Omar berbisik, "Tuan, kenapa Pak Adnan ke sini? Anda hubungi dia?" Kevan hanya tersenyum. Dia mengajak Adnan duduk bersamanya. Adnan tidak sendiri. Dia datang bersama dua pria lainnya. "Van, ini orang-orang yang aku bilang tempo hari." Adnan menepuk paha Kevan. Kevan mengangguk. "Oke, Pak." Kevan menatap dua pria asing. Dia mengulurkan tangannya. "Halo! Saya Kevan Hanindra. Makasih udah bersedia dateng ke sini."Kedua pria itu bersalaman dengan Kevan. Mereka saling melemparkan senyum, terkecuali Kevan."Robby Wiguna," ucap pria kurus berkacamata yang diperkirakan berusia awal tiga puluhan."Rusni Huda," kata pria berambut hitam dengan potongan rapi.Kevan melanjutkan rapat hingga satu jam ke depan. Setelah selesai rapat, Kevan mengajak kedua pria asing kenalan Adnan untuk bicara tertutup di ruang kerjanya didampingi oleh Omar. Sedangkan Adnan sudah pulang terlebih dahulu karena akan pergi ke pulau Orion untuk bekerja di HHC.Sesuai dengan kesepakatan, Kevan sanggup membayar gaji Ro
Kevan: Terus, suasana di depan gimana? Berisik nggak, Bim? Aku nggak mau Cia denger suara gaduh.Kevan membalas pesan Bima. Sesekali dia menoleh ke arah ranjang di mana Ciara duduk di atasnya. Bima: Nggak, Van. Tuan dan Nyonya ngomong sama debt kolektornya di depan rumah. Jadi kemungkinan besar Nona nggak akan bisa denger. Bima: Makanya jangan sampai Nona Cia ke balkon dan lihat semuanya dari atas sana. Bisa gawat!Usai membaca dua pesan masuk dari Bima, akhirnya Kevan mengerti. Dia buru-buru membalasnya.Kevan: Oke. Aku ke halaman belakang sekarang.Kevan menyimpan ponsel bututnya di saku celana. Lalu, kembali menghampiri Ciara. "Kamu masih mau baca buku? Gimana kalo bacanya sambil berjemur di ayunan? Mau, nggak?"Ciara menggeleng. "Nggak mau. Aku mager.""Aku gendong, mau?" tanya Kevan sambil tersenyum. "Yuk, sini naik ke punggung aku!"Ciara yang penurut, akhirnya mengikuti kemauan Kevan. Dia naik ke punggung Kevan sambil memegang buku. ***"Kak, aku mau susu," ujar Ciara manja
"Diem kamu, Kevan!" pekik Miguel. Dengan wajah muram, Miguel menatap Kevan. Ciara yang tidak paham apa-apa hanya diam melihat Kevan dan Miguel saling membalas."Bim, jauhi Nona Ciara dari sini!" seru Kevan. "Kamu nggak ada hak nyuruh-nyuruh kayak gitu! Aku ini Tunangan Cia. Aku yang lebih pantes dan berhak atas hidupnya."Kevan tersenyum sinis. Dia melirik Bima. "Sekarang, Bim!" serunya lagi. "Nggak bisa!" teriak Miguel. "Cia, cepet tanda tangan berkasnya! Aku ini bakal jadi Suami kamu. Aku wali yang sah sampai kamu berusia 21 tahun nanti."Kevan tidak bisa menahan hasrat ingin memukul Miguel. Namun, dia tidak akan melakukannya di depan Ciara. Kevan mendorong Miguel ketika pria itu ingin menarik tangan Ciara. Miguel kehilangan keseimbangan. "Kurang ajar!" Miguel memaki Kevan. "Kamu itu cuma kacung di sini! Sebentar lagi, aku akan jadi majikan kamu. Di mana rasa hormatmu padaku, Van?!"Kevan melirik Bima dan Ciara. "Bim, bawa Nona ke kamarnya sekarang!" Lalu, Kevan melirik Ciara.
