Joice berhasil menidurkan Janita yang tadi sempat mengamuk tak bisa berhenti. Tak mudah perjuangan Joice membuat Janita untuk diam. Berbagai cara dia lakukan mulai dari menggendong sambil jalan-jalan, lalu menyusui, mengajak bicara putrinya, dan terakhir cara yang Joice lakukan adalah menunjukkan foto Marcel.Ya, ini memang sudah gila. Cara jitu Joice membuat Janita berhenti menangis adalah mengajak bicara sambil menunjukkan foto Marcel pada Janita. Cara yang sebenarnya tak logis tapi sangat ampuh membuat Janita diam tak lagi rewel.Janita masih bayi, namun bayi perempuan cantik itu sudah mengerti siapa ayah kandungnya. Tentu itu membuat hati Joice sangatlah tersentuh, namun itu juga yang membuat Joice kesal luar biasa pada Marcel.Sampai detik ini, Marcel belum juga muncul. Entah, Joice tak tahu ke mana pria itu. Yang pasti kali ini Joice benar-benar sangat marah. Jika Marcel muncul, Joice berjanji akan mengusir pria itu. Joice mengatur napasnya ketika membayangkan wajah Marcel. Dia
“Jadi Joice menghubungimu?”Pertanyaan terucap di bibir Marcel ketika dia melakukan panggilan telepon pada asistennya. Dia ingin tahu alasan kuat kenapa Joice sampai marah padanya. Dia menduga kalau Joice pasti menghubungi Hendy—dan ternyata apa yang menjadi dugaannya benar.“Iya, Tuan. Nyonya Joice menghubungi saya mencari Anda. Saya mengatakan pada beliau kalau saya sedang tidak bersama dengan Anda. Saya juga bilang kalau meeting Anda ditunda. Tapi saya tidak memberi tahu Nyonya Joice kalau Anda baru saja menabrak seorang wanita. Saya takut kalau saya salah bicara, Tuan.” Hendy menjelaskan dengan sopan dari seberang sana. Marcel tersenyum samar. Pantas saja kalau Joice berpikiran macam-macam. Hendy mengatakan pada Joice kalau meeting-nya ditunda. Otomatis yang Marcel pikirkan adalah Joice berpikran aneh-aneh karena cemburu.“Alright, nanti aku akan menjelaskan sendiri pada Joice. Thanks, Hendy.”“Dengan senang hati, Tuan.” Panggilan tertutup. Marcel menurunkan ponselnya dari teli
Ancaman yang lolos di bibir Marcel seketika itu juga membuat tubuh Joice membeku. Pancaran manik mata abu-abunya menunjukan rasa takut. Gelenyar kekhawatiran menelusup ke dalam diri seolah menusuk hingga ke tulang.Joice sangat mengenal sifat Marcel. Pria itu tak pernah main-main dengan apa yang telah diucapkan olehnya. Joice harus waspada! Salah bertindak, maka kesialan akan menimpanya lagi.Sejenak, Joice mengatur napasnya agar tetap bisa setenang mungkin. Wanita itu tak mau sampai kembali terjebak di lubang yang sama. Joice bukanlah orang bodoh, tapi sialnya cinta yang dia miliki kerap membuat kebodohan dalam otaknya muncul. “Aku mencintaimu, Joice. Kau sangat tahu itu.” Kalimat terucap di bibir Marcel, ketika pria itu melihat sekarang Joice sudah jauh lebih tenang.Joice menyeka air matanya, menatap dingin dan tajam Marcel. “Jangan mengatakan omong kosong padaku! Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah percaya dengan ucapanmu.”Bagi Joice, kata-kata cinta yang terucap di bibir Ma
