau ngelamar kerja. Kamu sendiri ngapain di sini? Mau ngelamar kerja juga?"Novira menatap beberapa orang yang datang bersama Kevan. "Aku yakin, kamu pasti diterima kerja di sini, Van. Karena kamu punya ijasah S1. Tapi, aku ... kuliah aja nggak selesai."Ada kesedihan di kedua mata Novira. Kevan dapat melihatnya. Novira berdiri di sana bersama 6 orang pelamar lainnya. Mereka terdiri dari pria dan wanita yang berpenampilan rapi.Kevan tidak membalas perkataan Novira. Dia menatap semua pelamar yang datang membawa berkas-berkas dokumen."Kalian semua ikut aku!"Kevan berjalan menuju sebuah ruangan bercat putih bersama Omar. Namun, para pelamar kerja tidak ada satupun yang beranjak dari sana hingga Perdi menegur mereka. "Kalian semua mau ngelamar kerja, kan? Itu Pak Kevan yang punya perusahaan tembakau. Cepet ikut dia masuk ke ruangan dan jangan sampai dia kelamaan nunggu!"Perdi menunjuk ruangan yan
"Selamat siang, para pekerja!"Siang ini, pukul 2:00 waktu kota Tango. Cuaca begitu redup dengan udara yang sejuk karena dusun Tembakau Dalam memiliki suhu udara yang bagus.Kevan menyapa para pekerja di lapangan pabrik K.C Tobacco. Dia duduk di kursi kayu, sedangkan para pekerja duduk di bawah. "Makasih kalian udah mau dateng untuk kerja di pabrik rokok aku."Semua orang menatap Kevan dan menunggunya berbicara. "AkuーKevan Hanindra, pemilik pabrik rokok K.C Tobacco. Siapa yang mau menyampaikan keluhan, pendapat, ide dan saran? Aku akan tampung semuanya dan pilih yang terbaik untuk dieksekusi."Suasana menjadi ramai seketika. Mereka saling pandang dan berbisik. "Bagi pekerja yang punya keluhan, pendapat, ide atau saran, silakan angkat tangan dan perkenalkan nama kalian!"Gunawan terheran-heran dengan jalan pikiran Kevan. Dia mengangkat kedua bahu."Van, apa kamu nggak salah? Bagi saya, kamu terlalu berlebihan manjain para buruh," keluh Gunawan. Dia tidak terima Kevan mengizinkan para
"Nama saya Engkos," ujar si pria memperkenalkan diri. "Saya teh sopir yang nganterin barang. Saya mau tanya ke Juragan Kevan. Apa rute kita cuma sekitar kota Tango atau ke luar kota? Terus, atuh kita sendiri gitu kayak yang dulu-dulu? Atau kumaha?"Beberapa pria yang duduk bersama Engkos angguk-angguk. Rupanya mereka sesama sopir yang dulunya bekerja di pabrik rokok Abbas 99."Gini, Mang Engkos. Aku ada rencana mau jual rokok ke luar kota Tango bahkan sampai ke luar pulau Pearl. Jadi, buat tim distributor bukan cuma sopir aja, tapi ada keneknya."Engkos terlihat kurang puas dengan jawaban Kevan. Dia kembali bertanya, "Apa uang bensin kita pasti sesuai sama jarak, Juragan? Karena yang udah-udah kita atuh nombok. Gajian bukannya seneng, tapi abis buat nombok. Merana pisan jadi sopir, atuh mending kita jadi buruh pabrik. Iya nggak, kawan-kawan?"Engkos meminta pendapat dari teman-temannya sesama sopir. Mereka pun mengangguk. "Iya, Juragan Kevan. Kita teh sebenernya was-was balik kerja j
