"Gimana, Qi? Udah dipelajari?" Vania bertanya seraya masuk ke ruangan anak bosnya itu.
Aqila mengalihkan pandangan dari layar laptop, lalu tersenyum saat menemukan sekretarisnya melangkah masuk.
"Udah, Tan."
Ditutupnya laptop itu setelah memastikan file tersimpan dengan benar. Kemudian bangkit guna bersiap menghadiri rapat. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Mereka akan menghadiri rapat di luar kantor, jadi harus berangkat lebih cepat jika tidak ingin terlambat karena terjebak macet di jalan.
Tas telah tersampir di pundak, Aqila bergegas keluar menyusul langkah Vania yang telah terlebih dahulu meninggalkan ruangannya.
Begitu melewati pintu, Aqila disambut oleh Hendra yang masih setia berdiri di sana.
Tak ingin merusak suasana hatinya, Aqila segera melanjutkan langkah tanpa menyapa bodyguardnya itu. Namun, dia terkejut saat melihat Hendra mengikuti langkahnya menuju ruangan Vania.
"Ngapain lu ikut? Jaga kantor aja!"
"Saya disuruh Tuan untuk mengikuti ke mana pun Non pergi. Saya juga harus anter Non ke tempat meeting, kan?"
"Nggak!" sanggah Aqila dengan marah. Teriakannya membuat Vania dan Rudi yang baru saja keluar dari ruangan mereka bergegas mendekat. "Gue ke sana sama Tante Vania dan Om Rudi. Lu nggak usah ikut!"
"Qila ...." Vania mendekat bersama Rudi. "Maaf sebelumnya, tapi nanti Tante sama Om Rudi harus pergi ke kantor cabang setelah rapat. Jadi kamu perginya sama Hendra aja, ya?"
Aqila bertegun mendengar itu, sedangkan Hendra langsung mengangguk bersemangat. "Baik, Bu."
Aqila melirik tajam ke arah bodyguardnya dengan bibir yang mencebik.
"Awas aja kalo lu bikin ulah!"
Mereka berangkat ke tempat pertemuan dengan dua mobil. Satu mobil Rudi bersama Vania, sementara satu lagi mobil Aqila yang dikendarai oleh Hendra.
Selama perjalanan, Aqila kembali membuka file presentasinya dalam iPad. Jemarinya sibuk menggulir layar ke kiri dan kanan. Mulutnya beberapa kali tertangkap mata Hendra, sedang komat-kamit seperti Mbah dukun baca mantra. Kedua matanya kadang sibuk memindai huruf-huruf di layar, sesaat kemudian terpejam. Seperti anak sekolah yang sebentar lagi harus setor hafalan.
Menyaksikan bosnya sedang gugup begitu, Hendra mengulum senyum. Gadis cantik yang duduk di kursi belakangnya itu kadang terlihat seperti anak ABG sekilas, masih kekanak-kanakan. Namun, jika dirinya mengamati lebih jauh, ternyata gadis itu cukup dewasa. Dan kalau dilihat-lihat, gadis itu ternyata lebih cantik jika sedang serius begitu.
"Tenang, Non, nggak perlu gugup. Pertemuan ini hanya meeting rutin biasa, kan?" Hendra mencoba menghibur. Yang sialnya, bukan dihadiahi senyuman dan ucapan terima kasih, melainkan pelototan.
"Nggak usah sotoy!" hardik Aqila. "Dasar tukang rusuh! Ganggu konsentrasi orang aja!"
Hendra menghela napas panjang. Salahnya sendiri mengganggu singa yang sedang tidur.
***
Siang hari ini begitu terik. Sinar matahari terasa begitu menyengat kulit saat Aqila akhirnya keluar dari gedung tempat rapat digelar. Rapat sudah selesai beberapa menit yang lalu, tetapi dadanya masih saja bergemuruh, tangannya bahkan masih basah karena berkeringat.
Sial! Dia merutuk diri sendiri. Dia tidak tau kalau jadwal rapat pagi ini adalah dengan pemilik Al-Ghifari group, ayah dari laki-laki yang akan dijodohkan dengannya. Vania juga tidak bilang. Wanita itu hanya berkata akan meeting dengan klien penting, tanpa mengatakan siapa kliennya!
