Share

Part 1 : CEO Woman

Author: Hanna Aisha
last update Last Updated: 2022-06-16 22:27:07

06.30 WIB

Alarm dari ponsel di nakas berdering nyaring sejak satu jam yang lalu, tetapi si empunya masih nyenyak bergelung di alam mimpi. Burung-burung yang berterbangan di luar kaca jendela seakan lelah membangunkan. Begitu pula dengan sinar matahari pagi yang menerobos masuk ke dalam kamar melalui celah-celah korden yang terbuka.

Suara langkah kaki yang menghentak menaiki tangga terdengar menyelingi dentingan alarm yang tak kunjung usai. Semakin dekat, langkah kaki itu semakin keras terdengar.

"Aqila! Udah jam berapa ini? Bangun!" Suara teriakan sang mama membuat Aqila seketika tersentak bangun.

Kepalanya masih terasa linglung, matanya juga masih setengah terpejam. Namun, pintu kamar yang terbuka dengan keras membuat kedua matanya seketika terbuka lebar.

"Kamu bangun aja masih susah, kok sok-sokan mau kerja." Omelan Utari seperti cambuk yang memaksa Aqila bergerak cepat menyambar handuk.

Aqila menghela napas kesal. Seminggu yang lalu papanya sudah pulang dari rumah sakit. Begitu pulang, pria yang membesarkannya selama 22 tahun itu langsung mengungkit permintaan yang dia ajukan saat sekarat karena serangan jantung. Papanya ingin Aqila menikah. Dia bahkan sudah menjodohkan Aqila dengan anak dari teman karibnya semasa kuliah dahulu.

Astaga, yang benar saja! Umur Aqila baru 22 tahun, masa iya harus menikah? Dia juga baru saja lulus kuliah dan belum pernah menggunakan ijazahnya untuk merasakan bagaimana rasanya menjadi pekerja kantoran. Lagi pula, seharusnya papanya tau kalau Aqila sudah punya pacar. Jadi, mana mau dia menikah dengan orang lain, dijodoh-jodohkan lagi. Memangnya ini zaman Siti Nurbaya?

Tiga puluh menit berlalu, Aqila keluar dari kamar mandi dengan jubah mandi yang membalut tubuh rampingnya, sementara handuk kecil melilit kepala.

Segera dia bersiap-siap. Mengeringkan rambut panjang kecoklatan miliknya, memakai lotion di seluruh tangan dan kaki, lalu mengenakan pakaian yang sudah disiapkan Utari untuknya. Tak lupa, sapuan make up segar menghias wajah cantik gadis itu.

Pukul delapan pagi, dia telah duduk di kursi ruang makan. Di sana ada mama, papa, juga Bi Suti, pembantu yang sudah dianggap seperti keluarga di rumah itu. Piring-piring berisi nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya telah tertata di meja. Aqila duduk di samping mamanya, kemudian bergegas memulai sarapan.

Bi Suti menuangkan air putih ke dalam gelas dan menaruhnya di samping piring Aqila.

"Pelan-pelan makannya, Non," celetuknya.

Aqila menelan dengan susah payah makanannya, meneguk air putih sesaat, lalu menjawab, "Takut telat, Bi."

"Kan papa masih di sini. Papa aja santai makannya."

Aqila tak berniat menjawab ucapan mamanya. Dia masih sibuk menyuapkan makanan ke mulut sampai mulutnya penuh.

"Kamu beneran mau kerja, Sayang?" tanya papanya, membuat Aqila yang hendak memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut pun mengurungkan niat.

Aqila menghela napas. "Kemarin kan kita udah bahas ini, Pa."

Dua hari lalu, saat papanya membahas tentang perjodohannya, Aqila meminta agar pernikahannya ditunda, setidaknya sampai tahun depan. Alasannya sih karena dia ingin berkarir dulu, tetapi sebenarnya tujuannya meminta menunda pernikahan adalah agar dia dan pacarnya punya waktu untuk meyakinkan papanya, supaya dia tidak jadi dijodohkan dengan orang lain.

"Oke kalo gitu. Tapi papa harap kamu nggak bikin bangkrut perusahaan papa. Kerja yang bener."

"Pa ...." Aqila melengos. 

Masa iya dia mau bikin bangkrut perusahaan papanya, yang benar saja, gerutunya dalam benak.

Aqila adalah anak tunggal dari kedua orang tuanya. Dia pernah punya kakak, tetapi meninggal saat dia baru berusia satu tahun karena penyakit demam berdarah.

Meskipun perempuan, dia merasa tetap bertanggung jawab untuk meneruskan usaha papanya. Jadi, dia akan belajar mulai hari ini.