Tok! Tok! Tok!Seseorang mengetuk pintu ruang kerja Kevan. Semua orang menoleh ke arah pintu yang masih tertutup rapat."Saya akan buka pintunya, Tuan," kata Omar sembari bangun."Itu pasti Glen dan Gauche. Suruh mereka masuk, Omar!" perintah Kevan. "Ya, Tuan."Omar membukakan pintu. Benar saja dugaan Kevan. Glen dan Gauche berdiri di depan pintu dengan napas terengah-engah. "Masuk aja!" seru Omar begitu keduanya melihat Omar."Kamu siapa?" tanya Glen. Dia baru sekali ini bertemu Omar."Dia Omarーanak buah Kevan," ujar Gauche. "Kamu belum pernah ketemu, ya?"Glen menggeleng. "Kevan sekarang punya anak buah?" tanya Glen lagi. "Iya, dia kan sekarang udah kaya. Dia udah punya bisnis sendiri. Ya ... ini bisnis Kevanーpabrik rokok.""Oh, jadi Kevan udah beli pabrik rokok Pak Gunawan? Aku baru tahu, Bang," ujar Glen lagi, dia rupanya masih penasaran dengan Kevan."Udah diem!" tegur Gauche. "Nanti aja tanya-tanya tentang Kevan kalo udah nggak ada orang lain!""Siap, Bang."Glen diam saat be
Kevan tertawa, "Ha! Ha! Ha! Nggak, Bang.""Terus?" tanya Gauche semakin penasaran. "Terus, kamu mau ngapain ke pom bensin?"Kevan mengubah posisi duduknya. Dia menyilangkan kaki kanannya."Jadi, aku udah minta data armada mobil ke Novira. Terus, aku akan sodorkan kerja sama dengan pom bensin di seberang jalan. Aku akan bayar perbulan untuk bensin semua armada. Gitu loh!"Semua orang tidak habis pikir dengan isi otak Kevan. Gunawan sendiri tidak pernah memikirkan hal serupa."Armada pengiriman barang, Van?" tanya Gunawan. "Jadi, para sopir nggak dikasih uang bensin per mobil lag, gitu?"Kevan menggeleng. "Nggak gitu, Pak.""Kalo gitu, konsepnya kayak gimana, Tuan? Apa Anda akan turun tangan langsung?"Omar ikut bertanya. Karena tuannya tidak ada konfirmasi apapun dengannya. "Semua armada. Mulai dari pengiriman barang, para salesman, tim promotor yang kerja di luar pabrik sampai para petinggi."Semua orang menelan ludah. Pikiran Kevan telah melampaui batas Gunawan yang notabenenya adal
"Tuan Kevan nggak tahu, kalo keluarga Anda punya bisnis ruko?"Omar bertanya. Dia memergoki Kevan begitu kaget ketika memandangi gambar ruko milik keluarganya sendiri."Aku tahu. Aku nggak nyangka aja kalau Ziyad masukin ke list ruko yang aku cari."Kevan menjawab pertanyaan Omar sambil membaca-baca keterangan yang tertera di bawah gambar."Hanindra Exclusive View." Kevan membaca nama ruko milik keluarganya. Dia menahan napas ketika membaca kalimat berikutnya."Ruko 4 lantai dengan luas tanah 70 meter persegi dan lebar bangunan 337 meter persegi." Kevan mengambil rokok di laci meja, lalu membakarnya. Melihat asap rokok menggumpal di udara, Omar lantas beranjak membuka jendela yang berada di belakang Kevan."Oke, cukup menarik," gumam Kevan setelah melihat desain interior ruko tersebut.Kevan melihat Omar sudah kembali duduk di hadapannya. Dia bertanya, "Seberapa tau kamu tentang Hanindra Exclusive View?" Omar mencoba mengingat semua properti keluarga Hanindra di kota Baubau, pulau
"Bagus!" pekik Kevan begitu melihat Raymond selesai tanda tangan. Dia tersenyum puas."Jadi, kamu sekarang pemilik pabrik rokok yang terkenal itu, Van? Apa yang bisa aku bantu? Bilang aja!"Glen dan Omar hanya diam memperhatikan setiap gerak-gerik Raymond. "Omar, periksa dokumennya! Pastiin kecoak ini nggak nipu aku!"Kevan memberikan dokumen yang sudah ditandatangani Raymond kepada Omar. Dia menatap Raymond."Aku nggak berani nipu kamu, Van," kata Raymond. "Gimana pun juga, kamu udah banyak bantu hidup aku.""Kalo gitu, aku mau anak buah kamu jaga pabrik aku! Terus, jangan pernah cari masalah sama semua karyawan aku!"Raymond menggeser kursinya mendekati Kevan. Wajahnya berubah masam."Aku nggak berani, Van. Aku akan utus anak buah buat jagain pabrik kamu."***Sekarang, Kevan sudah berada di pabrik rokok. Dia duduk di dalam ruang kerja bersama Glen, Omar dan Gauche. "Habis ini, Bang Gauche dan Glen kumpulin sopir dan kernet!" perintah Kevan.Kevan menyerahkan selembar kertas kepad
