*Sayang, Daddy-mu bilang kau tidak menjawab teleponnya. Kenapa, Sayang? Apa kau marah pada Daddy-mu?* Joice yang baru saja selesai berendam dan telah mengganti pakaiannya dengan dress sederhana khusus di rumah, langsung membuka pesan masuk dari ibunya. Pesan yang berisikan memberikan teguran padanya karena tak menjawab telepon ayahnya.Joice mendesah panjang. Dia memang tak menjawab telepon ayahnya. Dia mengakui itu. Tapi bukan bermaksud dirinya tidaklah sopan. Posisinya adalah Joice lelah ayahnya selalu menjodoh-jodohkannya dengan Albern.Joice tahu maksud ayahnya adalah menginginkan yang terbaik untuknya. Akan tetapi yang menjadi point masalah di sini adalah hatinya masih belum siap. Dan tentu Joice tak ingin dipaksa.Pesan dari ibunya tidaklah mungkin tak dijawab. Joice pun mulai mengetik pesan untuk membalas ibunya. Dia mengatakan kalau belakangan ini tengah sibuk, namun dia mengatakan pada ibunya akan menghubungi ayahnya ketika sudah memiliki waktu senggang.Joice tidak mungkin
Marcel menenggak wine hingga tandas. Pria itu mampir sebentar ke salah satu kafe di pusat kota London. Pertemuan dengan keluarga besarnya, membuat emosi di dalam dirinya sangatlah memuncak.Sejak dulu, Marcel enggan untuk menghadiri acara keluarga. Ibunya memiliki tiga saudara—yang mana Marcel memiliki banyak sepupu dari sisi keluarga sang ibu. Berbeda dengan ayahnya yang merupakan anak tunggal. Jadi, bisa dikatakan Marcel tak pernah dibanding-bandingkan.Marcel lebih menyukai mendatangi kakeknya dari sisi ayahnya, daripada harus mendatangi kakeknya dari sisi ibunya. Bukan karena Marcel tak menyayangi kakek dari sisi ibunya, tapi dia malas mengingat dia sangat mengenal sifat kakeknya. Shawn—cucu laki-laki pertama di keluarga Geovan—selalu dijunjung tinggi oleh kakeknya. Itu yang membuat Marcel muak. Ya, memang dari segi sifat Marcel dan Shawn sangatlah berbeda jauh.Shawn cenderung penurut, dewasa, dan mau selalu mengalah. Sedangkan Marcel menyukai kebebasan. Marcel tidak suka diatu
Marcel menjaga Joice semalaman. Meski tak ke rumah sakit, tapi tentunya dia tetap memaksa Joice meminum obat penurun demam. Selain itu, dia juga mengompres kening Joice agar demam di tubuh Joice turun.Pagi menyapa, Joice sudah terbangun dalam keadaan cukup membaik. Kesadarannya pun mulai pulih. Namun, dia cukup terkejut karena ada handuk kecil basah di keningnya. Itu menandakan bahwa tadi malam ada yang mengompresnya.Joice terdiam sebentar dan mengalihkan pandangannya ke samping—melihat Marcel telah tertidur pulas. Raut wajah Joice berubah. Mata dan bibirnya melebar. Terlebih Marcel tidur dalam keadaan bertelanjang dada. Sialnya pria itu memiliki tubuh yang begitu gagah dan sangat jantan.Joice hendak ingin membangunkan Marcel, tetapi ingatannya teringat akan kejadian di mana dirinya sakit. Kepingan memori satu demi satu mulai tersusun di dalam benaknya—membuatnya membentuk sebuah ingatan.Joice tidak mungkin lupa! Ya, ingatannya masih cukup baik. Tapi sialnya, tadi malam kenapa mal
“Brianna, kenapa kau menahanku ingin menemui putriku?” Dean jengkel dan kesal pada Brianna yang menahan-nahan dirinya. Padahal sudah berkali dia mengatakan bahwa dia ingin sekali menemui putrinya.Kesabaran Dean sudah menipis. Setiap kali dia menghubungi nomor Joice, selalu saja tidak dijawab. Pria paruh baya itu sudah gemas. Lebih baik dia sendiri yang menemui putrinya itu. Dia sudah tidak lagi bisa menunggu.Akan tetapi yang menjadi masalah adalah Brianna menahannya untuk tidak mendatangi Joice. Entah, Dean tidak mengerti dengan cara berpikir Brianna. Dia ingin marah, tapi tentunya dia tak ingin melukai hati sang istri.Brianna menghela napas dalam. “Jangan sekarang, Sayang. Joice membutuhkan waktu. Nanti saja kau temui dia.”Brianna memiliki alasan sendiri kenapa dia tidak mengizinkan Dean untuk langsung menemui putrinya. Bukan maksud melarang, tapi dia merasa bahwa pasti Joice enggan bertemu dengan Dean karena tentunya pembahasan Dean tidak jauh-jauh tentang Albern. Brianna sanga