Sebenarnya, alasan papanya ingin Aqila menikah cepat adalah agar suaminya nanti yang disuruh meneruskan bisinis keluarga mereka. Namun, tidak. Aqila juga bisa. Dia tidak butuh orang lain, apalagi orang asing. Dia akan mengurus sendiri perusahaan keluarganya dengan baik.

***

Pukul setengah sembilan pagi, Aqila menginjakkan kakinya di tempat parkir kantor. Gedung megah berlantai tujuh itu sudah dipenuhi para karyawan. Aqila mengikuti langkah papanya untuk memasuki gedung dan menaiki lift.

Beberapa kali dia melihat papanya menganggukkan kepala ketika para karyawannya menyapa, sementara terhadapnya mereka justru menatap dengan kernyit heran tergambar jelas di muka.

Aqila masuk ke ruangan papanya di lantai tujuh. Ruangan yang sebentar lagi akan ditempatinya. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sebenarnya dia sudah sering memasuki ruangan itu. Namun, baru kali ini dia mengamati dengan seksama apa-apa saja yang ada dalam ruangan itu. 

Satu set sofa di tengah ruangan, tiga buah lemari besar berjajar di sudut kiri ruangan, sedangkan di sudut kanan seberang pintu terdapat vas bunga besar dengan tanaman yang tumbuh subur di atasnya. 

Meja kerja besar dengan kursi yang dapat berputar berada di depan jendela, membelakangi balkon. Di atas meja itu terdapat papan nama bertuliskan Direktur Utama Giri Wicaksana—yang mungkin sebentar lagi akan diganti dengan namanya. 

Pemandangan di luar balkon begitu indah. Aqila bisa melihat seluruh kota dari sana. Nanti jika lelah, dia hanya perlu memutar kursi untuk menikmati pemandangan indah kota Jakarta dari lantai tujuh gedung ini.

"Vania, tolong ke ruangan saya sebentar." Papanya berbicara lewat sambungan telepon kepada sekretarisnya.

Aqila mengernyit. "Kenapa manggil Tante Vania, Pa?"

"Dia yang bakal ngajarin kamu nanti. Setelah selesai rapat, papa mau langsung pulang. Kamu bisa mulai kerja hari ini."

"Apa?" Aqila sontak membelalakkan mata. "Nggak ada training dulu, Pa? Atau enggak, Aqila jadi karyawan biasa aja dulu."

"Vania sama Rudi yang bakal training kamu nanti selama gantiin papa jadi direktur. Papa mau istirahat. Kesehatan papa kan belum pulih benar."

Aqila mengangguk perlahan. Benar. Kesehatan papanya memang belum begitu baik meskipun dokter sudah mengizinkannya pulang. Dia juga takut kalau-kalau nanti papanya kambuh lagi.

"Ya udah," angguknya.

Suara ketukan pintu terdengar setelah itu. Disusul handle yang diputar dan daun pintu terbuka. Wanita berpakaian formal dengan rambut yang disanggul rapi memasuki ruangan.

"Vania, mulai hari ini Aqila akan menggantikan saya. Kamu dan Rudi tolong bimbing dia, ya. Setiap hari saya minta kamu buat laporan evaluasi kinerjanya, lalu berikan pada saya."

Wanita yang berdiri di depan meja kerja itu mengangguk sopan. "Baik, Pak."

"Ya sudah, begitu saja. Tolong kumpulkan semua karyawan. Kita akan mulai rapat sepuluh menit lagi."

Vania mengiyakan perintah bosnya, lalu segera pamit meninggalkan ruangan.

"Ayo siap-siap. Kita ke ruang rapat."

Aqila mengangguk, lalu bangkit dari sofa dan mengikuti papanya menuju ruang rapat.

Setibanya di sana, sudah banyak karyawan-karyawan penting perusahaan yang berkumpul. Meja panjang dengan kursi-kursi yang berjajar di kanan-kiri itu penuh dengan orang-orang yang menatapnya penuh tanya.

Semua orang lantas berdiri begitu melihat CEO mereka masuk ke ruangan beserta jajaran direksi. Di antara mereka juga ada Aqila, papanya, Vania, dan juga Rudi yang lantas duduk di jajaran kursi paling depan yang telah disediakan.

"Selamat pagi, semua ...," sapa Giri membuka rapat.

Suara gemuruh terdengar saat semua orang menjawab bersamaan.

"Seperti yang sudah diumumkan sebelumnya, agenda utama rapat pagi ini adalah untuk memperkenalkan direktur baru di perusahaan ini, yaitu putri saya sendiri, Aqila Kaira Khanza."