Omar berbisik, "Tuan, kenapa Pak Adnan ke sini? Anda hubungi dia?" Kevan hanya tersenyum. Dia mengajak Adnan duduk bersamanya. Adnan tidak sendiri. Dia datang bersama dua pria lainnya. "Van, ini orang-orang yang aku bilang tempo hari." Adnan menepuk paha Kevan. Kevan mengangguk. "Oke, Pak." Kevan menatap dua pria asing. Dia mengulurkan tangannya. "Halo! Saya Kevan Hanindra. Makasih udah bersedia dateng ke sini."Kedua pria itu bersalaman dengan Kevan. Mereka saling melemparkan senyum, terkecuali Kevan."Robby Wiguna," ucap pria kurus berkacamata yang diperkirakan berusia awal tiga puluhan."Rusni Huda," kata pria berambut hitam dengan potongan rapi.Kevan melanjutkan rapat hingga satu jam ke depan. Setelah selesai rapat, Kevan mengajak kedua pria asing kenalan Adnan untuk bicara tertutup di ruang kerjanya didampingi oleh Omar. Sedangkan Adnan sudah pulang terlebih dahulu karena akan pergi ke pulau Orion untuk bekerja di HHC.Sesuai dengan kesepakatan, Kevan sanggup membayar gaji Ro
Donita menyadari ada yang tidak beres dengan suaminya. "Leon, kamu kenapa?" tanyanya, cemas. Donita bergegas lari ke arah Leon. Tangan Leon bergetar hebat. Setelah melototi dokumen kesehatan Christian di tangannya, sekarang Leon sedang menatap wajah ayahnya yang semakin memucat. Kemudian, dia segera membaca laporan keuangan keluarga.Melihat pemandangan itu, tidak ada seorang pun yang berbicara. Mereka menunggu reaksi Leon. Donita menarik paksa dokumen dari tangan Leon. Beberapa detik kemudian, mulutnya menganga lebar. "Ini nggak mungkin!" teriak Donita. "Ini pasti ada yang salah." Donita melirik Cinta yang duduk tenang memandanginya. "Iya kan, Mama mertua? Ini cuma halusinasi aku aja karena terlalu stres." Donita berkata dengan frustasi.Cinta menggeleng. Sedangkan Leon mematung di tempat. "Paman Leon sama Bibi Donita kaget, ya?" Suara Kevan memecahkan keheningan. "Di rumah ini, cuma keluarga kalian dan anak-anak Paman Ken aja yang belum tau."Hati Leon dan Donita semakin terir
Setelah kesalahpahaman dengan Ciara selesai, Kevan meminta tunangannya pergi ke Pink Beach Island lebih dulu bersama Felicia dan Quden untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan Kevan kembali ke kota Paloma. Dia ingin menjemput keluarganya sebelum menyusul Ciara. Sehari sebelumnya, Ciara sudah mengetahui rencana pernikahan mereka. Karena keduanya melakukan fitting baju pengantin bersama. "Huhhh!" Kevan menghela napas panjang. Dia baru tiba di rumah besar keluarga Hanindra. Dia berjalan menuju ruang tengah di mana semua orang telah menunggunya."Tuan, Anda harus sabar!" Omar senantiasa mengingatkan Kevan. Kevan tidak menjawab. Dia terus berjalan tanpa menoleh.Setibanya di ruang tengah, semua orang sudah duduk bersama Christian dan Cinta. "Silakan duduk, Tuan!" Rofiq mempersilakan Kevan untuk duduk di sisi kanan Christian. "Malam, Kakek, Nenek," sapa Kevan. Lalu, dia menatap kedua Theo dan Jasmine yang duduk di sebelahnya. Rencana Kevan untuk menyusul Ciara tidak berjalan dengan