Syukurlah Om Ghifari sangat profesional. Beliau sama sekali tidak menyinggung soal perjodohan Aqila dengan putranya. Mereka benar-benar membahas tentang bisnis. Namun, Om Ghifari justru menanyakan siapa laki-laki berpakaian hitam yang menunggu di luar. Mungkinkah beliau mengira laki-laki itu adalah pacarnya?
"Mau langsung ke kantor, Non?" Hendra membuka suara saat mereka baru saja masuk ke mobil.
Aqila mendengkus. Pertanyaan macam apa itu?
"Iyalah, mau ke mana lagi?" sungutnya.
"Nggak makan siang di luar aja, Non?" Hendra kembali bertanya.
"Enggak! Udah cepetan ke kantor aja. Gue mau istirahat. Capek!"
Hendra mendesah, lalu mengangguk. "Baik, Non."
Sesampainya di kantor, Aqila bergegas masuk untuk menyejukkan badan. Udara panas siang hari membuat kulitnya serasa terbakar. Wajahnya bahkan sudah merah padam sekarang. Dia mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah dan leher. Gerah.
Dia mempercepat langkah menuju lift di sisi kiri yang kosong, lalu saat pintu lift terbuka, dia bergegas masuk bersama Hendra. Tubuhnya yang hampir rubuh segera dia sandarkan pada dinding lift. Butir-butir peluh masih menggantung di pelipis dan lehernya, membasahi beberapa anak rambut yang menempel di sana. Dia mengibaskan kerah baju untuk menetralisir hawa panas yang tak kunjung reda.
Hendra yang menyaksikan pemandangan itu seketika meneguk ludah, lalu buru-buru memalingkan wajah saat perlahan kedua mata Aqila terbuka. Dia takut tertangkap basah sedang memperhatikan bosnya yang meskipun galak tetapi seksi itu.
Ting!
Pintu lift terbuka di lantai tujuh. Aqila segera keluar dan setengah berlari menuju ruangan di ujung lorong.
Begitu sampai di dalam, Aqila merebahkan dirinya di atas sofa. Penyejuk ruangan di ruangannya terasa seperti oasis di gurun Sahara.
Baru saja memejamkan mata sejenak, Aqila mendengar pintu ruangannya diketuk. Dia mengernyit. Siapa? Bukannya Vania dan Rudi tidak kembali ke kantor?
Pertanyaan dalam benaknya segera terjawab dengan cepat begitu suara Hendra menyapa telinganya.
"Masuk!" Aqila setengah berteriak.
Hendra kemudian masuk membawa kantong plastik hitam dan meletakkannya di meja depan Aqila.
"Makan siang dulu, Non."
Aqila segera bangkit dan membuka kantong plastik itu ragu-ragu. Ternyata isinya adalah nasi kotak dari kafetaria bawah. Lauknya ada ayam balado kesukaan Aqila, juga capcay, serta sepotong semangka sebagai pencuci mulut.
Di dalam kantong plastik itu juga ada satu botol teh yang masih dingin.
Aqila menatap wajah Hendra yang masih berdiri di depannya dengan tatapan ... entah. Dia lalu meraih tasnya, mengambil selembar uang pecahan seratus ribu, dan memberikannya kepada Hendra.
"Kembaliannya ambil aja," ujarnya seraya menyodorkan uang itu.
Tak disangka, Hendra justru menggeleng. "Nggak usah, Non. Saya punya uang buat beli makanan itu, kok. Nggak usah diganti." Tanpa menunggu jawaban Aqila, lelaki itu membalikkan badan dan berlalu menuju pintu. "Saya permisi, Non."
Bayangan tubuh Hendra sudah menghilang di balik pintu, tetapi Aqila masih melongo di tempat karena perlakuan bodyguardnya.
***
Aqila melepas kacamata yang selalu bertengger di hidungnya selama dia bekerja. Pening mendera kepala, rasa sakitnya menjalar sampai ke mata. Dipijatnya pangkal hidung sampai ke pelipis guna meringankan barang sedikit pusing di kepalanya.
Lembaran kertas yang berserakan di hadapannya, serta beberapa tumpuk dokumen yang masih belum tersentuh teronggok di sudut meja membuat Aqila mendengkus kesal. Pekerjaannya hari ini banyak sekali.