“Joice ada di mana?” Hana yang baru saja tiba di mansion Joice, langsung menanyakan keberadaan Joice pada sang pelayan. Biasanya, Hana memang tinggal di mansion ini, tapi karena ada Marcel terpaksa dia memutuskan tinggal di apartemennya sendiri. Hana tidak enak kalau tinggal di mansion Joice, jika ada Marcel di sana.Sang pelayan kikuk. “Hm, itu…” Kening Hana mengerut dalam. “Itu apa?” tanyanya tak mengerti.Sang pelayan menggaruk tengkuk lehernya tidak gatal. “N-Nyonya Joice berada di kamar bersama Tuan Marcel, Nona.”Mata Hana melebar. “Bersama Marcel?”Sang pelayan mengangguk. “I-iya, tapi mereka akan segera ke kamar Tuan Muda Marvel dan Nona Janita. Tuan Muda Marvel menangis karena ingin minum susu secara langsung. Tidak melalui botol.”Hana menghela napas dalam. Jutaan pertanyaan muncul di dalam benaknya saat ini. Akan tetapi, Hana tidak akan mungkin bertanya detai pada sang pelayan. “Katakan pada Joice aku ke sini. Aku akan datang lagi nanti. Sepertinya kalau sekarang aku datan
“Kau mau ke mana, Joice?” Kalimat pertama yang diucapkan Marcel, ketika melihat Joice tengah bersiap-siap seakan ingin pergi ke suatu tempat. Pria itu mendekat, menginterogasi Joice.“Aku ingin bertemu Hana.” Joice memoleskan lipstick berwarna peach di bibirnya. Ya, dia memang belum memberi tahukan pada Marcel kalau dia akan bertemu dengan Hana. “Aku sudah memompa ASI-ku. Marvel dan Janita memiliki stock susu yang banyak. Aku tidak akan lama. Aku meninggalkan Marvel dan Janita hanya sebentar saja.” Lanjutnya memberi tahu.Marcel semakin mendekat ke arah Joice. “Jika kau ingin bertemu dengan Hana, kenapa tidak Hana datang ke sini saja? Marvel dan Janita sering menangis menyusui di botol. Kau tahu kalau Marvel dan Janita sangat menempel padamu, kan?”Marcel kurang setuju Joice bertemu dengan Hana di luar rumah. Pria itu lebih memilih agar Hana datang ke rumah, karena dengan begitu Joice tetap bisa berdekatan dengan Marvel dan Janita walaupun tengah bertemu temannya. Yang Marcel paling u
Marcel melirik jam dinding—waktu menunjukkan pukul lima sore. Namun, Joice belum juga pulang. Decakan lolos di bibirnya. Joice tadi bilang padanya kalau akan pulang cepat, tapi kenapa sampai jam segini wanita itu belum juga pulang?Marcel mengambil ponselnya dan hendak menghubungi Joice, namun ketika dia hendak menghubungi Joice—tiba-tiba terlihat di layar ponselnya terpampang nomor asing menghubunginya.Kening Marcel mengerut dalam menatap nomor ponsel asing terpampang di layar ponselnya. Dia tak mengenal nomor itu, dan memutuskan untuk menolak panggilan telepon tersebut, namun nomor asing itu kembali menghubunginya.Marcel berdecak kesal karena nomor asing itu terus menghubunginya. Dia ingin kembali menolak, tapi dia khawatir kalau orang tersebut ada berita ataupun ada informasi penting. Kemungkinan buruk bisa saja terjadi kapan pun, dan di mana pun. Marcel memutuskan untuk menjawab panggilan telepon itu.“Hallo?” sapa Marcel dingin kala panggilan terhubung. “Marcel? Apa aku meng
“Tuan Marcel, di depan ada Tuan Hendy mencari Anda.” Pelayan menghampiri Marcel yang tengah menyesap wine dan berdiri di balkon. Malam hari seperti ini, dia bermaksud ingin bersantai sejenak, tapi sayang niatnya harus terkubur karena asistennya ternyata datang menemuinya.Marcel sedikit kesal. “Ck! Kenapa dia datang malam-malam seperti ini?”Pelayan itu menunduk. “Tuan, mungkin saja ada hal penting yang Tuan Hendy ingin sampaikan pada Anda.”Marcel mengembuskan napas panjang. “Apa Marvel dan Janita rewel?”Pelayan itu menggeleng sopan. “Tidak, Tuan. Tuan Muda Marvel dan Nona Janita tidak rewel sama sekali.”“Sekarang di mana, Joice? Apa dia sudah tidur?” tanya Marcel lagi yang ingin tahu apa yang dilakukan oleh Joice.“Nyonya Joice ada di kamar. Terakhir saya lihat beliau sedang membaca buku,” jawab sang pelayan lagi.Marcel terdiam sebentar. “Alright, aku akan ke depan menemui Hendy.”“Baik, Tuan.” Pelayan itu menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Marcel. Pun Marc