“Jadi Marcel masih berada di London?” Pertanyaan pertama yang Samuel tanyakan pada Oliver yang duduk di hadapannya. Aura wajah pria paruh baya itu menunjukkan jelas kemarahan mendengar kabar Marcel berada di London.Samuel adalah orang yang tak pernah memberikan restu akan hubungan Marcel dan Joice. Selama ini memang Joice sudah dia anggap seperti putri kandungnya sendiri. Itu kenapa ketika Joice merasakan terluka, dia pun merasakan hal yang sama. Lebih tepatnya dia tidak rela kalau sampai Joice kembali jatuh di lubang yang sama.Oliver menyandarkan punggungnya di kursi, memejamkan mata singkat, seraya menenggak wine di tangannya. “Ya, dia masih berada di London. Aku yakin dia pasti kembali berusaha mendekati Joice lagi.”Oliver sudah menahan diri untuk tidak meledakkan kemarahannya pada Marcel. Jika bukan karena Marcel adalah keponakan kandung dari ibunya, maka sudah pasti Oliver akan menghajar Marcel habis-habisan. Hal yang paling membuat Oliver kesal adalah Marcel tak kunjung meni
“Apa yang membawamu menemuiku, Dad?” Kalimat pertama yang Samuel tanyakan pada William, di kala dia tiba di perusahaan Samuel. Nampaknya William sengaja ingin bertemu dengan Samuel.“Aku dengar kau ribut dengan Selena karena Marcel.” William menyilangkan kakinya kiri ke paha kanan. Lalu mengambil wine yang ada di atas meja dan menyesap wine itu perlahan.Samuel mengembuskan napas panjang. “Sepertinya kau memiliki CCTV di mana-mana sampai tahu banyak hal.”Samuel terkadang kesal pada mertuanya yang selalu tahu banyak hal. Apalagi kalau dia memiliki masalah dengan sang istri, pasti dirinya sudah mendapatkan teguran keras dari mertuanya itu.William menggerak-gerakkan gelas di tangannya. “Well, aku bisa tahu banyak hal karena aku selalu mengawasi anak-anak dan cucuku. Banyak yang melaporkan padaku kalau anak-anakku dan cucu-cucuku mengalami masalah.” Meskipun sering berpergian ke luar kota, ataupun ke luar negeri, tapi William kerap banyak tahu apa yang terjadi pada anak-anak dan cucu-
“Ah, segar sekali.” Joice melangkah keluar dari kamar mandi seraya membenarkan posisi handuk yang ada di atas kepalanya. Dia hendak ingin menuju ke walk-in closet untuk mengganti pakaiannya, namun langkah Joice terhenti melihat Marcel tengah memegang ponselnya. Raut wajah Joice berubah seperti ada sesuatu di balik wajah Marcel. Wanita itu merasa ada yang ganjal ketika ada yang melihat wajah Marcel. Detik itu juga, Joice segera merampas ponselnya yang ada di tangan Marcel.“Marcel! Kenapa kau berani membuka-buka ponselku?!” seru Joice kesal.Marcel tak menggubris apa yang Joice katakan. Sorot mata pria itu menyalang tajam dan dingin ke arah Joice. “Jadi diam-diam kau memberikan harapan pada Albern, Joice?!” geramnya dengan nada penuh emosi tertahan.Ya, pesan dari Hana layaknya sumbu yang membuat emosi Marcel seolah terbakar. Pria itu tidak bisa lagi menahan amarahnya ketika tahu bahwa Joice diam-diam di belakangnya, memberikan harapan pada Albern.Kening Joice mengerut dalam menatap
Saliva saling tertukar. Ciuman penuh damba itu membuat suhu tubuh dua insan saling memanas layaknya ada bara api yang tersirat hasrat membakar mereka. Suara decapan begitu terdengar di telinga mereka—membuat keadaan semakin panas.Bibir mereka saling mencecapi atas dan bawah bergantian. Ciuman itu menyalurkan gairah yang selama ini terpendam. Untuk kali ini ciuman mereka bukan hanya lembut, tapi tersirat liar seolah sangat merindukan. Marcel menekan tengkuk leher Joice, memperdalam ciumannya. Tak hanya diam, wanita itu pun memberikan remasan di jas Marcel—dan menyambut setiap ciuman yang telah tercipta. Ciuman yang sukses membuat suhu tubuh mereka panas. “M-Marcel—” desah Joice di sela-sela ciumannya. Napasnya sedikit terengah-engah, akibat ciuman yang diciptakan Marcel terlalu menggebu-gebu.Marcel melepaskan pagutannya sebentar, mengangkat tubuh Joice, hingga terduduk di atas meja rias wanita itu. Sontak, Joice terkejut di kala tubuhnya sudah berpindah duduk di atas meja rias. N