Dia bangkit dari duduk, meraih setumpuk berkas yang sudah selesai dia tandatangani, lalu melangkah membuka pintu. Di depan sana masih berdiri Hendra. Tanpa menghiraukan keberadaan manusia itu, Aqila melenggang pergi. Lalu, langkah dengan cepat terhenti saat Hendra mengikuti di belakang.
"Ngapain ikut? Gue mau ke ruangan Tante Vania."
Hendra tak menggubris ucapan Aqila. Lelaki itu tetap saja melangkah mengekori setiap ayunan kaki Aqila sampai gadis itu berhenti di depan ruangan Vania.
"Kenapa dia di depan sana, Qi?" Vania bertanya saat melihat Hendra berdiri di depan ruangannya.
Aqila hanya melirik lelaki itu sekilas, lalu menjawab asal. "Tau, tuh."
Vania mengangguk, senyumnya merekah. Namun, dia urung mengatakan apa pun lagi. Setelah itu, Aqila pamit kembali ke ruangannya.
Begitu Aqila melangkah keluar melewati pintu, Hendra bergegas membuntuti, mengantarnya menuju ruangan gadis itu.
Mereka lalu berpisah. Aqila kembali duduk di mejanya, sedangkan Hendra kembali menunggu dengan setia di depan pintu. Gadis cantik itu kembali mengenakan kacamata, lalu perlahan larut menekuri setumpuk dokumen di meja.
Satu jam berlalu. Aqila kembali bangkit meninggalkan mejanya untuk turun ke pantry. Dia ingin membuat kopi.
Sebenarnya Aqila bisa saja menyuruh seseorang untuk mengantarkan kopi ke ruangannya, tetapi dia enggan melakukan itu. Dia ingin berjalan saja, sekalian merilekskan otot-otot tubuhnya yang tegang karena dipakai bekerja sedari tadi.
Aqila melangkah menjauhi ruangannya tanpa menoleh ke arah Hendra. Malas. Melihat wajah lelaki itu hanya akan menyulut emosinya.
Langkahnya yang baru beberapa meter mendekati lift tiba-tiba terhenti saat dirinya menyadari ada langkah kaki lain yang berjalan mengikutinya. Cepat-cepat dia menengok, dan seketika mendelik melihat Hendra sudah berdiri di belakangnya.
"Lu ngapain ikut? Gue mau ke pantry doang!" hardiknya.
"Saya disuruh Tuan untuk mengikuti Non ke mana pun Non Aqila pergi."
Mendengar jawaban Hendra, Aqila buru-buru menarik napas dalam-dalam agar otaknya tidak mendidih akibat amarah yang sudah naik ke ubun-ubun.
"Lu itu disuruh bokap buat jadi bodyguard gue, bukan jadi bayangan gue yang ngikutin gue ke mana-mana. Kalo gue mau ke toilet, lu juga mau ikut?!"
Hendra garuk-garuk kepala. "Kalo boleh ...."
"Heh!" Aqila berteriak, memotong cepat ucapan ngawur Hendra. "Gila lu ya?!"
Lelaki itu terkekeh geli. "Saya bercanda, Non."
Aqila menggeleng frustasi, lalu memutuskan untuk meneruskan langkah. Dia ingin minum air dingin saja untuk mendinginkan otaknya yang sedang ngebul ini. Meladeni Hendra tidak akan ada habisnya.
Setibanya di pantry, Aqila segera mengambil air dingin dari dispenser dan menenggaknya sampai habis. Setelah tenggorokannya yang semula kering menjadi basah, dia mengambil cangkir putih untuk membuat kopi.
Seorang office girl tergopoh-gopoh menghampirinya. "Bu, biar saya saja yang buat. Ibu tinggal suruh saja, nanti saya antar ke ruangan ibu."
Wanita yang usianya kira-kira tiga puluhan itu segera mengambil alih cangkir di tangan Aqila dan mengisinya dengan kopi hitam di dalam toples yang baru saja Aqila ambil.
"Saya sengaja, kok, Bu. Emang pengen jalan-jalan. Capek duduk terus dari tadi." Aqila mengulas senyum ramah.
Hendra memandangi wajah gadis itu tanpa berkedip. Dia pikir Aqila adalah gadis temperamen yang bisanya cuma marah-marah, ternyata gadis yang tingginya hanya sebahunya itu bisa juga tersenyum ramah begitu. Dan ... terlihat semakin cantik.