*Sayang, Daddy-mu bilang kau tidak menjawab teleponnya. Kenapa, Sayang? Apa kau marah pada Daddy-mu?* Joice yang baru saja selesai berendam dan telah mengganti pakaiannya dengan dress sederhana khusus di rumah, langsung membuka pesan masuk dari ibunya. Pesan yang berisikan memberikan teguran padanya karena tak menjawab telepon ayahnya.Joice mendesah panjang. Dia memang tak menjawab telepon ayahnya. Dia mengakui itu. Tapi bukan bermaksud dirinya tidaklah sopan. Posisinya adalah Joice lelah ayahnya selalu menjodoh-jodohkannya dengan Albern.Joice tahu maksud ayahnya adalah menginginkan yang terbaik untuknya. Akan tetapi yang menjadi point masalah di sini adalah hatinya masih belum siap. Dan tentu Joice tak ingin dipaksa.Pesan dari ibunya tidaklah mungkin tak dijawab. Joice pun mulai mengetik pesan untuk membalas ibunya. Dia mengatakan kalau belakangan ini tengah sibuk, namun dia mengatakan pada ibunya akan menghubungi ayahnya ketika sudah memiliki waktu senggang.Joice tidak mungkin
Lombok, Indonesia. Menepuh perjalanan jauh dari London ke Lombok adalah hal yang tak pernah Joice sangka-sangka. Saat usia Janita dan Marvel dua tahun, Joice pernah diajak Marcel ke Bali dan Jakarta. Hanya saja dia belum pernah ke Lombok. Wanita cantik itu takjub, di kala Marcel membawanya benar-benar berkeliling pedesaan.Joice tak pernah mengira Marcel akan membawanya serta tiga anaknya berlibur ke Lombok. Liburan di benua Eropa dan Amerika adalah hal biasa untuk Joice bersama keluarga. Akan tetapi, liburan ke Asia benar-benar sangat menakjubkan!“Sayang, ini indah sekali. Terima kasih sudah membawaku ke sini.” Mata Joice berkaca-kaca menatap Marcel dengan haru.Marcel mengecup kening Joice. “Aku sudah yakin kau akan menyukai tempat ini.”Joice tersenyum lembut seraya menatap tiga anaknya yang sedang berlari-larian. “Waktu terasa sangatlah cepat. Dulu, aku selalu hidup berdua dengan Hana. Ke mana pun aku pergi, maka Hana akan ikut denganku. Tapi sekarang semua berubah di kala takdi
London, UK. Janji suci pernikahan yang terucap secara bergantian di bibir Landon dan Anya—wanita yang menikah dengan Landon—nampak membuat Joice sejak tadi tersenyum penuh haru bahagia. Sepasang iris mata Joice menunjukkan betapa dia bahagia. Kepingan memori teringat akan masa kecilnya bersama dengan sang adik, membuat Joice meneteskan air mata haru.Landon bertemu dengan Anya saat adiknya itu tengah berlibur ke Singapore. Singkat cerita, mereka hanya berawal berkencan biasa, namun ternyata berujung pada pernikahan. Tentunya perjalanan mereka tak selalu mulus. Ada kalanya naik turun. Tapi Joice selalu memberikan nasihat terbaik untuk adiknya, di kala adiknya mengalami masalah hubungan percintaan.Joice menetap tinggal di Milan, karena ikut dengan sang suami. Jarak tinggalnya dengan orang tua serta adiknya memang jauh, tapi Joice sering sekali mengunjungi London. Banyak keluarga yang tinggal di London, tentunya membuat Joice wajib mengunjungi kota indah itu.Selama proses upacara pern