"Ah, inilah gunanya kalo kamar ada di lantai bawah. Aku nggak perlu jauh-jauh gendong kamu, Cia," ucap Kevan lembut. Dia tersenyum memandangi wajah Ciara yang tertidur di gendongannya.Kevan telah sampai di kamar master lantai bawah yang telah dipersiapkan untuk Ciara. Kevan membaringkan tubuh Ciara dengan lembut di atas ranjang besar yang mewah. Bima dan Ziyad memperhatikan Kevan tanpa berbicara. Mereka tidak ingin membangunkan Ciara. Kemudian, Kevan menyelimuti Ciara. "Kamar ini lebih mewah dari kamar Nona Ciara, Van!" puji Bima. Erisa dan Lily datang. Mereka berdiri di pintu. "Van!" panggil Erisa. Kevan menoleh ke arah pintu. "Masuk aja, Dok!" serunya dari dalam. Erisa dan Lily berjalan masuk. Mereka melihat dekorasi interior kamar master dengan terkagum-kagum. "Ini kamar utama untuk Nona Ciara. Di sana ada perlengkapan yang dibutuhin Nona!" Kevan menunjuk berbagai macam peralatan jantung yang dibelinya beberapa hari silam. "Di rak hitam, ada obat-obatan untuk jantung dan
"Astaga!" pekik Kevan, dia berhenti di depan pintu masuk utama.Kevan melihat bagian depan rumah keluarga Darwin terdapat tulisan disegel dari pihak bank. Kevan shock. Kevan menatap Ismail. Dia bertanya, "Mang, ini kapan ditempelnya? Kayaknya tadi pagi nggak ada.""Tadi itu, Van, pas orang bank pada dateng. Mereka juga udah sita tiga mobil mewah dan dua motor gede Tuan Rudi. Jadi sekarang, Tuan dan Nyonya nggak punya kendaraan sama sekali."Kevan mengelus dada. Dia memutar otaknya guna mencari solusi untuk kedua majikannya. "Terus, tadi Nyonya manggil tukang perhiasan ke sini. Dia jual semua perhiasannya, termasuk koleksi emas batangan, dan berlian."Jantung Kevan berdebar kencang. Dia tidak tahan dengan kondisi keluarga Darwin saat ini. "Astaga, Mang!" pekik Kevan lagi. "Sekarang, aku mau ke dalam ketemu Tuan dan Nyonya. Mamang dan Mbak Yuyun siapin barang-barang ikut aku pindah dari sini!"Wajah Ismail memelas. "Pindah ke mana, Van? Tuan udah nggak punya apa-apa lagi. Vila juga ud
"Kakak dari mana?" tanya suara lembut Ciara. Tidak lama, senyumnya mengembang saat melihat sosok kedua orang tuanya. "Mami! Papi!" Ciara berseru memanggil kedua orang tuanya. Dia tersenyum sumringah. Kevan berdiri di sisi kiri ranjang. Dia membiarkan Felicia dan Rudi memeluk anaknya. 'Sial! Aku lupa bilang supaya nggak ungkit masalah rumah yang disita bank,' keluh Kevan dalam hati. 'Aku nggak mau Cia kepikiran.'"Mami sama Papi kok di sini? Bosen ya di rumah? Apa kangen sama aku?"Ciara yang polos bertanya dengan raut wajah memerah. "Rumah kitaー""Nyonya sama Tuan pingin marahin anaknya yang nakal karena mogok makan," celetuk Kevan sambil melangkah mendekati mereka. "Iya kan, Nyonya? Tuan?"Kevan mengangguk ketika Felicia dan Rudi menatapnya. Kevan juga melihat Ciara cemberut."Ihhh, apaan sih?" keluh Ciara. "Lagian siapa suruh Kakak pergi nggak bilang-bilang aku?!"Felicia tersenyum. Dia tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya saat mendengar suara Ciara. Karena memang anakn
'Ah, sial! Cia bikin aku nggak fokus aja!' seru Kevan di dalam hati. "Tuan, kalo Nona Ciara risih sama kehadiran saya, mendingan saya ke luar aja dari sini. Gimana, Tuan?"Ziyad tidak enak hati dengan Ciara. Tatapan Ciara yang tajam membuat Ziyad berpikir kalau gadis itu galak. "Nggak," jawab Kevan ketus. "Cia, Ziyad di sini buat jadi saksi kita malam ini. Aku rasa kamu paham.""Saksi? Memang kita mau nikah sekarang, Kak?" Kevan mencoba bersabar menghadapi Ciara yang lugu dan kekanak-kanakan. "Kamu mau nikah sekarang, Ciul?" Kevan bertanya balik."Aku kan tanya kamu. Kenapa jadi kamu tanya aku, sih?" Lagi, Ciara protes. Kevan tertawa. Dia mengusap lembut rambut Ciara. Kedua matanya berbinar bahagia saat bersama Ciara. "Ziyad, mana dokumennya?" tanya Kevan sambil menengadahkan tangan kepada sang asisten."Ini, Tuan." Ziyad memberikan dokumen agak tebal kepada Kevan. Ciara menatap keduanya. "Ciul, simpen nih!" seru Kevan. Dia memberikan dokumen di tangannya kepada Ciara. "Dokume
"Ayo!" Kevan melangkah masuk ke kantor Hanindra Dreamland dengan gagah. Di belakangnya, Ziyad, Putra dan Rozak mengikuti.Begitu sampai di lobi, dia melihat dua resepsionis wanita. Satu diantaranya sedang make up dan satunya lagi sedang sibuk di depan layar komputer."Erina, kamu udah selesai make up? Kalo udah, bantu aku bawa paketan ini ke Pak Danny, ya! Aku masih harus masukin data kemarin ke komputer. Kamu kenapa kemarin nggak kerjain sih?""Aduh, Ayu! Kamu berisik banget!" tegur Erina. "Kamu itu junior. Sedangkan aku senior kamu. Kok kamu berani suruh-suruh aku, sih?!" Ayu hanya menggeleng. "Ya udah kalo kamu nggak mau, nggak usah bentak-bentak gitu! Nanti aku aja yang ke ruangan Pak Danny."Kevan mendengar Ayu mengalah. Dia hanya geleng-geleng. "Eh kamu tau, Ayu? Aku tuh pagi ini tampil beda. Aku sengaja make up tebal kayak gini karena kamu tau, kenapa?" Erina bertanya dengan raut wajah gembira. Ayu terlihat enggan menanggapi. Namun demi menghindari perdebatan panjang dengan