Denting notifikasi dari ponsel Aqila membuat Hendra mengerjap dan segera memalingkan muka.
Sedangkan Aqila yang melihat bubble notifikasi di ponselnya segera membuka pesan yang masuk, dari Kenzo.
[Sayang, nanti sore jalan, ya? Aku kangen.]
Seketika senyum Aqila merekah membaca pesan itu. Suasana hatinya tiba-tiba terasa seperti bunga di musim semi, mekar.
Dengan cepat jemarinya mengetikkan balasan. [Oke.]
Jalan dengan Kenzo sepertinya bisa menjadi pengobat hari-hari melelahkan yang dilewatinya akhir-akhir ini.
***
Sudah pukul lima sore, waktunya Aqila pulang dari kantor dan mengistirahatkan tubuh dari lelahnya bekerja. Segala kekacauan di atas mejanya segera dia rapikan. Kertas-kertas dokumen, alat tulis, serta apa pun yang berserakan di atas meja dia bereskan.Blazer hitam yang tergantung di belakang kursi dia raih lalu dengan cepat dia kenakan, kemudian jemarinya menyambar tas dan segera melangkah keluar ruangan.Sembari berjalan, dia meraih ponsel dari dalam tas. Mencari nama seseorang yang begitu dia rindukan, kemudian mengetikkan pesan untuknya.[Kita ketemu di kafe biasa aja, ya? Aku harus ngehindarin Hendra biar dia nggak lapor sama Papa.]Pintu lift terbuka tepat saat terdengar denting notifikasi. Aqila tersenyum sembari memasuki lift bersama bodyguard yang senantiasa mengikutinya di belakang.[Oke, Sayang. Aku tunggu di kafe biasa. Kamu hati-hati di jalan. Love you.]Ah, baru membaca pesan dari Kenzo saja hati Aqila sudah berdebar tak keruan begini, bagaimana jika dia mendengar langsun
Kira-kira pukul setengah sepuluh malam, Hendra baru saja hendak melangkahkan kaki ke teras rumah saat ponsel di saku celananya tiba-tiba berdering. Dahinya seketika mengernyit, tetapi tak dapat dipungkiri, segaris senyum simpul terlukis di bibirnya kala melihat nama sang penelepon.Dia berbelok arah, mengurungkan niat masuk ke rumah dan malah duduk di bangku panjang samping rumahnya. Sebatang rokok dia nyalakan sebelum mengangkat panggilan."Ya, Non."Suara gadis manis di seberang segera menyambut sapaannya."Lu udah pulang?" Suaranya masih serak. Seperti habis bangun tidur."Iya. Saya sudah di rumah," jawabnya seraya mengembuskan asap rokok dari mulut.Terdengar gumam lirih dari seberang. Seperti ragu hendak mengatakan sesuatu."Ada apa, Non?" tanyanya memastikan."Eummm ... gue tadi ketiduran di mobil, ya?"Dalam hati Hendra tergelak mendengar suara Aqila yang terkesan malu-malu. Biasanya, kan, gadis itu selalu marah-marah, bahkan berbicara saja selalu menggunakan nada yang keras. N
"Sayang!"Kenzo sudah berdiri di depan mobilnya yang terparkir di halaman kantor Aqila. Memakai setelan kemeja kotak-kotak merah hitam dan celana jeans biru yang lututnya sobek-sobek khas anak tongkrongan. Matanya berbinar melihat Aqila melangkah keluar pintu utama, tetapi detik kemudian tatapannya berubah sinis saat Hendra muncul dari balik pintu menyusul langkah gadis itu.Aqila yang mengerti arti dari tatapan Kenzo segera menenangkan hati kekasihnya. "Biarin dia ikut, ya, Sayang. Kaya kemaren."Kenzo mendecih. Bisa-bisanya lelaki kampung itu terus-menerus membuntuti kencan mereka!"Kenapa nggak disuruh pulang aja, sih, dia. Nanti kamu biar aku yang anter pulang," tegasnya.Aqila menggeleng sembari mengusap lengan Kenzo. "Nggak bisa, Yang. Papa bakal marah kalo aku nggak pulang bareng Hendra. Udahlah. Anggep aja dia nggak ada. Yang penting kita bisa ketemu. Oke?"Kenzo mengembuskan napas keras. Kesal rasanya karena waktu berduaannya dengan Aqila terinterupsi oleh makhluk tak jelas