*Dua minggu lagi hari pernikahanku. Kau pasti akan ke London, kan? Jangan bilang kau sibuk. Aku tidak akan lagi menganggapmu, jika kau sampai tidak datang di hari pernikahanku.* Pesan singkat dari Landon membuat Joice mengulumkan senyumannya. Wanita berparas cantik itu terlihat gemas akan pesan yang dia baca ini. Well, Joice tak akan mungkin hari pernikahan adiknya yang akan diadakan dua minggu lagi.Singkat cerita, beberapa bulan lalu Landon mendatangi Milan, memperkenalkan seseorang wanita cantik yang merupakan calon istri adiknya itu. Joice tentu saja bahagia mendengar kabar Landon akan segera menikah.Sudah sejak lama Joice meminta Landon untuk segera menikah. Karena bagaimanapun, Joice tahu bahwa kedua orang tuanya menginginkan Landon memiliki keluarga seperti dirinya dan Marcel. Doa Joice selama ini terjawab. Adiknya akhirnya dipertemukan dengan takdirnya.“Kenapa kau senyum-senyum seperti itu, Sayang?” Marcel mendekat, menghampiri sang istri. Joice mengalihkan pandangannya,
“Mommy, Daddy, kami pulang.”Marvel, Janita, dan si bungsu—Maxime—menghamburkan tubuh mereka pada kedua orang tua mereka. Pun tentu Joice dan Marcel membalas pelukan tiga anak mereka dengan lembut dan penuh kasih sayang.Kemarin, kedua orang tua Marcel sudah kembali ke Milan. Namun, mereka tidak langsung mengembalikan Maxime. Yang mereka lakukan malah menjemput Marvel dan Janita untuk berjalan-jalan. Weekend terakhir, tak ingin diasia-siakan oleh kedua orang tua Marcel itu.Sekarang Marvel, Janita, dan Maxime dipulangkan, karena Marvel dan Janita akan masuk sekolah. Maxime juga dipulangkan, karena pastinya Marcel dan Joice sangatlah merindukan putra bungsu mereka.“Sayang Mommy. Ah, kalian baru pulang jalan-jalan. Pasti kalian happy.” Joice menciumi ketiga anaknya itu. Bergantian dengan Marcel yang kini menciumi tiga anaknya. “Mommy kami senang sekali diajak jalan-jalan Grandpa Mateo dan Grandma Miracle,” ucap Janita dengan riang gembira.Joice tersenyum mendengar apa yang dikatakan
Joice turun dari mobil, dan melangkah terburu-buru masuk ke dalam mansion menuju kamar. Tentu saja, Marcel segera menyusul Joice yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar mereka. Sejak di mana bertemu dengan Poppy—Joice memang terlihat masih marah. Padahal seharusnya Joice sudah tidak lagi marah padanya.“Joice, kau masih mendiamiku setelah aku memberikan penjelasan padamu?” Marcel masuk ke dalam kamar, mendekat pada Joice.“Aku ingin istirahat, Marcel. Tolong kau keluar.” Joice tetap bersikap dingin, dan acuh, meminta Marcel untuk keluar. Dia masih enggan untuk bicara dengan suaminya. Sekalipun, tadi dia sudah bertemu dengan Poppy—tetap saja dia masih kesal dan marah.Marcel berusaha bersabar menghadapi sang istri yang cemburu buta. Dia menarik tangan Joice—membuat tubuh istrinya itu masuk ke dalam dekapannya. Tampak Joice berontak di kala Marcel memeluknya dengan erat.“Marcel, lepaskan aku! Lepas!” Joice mendorong dada bidang Marcel.“Jika kau berontak, maka aku akan benar-benar b
Mobil sport milik Marcel terhenti di sebuah restoran ternama di Milan. Detik itu juga raut wajah Joice berubah menunjukkan jelas kebingungannya. Dia sedang marah, tapi kenapa malah diajak ke restoran? Apa-apaan ini? Sungguh! Joice menjadi semakin kesal pada Marcel.“Marcel, kau kenapa mengajakku ke sini?” seru Joice kesal pada Marcel.“Kita akan bertemu dengan seseorang.” Marcel membuka seat belt-nya, turun dari mobil—dan membukakan pintu mobil untuk istri tercintanya itu.“Bertemu siapa?!” Joice enggan untuk bertemu siapa pun. Dalam kondisi raut wajah yang sedang marah, menunjukkan jelas rasa tak suka jika harus bertemu dengan orang. Entah siapa yang ingin ditunjukkan oleh suaminya itu. Marcel menunduk, membuka seat belt sang istri. “Kau akan tahu, jika kau sudah turun.” Lalu, pria itu menarik tangan istrinya—memaksa untuk turun dari mobil. Joice mendesah kasar ketika tangannya ditarik sang suami masuk ke dalam restoran. Dia tidak memiliki pilihan lain untuk mengikuti suaminya it