Tepuk tangan menggema memenuhi seluruh ruangan saat Aqila perlahan bangkit berdiri, kemudian membungkuk sopan untuk menyapa semua orang. Setelah perkenalan seperlunya, dia kembali duduk.

Aqila menghela napas berulang kali. Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia sudah cukup layak untuk menerima jabatan setinggi ini, dan juga ... dia pasti bisa melakukannya.

***

Sinar matahari semakin jingga saat Aqila akhirnya bisa menyandarkan punggung ke sandaran kursi di belakangnya. Dipijitnya kedua pelipis menggunakan ibu jari guna meringankan pening di kepalanya. Sejak pagi tadi, banyak hal yang harus dia pelajari. Berbagai kertas berserakan di meja kerjanya yang berantakan.

Suara ketukan pintu membuat Aqila menoleh.

"Masuk," ucapnya singkat.

"Nggak pulang, Qi?" Vania bertanya seraya melangkah masuk.

Aqila menggeleng lemah. "Bentar lagi, Tante."

"Pulang aja. Mejanya diberesin, berkasnya ditata terus masukin ke folder di rak sana," ucap Vania sembari menunjuk rak di samping lemari. "Besok dikerjain lagi."

Mendengar ucapan sekretaris papanya —yang sekarang menjadi sekretarisnya— itu membuatnya menghela napas berat.

"Ternyata jadi direktur nggak gampang."

Vania terkekeh mendengar celetukan lirih Aqila. "Kamu kan baru belajar. Nanti lama-lama juga bisa, terus terbiasa."

Aqila menatap wanita berusia dua kali lipat usianya itu sesaat, kemudian tersenyum. "Makasih, ya, Tan, udah sabar ngajarin aku."

"Iya, Qi. Sama-sama. Ayo pulang, udah sore."

Aqila mengangguk, lalu memaksa tubuhnya bergerak merapikan lembar-lembar kertas di meja dan memasukkannya ke dalam folder sebelum menyambar tas dan blazernya. Dia mengenakan blazer abu-abu itu sembari melangkah meninggalkan ruangan.

Sesampainya di lantai satu, Aqila berpisah arah dengan Vania. Dia berdiri di depan pintu utama. Tangannya menyusup ke dalam tas kemudian meraih ponsel. Dibukanya aplikasi pesan lalu mencari nomor sang kekasih, dan dengan cepat jarinya menekan ikon telepon.

"Hallo, Sayang ...." Suara laki-laki di seberang sana menyapa.

"Zo, aku udah pulang. Bisa jemput?"

"Siap. Lima belas menit aku sampe."

"Oke." Dan dengan cepat Aqila mematikan panggilan.

Sembari menunggu, dia memijat-mijat betisnya pelan. Entah mengapa kakinya terasa pegal sekali. Apa karena seharian berjalan-jalan bolak-balik ke ruangan Vania dan Rudi menggunakan sepatu hak tinggi?

Tak sampai lima belas menit bahkan, mobil BMW merah keluaran terbaru berhenti di depannya. Dengan segera Aqila membuka pintu sebelah kiri, lalu masuk.

"Langsung pulang, Sayang? Atau mau makan dulu?" tanya Kenzo saat Aqila sedang memasang seatbelt.

Aqila menggeleng. "Langsung pulang aja, Sayang. Aku capek banget. Pengen tidur."

Kenzo malah terkekeh. "Capek ya kerja?"

Pipi Aqila berubah merah. Bukan karena tersipu, tetapi karena malu. Secara tidak langsung ucapan Kenzo seperti sedang menyindirnya. Selama ini yang dia tau hanya menghabiskan uang orang tua. Dia tidak tau bagaimana lelahnya kedua orang tuanya bekerja selama ini, dan sekarang dia merasakannya sendiri. Dia hanya tertunduk tanpa menjawab ucapan kekasihnya.

Perjalanan dari kantor sampai ke rumah hanya sekitar lima belas menit jika tidak macet. Sekitar dua puluh menit kemudian, mobil yang mereka naiki berhenti di depan sebuah rumah mewah bernuansa krem.

"Makasih, ya, udah nganterin pulang. Aku masuk dulu," pamit Aqila sebelum membuka pintu mobil.

"Eits, main pergi-pergi aja. Bayarnya mana?"

Aqila tersenyum melihat Kenzo menelengkan kepala ke arahnya. Lalu, dengan cepat dia kecup pipi kiri Kenzo sebelum bergegas turun dan berlari memasuki rumah.

Baru saja masuk, dia sudah disambut pertanyaan dari sang papa.

"Pulang sama siapa, Sayang?"

Praktis, Aqila berjingkat kaget. Pasalnya dia tidak mengira bahwa papanya sedang duduk di ruang tamu.

"Sama Kenzo, Pa. Tadi Qila minta jemput."