Suara gesekan ban dan paving halaman yang berdecit nyaring membuat ngilu telinga. Sorot lampu mobil terpancar terang bersama deru mesin mobil yang masih terdengar nyaring memecah kebisuan malam, sebelum akhirnya mati beberapa saat kemudian. Tak lama setelahnya, terdengar suara pintu dibuka, lalu ditutup dengan cara dibanting dengan keras. BMW merah itu lantas teronggok diam di garasi rumah setelah ditinggalkan sang pengendaranya.Seorang lelaki muda berambut setengah gondrong menaiki tangga. Dia melangkah cepat dengan kaki dihentak ke arah kamarnya yang berada di lantai dua dan menghadap langsung ke taman samping rumah. Dibukanya pintu dan dibantingnya dengan keras, sekeras dia membanting pintu mobil saat turun tadi. Hatinya dongkol. Begitu kesal karena acara kencannya bersama sang kekasih benar-benar berantakan. Dia masih tak mengerti, bagaimana bisa dua orang yang telah sama-sama dewasa dibuntuti bodyguard saat berkencan! Waktu yang seharusnya mereka habiskan berdua tak bisa diperg
Malam itu, lorong rumah sakit nampak sepi. Seorang gadis berjalan tergesa menelusuri lorong temaram yang seakan tak berujung itu sambil terisak-isak. Bahunya berguncang, hidung memerah, juga matanya yang bengkak karena air mata terus saja tumpah bak air bah. Beberapa helai anak rambut menempel di pipi dan dagunya yang basah.Di ujung lorong itu terdapat pintu kaca dari sebuah ruangan yang hendak dia tuju, ruangan tempat papanya dirawat, ruang ICU. Air matanya mengalir semakin deras kala melihat wajah wanita yang baru saja bangkit dari duduknya."Mama ...." Gadis itu berlari menghampiri wanita yang dia panggil mama. Kedua lengannya segera merengkuh tubuh yang sama terisaknya sepertinya."Gimana papa?" tanyanya sambil mengurai pelukan.Utari—wanita yang dipanggilnya mama tadi mengusap pipinya sesaat sebelum menjawab, "Dokter baru aja keluar, Sayang. Katanya papa udah baik-baik aja. Papa udah berhasil melewati masa kritisnya."Gadis itu mengembuskan napas lega. "Syukurlah."Pintu terbuka
06.30 WIBAlarm dari ponsel di nakas berdering nyaring sejak satu jam yang lalu, tetapi si empunya masih nyenyak bergelung di alam mimpi. Burung-burung yang berterbangan di luar kaca jendela seakan lelah membangunkan. Begitu pula dengan sinar matahari pagi yang menerobos masuk ke dalam kamar melalui celah-celah korden yang terbuka.Suara langkah kaki yang menghentak menaiki tangga terdengar menyelingi dentingan alarm yang tak kunjung usai. Semakin dekat, langkah kaki itu semakin keras terdengar."Aqila! Udah jam berapa ini? Bangun!" Suara teriakan sang mama membuat Aqila seketika tersentak bangun.Kepalanya masih terasa linglung, matanya juga masih setengah terpejam. Namun, pintu kamar yang terbuka dengan keras membuat kedua matanya seketika terbuka lebar."Kamu bangun aja masih susah, kok sok-sokan mau kerja." Omelan Utari seperti cambuk yang memaksa Aqila bergerak cepat menyambar handuk.Aqila menghela napas kesal. Seminggu yang lalu papanya sudah pulang dari rumah sakit. Begitu pul