“Mom, kenapa kau tidur di kamarku? Nanti Daddy kesepian. Kasihan Daddy, Mom. Daddy bilang padaku, dia tidak akan bisa tidur nyenyak, jika tanpa Mommy.” Janita menatap Joice yang tidur di kamarnya. Biasanya ibunya itu akan menemaninya tidur, jika dia tengah sakit. Tapi dia sehat dan baik-baik saja. Itu yang membuat gadis kecil itu bingung.Joice memeluk Janita dan mengecupi pipi bulat putrinya itu. “Mommy sangat merindukanmu. Itu kenapa Mommy tidur denganmu. Memangnya kau tidak suka tidur bersama Mommy?”Janita tersenyum lembut dan manis. “Tentu saja aku suka, Mommy. Aku suka tidur bersama Mommy. Tapi, aku kasihan pada Daddy tidur sendiri. Nanti Daddy kesepian. Bagaimana kalau Daddy diajak tidur bersama kita saja?” Gadis kecil itu memberikan ide luar biasa.“Tidak!” tolak Joice tegas, dengan raut wajah jengkel.“Kenapa tidak, Mommy? Kasihan Daddy tidur sendiri.” Raut wajah Janita muram.“Daddy tidak tidur sendiri. Malam ini Daddy tidur bersama Marvel, Little Girl.” Marcel melangkah men
Weekend tiba. Marvel dan Janita bersorak riang gembira. Dua anak kembar itu libur. Mereka sekarang asik berkutat pada dengan iPad mereka masing-masing. Mereka tenang tak memiliki gangguan. Pasalnya Maxime masih bersama dengan kakek dan nenek mereka. Jika Maxime ada di rumah, sudah pasti adiknya itu akan mengganggu dengan membuat kekacauan. Marvel asik bermain game mobil balap. Janita asik bermain game barbie. Akan tetapi tentu Janita bermain game sambil mengemil cake yang dibuatkan pelayan. Gadis kecil itu memang terkenal sangat menyukai cake manis.“Marvel, Janita. Kalian mendapatkan video call Grandpa Dean dan Grandma Brianna. Ayo jawab telepon kakek kalian dulu.” Joice menghampiri dua anak kembarnya yang tengah asik bermain dengan iPad.“Yes, Mommy.” Marvel dan Janita menjawab dengan patuh. Mereka langsung berlari menghampiri pengasuh mereka—yang tengah memegang ponsel. Dua bocah itu bahagia mendengar kakek dan nenek mereka video call.Joice tersenyum sambil menggeleng-gelengkan k
Janita tersenyum-senyum seraya melangkah masuk ke dalam rumah. Gadis kecil cantik itu baru saja pulang sekolah—dengan wajah yang riang gembira. Sayangnya tidak dengan Marvel yang pulang dalam keadaan menekuk bibirnya.“Mommy, aku dan Kak Marvel sudah pulang.” Janita berseru dengan suara cempreng dan nyaring—membuat Marvel harus menutup kedua telinganya.“Anak-anak Mommy sudah pulang.” Joice tersenyum menyambut dua anak kembarnya yang sudah pulang. “Ayo ganti pakaian kalian dulu. Cuci tangan bersih, lalu kita makan siang bersama.”Janita dan Marvel sama-sama mengangguk patuh. Mereka menuju ke kamar mereka masing-masing bersamaan dengan para pengasuh mereka. Tepat di kala Janita dan Marvel sudah masuk ke dalam kamar—Joice bersenandung sambil menyiapkan makanan lezat yang sudah dia siapkan untuk dua anak kembarnya. Joice telah mengurangi pekerjaannya yang bergelut di dunia model. Bukan berhenti, tapi hanya mengurangi porsi pekerjaan. Bisa dikatakan fokus utama Joice adalah mengurus suam