Koran yang berada di tangan Giri terbanting ke meja. Lelaki yang sebagian besar rambutnya telah memutih itu sontak berdiri.

"Qila, kamu kan tau kamu akan menikah dengan orang lain, kenapa masih berhubungan dengan Kenzo?"

Mendengar itu, Aqila yang baru saja akan menaiki tangga pun segera menghentikan langkah dan memutar badan.

"Papa kan tau aku sama Kenzo pacaran udah lama, kenapa Papa malah jodohin aku sama orang lain?"

"Qila, Kenzo itu—"

"Pa, Qila capek. Qila masuk kamar dulu." Dengan cepat Aqila memotong ucapan papanya, lalu berlari menaiki anak tangga dan masuk ke kamar.

Dilemparkannya tubuh letih itu ke atas tempat tidur berukuran besar di tengah ruangan.

Ah, tubuhnya sudah sangat lelah karena bekerja seharian, lalu setelah pulang malah disambut dengan pertengkaran.

***

Related chapters

  • Bodyguard Ganteng Jodohku   Part 2 : New Bodyguard

    Bi Suti mengetuk pintu kamar Aqila beberapa kali. Gadis berambut cokelat gelap itu tidak keluar dari kamar sejak pulang kantor, mungkin tertidur. Sementara sekarang sudah pukul delapan malam. Utari telah menyuruhnya untuk memanggil Aqila untuk makan malam."Non, makan malam dulu, Non. Udah ditunggu Bapak sama Ibu di bawah," ujarnya dengan suara agak dikeraskan.Bi Suti kembali mengetuk pintu saat tak mendengar jawaban. Lalu, karena takut nona majikannya kenapa-kenapa, dia akhirnya membuka pintu dan menerobos masuk.Di atas ranjang, dia melihat Aqila masih tertidur pulas. Bajunya bahkan belum diganti, masih mengenakan baju kantor. Make up di wajahnya juga belum dihapus. Sepertinya Aqila langsung tidur tanpa mandi terlebih dahulu."Non, udah malem." Bi Suti mengguncang bahu Aqila pelan.Tak ada respon selain gumaman lirih dari bibir tipis merah muda milik Aqila. Gadis itu pasti sangat kelelahan.Kembali diguncangnya bahu Aqila, kali ini lebih keras."Eugh ... kenapa, Bi?" Gadis itu meng

    Last Updated : 2022-06-16
  • Bodyguard Ganteng Jodohku   Part 3 : Angry Boss

    Aqila mendesah kesal saat membuka pintu ruangannya dan melihat Hendra tengah berdiri di depan pintu."Lu ... dari tadi kaya gitu?" tanya Aqila heran. Pasalnya, dia menyuruh Hendra keluar dari ruangannya sejak tengah hari, saat jam istirahat makan siang. Dan sekarang sudah sore, jam pulang kantor. Namun, laki-laki bersetelan serba hitam itu masih saja berdiri tegap di depan pintu.Hendra yang mendengar pertanyaan Aqila hanya menelengkan kepala. Melihat itu, Aqila membuang napas, lalu memperjelas pertanyaannya. "Lu dari tadi berdiri kaya gitu? Dari siang?""Iya. Kan Non yang suruh," jawab Hendra polos.Aqila geleng-geleng kepala. Tak habis pikir bahwa dia akan bertemu laki-laki seperti ini. Terlebih lagi, lelaki itu akan mengikutinya ke mana pun dia pergi. Argh! Aqila merasa frustasi bahkan hanya dengan memikirkannya.Tanpa menghiraukan Hendra yang masih saja mematung bak manekin, Aqila melenggang pergi begitu saja. Tubuhnya lelah, otaknya serasa hampir terbakar, ditambah melihat wajah

    Last Updated : 2022-06-16
  • Bodyguard Ganteng Jodohku   Bab 4 : Attach

    "Gimana, Qi? Udah dipelajari?" Vania bertanya seraya masuk ke ruangan anak bosnya itu.Aqila mengalihkan pandangan dari layar laptop, lalu tersenyum saat menemukan sekretarisnya melangkah masuk."Udah, Tan." Ditutupnya laptop itu setelah memastikan file tersimpan dengan benar. Kemudian bangkit guna bersiap menghadiri rapat. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Mereka akan menghadiri rapat di luar kantor, jadi harus berangkat lebih cepat jika tidak ingin terlambat karena terjebak macet di jalan.Tas telah tersampir di pundak, Aqila bergegas keluar menyusul langkah Vania yang telah terlebih dahulu meninggalkan ruangannya.Begitu melewati pintu, Aqila disambut oleh Hendra yang masih setia berdiri di sana.Tak ingin merusak suasana hatinya, Aqila segera melanjutkan langkah tanpa menyapa bodyguardnya itu. Namun, dia terkejut saat melihat Hendra mengikuti langkahnya menuju ruangan Vania."Ngapain lu ikut? Jaga kantor aja!""Saya disuruh Tuan untuk mengikuti ke mana pun Non pergi. Saya ju