Bi Suti mengetuk pintu kamar Aqila beberapa kali. Gadis berambut cokelat gelap itu tidak keluar dari kamar sejak pulang kantor, mungkin tertidur. Sementara sekarang sudah pukul delapan malam. Utari telah menyuruhnya untuk memanggil Aqila untuk makan malam."Non, makan malam dulu, Non. Udah ditunggu Bapak sama Ibu di bawah," ujarnya dengan suara agak dikeraskan.Bi Suti kembali mengetuk pintu saat tak mendengar jawaban. Lalu, karena takut nona majikannya kenapa-kenapa, dia akhirnya membuka pintu dan menerobos masuk.Di atas ranjang, dia melihat Aqila masih tertidur pulas. Bajunya bahkan belum diganti, masih mengenakan baju kantor. Make up di wajahnya juga belum dihapus. Sepertinya Aqila langsung tidur tanpa mandi terlebih dahulu."Non, udah malem." Bi Suti mengguncang bahu Aqila pelan.Tak ada respon selain gumaman lirih dari bibir tipis merah muda milik Aqila. Gadis itu pasti sangat kelelahan.Kembali diguncangnya bahu Aqila, kali ini lebih keras."Eugh ... kenapa, Bi?" Gadis itu meng
Aqila mendesah kesal saat membuka pintu ruangannya dan melihat Hendra tengah berdiri di depan pintu."Lu ... dari tadi kaya gitu?" tanya Aqila heran. Pasalnya, dia menyuruh Hendra keluar dari ruangannya sejak tengah hari, saat jam istirahat makan siang. Dan sekarang sudah sore, jam pulang kantor. Namun, laki-laki bersetelan serba hitam itu masih saja berdiri tegap di depan pintu.Hendra yang mendengar pertanyaan Aqila hanya menelengkan kepala. Melihat itu, Aqila membuang napas, lalu memperjelas pertanyaannya. "Lu dari tadi berdiri kaya gitu? Dari siang?""Iya. Kan Non yang suruh," jawab Hendra polos.Aqila geleng-geleng kepala. Tak habis pikir bahwa dia akan bertemu laki-laki seperti ini. Terlebih lagi, lelaki itu akan mengikutinya ke mana pun dia pergi. Argh! Aqila merasa frustasi bahkan hanya dengan memikirkannya.Tanpa menghiraukan Hendra yang masih saja mematung bak manekin, Aqila melenggang pergi begitu saja. Tubuhnya lelah, otaknya serasa hampir terbakar, ditambah melihat wajah
Suara gesekan ban dan paving halaman yang berdecit nyaring membuat ngilu telinga. Sorot lampu mobil terpancar terang bersama deru mesin mobil yang masih terdengar nyaring memecah kebisuan malam, sebelum akhirnya mati beberapa saat kemudian. Tak lama setelahnya, terdengar suara pintu dibuka, lalu ditutup dengan cara dibanting dengan keras. BMW merah itu lantas teronggok diam di garasi rumah setelah ditinggalkan sang pengendaranya.Seorang lelaki muda berambut setengah gondrong menaiki tangga. Dia melangkah cepat dengan kaki dihentak ke arah kamarnya yang berada di lantai dua dan menghadap langsung ke taman samping rumah. Dibukanya pintu dan dibantingnya dengan keras, sekeras dia membanting pintu mobil saat turun tadi. Hatinya dongkol. Begitu kesal karena acara kencannya bersama sang kekasih benar-benar berantakan. Dia masih tak mengerti, bagaimana bisa dua orang yang telah sama-sama dewasa dibuntuti bodyguard saat berkencan! Waktu yang seharusnya mereka habiskan berdua tak bisa diperg
"Sayang!"Kenzo sudah berdiri di depan mobilnya yang terparkir di halaman kantor Aqila. Memakai setelan kemeja kotak-kotak merah hitam dan celana jeans biru yang lututnya sobek-sobek khas anak tongkrongan. Matanya berbinar melihat Aqila melangkah keluar pintu utama, tetapi detik kemudian tatapannya berubah sinis saat Hendra muncul dari balik pintu menyusul langkah gadis itu.Aqila yang mengerti arti dari tatapan Kenzo segera menenangkan hati kekasihnya. "Biarin dia ikut, ya, Sayang. Kaya kemaren."Kenzo mendecih. Bisa-bisanya lelaki kampung itu terus-menerus membuntuti kencan mereka!"Kenapa nggak disuruh pulang aja, sih, dia. Nanti kamu biar aku yang anter pulang," tegasnya.Aqila menggeleng sembari mengusap lengan Kenzo. "Nggak bisa, Yang. Papa bakal marah kalo aku nggak pulang bareng Hendra. Udahlah. Anggep aja dia nggak ada. Yang penting kita bisa ketemu. Oke?"Kenzo mengembuskan napas keras. Kesal rasanya karena waktu berduaannya dengan Aqila terinterupsi oleh makhluk tak jelas