"Apa?! Anak kandung Kak Kevan?!"Ciara mengulangi kata-kata Nulla. Dia merasa hal itu sangat mustahil. Tapi jika dipikir-pikir, tidak ada hal mustahil di dunia ini kan? Bagaimana bisa, Kevan yang begitu bucin kepada Ciara menghamili wanita lain? Apalagi wanita itu adalah Nulla yang notabenenya mantan pacar sekaligus cinta pertama Kevan. Namun, jika sudah berurusan dengan nafsu, apapun bisa saja terjadi, kan?Kevan menghela napas kasar. Dia menatap Nulla yang sedang tersenyum lebar. Kevan beranjak pergi menghampiri Ciara. "Yang, jangan dengerin Nulla!"Ciara menghempas tangan Kevan. Dia memandangi Kevan dan Nulla bergantian. "Kamu belum bisa move on dari Cinta pertama kamu ya, Kak?" Wajah Ciara masam. "Kalo kamu belum selesai sama masa lalu, jangan berani-beraninya mulai sama orang baru."Usai mengatakan hal itu, Ciara pergi. Dia mengambil langkah cepat seolah tidak peduli dengan jantungnya yang terasa sakit. "Eh, Van! Kamu mau ke mana?" Nulla berteriak. Dia mencoba menghalangi Ke
"Masuk, Van!"Nulla membuka pintu kamar apartemen nomor 303. Namun, Kevan tidak langsung masuk. Merasa tidak ada pergerakan dari Kevan, Nulla menoleh ke belakang. "Kenapa? Ayo masuk!" ajaknya lagi. Nulla baru selesai mandi. Rambutnya basah dan dia masih memakai jubah mandi. Kevan tidak bodoh. Nulla pasti sedang merencanakan sesuatu. Bisa jadi firasat Omar tadi benar. Untuk sesaat, Nulla sibuk dengan ponselnya. Dia sedang mengetik pesan singkat untuk seseorang.Nulla: Nona Ciara, cepetan dateng ke Grand Hyeth Apartment nomor 303. Kamu pasti penasaran aku dan tunangan kamu ngapain aja, kan?Nulla tidak berniat menunggu pesan balasan Ciara. Dia kembali menatap Kevan. "Ada perlu apa?" tanya Kevan dengan tatapan sinis. "Di sini aja ngomongnya!"Kevan enggan masuk. Dia tidak ingin menimbulkan kecurigaan."Aku mau ngomongin tentang Miguel. Kamu yakin mau ngomong di depan pintu? Kamu nggak takut kalo ada yang nguping?"Nulla berdiri di ambang pintu, lalu celingukan. Sepi. Suasana di kori
Sesampainya di rumah, Kevan melihat Ciara murung. Ciara berbaring lesu di kamarnya. Dia bahkan tidak menyadari kehadiran Kevan dan Felicia. Felicia menghampiri anak satu-satunya. "Cia!" Ciara terkejut. Dia segera bangun. "Mama kapan pulang?" Sore hari yang redup ini sepertinya kota Baubau akan diguyur hujan. Suasana hati Kevan sedang tidak baik, sama seperti Ciara. Kevan mendekati Quden yang berdiri di dekat pintu. "Apa seharian ini Cia cuma tiduran aja?" tanyanya, penasaran. "Dia nggak bales chat aku sama sekali. Gimana nafsu makannya hari ini?"Quden adalah seorang yang jujur. Dia pun menjawab apa adanya. "Nona sama sekali nggak mau makan. Dia cuma minum susu aja, Bos." Kevan menatap Ciara yang sedang berbicara dengan Felicia. Wajah keduanya sedih. "Seharian ini, Nona Ciara habisin waktu di depan laptop baca-baca berita keluarga Darwin. Jadi, apa rencana Bos selanjutnya? Ngomong-ngomong, Pak Omar ke mana?""Omar masih di pengadilan. Aku balik sama Angga." Kevan terlihat benar-
"Huh!" Kevan melirik Felicia sedang menghela napas berat. Sejak tadi, Kevan berusaha menguatkan hati calon ibu mertuanya. Kevan memberikan botol air mineral kepada Felicia. "Ma, minum dulu!" Kevan lega. Karena setidaknya, Felicia masih mau minum di tengah ketegangan suasana ruang sidang. Dua hari lalu, Ciara sudah membereskan para pemegang saham yang ingin mundur dari Darwin Group. Ciara mentransfer uang sebanyak Rp 10 triliun sebagai ganti saham mereka. Tidak hanya itu, sehari sebelum sidang perdata digelar, keluarga Darwin sudah mengumumkan kebangkrutan mereka. Kini, Darwin Group telah diakuisisi oleh K.C Tobacco milik Kevan. Dengan cara itu, sudah sangat jelas bahwa K.C Tobacco ingin mengambil alih penuh tanpa melibatkan pemegang saham lama dalam struktur kepemilikan baru. Akuisisi ini memang menyakitkan bagi Ciara dan Felicia. Namun, mereka tidak memiliki cara lain. Selain itu, mereka berdua masih memiliki saham di K.C Tobacco. Tentu saja, Miguel tidak tahu hal itu. Denga