    Last Updated : 2022-06-30
  • Bodyguard Ganteng Jodohku   Bab 5 : Disturb

    Sudah pukul lima sore, waktunya Aqila pulang dari kantor dan mengistirahatkan tubuh dari lelahnya bekerja. Segala kekacauan di atas mejanya segera dia rapikan. Kertas-kertas dokumen, alat tulis, serta apa pun yang berserakan di atas meja dia bereskan.Blazer hitam yang tergantung di belakang kursi dia raih lalu dengan cepat dia kenakan, kemudian jemarinya menyambar tas dan segera melangkah keluar ruangan.Sembari berjalan, dia meraih ponsel dari dalam tas. Mencari nama seseorang yang begitu dia rindukan, kemudian mengetikkan pesan untuknya.[Kita ketemu di kafe biasa aja, ya? Aku harus ngehindarin Hendra biar dia nggak lapor sama Papa.]Pintu lift terbuka tepat saat terdengar denting notifikasi. Aqila tersenyum sembari memasuki lift bersama bodyguard yang senantiasa mengikutinya di belakang.[Oke, Sayang. Aku tunggu di kafe biasa. Kamu hati-hati di jalan. Love you.]Ah, baru membaca pesan dari Kenzo saja hati Aqila sudah berdebar tak keruan begini, bagaimana jika dia mendengar langsun

    Last Updated : 2022-07-02
  • Bodyguard Ganteng Jodohku   Bab 6 : Promise

    Kira-kira pukul setengah sepuluh malam, Hendra baru saja hendak melangkahkan kaki ke teras rumah saat ponsel di saku celananya tiba-tiba berdering. Dahinya seketika mengernyit, tetapi tak dapat dipungkiri, segaris senyum simpul terlukis di bibirnya kala melihat nama sang penelepon.Dia berbelok arah, mengurungkan niat masuk ke rumah dan malah duduk di bangku panjang samping rumahnya. Sebatang rokok dia nyalakan sebelum mengangkat panggilan."Ya, Non."Suara gadis manis di seberang segera menyambut sapaannya."Lu udah pulang?" Suaranya masih serak. Seperti habis bangun tidur."Iya. Saya sudah di rumah," jawabnya seraya mengembuskan asap rokok dari mulut.Terdengar gumam lirih dari seberang. Seperti ragu hendak mengatakan sesuatu."Ada apa, Non?" tanyanya memastikan."Eummm ... gue tadi ketiduran di mobil, ya?"Dalam hati Hendra tergelak mendengar suara Aqila yang terkesan malu-malu. Biasanya, kan, gadis itu selalu marah-marah, bahkan berbicara saja selalu menggunakan nada yang keras. N

    Last Updated : 2024-01-05
  • Bodyguard Ganteng Jodohku   Bab 7 : Fullfilled

    "Sayang!"Kenzo sudah berdiri di depan mobilnya yang terparkir di halaman kantor Aqila. Memakai setelan kemeja kotak-kotak merah hitam dan celana jeans biru yang lututnya sobek-sobek khas anak tongkrongan. Matanya berbinar melihat Aqila melangkah keluar pintu utama, tetapi detik kemudian tatapannya berubah sinis saat Hendra muncul dari balik pintu menyusul langkah gadis itu.Aqila yang mengerti arti dari tatapan Kenzo segera menenangkan hati kekasihnya. "Biarin dia ikut, ya, Sayang. Kaya kemaren."Kenzo mendecih. Bisa-bisanya lelaki kampung itu terus-menerus membuntuti kencan mereka!"Kenapa nggak disuruh pulang aja, sih, dia. Nanti kamu biar aku yang anter pulang," tegasnya.Aqila menggeleng sembari mengusap lengan Kenzo. "Nggak bisa, Yang. Papa bakal marah kalo aku nggak pulang bareng Hendra. Udahlah. Anggep aja dia nggak ada. Yang penting kita bisa ketemu. Oke?"Kenzo mengembuskan napas keras. Kesal rasanya karena waktu berduaannya dengan Aqila terinterupsi oleh makhluk tak jelas