Kira-kira pukul setengah sepuluh malam, Hendra baru saja hendak melangkahkan kaki ke teras rumah saat ponsel di saku celananya tiba-tiba berdering. Dahinya seketika mengernyit, tetapi tak dapat dipungkiri, segaris senyum simpul terlukis di bibirnya kala melihat nama sang penelepon.Dia berbelok arah, mengurungkan niat masuk ke rumah dan malah duduk di bangku panjang samping rumahnya. Sebatang rokok dia nyalakan sebelum mengangkat panggilan."Ya, Non."Suara gadis manis di seberang segera menyambut sapaannya."Lu udah pulang?" Suaranya masih serak. Seperti habis bangun tidur."Iya. Saya sudah di rumah," jawabnya seraya mengembuskan asap rokok dari mulut.Terdengar gumam lirih dari seberang. Seperti ragu hendak mengatakan sesuatu."Ada apa, Non?" tanyanya memastikan."Eummm ... gue tadi ketiduran di mobil, ya?"Dalam hati Hendra tergelak mendengar suara Aqila yang terkesan malu-malu. Biasanya, kan, gadis itu selalu marah-marah, bahkan berbicara saja selalu menggunakan nada yang keras. N
Sudah pukul lima sore, waktunya Aqila pulang dari kantor dan mengistirahatkan tubuh dari lelahnya bekerja. Segala kekacauan di atas mejanya segera dia rapikan. Kertas-kertas dokumen, alat tulis, serta apa pun yang berserakan di atas meja dia bereskan.Blazer hitam yang tergantung di belakang kursi dia raih lalu dengan cepat dia kenakan, kemudian jemarinya menyambar tas dan segera melangkah keluar ruangan.Sembari berjalan, dia meraih ponsel dari dalam tas. Mencari nama seseorang yang begitu dia rindukan, kemudian mengetikkan pesan untuknya.[Kita ketemu di kafe biasa aja, ya? Aku harus ngehindarin Hendra biar dia nggak lapor sama Papa.]Pintu lift terbuka tepat saat terdengar denting notifikasi. Aqila tersenyum sembari memasuki lift bersama bodyguard yang senantiasa mengikutinya di belakang.[Oke, Sayang. Aku tunggu di kafe biasa. Kamu hati-hati di jalan. Love you.]Ah, baru membaca pesan dari Kenzo saja hati Aqila sudah berdebar tak keruan begini, bagaimana jika dia mendengar langsun
"Gimana, Qi? Udah dipelajari?" Vania bertanya seraya masuk ke ruangan anak bosnya itu.Aqila mengalihkan pandangan dari layar laptop, lalu tersenyum saat menemukan sekretarisnya melangkah masuk."Udah, Tan." Ditutupnya laptop itu setelah memastikan file tersimpan dengan benar. Kemudian bangkit guna bersiap menghadiri rapat. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Mereka akan menghadiri rapat di luar kantor, jadi harus berangkat lebih cepat jika tidak ingin terlambat karena terjebak macet di jalan.Tas telah tersampir di pundak, Aqila bergegas keluar menyusul langkah Vania yang telah terlebih dahulu meninggalkan ruangannya.Begitu melewati pintu, Aqila disambut oleh Hendra yang masih setia berdiri di sana.Tak ingin merusak suasana hatinya, Aqila segera melanjutkan langkah tanpa menyapa bodyguardnya itu. Namun, dia terkejut saat melihat Hendra mengikuti langkahnya menuju ruangan Vania."Ngapain lu ikut? Jaga kantor aja!""Saya disuruh Tuan untuk mengikuti ke mana pun Non pergi. Saya ju