Pukul 9:00 malam waktu kota Baubau. Kevan dan Ciara sudah kembali ke rumah 1 jam yang lalu. Ciara tampak kelelahan. Mereka duduk di ruang tamu.Kevan duduk di sofa single menghadap ke pintu utama. Sedangkan Ciara dan Felicia duduk di sofa panjang bersama Arkan. Omar dan Angga berdiri di belakang Kevan. "Cia, kamu hebat. Kamu kuat menghadapi orang-orang. Aku salut sama keberanian kamu." Arkan tidak berhenti membanggakan Ciara. Namun, Kevan berwajah masam saat mendengarnya. Pintu pun terbuka. Quden berdiri di ambang pintu. Dia menatap Kevan. "Tuan, ada jajaran eksekutif di luar mau ketemu Anda dan Nona Ciara." Quden memberitahu. Sorot matanya tajam penuh dengan ancaman."Suruh masuk aja!" perintah Kevan. Kevan menatap Ciara dan Felicia. Lalu, mengangguk kepada Quden."Baik," sahut Quden. Tidak lama, dia menghilang di balik pintu. "Mama sama Cia inget kan rencana kita? Sekarang udah waktunya eksekusi."Kevan melihat Felicia tersenyum dengan paksa. Dia juga melihat sorot mata Felic
Rapat mendadak dengan jajaran eksekutif sudah selesai. Sekarang, Ciara sedang rapat bersama tim public relation dan tim kuasa hukum perusahaan di ruangan yang sama. Kevan tidak beranjak dari kursinya. Dia dengan setia menunggu Ciara menyelesaikan rapat. Di samping Kevan, Arkan duduk dengan tenang. Dia ingin melihat kepiawaian Ciara memimpin rapat.Di ruang rapat, Ciara berbicara. “Kita harus mengambil langkah-langkah yang sudah aku rencanakan untuk memulihkan kepercayaan dan memastikan Darwin Group tetap menjadi perusahaan yang dihormati,” katanya, antusias. Semua orang mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah tantangan besar, tapi dengan strategi yang tepat, mereka bisa mengatasi dampak negatif dan membangun kembali reputasi perusahaan."Siapa ketua tim public relation di sini?" tanya Ciara. Seorang wanita berambut pirang sebahu mengangkat tangan. "Saya, Nona. Nama saya Susan Arardjo.""Oke, Susan. Pertama-tama, aku mau hari ini kamu buat agenda transparansi dan komunikasi
Hari berikutnya, Ciara dan Kevan kembali ke pulau Pearl. Pagi ini, Ciara akan mengadakan rapat darurat dengan para eksekutif perusahaan Darwin Group. Kevan dan Ciara kembali bersama Arkan yang sekarang sedang rapat bersama pengacara yang dia bawa dan tim pengacara perusahaan di ruangan berbeda. Di ruang rapat Darwin Group, Ciara berbicara kepada tim manajemen. “Kita harus bekerja keras untuk memulihkan reputasi perusahaan. Aku tau, ini nggak akan mudah. Tapi dengan kerja sama dan dedikasi, aku yakin kita bisa mengatasi tantangan ini,” katanya dengan penuh semangat.Tim manajemen mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah saat yang sulit. Tapi, mereka bertekad untuk membawa Darwin Group kembali ke jalur yang benar. Mereka akan memastikan perusahaan ini tetap menjadi simbol integritas dan kepercayaan.Ciara menatap sekretarisnya. "Sarah, bagiin sekarang!""Baik, Nona." Sarah berdiri. Dia membagikan satu lembar kertas kepada tim manajemen. Kevan dan para jajaran direksi hanya te