    Last Updated : 2024-01-18
  • Bodyguard Ganteng Jodohku   Bab 8 : Kenzo

    Suara gesekan ban dan paving halaman yang berdecit nyaring membuat ngilu telinga. Sorot lampu mobil terpancar terang bersama deru mesin mobil yang masih terdengar nyaring memecah kebisuan malam, sebelum akhirnya mati beberapa saat kemudian. Tak lama setelahnya, terdengar suara pintu dibuka, lalu ditutup dengan cara dibanting dengan keras. BMW merah itu lantas teronggok diam di garasi rumah setelah ditinggalkan sang pengendaranya.Seorang lelaki muda berambut setengah gondrong menaiki tangga. Dia melangkah cepat dengan kaki dihentak ke arah kamarnya yang berada di lantai dua dan menghadap langsung ke taman samping rumah. Dibukanya pintu dan dibantingnya dengan keras, sekeras dia membanting pintu mobil saat turun tadi. Hatinya dongkol. Begitu kesal karena acara kencannya bersama sang kekasih benar-benar berantakan. Dia masih tak mengerti, bagaimana bisa dua orang yang telah sama-sama dewasa dibuntuti bodyguard saat berkencan! Waktu yang seharusnya mereka habiskan berdua tak bisa diperg

    Last Updated : 2024-01-30
  • Bodyguard Ganteng Jodohku   Prolog

    Malam itu, lorong rumah sakit nampak sepi. Seorang gadis berjalan tergesa menelusuri lorong temaram yang seakan tak berujung itu sambil terisak-isak. Bahunya berguncang, hidung memerah, juga matanya yang bengkak karena air mata terus saja tumpah bak air bah. Beberapa helai anak rambut menempel di pipi dan dagunya yang basah.Di ujung lorong itu terdapat pintu kaca dari sebuah ruangan yang hendak dia tuju, ruangan tempat papanya dirawat, ruang ICU. Air matanya mengalir semakin deras kala melihat wajah wanita yang baru saja bangkit dari duduknya."Mama ...." Gadis itu berlari menghampiri wanita yang dia panggil mama. Kedua lengannya segera merengkuh tubuh yang sama terisaknya sepertinya."Gimana papa?" tanyanya sambil mengurai pelukan.Utari—wanita yang dipanggilnya mama tadi mengusap pipinya sesaat sebelum menjawab, "Dokter baru aja keluar, Sayang. Katanya papa udah baik-baik aja. Papa udah berhasil melewati masa kritisnya."Gadis itu mengembuskan napas lega. "Syukurlah."Pintu terbuka

    Last Updated : 2022-06-16

Latest chapter

  • Bodyguard Ganteng Jodohku   Bab 8 : Kenzo

    Suara gesekan ban dan paving halaman yang berdecit nyaring membuat ngilu telinga. Sorot lampu mobil terpancar terang bersama deru mesin mobil yang masih terdengar nyaring memecah kebisuan malam, sebelum akhirnya mati beberapa saat kemudian. Tak lama setelahnya, terdengar suara pintu dibuka, lalu ditutup dengan cara dibanting dengan keras. BMW merah itu lantas teronggok diam di garasi rumah setelah ditinggalkan sang pengendaranya.Seorang lelaki muda berambut setengah gondrong menaiki tangga. Dia melangkah cepat dengan kaki dihentak ke arah kamarnya yang berada di lantai dua dan menghadap langsung ke taman samping rumah. Dibukanya pintu dan dibantingnya dengan keras, sekeras dia membanting pintu mobil saat turun tadi. Hatinya dongkol. Begitu kesal karena acara kencannya bersama sang kekasih benar-benar berantakan. Dia masih tak mengerti, bagaimana bisa dua orang yang telah sama-sama dewasa dibuntuti bodyguard saat berkencan! Waktu yang seharusnya mereka habiskan berdua tak bisa diperg

  • Bodyguard Ganteng Jodohku   Bab 7 : Fullfilled

    "Sayang!"Kenzo sudah berdiri di depan mobilnya yang terparkir di halaman kantor Aqila. Memakai setelan kemeja kotak-kotak merah hitam dan celana jeans biru yang lututnya sobek-sobek khas anak tongkrongan. Matanya berbinar melihat Aqila melangkah keluar pintu utama, tetapi detik kemudian tatapannya berubah sinis saat Hendra muncul dari balik pintu menyusul langkah gadis itu.Aqila yang mengerti arti dari tatapan Kenzo segera menenangkan hati kekasihnya. "Biarin dia ikut, ya, Sayang. Kaya kemaren."Kenzo mendecih. Bisa-bisanya lelaki kampung itu terus-menerus membuntuti kencan mereka!"Kenapa nggak disuruh pulang aja, sih, dia. Nanti kamu biar aku yang anter pulang," tegasnya.Aqila menggeleng sembari mengusap lengan Kenzo. "Nggak bisa, Yang. Papa bakal marah kalo aku nggak pulang bareng Hendra. Udahlah. Anggep aja dia nggak ada. Yang penting kita bisa ketemu. Oke?"Kenzo mengembuskan napas keras. Kesal rasanya karena waktu berduaannya dengan Aqila terinterupsi oleh makhluk tak jelas