Aqila mendesah kesal saat membuka pintu ruangannya dan melihat Hendra tengah berdiri di depan pintu."Lu ... dari tadi kaya gitu?" tanya Aqila heran. Pasalnya, dia menyuruh Hendra keluar dari ruangannya sejak tengah hari, saat jam istirahat makan siang. Dan sekarang sudah sore, jam pulang kantor. Namun, laki-laki bersetelan serba hitam itu masih saja berdiri tegap di depan pintu.Hendra yang mendengar pertanyaan Aqila hanya menelengkan kepala. Melihat itu, Aqila membuang napas, lalu memperjelas pertanyaannya. "Lu dari tadi berdiri kaya gitu? Dari siang?""Iya. Kan Non yang suruh," jawab Hendra polos.Aqila geleng-geleng kepala. Tak habis pikir bahwa dia akan bertemu laki-laki seperti ini. Terlebih lagi, lelaki itu akan mengikutinya ke mana pun dia pergi. Argh! Aqila merasa frustasi bahkan hanya dengan memikirkannya.Tanpa menghiraukan Hendra yang masih saja mematung bak manekin, Aqila melenggang pergi begitu saja. Tubuhnya lelah, otaknya serasa hampir terbakar, ditambah melihat wajah
Bi Suti mengetuk pintu kamar Aqila beberapa kali. Gadis berambut cokelat gelap itu tidak keluar dari kamar sejak pulang kantor, mungkin tertidur. Sementara sekarang sudah pukul delapan malam. Utari telah menyuruhnya untuk memanggil Aqila untuk makan malam."Non, makan malam dulu, Non. Udah ditunggu Bapak sama Ibu di bawah," ujarnya dengan suara agak dikeraskan.Bi Suti kembali mengetuk pintu saat tak mendengar jawaban. Lalu, karena takut nona majikannya kenapa-kenapa, dia akhirnya membuka pintu dan menerobos masuk.Di atas ranjang, dia melihat Aqila masih tertidur pulas. Bajunya bahkan belum diganti, masih mengenakan baju kantor. Make up di wajahnya juga belum dihapus. Sepertinya Aqila langsung tidur tanpa mandi terlebih dahulu."Non, udah malem." Bi Suti mengguncang bahu Aqila pelan.Tak ada respon selain gumaman lirih dari bibir tipis merah muda milik Aqila. Gadis itu pasti sangat kelelahan.Kembali diguncangnya bahu Aqila, kali ini lebih keras."Eugh ... kenapa, Bi?" Gadis itu meng
06.30 WIBAlarm dari ponsel di nakas berdering nyaring sejak satu jam yang lalu, tetapi si empunya masih nyenyak bergelung di alam mimpi. Burung-burung yang berterbangan di luar kaca jendela seakan lelah membangunkan. Begitu pula dengan sinar matahari pagi yang menerobos masuk ke dalam kamar melalui celah-celah korden yang terbuka.Suara langkah kaki yang menghentak menaiki tangga terdengar menyelingi dentingan alarm yang tak kunjung usai. Semakin dekat, langkah kaki itu semakin keras terdengar."Aqila! Udah jam berapa ini? Bangun!" Suara teriakan sang mama membuat Aqila seketika tersentak bangun.Kepalanya masih terasa linglung, matanya juga masih setengah terpejam. Namun, pintu kamar yang terbuka dengan keras membuat kedua matanya seketika terbuka lebar."Kamu bangun aja masih susah, kok sok-sokan mau kerja." Omelan Utari seperti cambuk yang memaksa Aqila bergerak cepat menyambar handuk.Aqila menghela napas kesal. Seminggu yang lalu papanya sudah pulang dari rumah sakit. Begitu pul
Malam itu, lorong rumah sakit nampak sepi. Seorang gadis berjalan tergesa menelusuri lorong temaram yang seakan tak berujung itu sambil terisak-isak. Bahunya berguncang, hidung memerah, juga matanya yang bengkak karena air mata terus saja tumpah bak air bah. Beberapa helai anak rambut menempel di pipi dan dagunya yang basah.Di ujung lorong itu terdapat pintu kaca dari sebuah ruangan yang hendak dia tuju, ruangan tempat papanya dirawat, ruang ICU. Air matanya mengalir semakin deras kala melihat wajah wanita yang baru saja bangkit dari duduknya."Mama ...." Gadis itu berlari menghampiri wanita yang dia panggil mama. Kedua lengannya segera merengkuh tubuh yang sama terisaknya sepertinya."Gimana papa?" tanyanya sambil mengurai pelukan.Utari—wanita yang dipanggilnya mama tadi mengusap pipinya sesaat sebelum menjawab, "Dokter baru aja keluar, Sayang. Katanya papa udah baik-baik aja. Papa udah berhasil melewati masa kritisnya."Gadis itu mengembuskan napas lega. "Syukurlah."Pintu terbuka