  • Bodyguard Ganteng Jodohku   Bab 6 : Promise

    Kira-kira pukul setengah sepuluh malam, Hendra baru saja hendak melangkahkan kaki ke teras rumah saat ponsel di saku celananya tiba-tiba berdering. Dahinya seketika mengernyit, tetapi tak dapat dipungkiri, segaris senyum simpul terlukis di bibirnya kala melihat nama sang penelepon.Dia berbelok arah, mengurungkan niat masuk ke rumah dan malah duduk di bangku panjang samping rumahnya. Sebatang rokok dia nyalakan sebelum mengangkat panggilan."Ya, Non."Suara gadis manis di seberang segera menyambut sapaannya."Lu udah pulang?" Suaranya masih serak. Seperti habis bangun tidur."Iya. Saya sudah di rumah," jawabnya seraya mengembuskan asap rokok dari mulut.Terdengar gumam lirih dari seberang. Seperti ragu hendak mengatakan sesuatu."Ada apa, Non?" tanyanya memastikan."Eummm ... gue tadi ketiduran di mobil, ya?"Dalam hati Hendra tergelak mendengar suara Aqila yang terkesan malu-malu. Biasanya, kan, gadis itu selalu marah-marah, bahkan berbicara saja selalu menggunakan nada yang keras. N

  • Bodyguard Ganteng Jodohku   Bab 5 : Disturb

    Sudah pukul lima sore, waktunya Aqila pulang dari kantor dan mengistirahatkan tubuh dari lelahnya bekerja. Segala kekacauan di atas mejanya segera dia rapikan. Kertas-kertas dokumen, alat tulis, serta apa pun yang berserakan di atas meja dia bereskan.Blazer hitam yang tergantung di belakang kursi dia raih lalu dengan cepat dia kenakan, kemudian jemarinya menyambar tas dan segera melangkah keluar ruangan.Sembari berjalan, dia meraih ponsel dari dalam tas. Mencari nama seseorang yang begitu dia rindukan, kemudian mengetikkan pesan untuknya.[Kita ketemu di kafe biasa aja, ya? Aku harus ngehindarin Hendra biar dia nggak lapor sama Papa.]Pintu lift terbuka tepat saat terdengar denting notifikasi. Aqila tersenyum sembari memasuki lift bersama bodyguard yang senantiasa mengikutinya di belakang.[Oke, Sayang. Aku tunggu di kafe biasa. Kamu hati-hati di jalan. Love you.]Ah, baru membaca pesan dari Kenzo saja hati Aqila sudah berdebar tak keruan begini, bagaimana jika dia mendengar langsun

  • Bodyguard Ganteng Jodohku   Bab 4 : Attach

    "Gimana, Qi? Udah dipelajari?" Vania bertanya seraya masuk ke ruangan anak bosnya itu.Aqila mengalihkan pandangan dari layar laptop, lalu tersenyum saat menemukan sekretarisnya melangkah masuk."Udah, Tan." Ditutupnya laptop itu setelah memastikan file tersimpan dengan benar. Kemudian bangkit guna bersiap menghadiri rapat. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Mereka akan menghadiri rapat di luar kantor, jadi harus berangkat lebih cepat jika tidak ingin terlambat karena terjebak macet di jalan.Tas telah tersampir di pundak, Aqila bergegas keluar menyusul langkah Vania yang telah terlebih dahulu meninggalkan ruangannya.Begitu melewati pintu, Aqila disambut oleh Hendra yang masih setia berdiri di sana.Tak ingin merusak suasana hatinya, Aqila segera melanjutkan langkah tanpa menyapa bodyguardnya itu. Namun, dia terkejut saat melihat Hendra mengikuti langkahnya menuju ruangan Vania."Ngapain lu ikut? Jaga kantor aja!""Saya disuruh Tuan untuk mengikuti ke mana pun Non pergi. Saya ju

  • Bodyguard Ganteng Jodohku   Part 3 : Angry Boss

    Aqila mendesah kesal saat membuka pintu ruangannya dan melihat Hendra tengah berdiri di depan pintu."Lu ... dari tadi kaya gitu?" tanya Aqila heran. Pasalnya, dia menyuruh Hendra keluar dari ruangannya sejak tengah hari, saat jam istirahat makan siang. Dan sekarang sudah sore, jam pulang kantor. Namun, laki-laki bersetelan serba hitam itu masih saja berdiri tegap di depan pintu.Hendra yang mendengar pertanyaan Aqila hanya menelengkan kepala. Melihat itu, Aqila membuang napas, lalu memperjelas pertanyaannya. "Lu dari tadi berdiri kaya gitu? Dari siang?""Iya. Kan Non yang suruh," jawab Hendra polos.Aqila geleng-geleng kepala. Tak habis pikir bahwa dia akan bertemu laki-laki seperti ini. Terlebih lagi, lelaki itu akan mengikutinya ke mana pun dia pergi. Argh! Aqila merasa frustasi bahkan hanya dengan memikirkannya.Tanpa menghiraukan Hendra yang masih saja mematung bak manekin, Aqila melenggang pergi begitu saja. Tubuhnya lelah, otaknya serasa hampir terbakar, ditambah melihat wajah

  • Bodyguard Ganteng Jodohku   Part 2 : New Bodyguard

    Bi Suti mengetuk pintu kamar Aqila beberapa kali. Gadis berambut cokelat gelap itu tidak keluar dari kamar sejak pulang kantor, mungkin tertidur. Sementara sekarang sudah pukul delapan malam. Utari telah menyuruhnya untuk memanggil Aqila untuk makan malam."Non, makan malam dulu, Non. Udah ditunggu Bapak sama Ibu di bawah," ujarnya dengan suara agak dikeraskan.Bi Suti kembali mengetuk pintu saat tak mendengar jawaban. Lalu, karena takut nona majikannya kenapa-kenapa, dia akhirnya membuka pintu dan menerobos masuk.Di atas ranjang, dia melihat Aqila masih tertidur pulas. Bajunya bahkan belum diganti, masih mengenakan baju kantor. Make up di wajahnya juga belum dihapus. Sepertinya Aqila langsung tidur tanpa mandi terlebih dahulu."Non, udah malem." Bi Suti mengguncang bahu Aqila pelan.Tak ada respon selain gumaman lirih dari bibir tipis merah muda milik Aqila. Gadis itu pasti sangat kelelahan.Kembali diguncangnya bahu Aqila, kali ini lebih keras."Eugh ... kenapa, Bi?" Gadis itu meng

  • Bodyguard Ganteng Jodohku   Part 1 : CEO Woman

    06.30 WIBAlarm dari ponsel di nakas berdering nyaring sejak satu jam yang lalu, tetapi si empunya masih nyenyak bergelung di alam mimpi. Burung-burung yang berterbangan di luar kaca jendela seakan lelah membangunkan. Begitu pula dengan sinar matahari pagi yang menerobos masuk ke dalam kamar melalui celah-celah korden yang terbuka.Suara langkah kaki yang menghentak menaiki tangga terdengar menyelingi dentingan alarm yang tak kunjung usai. Semakin dekat, langkah kaki itu semakin keras terdengar."Aqila! Udah jam berapa ini? Bangun!" Suara teriakan sang mama membuat Aqila seketika tersentak bangun.Kepalanya masih terasa linglung, matanya juga masih setengah terpejam. Namun, pintu kamar yang terbuka dengan keras membuat kedua matanya seketika terbuka lebar."Kamu bangun aja masih susah, kok sok-sokan mau kerja." Omelan Utari seperti cambuk yang memaksa Aqila bergerak cepat menyambar handuk.Aqila menghela napas kesal. Seminggu yang lalu papanya sudah pulang dari rumah sakit. Begitu pul

  • Bodyguard Ganteng Jodohku   Prolog

    Malam itu, lorong rumah sakit nampak sepi. Seorang gadis berjalan tergesa menelusuri lorong temaram yang seakan tak berujung itu sambil terisak-isak. Bahunya berguncang, hidung memerah, juga matanya yang bengkak karena air mata terus saja tumpah bak air bah. Beberapa helai anak rambut menempel di pipi dan dagunya yang basah.Di ujung lorong itu terdapat pintu kaca dari sebuah ruangan yang hendak dia tuju, ruangan tempat papanya dirawat, ruang ICU. Air matanya mengalir semakin deras kala melihat wajah wanita yang baru saja bangkit dari duduknya."Mama ...." Gadis itu berlari menghampiri wanita yang dia panggil mama. Kedua lengannya segera merengkuh tubuh yang sama terisaknya sepertinya."Gimana papa?" tanyanya sambil mengurai pelukan.Utari—wanita yang dipanggilnya mama tadi mengusap pipinya sesaat sebelum menjawab, "Dokter baru aja keluar, Sayang. Katanya papa udah baik-baik aja. Papa udah berhasil melewati masa kritisnya."Gadis itu mengembuskan napas lega. "Syukurlah."Pintu terbuka

DMCA.com Protection Status